Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izinya kami
dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul “Epidural Hematom”

Lapkas ini dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mengikuti kegiatan


Kepanitriaan Klinik dibagian SMF Ilmu Bedah yang dilaksanakan di RSUD Kota
Langsa

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada dr. Furqan,


Sp.B selaku dokter pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan pengarahan dan bimbingannya.

Tentunya kami menyadari bahwa refarat dan laporan kasus ini banyak
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca agar kedepannya kami dapat memperbaiki dan
menyempurnakan kekurangan tersebut.

Besar harapan kami agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk
menambah wawasan keilmuannya.

Langsa, April 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


paling umum. Di Amerika Serikat, 1.7 juta orang yang mengalami trauma kepala
dengan 52.000 meninggal, 275.000 dirawat di rumah sakit dan 1.365 juta diobati
dari Unit Gawat Darurat. Sedangkan di Inggris, 1.4 juta orang datang ke Unit
Gawat Darurat dengan trauma kepala. Sekitar 33% sampai 55% diantaranya
adalah anak usia dibawah 15 tahun. Sekitar 200.000 orang yang dirawat di rumah
sakit dengan trauma kepala, 1/5-nya memiliki fraktur tengkorak atau mempunyai
cedera pada otak. Di Indonesia tercatat 55.495 penderita kecelakaan lalu lintas dan
terdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti setiap hari ada 34
orang mati akibat kecelakaan lalu lintas. Dari korban yang meninggal ini ± 80%
disebabkan cedera kepala.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan serangan atau benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah ditemukan
adanya battle’s sign (warna biru atau ekimosis dibelakang telinga diatas os.
Mastoid), haemothypanum (perdarahan di daerah membran thympani telinga),
periorbital echimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinnorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari hidung), ottorrhoe (cairan serebrospinal keluar
dari telinga).
Kebanyakan pasien sembuh tanpa gangguan apapun, namun sebagian
diantaranya memiliki kelumpuhan atau bahkan meninggal akibat efek dari
komplikasi yang mungkin bisa diminimalisir atau dihindari dengan deteksi dini
dan pengobatan yang tepat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : DV
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 37 tahun
Alamat : Perumnas Langsa
Tanggal Masuk : 19 Maret 2018
Pukul : 07.45

B. PRIMARY SURVEY
Dilakukan di IGD tanggal 19 Maret 2018pukul 07.45 WIB
1. A: clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-)
2. B: Spontan, RR : 20x/menit
3. C: TD 120/80 mmHg, Nadi 80 kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup
4. D: GCS E4V5M6∑15, Suhu 36,5°C

C. SECONDARY SURVEY
1. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Nyeri pada kepala
Telaah : Hal ini dialami sejak kurang lebih 30 menit SMRS, OS
mengendarai sepeda motor dan terjatuh dengan mekanisme trauma
yang tidak jelas. Pingsan setelah kecelakaan (-), mual (+), muntah (-),
kejang (-). Pasien juga mengeluhkan terdapat benjolan dibelakang
kepala berdiameter sebesar telur ayam.
Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada
Riwayat Pengobatan : tidak ada

2
2. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di ICU tanggal 19 Maret 2018pukul 10.45 WIB
a. Kesadaran : GCS E1M3V1∑5
b. Tanda vital :
Tekanan darah : 152/106 mmHg
Nadi : 120x/ menit
Respirasi : 16x/ menit (dengan VTP)
Suhu : 36.5ºC
c. Status Generalis
1) Kepala
Terdapat Benjolan sebesar telur ayam pada daerah parietoocipital
2) Mata :Pupil anisokor 5mm/3mm
3) Telinga : DBN
4) Hidung : DBN
5) Mulut : DBN
6) Tenggorokan : DBN
7) Leher : DBN
8) Ekstremitas : DBN
9) Kulit : DBN
10) Genitalia : TDP
11) Anus Rektum : TDP
12) Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi : TDP
Perkusi : TDP
Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, Wh (-), Rh (-).

