Anda di halaman 1dari 46

Visi: Pada tahun 2025 menghasilkan Ners yang unggul dalam menerapkan ilmu dan teknologi

keperawatan lanjut usia.

PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI (PBAK)

KORUPSI TERKAIT DENGAN PERBUATAN CURANG

Dosen Pembimbing:

Dra. Nelly Yardes S.Kp., M.Kes.

Disusun Oleh:

Atii’ah Dwiningtyas (P3.73.20.2.17.005)


Fahira Ishlah Amini (P3.73.20.2.17.013)
Febrilla Elena Crismonika (P3.73.20.2.17.015)
Hedya Saraswati Septiani (P3.73.20.2.17.019)
Kornelia Stephanie (P3.73.20.2.17.021)
Tinezia Febriani Kusumadewi (P3.73.20.2.17.036)
Yasinta Fadilasari (P3.73.20.2.17.040)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA III

TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
yang berjudul “KORUPSI TERKAIT DENGAN PERBUATAN CURANG” untuk memenuhi
tugas Pendidikan Budaya Anti Korupsi (PBAK).
Dukungan dari berbagai pihak sangat membantu tim penulis dalam menyelesaikan
makalah yang berjudul “KORUPSI TERKAIT DENGAN PERBUATAN CURANG”. Ucapan
terima kasih ditujukan kepada :
1. Dra. Nelly Yardes S.Kp., M.Kes. selaku dosen pembimbing tim penulis mata kuliah
Pendidikan Anti Korupsi(PBAK) di Poltekkes Kemenkes Jakarta III.
2. Orang Tua yang telah memberikan do’a, arah, dukungan, dan dorongan dari segi material
maupun moral.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan dari kualitas maupun kuantitas dari ilmu pengetahuan yang penulis kuasai. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan dimasa mendatang. Atas perhatian dan waktunya penulis ucapkan terima kasih.

Bekasi, November 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................................................. 1
C. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 2
BAB II ............................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3
A. Pengertian ........................................................................................................................... 3
B. Sejarah korupsi .................................................................................................................. 4
C. Ciri dan Bentuk Korupsi ................................................................................................... 9
D. Penyebab Korupsi ............................................................................................................ 16
E. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi ....................................................................................... 23
F. Dampak Korupsi .............................................................................................................. 24
G. Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia ........................................... 25
H. Tindak Pidana Korupsi ................................................................................................... 27
BAB III......................................................................................................................................... 31
TINJAUAN KASUS.................................................................................................................... 31
A. Kasus ................................................................................................................................. 31
B. Analisis Matriks ............................................................................................................... 37
BAB IV ......................................................................................................................................... 41
PENUTUP .................................................................................................................................... 41
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 41
B. Saran ................................................................................................................................. 42

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat
berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi telah mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun
yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan
negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan alih studi
banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan
dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu
merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap
kerakusan dan aji mumpung.
Persoalan korupsi yang telah banyak menghambat lajunya pembangunan suatu
peradaban, ternyata juga memiliki sejarah panjang atas keberadaannya (eksistensi) di dunia.
Di Indonesia, korupsi bukanlah hal baru yang menjadi penghalang lajunya pembangunan
negara . Koruptor selalu di vonis bersalah oleh publik sebagai orang yang bertanggung jawab
atas mandegnya pembangunan negara. Berbagai upaya telah di lakukan untuk menaggulangi
tindak pidana korupsi di negara ini dan di belahan dunia lainnya.. Di antaranya di
keluarkananya undang-undang TIPIKOR beserta lembaga peradilannya. Maka dari itulah,
persoalan sejarah panjang Tindak Pidana Korupsi hampir berbanding lurus dengan hukum
tentang Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana khusus, seperti
adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak
pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal
mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian
negara. Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut,
diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Keberadaan undang-undang pemberantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak
upaya memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Di samping peraturan
perundangundangan yang kuat, juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam memberantas
korupsi. Kesadaran masyarakat hanya dapat timbul apabila masyarakat mempunyai
pengetahuan dan pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-
undang.
B. Tujuan
1. Memahami definisi korupsi
2. Memahami sejarah korupsi

