Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penuaan merupakan proses yang wajar terjadi pada manusia seiring dengan
bertambahnya usia. Proses penuaan tersebut berpengaruh pada perubahan semua sistem
dalam tubuh termasuk pada sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal terdiri dari
sistem muskulus dan skeletal. Beberapa perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal
lansia mencakup perubahan anatomi dan fisiologis. Perubahan tersebut berdampak pada
penurunan fungsi tubuh yang akan berlanjut pada penurunan fungsi tubuh secara keseluruhan
sehingga kegiatan sehari-hari dapat terganggu.

Perubahan umum yang terjadi pada sistem muskuloskeletal berupa sarkopenia


(kehilangan massa dan fungsi otot) dan osteopenia atau osteoporosis (kehilangan massa
tulang) pada usia lanjut ketika tidak diobati akan menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang besar untuk populasi lansia dan dapat mengakibatkan hilangnya kemandirian di
kemudian hari ( Colón, et al., 2018). Selain itu, beberapa kondisi patologis dapat muncul
seperti artritis yang mencakup osteoarthritis (OA), polymyalgia rheumatica (PMR),
rheumatoid arthritis (RA), dan gout serta osteoporosis (Tabloski, 2014; Touhy & Jett, 2014).
Penyakit-penyakit di atas dapat memperburuk kondisi lansia bahkan sampai mengganggu
aktivitas fisik rutin yang biasa dilakukan oleh lansia.

Perubahan fisiologis dan patolgis pada sistem muskuloskeletal lansia seharusnya


dapat diantisipasi sedari dini agar proses penuansaan yang berakibat pada perubahan
fisiologiss dan patologis tidak menimbulkan dampak yang lebih besar Dengan bertambahnya
jumlah lansia muncul juga peningkatan penyakit dan kondisi ini umumnya mempengaruhi
populasi tersebut. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas perubahan fisiologis dan
patologis pada lansia khususnya pada sistem muskuloskeletal yang dikaji dari berbagai
sumber literatur.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang meliputi tulang,
otot, sendi, dan syaraf pada lansia?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistem muskuloskletal pada lansia?
3. Apakah gangguan yang sering terjadi pada sistem muskuloskeletal lansia?
4. Apakah pengkajian yang perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sistem
muskuloskeletal pada lansia?
5. Apakah pengkajian yang diperlukan untuk menilai risiko jatuh pada lansia?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Menguraikan perubahan fisiologis sistem muskuloskeletal pada lansia
1.3.2 Tujuan khusus
1. Menguraikan perubahan yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang meliputi
tulang, otot, sendi, dan syaraf pada lansia
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistem muskuloskeletal pada
lansia
3. Mengetahui gangguan yang sering terjadi pada sistem muskuloskeletal lansia
4. Menguraikan pengkajian yang dilakukan untuk mengetahui kondisi sistem
muskuloskeletal pada lansia
5. Menguraikan pengkajian yang diperlukan untuk menilai risiko jantuh pada lansia
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode Question Based Learning dengan studi
literature dan kajian pustaka seperti buku, jurnal dan sumber informasi lain terkait pengertian,
perkembangan dan hubungan geriatrik, gerontologi dan gerontik serta peran perawat
gerontik.

1.5 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab 2 terdiri dari perubahan fisiologis sistem
muskuloskeletal berupa perubahan pada oto, tulang, sendi, dan syaraf pada lansia. Selain itu
pada Bab 2 juga diuraikan mengenai faktor-faktor yang mempengarhui fungsi sistem
musculoskeletal, menguraikan gangguan yang sering terjadi pada sistem musculoskeletal
lansia, menguraikan pengkajian sistem muskuloskeketal dan risiko jatuh pada lansia. Bab 3
Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Sistem Muskuloskeletal dan Perubahannya


Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang terdiri dari tulang, sendi, dan otot.
Sistem tersebut paling erat kaitannya dengan mobilitas fisik individu. Seiring
bertambahnya usia, terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada sistem
musculoskeletal yang terdiri dari tulang, otot, sendi, dan saraf.
2.1.1 Perubahan Fisiologis Tulang
Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendi
yang menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulang
tersebut sangat kuat namun relatif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah
memberikan bentuk dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga
berperan untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak
dan mata, tulang rusuk yang melindungi jantung, serta tulang belakang yang
melindungi sumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka ini juga terdapat tendon
otot yang mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006).
Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus
melakukan remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara
umum, perubahan fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral
tulang. keadaan tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian
terjatuh. Selain itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut dengan
osteopenia. Jika tidak ditangani segara osteopenia bisa berlanjut menjadi osteoporosis
yang ditandai dengan karakteristik berkuranganya kepadatan tulang dan
meningkatkan laju kehilangan tulang.
Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain:
1. Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan untuk
remodeling)
2. Arbsorbsi kalsium berkurang
3. Meningkatnya hormon serum paratiroid;
4. Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast;
5. Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik dari
matriks tulang; dan
6. Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada laki-laki.
2.1.2 Perubahan Fisiologis Otot
Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara langsung
berdampak pada kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis pada otot yang terjadi
pada lansia disajikan dalam tabel berikut ( Colón, et al., 2018).
Perubahan Efek Fungsional

Peningkatan variabilitas dalam ukuran Peningkatan heterogenitas jarak kapiler,


serat otot karena kapiler dapat hanya terletak di tepi
serat berdampak negatif terhadap
oksigenasi jaringan

Kehilangan massa otot Penurunan kekuatan dan tenaga

Serabut otot (fiber) tipe II menurun Terjatuh

Infiltrasi lemak Kerapuhan atau otot melemah

Secara keseluruhan akibat dari perubahan kondisi otot yang berhubungan


dengan bertambahnya usia disebut sarkopenia. Sarkopenia adalah kehilangan masa,
kekuatan dan ketahanan otot (Miller, 2012). Berikut penampang mikroskoping tulang
dan otot dalam keadaan normal dan dalam kondisi patologis
Gambar 1 Penampang mikroskoping tulang dan otot
Sumber: Colón, et al., (2018)

2.1.3 Perubahan pada Sendi dan Jaringan Ikat


Proses degeneratif memengaruhi tendon, ligamen, cairan synovial. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada sendi meliputi :
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek

Sendi Menurunnya viskositas cairan Menurunnya perlindungan ketika


synovial bergerak (Miller, 2012).
 Erosi tulang (Miller, Menghambat pertumbuhan tulang
2012). (Miller, 2012).
 Mengecilnya kartilago
 Degenerasi gen dan sel Penurunan elastisitas, fleksibilitas,
elastin. stabilitas, dan imobilitas (Kurnianto,
 Ligamen memendek 2015).
 Fragmentasi struktur
fibrosa di jaringan ikat.
 Pembentukan jaringan
parut di kapsul sendi dan
jaringan ikat (Miller,
2012).
Penurunan kapasitas gerakan, Gangguan fleksi dan ekstensi
seperti: penurunan rentang sehingga kegiatan sehari-hari menjadi
gerak pada lengan atas, fleksi
punggung bawah, rotasi
eksternal pinggul, fleksi lutut,
dan dorsofleksi kaki (Miller,
2012).

terhambat.
Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen pada jaringan
penyambung meningkat secara progresif (Stanley, et. al., 2007). Efek perubahan pada
sendi ini adalah gangguan fleksi dan ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur berserat,
berkurang perlindungan dari kekuatan gerakan, erosi tulang, berkurangnya kemampuan
jaringan ikat (Miller, 2012), inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas
(Stanley, et. al., 2007).

2.1.4 Perubahan pada Saraf


Proses degeneratif memengaruhi gerak refleks, sensasi, dan posisi sendi.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada saraf meliputi:
Organ/Jaringan Perubahan Fisiologis Efek

Saraf  Penurunan gerakan  Berjalan lebih lambat.


refleks.  Berkurangnya respon terhadap
 Gangguan proprioception rangsangan lingkungan (Miller,
terutama pada wanita. 2012).
 Berkurangnya rasa sensasi
getaran dan posisi sendi
pada ektremitas bagian
bawah (Miller, 2012).
Perubahan kemampuan visual Perubahan pemeliharaan dalam posisi
tegak

Perubahan kontrol postural Peningkatan goyangan tubuh yang


merupakan tolak ukur dari gerakan
tubuh saat berdiri (Miller, 2012).