13) Jantung
Auskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan

3
14) Abdomen
Inspeksi : datar, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas
Auskultasi : TDP
Palpasi : TDP
Perkusi : TDP

15) Ekstremitas:
Ekstremitas superior Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin + + + +

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 19 Maret 2018
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
HEMATOLOGI RUJUKAN
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.0 Gr/dl 12.0-16.0
Leukosit H 26.95 /µL 3.6- 11.0
Hematokrit 36.4 % 35-47
Eritrosit 4.6 106 /µL 3,8 – 5,2
Trombosit 220 /µL 150.000 – 440.000
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 194 mg/dl < = 200

4
b. CT-scan Tanpa Kontras

Kesan : Lesi Parietoocipitalis, penyempitan ventrikel (+), Midline Sift (+)

D. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis prabedah : HI GCS 5+ EDH parietooccipal

E. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK


Status ASAPS 4E

5
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan di Ruang IGD
Oleh dokter spesialis bedah :
IVFD, RL 20gtt/i
Ceftriaxon 1gr/12jam
Ketorolac 1 amp/8jam
Ranitidin 1 amp/12jam
Mecobalamin 2x500
Citicolin 500mg/12jam
Piracetam 3gr/24jam
Transamin 500mg extra

2. Penatalaksanaan di Ruang ICU


Oleh dokter spesialis anastesi :
- Pasang O2 Ventilator + VCV
- Pasang NGT
- IVFD NaCl 20 gtt/i, Manitol 20 gtt/i
- Cefotaxim 1gr/12jam
- Paracetamol 1g/8jam
- Ondansetron 4mg/12jam
- Dexametason 2 amp  Extra
- Lasix 1 amp  Extra
- Vascon 0,3mcg/kg/mnt

Pasien direncanakan untuk dirujuk.

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDURAL HEMATOMA
1. Definisi
Epidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara
tengkorak dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural).
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri
meningens (a. Meningea media).Hematom epidural yang berasal dari
perdarahan vena lebih jarang terjadi (Sjamsuhidajat, 2013).

Gambar 1. CT Scan Epidural Hematom

2. Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:
1) Trauma kepala
2) Sobekan arteri/vena meningea mediana
3) Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum
4) Ruptur vena diplorica

7
3. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan
menjadi:
1) Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.
2) Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam–7 hari.
3) Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7.

4. Patofisiologi
Epidural hematoma sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila ada
benturan keras pada tulang tengkorak. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut
dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang
membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis
otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial
lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium(Hafid, 2014).
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla
oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat
nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinski positif (Hafid, 2014).
Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun (Hafid, 2014).

8
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval
terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada
subdural hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena
pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar
(Hafid, 2014).

Brief contact force

Cedera kepala berat atau fraktur kranium

Rupturarteri meningea media

Ruptur permukaan luar duramater

Perdarahan semakin cepat

Darah merembes diantara duramater dan kranium

Darah terkumpul

Bekuan darah membentuk massa

Menekan otak

Peningkatan tekanan intrakranial

Cedera otak sekunder

Kerusakan Koma Pembesaran Nyeri kepala Kematian


otak permanen pupil

9
5. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
1) Riwayat trauma
2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang
kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).
3) Adanya interval lucid, Interval lucid klasik muncul pada 20-50%
pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-
lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan
kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas
sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan
kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada
luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa
perdarahan epidural.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik (Mardjono, 2010; Sjamsir, 2011; Syamsuhidayat,
2014)
1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit
kepala, cephalohematoma, atau kontusio.
2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma
3) Trias Cushing klasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi sistemik,
bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul
ketika perfusi serebral.
4) Penilaian neurologis
1) tingkat kesadaran
GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini. GCS positif
berhubungan dengan hasil akhir
2) aktivitas motorik
3) Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena drift
pronator mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah

