Anda di halaman 1dari 3

Indonesia Dibawah Bayang Revolusi Tanpa Arah

Aksi jalanan yang merupakan bentuk kekecewaan, yang diikuti puluhan ribu massa dari
berbagai elemen gerakan yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, yang
menandai 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Aksi yang berlangsung bulan kemarin
itu, adalah kumpulan massa yang cair dari berbagai arus kepentingan dan dengan
latarbelakang ideologi. Mulai dari kelompok kiri (sosialis) hingga aliansi aktifis Islam
semua tumpah ruah.

Aksi ini serempak berlangsung di 30 kota-kota di Indonesia, dari ujung barat Indonesia
(Aceh) hingga kawasan Timur Indonesia (Ambon, Maluku). Aksi ini adalah kesekian kali
dari aksi-aksi sebelumnya yang menyuarakan ketidakpuasaan atas berbagai kasus sosial
politik dan hukum yang menilai pemerintahan SBY-Boediono sangat lamban bahkan
lemah. Lebih dari itu menempatkan presiden terpilih SBY, sebagai troubel maker (sumber
masalah) dari berbagai persoalan kebangsaan yang mengusik nurani dan rasa keadilan
rakyat.

Pemerintahan SBY, dianggap begitu banyak memiliki celah yang bisa dimanfaatkan
untuk meng-agitasi massa untuk terlibat aksi jalanan dengan meneriakan berbagai
tuntutan. Banyak kasus menonjol, dari drama “Cicak-buaya”, ganyang ”Markus” yang
menampakkan betapa bopengnya wajah hukum dan keadilan dan citra penegak hukum
(kejaksaan, kepolisian, pengadilan) yang rusak. Hingga munculnya “Century gate” yang
makin memberikan angin bagi elemen yang sudah meradang dan tipis kesabarannya
untuk bertekad bukan sekedar menyatakan sikap, tapi sudah dengan target “pemakzulan”
melalui aksi jalanan.

DPR bukan menjadi tempat tumpuan harapan, karena DPR yang dipilih rakyat langsung
kenyataannya, hanya menjadi sekumpulan orang untuk membela mati-matian dan
menyokong kekuasaan yang ada melalui koalisi. DPR tidak memiliki kepekaan atas
tuntutan rakyat, bahkan berdiri bersebarangan dengan arus kepentingan rakyat. Ada
sebagian yang 'wait and see' (melihat dan menunggu) bersikap oposan sambil
merumuskan plan A, B, deal-deal politik dengan pelaku lapangan (ekstraparlementer.
Mereka berharap dapat meraup keuntungan, jika ada perubahan dilingkaran kekuasaan,
akibat tragedi politik yang terus berjalan tanpa kendali.

Pemerintahan SBY-Boediono dinilai gagal dalam berbagai aspek, menjadi pemimpin


yang terjebak dengan program 100 hari yang tidak jelas, tidak menggigit, tidak nyata dan
hanya penuh retorika.

Dalam pemberanasan korupsi dinilai gagal, bahkan dari 15 program unggulan dalam 100
hari pertama pemerintahan SBY, tidak secara eksplisit menjadikan pemberantasan
korupsi sebagai pilihan utama. Pemberantasan korupsi diminimalisasi dalam
pemberantasan mafia hukum, bahkan kekeliruan terlihat oleh lambannya respons
pemerintah untuk menyelesaikan kasus konflik KPK dan Polri dan masalah bail out Bank
Century.
Sosialisasi program 100 hari yang dimulai dengan event National Summit tenggelam
ketika Mabes Polri melakukan penahanan Bibit dan Chandra. Tanpa disadari juga yang
dilakukan oleh pemerintah adalah penegasian kelembagaan sistem penyelesaian keluhan
yang telah ada, ketika Presiden SBY merespons masalah mafia hukum yang mengemuka
dengan membentuk PO BOX 9949 dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk
menampung keluhan-keluhan korban mafia hukum. Sebenarnya model kuno yang sudah
tidak efektif lagi.

Kejadian ini justru mengedepankan problem lama dari pemerintahan SBY yaitu buruknya
koordinasi dan sinergi antara kelembagaan pemerintah. Belum lagi ditambah, fasilitas
pejabat dengan mobil mewah yang menghamburkan uang negara, membangun pagar
istana, dan rencana membeli pesawat khusus kepresidenan yang makin dirasakan rakyat.
Penguasa betul-betul tidak peka atas duka dan derita rakyat. Belum lagi harus
menghadapi gurita ekonomi Cina dengan melalui CAFTA, makin membuka peluang
lebar meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Lemah dan mulai pudarnya pengaruh kekuasaan SBY dianggap menjadi titik kritis dan
nyata berdasarkan berbagai krisis dan isu kebangsaan. Sampai-sampai kasus aksi dengan
membawa kerbau “Si Bu Ya” mengalir begitu saja. Dan kesan ini pula yang disadari SBY
untuk segera melakukan konsolidasi ditingkat lembaga-lembaga tinggi negara, dan secara
khusus road show di institusi TNI untuk memastikan semua dalam barisan untuk
menyokong Presiden

Tehnik “ancaman” dengan tema reshuffle kabinet, hingga penuntasan para pengemplang
pajak juga ditebar untuk menjaga arus isu tetap dalam kendali kekuasaan. Begitu juga
dengan nalar demokrasi dibangun untuk mengukur dan membelokkan tuntutan aksi-aksi
jalanan yang menghendaki SBY segera menonaktifkan Boediono dan Sri Mulyani dari
jabatanya.