Adapun ringkasan perubahan fisiologis pada sistem muskuloskeletal digambarkan


dalam gambar berikut.

Gambar 2 Perubahan Fisiologis pada Sistem Muskuloskeletal


Sumber: Tabloski (2014)

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Muskuloskeletal


Berdasarkan rilis Joint Essential pada tahun 2013 berjudul ‘What Are The
Effects Of Aging On The Musculoskeletal System?’
 Gangguan hormon. Riwayat gangguan hormon yang tidak teratasi dengan baik dapat
menyebabkan metabolisme ke tulang maupun otot tidak optimal. Sebagai contoh,
hipertiroidisme berhubungan erat dengan kelemahan otot dan meningkatkan risiko
fraktur akibat demineralisasi tulang.
 Penyakit sistemik. Penyakit sistemik dapat berupa gangguan vaskuler atau
metabolik. Sebagai contoh, lansia dengan diabetes akan mengalami gangguan laju
atau volume pengiriman nutrisi yang dibutuhkan untuk remodeling jaringan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk mengontrol proses patologis untuk mengoptimalkan
penyembuhan dan potensi perbaikan sistem muskuloskeletal.
 Faktor diet. Kekurangan nutrisi vitamin esensial (seperti vitamin D dan vitamin C
yang memainkan peran penting dalam pertumbuhan fungsional otot dan tulang),
kurangnya mineral tertentu (seperti kalsium, fosfor dan kromium dll) dapat menjadi
hasil dari masalah pencernaan yang berkaitan dengan usia. Dengan demikian, terjadi
penurunan penyerapan dari usus atau ketidakseimbangan dalam produksi hormon
tertentu yang mengatur konsentrasi serum vitamin dan mineral seperti kalsitonin,
vitamin D, hormon paratiroid (karena tumor yang sangat lazim di usia lanjut). Diet
yang sangat baik ialah diet yang kaya akan mikro-nutrisi dalam kualitas tinggi
sehingga mampu menurunkan risiko pengembangan cacat tulang dan kelemahan otot
sebagai bagian dari proses penuaan.
 Minimnya aktivitas fisik. Perubahan sistem muskuloskeletal dapat diperlambat
dengan melakukan olahraga karena dapat meningkatkan kemampuan untuk
mempertahankan kekuatan dan fleksibilitas sistem muskuloskeletal. Normalnya
dalam satu hari, setidaknya 30 menit aktivitas lansia diisi dengan olahraga ringan
(Miller, 2012). Beberapa olahraga yang terkenal dikalangan lansia yaitu Tai chi,
yoga, dan pilates (Arenson, 2009). Selain itu, berjalan juga merupakan olahraga
yang mudah dan tidak membutuhkan banyak peralatan sehingga dapat dilakukan
oleh lansia.
Jika faktor-faktor tersebut di atas tidak tertangani dengan baik, dapat berubah
menjadi penurunan fungsi muskuloskeletal pada lansia. Penurunan fungsi
muskuloskeletal dipicu oleh tiga faktor (Fillit, Rockwood & Young, 2017) yaitu :
1. Efek penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal, misalnya tulang rawan
artikular, kerangka, jaringan lunak, memberikan kontribusi untuk pengembangan
osteoporosis dan osteoarthritis serta penurunan gerakan sendi, kekakuan, dan
kesulitan dalam memulai gerakan.
2. Gangguan muskuloskeletal berhubungan dengan penuaan yang mulai terjadi pada
masa dewasa muda menyebabkan peningkatan rasa sakit dan cacat tanpa