10
ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang
keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas
mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting.
tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.
4) pembukaan mata
5) respon verbal
6) reaktivitas dan ukuran pupil

c. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (Mardjono, 2010; Sjamsir, 2011;
Syamsuhidayat, 2014)
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung
trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan
epidural, baik spontan maupun trauma.
b. Pencitraan (Mardjono, 2010; Sjamsir, 2011; Syamsuhidayat, 2014)
1) CT-scan
a) CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif
dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas.
Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh
perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks.
Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan
menghambat ventrikel keempat (Mardjono, 2010; Sjamsir,
2011; Syamsuhidayat, 2014).
b) Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan
parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut
memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-
scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap)
setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai

11
isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau
level hemoglobin serum yang rendah (Mardjono, 2010; Sjamsir,
2011; Syamsuhidayat, 2014)
3) MRI
Perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek
massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas (Mardjono,
2010; Sjamsir, 2011; Syamsuhidayat, 2014).

6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Awal
1) Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan
segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing,
serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal).
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi
karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus
segera dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spinecontrol), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher.Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien dengan
multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga
pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw
thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang
secara otomatis melindungi vertebra servikal (Feliciano et
al.,2014).
2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi

12
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien
bernapassegera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi
dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau
terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35
mmHg (Feliciano et al.,2014).
3) Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan
Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak
jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala
karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam
timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan
oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial
yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks
dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang
hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah (Feliciano et
al.,2014).

b. Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20
menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi,
2012).

13
2) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/IV (Japardi, 2012).
3) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini
bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan
metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung
darikemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV
selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48
jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2012).
4) Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan
perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan
menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya
untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,
jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium
serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema
otak (De Jong, 2014). Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan

14
cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi
hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak (Seth & Morris,
2014).

5) Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma
kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca
trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa
memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP (Feliciano et al.,2014).
Pengobatan (Japardi, 2012):
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%
dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti
obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18
mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan
dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang.

c. Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat (American Collage Surgeon,
2014):
1) Volume hematoma > 25 ml
2) Keadaan pasien memburuk
3) Pendorongan garis tengah > 5 mm

15
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi
sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi
hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life
saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan
tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.Indikasi untuk
life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (American Collage
Surgeon, 2014):
1) >25 cc  desak ruang supra tentorial
2) > 10 cc  desak ruang infratentorial
3) > 5 cc  desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
(American Collage Surgeon, 2014):
1) Penurunan klinis.
2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.

d. Nonmedikamentosa
1) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30 derajat, dengan kepala dan
dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar (Japardi, 2012).
2) Nutrisi Adekuat
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses
ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam.

16
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2010-3000
kalori/hari (Japardi, 2012).

7. Prognosis
Prognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2012):
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
b. Besarnya
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya
baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus.
Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi (Heegaard & Biros, 2012).

B. MANAJEMEN ANESTESI
1. Preoperatif
a. Penilaian awal kondisi pasien
1) Penilaian neurologi (Dunn, 2010).
a) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana
dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan
status neurologis pasien dengan trauma kepala.
 Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
 Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
 Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
b) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris
ekstremitas harus secepatnya dinilai.
c) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang
berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama

17
ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks
atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks
maupun abdomen harus dilakukan segera.

2) Jalan nafas dan ventilasi (Bendo et al.,2011)


a) Intubasi
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan
nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena
semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang
penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada
krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan
selama digunakan laringoskop dan intubasi.
b) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi
c) Ventilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.
Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan
kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia,
harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction
bronkus dapat dilakukan.
3) Stabilisasi kardiovaskular (Bendo et al.,2011)
a) Resusitasi cairan.
 Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik
dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume
intravaskular yang adekuat.
 Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai
hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk
mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya
dipertahankan diatas 30%.

18
 Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena
hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.
Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai.

b) Inotropik dan vasopresor.


Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki
melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor
secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin
direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure
diatas 60 mmHg.
4) Penanganan peningkatan TIK (Bendo et al.,2011; Kirkness et al.,
2010).
a) Hiperventilasi.
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien
dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2
sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan
efektif menurunkan TIK.
b) Terapi diuretik.
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit
pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas
serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.
c) Posisi.
Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan
menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan
dimana tekanan darah sistemik menurun.
d) Kortikosteroid
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat
dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada

19
pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir
menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi
kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam
penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma
spinal.

2. Peri dan Intraopertif


Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi
respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan
hemodinamik sabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan
tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif (Bendo et al., 2011;
Ezekiel, 2014; Ezekiel et al., 2010).
a) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >
100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru
neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya
dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat
menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
b) Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti
cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopresor.
c) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).

20
Penanganan peningkatan TIK intraoperatif (Pattersen et al.,2012).
a) Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak
menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara
substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan
leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.

b) Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi
dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c) Sirkulasi
Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan
sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d) Diuretik
Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide
juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada
pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e) Drainase CSF
Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang
efektif dalam menurunkan TIK.

3. Postoperatif
a) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke
kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
b) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2
< 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
c) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh
kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri
rerata > 130 mmHg.

21
d) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.
Hematokrit pertahankan 33%.
e) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
f) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin
terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb)
perlahan –lahan selama 1-2 menit.

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Cedera kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan
mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan
outcome yang baik. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan
cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak,
menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter
bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan
sirkulasi.
Pemeriksaan pre operatifpada cedera kepala sama seperti pemeriksaan
rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan
intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya
serta hasil CT-scan.Peningkatan tekanan intrakranial pada CT-scan ditunjukkan
dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,
hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema
(adanya daerah hipodensitas). Tindakan pre operatif yang dilakukan pada pasien
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk
menentukan masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan
penyulit, melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi,
menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan anestesi yang
sesuai.
2. Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,
tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian tindakan
operatif serta resiko yang dapat terjadi.
3. Melakukan fluid challenge test
Fluid challenge test merupakan prosedur diagnostik yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik. Prosedur
ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sistem kardiosirkulasi pasien dan

23
sebagai panduan dalam melakukan resusitasi cairan. Terdapat empat
komponen penting dalam fluid challenge test diantaranya adalah jenis
cairan yang akan diberikan (kristaloid), kecepatan pemberian cairan ( 500-
1000 ml atau 10-20 ml/kgBB dalam 10-30 menit), target hemodinamik (
MAP > 70 mmHg, HR < 110x/m, produksi urin 0,5-1 ml/jam), serta
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya oedem pulmo.
Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila
diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan tidak
dikoreksi, maka pasien akan mengalami keadaan hipovolemia yang
selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya,
sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan oedem pulmo.
Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan diberikan
secara tepat.

24
DAFTAR PUSTAKA

American College Surgeon. 2014. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.
United States of America.
Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2011.
Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008
De Jong, Wim. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford
Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2010
Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies:
Handbook of Anesthesiology. 2014-2010 ed. Current Clinical Strategies
Publishing, USA. 2014.
Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2014. Trauma. 5th Ed. New
York: McGraw-Hill.
Gilroy, J. 2010. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.
Hafid, A. 2014. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819
Heegaard, William dan Michelle Biros.2012. Traumatic Brain Injury. Emerg Med
Clin N Am. 25: 655–678.
Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of
Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury.
Acta Neurochir, 2010; 95: 13-16.
Japardi, Iskandar. 2012. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available
at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf.
Diakses tanggal 23Maret 2018.
Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend
CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of
Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2012.

25
Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine.2012.Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2014. Blueprints
Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Snell R.S. 2011. Neurologi Klinik, Edisi ke dua. Jakarta: EGC.
Mardjono M., Sidarta P., 2010. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256.
R. Syamsuhidayat.2014. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2; EGC; Jakarta

26

Anda mungkin juga menyukai