Bahkan Presiden Yudjoyono dan Wakil Presiden Boediono harus mundur dari
jabatanya.Logikanya adalah, rakyat yang tumpah dijalan dipandang belumlah cukup
untuk merepresentasikan dari sekian puluh juta orang yang memilih dia secara langsung.
Bahkan dengan retorika, demokrasi membuka ruang lebar untuk menyuarakan aspirasi
dan tuntutan itu harus di akomodir melalui mekanisme demokrasi yang disepakati.

Namun SBY membuat blunder (kesalahan), ketika aksi jalanan dengan tuntutan
mundurnya SBY, Presiden menegaskan bahasa “pemakzulan” tidak dikenal dalam UU di
negeri ini. Jika harus melalui mekanisme DPR, maka ini adalah solusi politik yang penuh
intrik tidak banyak bisa diharapkan. Kasus “masuk angin”, “mabuk daratan” dan berbagai
macam tuduhan lainya diberikan kepada DPR, jika diharapan bisa membela kepentingan
dan tuntutan rakyat.

Perubahan yang kabur

Terasa sangat tajam jika melihat berbagai sepanduk dan jargon yang selalu diusung
berbagai komponen gerakan, ketika mereka turun aksi kejalan. Ganti rezim dan ganti
sistem, adalah jargon utama bahkan yang kesannya cukup ideologis ketika mengerucut
dengan kalimat “Tolak Neoliberalisme”.

Ada GIB (Gerakkan Indonesia Bersih), yang mengklaim lebih 66 elemen yang
bergabung, dan GIB sendiri di prakarsai sekitar 20 orang. Dan klaimnya kini telah
memperoleh basis dukungan dari berbagai elemen, mahasiswa, buruh dan petani.

Sejak awal telah menyodok dengan statemen, SBY secara moral sudah tidak layak lagi
menjabat sebagai Presiden.Dan aksi-aksi yang digerakkan adalah sebagai bentuk
kekecewaan atas kegagalan pemerintahan SBY.

Di lapangan sendiri komponen yang terjun sangat beragam, ada dari kelompok sosialis-
demokrasi (sosdem), nasionalis, dan dari kelompok aktifis Islam bahkan juga ada elemen
tandingan yang menyokong status quo. Uji coba “revolusi” untuk ganti rezim dan ganti
sistem tidak berhenti di suarakan pada momentum 100 hari pemerintahan SBY. Tapi ini
dianggapnya sudah menjadi bola salju yang terus bergulir makin besar dan akan
menggilas status quo ketika menemukan momentum.

Maka ending Century-Gate (rencananya 4 maret) melalui pansus DPR di jadikan pintu
masuk kembali untuk menekan, melalui aksi jalanan dengan target turunnya SBY. Usaha-
usaha menggalang kekuatan dari berbagai elemenpun di lakukan, oleh para penggerak
aksi dan revolusi ini. Diantaranya yang dianggap komponen kunci adalah dari kelompok
Islam, ormas-ormas Islam yang memiliki basis massa riil perlu didekati dengan berbagai
strategi agar terlibat dalam “pemakzulan” jalanan ini.Seperti elemen yang baru
dideklarasikan, Front Umat Islam Bersatu Untuk NKRI” di Gedung Juang 45 jakarta
Jumat (12/2).

Tapi lagi-lagi yang sangat miris adalah, ketika obsesi “ganti rezim, ganti sistem” ini tidak
pernah terungkap dari para “petualang politik” yang bernafsu menurunkan SBY, secara
serius menyiapkan format ideal apa yang akan menjadi alternatif pengganti jika sekiranya
rezim dan sistem ini benar-benar runtuh.

Opurtunisme dan pragmatisme dalam ranah gaung “revolusi” menjadi warna yang cukup
dominan, seolah tidak pernah belajar dari pengalaman reformasi yang ujungnya adalah
mengokohkan sistem bobrok sekuler-liberal. Jangan sampai kata “revolusi” itu meluncur
deras seperti dari bibir seorang Ibu Gayatri (Nasabah Century) yang dikibuli.

'Gerakan revolusi' sepertinya tidak menyadari wujud pemerintahan dan sistem baru apa
yang akan menjadi penggantinya? Dari sini umat Islam harusnya tidak mudah terjebak
dan tetap konsisten Islam dan Syariahnya menjadi gaung dan setiap tuntutan perubahan
yang niscaya ini. (abu haritz ulya/dpp hti)

Tuesday, 16/02/2010 13:39 WIB | email | print | share

Anda mungkin juga menyukai