memperpendek rentang hidupnya, misalnya seronegatif spondyloarthritis, trauma
muskuloskeletal.
3. Tingginya angka kejadian gangguan muskuloskeletal tertentu pada lansia, misalnya
polymyalgia rheumatica, penyakit Paget tulang, arthropathies terkait kristal.
BAB III
TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN
2.4 Pengkajian Umum pada Sistem Muskuloskeletal
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan berupa
pengumpulan informasi yang bersifat sistematis mengenai status kesehatan klien
(Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013). Menurut Miller (2012), pengkajian pada sistem
muskuloskeletal berfokus pada mengidentifikasi risiko jatuh, patah tulang, dan
osteoporosis. Pengkajian muskuloskeletal dapat diawali dengan mengajukan
pertanyaan dan pengamatan mengenai mobilitas dan aktivitas lansia. Perawat dapat
mengawali menggunakan pertanyaan seperti “apakah Anda kesulitan melakukan
aktivitas biasa karena keterbatasan sendi?”, “apakah Anda merasa sakit atau tidak
nyaman di persendian?”, “apakah Anda pernah merasa kehilangan keseimbangan?”,
“apakah Anda kesulitan berjalan atau berkeliling?”, “apakah Anda menggunakan alat
bantu berjalan?” (Miller, 2012). Selanjutnya, mengajukan pertanyaan terkait risiko
untuk osteoporosis. Perawat dapat menggunakan pertanyaan seperti “apakah Anda
memiliki keluarga yang menderita osteoporosis atau yang mengalami patah tulang di
usia lanjut?”, “apakah Anda pernah mengalami patah tulang?”, ”apakah Anda
mengonsumsi suplemen kalsium atau vitamin D?" (Miller, 2012).
Pengkajian pada sistem muskuloskeletal lansia yang pertama dapat dimulai
dengan mengidentifikasi risiko jatuh. Kondisi seperti osteoporosis dapat
meningkatkan risiko jatuh pada lansia. Kejadian jatuh dapat menyebabkan cedera
termasuk penurunan fungsi, patah tulang, bahkan kematian (Cary & Lyder, 2011).
Dalam melakukan pengkajian risiko jatuh, pengkajian harus bersifat multidimensi dan
sebaiknya diawali dengan mengobservasi lansia di lingkungan tempat tinggalnya dan
benda-benda di sekitar tempat tinggalnya (Miller, 2012). Tempat tinggal merupakan
lokasi tersering pada lansia yang mengalami kejadian jatuh yang disebabkan oleh
interaksi beragam yang berkembang sepanjang waktu dan barang-barang di
lingkungan lansia (Zecevic, Salmoni, Lewko, Vandervort, & Speechley, 2009 dalam
Miller, 2012). Pertanyaan yang dapat diajukan perawat terkait risiko jatuh, seperti
“apakah Anda pernah jatuh dalam beberapa tahun terakhir?” dan “apakah Anda takut
jatuh?” (Miller, 2012).
Lansia cenderung mengalami penurunan tinggi badan dan perubahan postur
(Miller, 2012). Lansia mungkin tidak peduli atau menyadari kehilangan tinggi badan,
namun kehilangan sekitar 2 hingga 4 cm per dekade adalah normal, karena
osteoporosis dan perubahan terkait usia lainnya. Implikasi penilaian lain dari
penurunan tinggi badan adalah celana yang digunakan lansia mungkin terlalu panjang,
terutama jika orang tersebut juga telah kehilangan berat badan (Miller, 2012). Oleh
karena itu, perawat perlu mengamati apakah panjang pakaian meningkatkan risiko
jatuh karena risiko ini dapat dikurangi melalui intervensi yang relatif sederhana.
Banyak alat penilaian jatuh yang telah dikembangkan dan tersedia dalam
pengaturan yang berbeda. Tujuan dari alat tersebut yaitu untuk mengidentifikasi
pasien yang berisiko jatuh sehingga langkah-langkah pencegahan dapat
diimplementasikan (Miller, 2012). Perawat dapat menilai gaya berjalan dan
keseimbangan dengan Time Up and Go Test (TUG) (Miller, 2012; CDC, 2017).
Perawat dapat meminta pasien untuk duduk di kursi dengan sandaran tangan, berdiri
dari kursi dan berjalan beberapa langkah, kemudian berbalik dan kembali ke kursi
(Miller, 2012). Lansia dengan waktu lebih dari 12 detik untuk menyelesaikan TUG
berarti mengalami risiko jatuh (CDC, 2017).
Perawat juga dapat mengamati pola berjalan yang biasa dari lansia tersebut,
memberikan perhatian khusus pada gaya berjalan atau keseimbangan. Setelah
diobservasi, perawat dapat menanyakan kepada lansia terkait kemampuan dalam
melaksanakan aktivitas harian (Activity Daily Life) (Miller, 2012). Ketika
teridentifikasi bahwa lansia memiliki kelemahan atau terbatas dalam melakukan
aktivitas, identifikasi kembali apakah lansia menggunakan alat bantu untuk membantu
mobilitas, keseimbangan; alat bantu keselamatan, dan kemandirian (Miller, 2012).
Jika pasien tidak menggunakan alat bantu, perawat dapat mengkaji pengetahuan
lansia terkait sikap atau pendapat mereka terhadap pemakaian alat bantu. Hal ini
bertujuan agar perawat dapat merekomendasikan perawatan seperti apa yang tepat
untuk lansia.
Yayasan Hartford untuk Keperawatan Geriatrik merekomendasikan
penggunaan Model Risiko Jatuh Hendrich II sebagai alat berbasis bukti untuk menilai
risiko jatuh (Hendrich, 2007, dalam Miller, 2012). Dalam form tersebut, mencakup
faktor risiko dan TUG. Faktor risiko yang tertulis dalam form yaitu
Kebingungan/Disorientasi/Impulsivitas, Depresi simtomatik, Altered elimination,
pemberian obat antiepilepsi dan obat Benzondiazapines. Untuk penilaian TUG, jika
nilai sama dengan atau lebih dari 5 maka berisiko tinggi (Miller, 2012). Selain itu,
dapat pula menggunalan alat penilaian lainnya, seperti Morse Fall Scale atau Tinetti
Gait and Balance Assessment (Cary & Lyder, 2011).
Pengkajian sistem muskuloskeletal berikutnya yaitu pengkajian keseimbangan
yang dapat dilakukan menggunakan pengkajian Berg Balance Scale (BBS). Berg
Balance Test mencakup 14 perintah yang dinilai menggunakan skala ordinal (Berg,
Wood, Williams, & Maki, 1992). BBS dikembangkan pada tahun 1990-an yang
didesain untuk membantu menentukan perubahan fungsi keseimbangan baik statis
(saat diam) maupun dinamis (saat bergerak) pada lansia. Instrumen ini mengkaji
perfomans dalam lima tingkat, dari 0 (tidak dapat melakukan perfomans) sampai 4
(perfomans normal), dengan melakukan 14 kegiatan yang berbeda (Berg, Wood,
Williams, & Maki, 1992).
Pengkajian membutuhkan waktu selama 15-20 menit untuk menyelesaikan
kegiatan. Skor 0 sampai 20 menunjukkan risiko jatuh tinggi, 21 sampai 20
menunjukkan risiko jatuh sedang, dan 41 sampai 56 menunjukkan risiko jatuh rendah
(Berg, Wood, Williams, & Maki, 1992). Berikut ini mencakup penilaian dalam BBS,
yaitu (1) duduk untuk berdiri; (2) berdiri tidak didukung; (3) duduk tidak didukung;
(4) berdiri untuk duduk (5) transfer; (6) berdiri dengan mata tertutup; (7) berdiri
dengan kedua kaki; (8) maju dengan tangan terulur; (9) mengambil objek di lantai;
(10) beralih untuk melihat ke belakang; (11) berputar 360 derajat; (12) menempatkan
salah satu kaki di bangku; (13) berdiri dengan satu kaki di depan; (14) berdiri dengan
satu kaki (Berg, Wood, Williams, & Maki, 1992).
Pengkajian sistem muskuloskeletal yang ketiga yaitu pengkajian kekuatan
otot. Metode yang paling umum digunakan untuk menilai kekuatan otot adalah skala
Medical Research Council Manual Muscle Testing (Naqvi, 2017). Metode ini
melibatkan pengujian otot-otot kunci dari ekstremitas atas dan bawah pasien untuk
melawan penahanan dari pemeriksa yang menilai kekuatan pasien pada skala 0 hingga
5. Berikut hasilnya, yaitu skala 0: tidak ada pergerakan otot; skala 1: ada pergerakan
otot, seperti kedutan, tanpa mencapai jangkauan gerak penuh; skala 2: pergerakan otot
dengan gravitasi dihilangkan, mencapai rentang gerak penuh; skala 3: pergerakan otot
melawan gravitasi, berbagai gerak penuh; skala 4: pergerakan otot melawan beberapa
penahan, berbagai gerak penuh; skala 5: pergerakan otot dapat melawan pemeriksa
(Naqvi, 2017). Otot-otot yang teruji meliputi fleksor siku, ekstensor siku, ekstensor
pergelangan tangan, fleksor jari, fleksor pinggul, ekstensor lutut, dorsofleksi,
instrinsik tangan, fleksor plantar (Naqvi, 2017).
Selain melakukan anamnesis, perawat pun melakukan pemeriksaan fisik untuk
menilai sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi kelainan pada
sistem muskuloskeletal dikenal dengan “GALS” (pemeriksaan skrining) yang terdiri
dari cara berjalan, lengan, kaki, dan tulang belakang (Arthritis Research UK, 2011).
Kemudian terdapat REMS yaitu pemeriksaan regional dari sistem muskuloskeletal
yang mengacu pada pemeriksaan yang lebih rinci yang harus dilakukan setelah suatu
kelainan telah terdeteksi baik melalui riwayat kesehatan atau melalui pemeriksaan
skrining (GALS). REMS melibatkan pemeriksaan sekelompok sendi yang
dihubungkan oleh fungsi, dan mungkin memerlukan pemeriksaan neurologis dan
vaskular yang rinci. Pemeriksaan REMS terdiri dari pemeriksaan pada tangan dan
pergelangan tangan, siku, bahu, pinggul, lutut, kaki dan pergelangan kaki, serta
punggung (Arthritis Research UK, 2011). Perawat dapat memeriksa sendi dan otot
untuk menilai nyeri, bengkak, kehangatan, dan kemerahan (Touhy, & Jett, 2014).
Tangan pasien diperiksa untuk melihat ada tidaknya osteofit. Jika ditemukan cacat
jari-jari pada sendi bagian distal disebut sebagai Node Heberden dan Node Bouchard
pada sendi bagian proksimal.

Gambar 4 Node Heberden dan Node


Bouchard

Sumber: Touhy & Jett (2014)

2.5 Pengkajian Risiko Jatuh pada Lansia


Menurut Herdman & Kamitsuru (2014), risiko jatuh adalah kondisi dimana
terjadi peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik.
Hal ini dapat meningkat jika klien mengalami penurunan dari fungsi
muskuloskeletalnya karena dapat mengganggu kondisi keseimbangan klien itu
sendiri. Faktor risiko yang dapat meningkatkan untuk terjadinya risiko jatuh terdiri
dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti usia, kognitif, dan
kondisi fisiologis seperti usia yang lebih dari 65 tahun, riwayat jatuh, penyakit akut,
anemia dan faktor eksternal seperti lingkungan dan medikasi misalnya penggunaan
alat bantu, lingkungan yang berantakan, paparan tidak aman, pencahayaan tidak
memadai, dan lain-lain.
Penggunaan medikasi yang dapat memperbesar risiko jatuh seperti diuretik,
benzodiazepin, antikonvulsan, agen antiparkinson, antiaritmia, obat
penenang/hipnotik, antidepresan, analgesik opioid, dan lain-lain (Marquis, Foreman,
Milisen, & Fulmer, 2010). Namun obat antidepresan adalah obat yang paling
konsisten sebagai penyebab terjadinya risiko jatuh. Obat-obatan ini dapat membuat
klien merasa kebingungan, depresi, sedasi, aritmia, hipovolemia, hipotensi ortostatik,
fungsi kognitif berkurang, dan perubahan gaya berjalan dan keseimbangan (misalnya
ataksia, penurunan proprioception, dan meningkatkan body sway) (Marquis, Foreman,
Milisen, & Fulmer, 2010). Namun bahaya lingkungan yang meningkatkan risiko jatuh
termasuk kekacauan, pencahayaan yang buruk, dan kurangnya pegangan tangan di
tangga atau pegangan di kamar mandi. Lingkungan merupakan faktor risiko eksternal
yang dapat memengaruhi individu lansia.
Pengkajian yang dilakukan yaitu, pertama adalah dilakukan anamnesa
sekaligus melakukan pengkajian fisik seperti kaji performa dari sistem
muskuloskeletal yang dapat dilakukan dengan pengamatan mobilitas dan aktivitas
individu lansia. Tanyakan apakah ada rasa yang tidak nyaman pada sendi atau otot
dari lansia tersebut. Dapat juga perawat melakukan pengkajian mengenai keluhan
yang dialami klien. Misalnya klien memang mempunyai penyakit sendi atau tulang
tertentu. Lalu mengidentifikasi risiko osteoporosis serta mengkaji faktor-faktor risiko
yang dapat dimodifikasi, seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol maupun faktor
yang tidak dapat dimodifikasi seperti kondisi penyakit (Miller, 2012)
Pengkajian selanjutnya adalah kaji risiko terjatuh dan luka. Apakah ada
kondisi tertentu yang membuat klien terjatuh atau sulit untuk bergerak. The Hartford
Foundation for Geriatric Nursing merekomendasikan penggunaan Hendrich II Fall
Risk Model dalam pengaturan kelembagaan sebagai alat berbasis bukti untuk menilai
risiko jatuh pada lansia (Miller, 2012). Selain dengan menggunakan Hendrich II Fall
Risk Model, pengkajian risiko jatuh dapat dilakukan dengan Morse Fall Scale.
Hasilnya adalah score 0-24 berarti klien tidak memiliki risiko jatuh, 25-50 berarti
memiliki risiko jatuh walaupun rendah, sedangkan lebih dari 51 memiliki risiko jatuh
yang tinggi.
Selain pengkajian fisik, pada klien dengan risiko jatuh dapat juga dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti tes diagnostik dan laboratorium. Namun data ini
hanyalah sebagai pendukung. Pemeriksaan penunjang ini berupa tes densitas mineral
tulang (Bone mineral density test) untuk mengukur densitas mineral tulang. Lalu
terdapat Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA) (Phelan, Mahoney, Voit, &
Stevens, 2016). DEXA untuk memprediksikan risiko fraktur pada tulang belakang,
dan pergelangan tangan. Pemeriksaan x-ray merupakan teknik untuk mendiagnosa
dan mendeteksi semua penyakit rematik tulang dan untuk mendiagnosa adanya
keretakan. X-ray mendeteksi struktur muskuloskeletal, integritas, tekstur, dan masalah
densitas. Computerized tomography (CT scan) dan magnetic resonance imaging
(MRI) untuk mendeteksi gambaran dari area kecil jaringan/kondisi tertentu sehingga
dapat mendiagnosa dengan lebih detil dan tepat (Phelan, Mahoney, Voit, & Stevens,
2016).
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem muskuloskeletal yang ada pada lansia akan mengalami perubahan fisiologis
tertentu yaitu perubahan pada tulang, sendi, otot, dan saraf. Perubahan ini dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti gangguan hormon, penyakit sistemik, faktor diet, dan aktivitas fisik yang
kurang. Faktor ini dapat memicu terjadinya gangguan pada sistem muskuloskeletal.
Gangguan ini misalnya osteoporosis dan arthritis. Perubahan pada sistem muskuloskeletal ini
dapat menimbulkan berbagai macam masalah misalnya lansia lebih rentan untuk mengalami
risiko jatuh, patah tulang, dan osteoporosis. Maka dari itu penting untuk dilakukan
pengkajian pada sistem ini. Pengkajian yang dilakukan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan juga pemeriksaan penunjang (DEXA, X-ray, dan lain-lain)

3.2 Saran
Makalah ini memang belum sempurna, maka dari itu penulis sangat terbuka dengan
masukan yang diberikan oleh pembaca dan juga penulis berharap supaya makalah ini dapat
bermanfaat dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Amelio, P., & Isaiya, G, C. (2015). Male osteoporosis in elderly. International Journal of
Endocrinology. Vol. 15 (9)
Arenson, C., et al. (2009). Reichel’s care of the elderly. (6th Ed). United States: Cambridge
University Press.
Arthritis Care. (2016). Understanding Arthritis. London: Arthritis Care retrieved by
https://www.arthritiscare.org.uk/assets/000/001/820/Understanding_FINAL_100516_
web_original.pdf?1502875508 on Monday, 16 April 2018.
Arthritis Research UK. (2011). Clinical assessment of the musculoskeletal system: A guide
for
medical students and healthcare professionals. Registered Charity England and Wales
No. 207711, ISBN 978 1 901815 17 7.
Berg, K., Wood-Dauphinee, S., Williams, J. L., and Maki, B. Measuring balance in the
elderly: Validation of an instrument. Can. J. Pub. Health, July/August supplement
2:S7-11, 1992
Cary, M. and Lyder, C. H. (2011). Geriatric assessment: Essential skills for nurses.
American Nurses Today [July, 2011] Vol. 6 No. 7
CDC. (2017). Assessment timed up & go (TUG). Retrieved from www.cdc.gov/steadi
Colón, C. J., Molina-Vicenty, I. L., Frontera-Rodríguez, M., García-Ferré, A., Rivera, B. P.,
Cintrón-Vélez, G., & Frontera-Rodríguez, S. (2018). Muscle and Bone Mass Loss in
the Elderly Population: Advances in diagnosis and treatment (Vol. 3). doi:
10.7150/jbm.23390

Fillit, H., Rockwood, K., & Young, J. (2017). Brocklehurst's textbook of geriatric medicine
and gerontology (8th ed., p. 120). Philadelphia: Elsevier.
Herdman, T., & Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: Definitions
& classification, 2015–2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Kurnianto, D. (2015). Menjaga kesehatan usia lanjut. Jurnal Olahraga Prestasi. 11 (2): 19-30
Marquis, D., Foreman, Milisen, K., & Fulmer, T. (2010). Critical care nursing of older
adults: Best Practices. New York: Springer Publishing Company, LLC
Mauk, K. L. (2006). Gerontological nursing: Competencies for care. London: Jones and
Bartlett Publishers, Inc.
Miller, C.A. (2012). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice. (6th Ed).
Philadephia: Wolters Kluwer / Lippincott Williams & Wilkins.

Phelan, E., Mahoney, J., Voit, J., & Stevens A, J. (2016). Assessment and management of fall
risk in primary care settings. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4707663/
Pusdatin Kemenkes RI. (2015). Data dan kondisi penyakit osteoporosis di indonesia. Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Ragab, G., Elshahaly, M., & Bardin, T. (2017). Gout: An old disease in new perspective – A
review. Journal of Advanced Research. Vol. 8 (5) p. 495-511
Stanley & Beare, P G. (2007). Gerontological nursing: A health promotion or protection
Approach. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Stanley, M. & Beare, P. G. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. Terj. Nety
Juniarti & Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC.
Sihombing, I., Wangko S., & Kalanggi, S, J. (2012). Peran estrogen pada remodeling tulang.
Jurnal Biomedik. Vol 4 (3)
Tabloski, P. (2014). Gerontological nursing third edition. USA: Pearson.
Touhy, T.A., & Jett, K. (2014). Ebersole and hess: Gerontological nursing and
healthy aging. USA: Elsevier Mosby.

Anda mungkin juga menyukai