1
3. Memahami jenis, penyebab serta dampak korupsi
4. Dapat melakukan analisis kasus korupsi dengan menggunakan matriks tindak pidana
korupsi
5. Dapat menyusun hasil analisis kasus
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian korupsi?
2. Bagaimana sejarah korupsi?
3. Apa ciri dan jenis korupsi?
4. Apa yang menjadi penyebab terjadinya korupsi?
5. Apa saja nilai dan prinsip anti korupsi?
6. Apa dampak korupsi?
7. Bagaimana cara pemberantasan korupsi?
8. Apa tindak pidana korupsi?
D. Metode Penulisan
1. Bab I terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Rumusan Masalah, dan Metode Penulisan
2. Bab II terdiri dari pembahasan materi berupa konsep dasar mengenai korupsi
3. Bab III terdiri dari pembahasan mengenai analisis kasus
4. Bab IV terdiri dari penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian

Kata “korupsi” berasal dari bahasa latin “corruptio” (Fickema Andrea : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut
kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda).

Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,


ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah
“kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S.
Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS Poerwadarminta: 1976).

Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali:1998):

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.

Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak,
berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral,
sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah,
penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan
politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatan.

3
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie
adalah korupsi, perbuatan curang, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan
negara (Subekti dan Tjitrosoedibio : 1973).

Selanjutnya Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan


istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan
umum. Hal ini diambil dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction
injurious to the economy are often labeled corrupt” (Evi Hartanti: 2008).

B. Sejarah korupsi

Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah


kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era reformasi. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu periode pra kemerdekaan
dan pasca kemerdekaan (Amin Rahayu).

1. Pra Kemerdekaan
a. Masa Pemerintahan kerajaan

“Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif


kekuasaan, kekayaan dan wanita. Seperti pada perebutan kekuasaan di Kerajaan
Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekuasaan :
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Kerajaan
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro, dan lain-lain), Kerajaan Demak (Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang), Kerajaan Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).

Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya. Majapahit, dan Mataram)


adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijawa
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal
Bala-putra Dewa, Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang
peregreg) sepeninggal Maha Patih gajah Mada, dan Mataram lemah serta semakin tidak
punya gigi jarena dipevah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

4
Perlawanan rakyat terhadap belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa
kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah korupsi dan kekuasaan
di Indonesia.

b. Masa Kolonial Belanda

Pada tahun 1755 dengan perjanjian Giyanti, VOC memecah Mataram menjadi
dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tahun
1757/1758 VOC memecah Kasusnanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara. Kesultanan Yogyakarta pun dibagi dua
menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal
Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu
adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan
sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai
keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau
kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya
bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada
umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya.
Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.

Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan
tidak suka menerima kritik dan saran. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum
bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya
“dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”.

Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan
“budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan “korup” dalam
mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah)
selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Tum enggung. Abdidalem di

5
Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup harta yang akan
diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa
ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris
(1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah ba-nyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam
Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904) dan lain-lain.

Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat


Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang
secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah
membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun
kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

2. Pasca Kemerdekaan
a. Orde Lama

Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara


(PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun
ter-nyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Pejabat pemerintah
diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat
negara. Dalam perkembangannya kemudian ternya-ta kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya


pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat
sebagai Menkohankam/ Kasab dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari
dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan

6
negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan
kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.

Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian


diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi di-jalankan, keuangan negara
dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya
Operasi Budhi dihentikan.

b. Orde Baru

Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketua Jaksa Agung. Tahun
1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes
keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen
Kehutanan banyak disorot masya-rakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Marak-
nya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi
Soeharto.

Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih


dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto.
Tugasnya yang utama adalah mem-bersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog,
CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan
ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon
pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah


Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan
ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution.

7
Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution
berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas.
Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.

c. Reformasi

Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah


terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman.

Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000
Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota
tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN. Di
samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa
menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan
Wanandi dihentikan de-ngan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa
Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.

Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana


yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Konglomerat bermasalah bisa mengecoh
aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun
Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada
konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak
serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih
memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi
kebangkrutan per-ekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan

8
wibawa. Belakangan kasus-kasus ko-rupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi


yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi
Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi
aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance”
(pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun
konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih
pemberantasan korupsi.

C. Ciri dan Bentuk Korupsi

Korupsi menurut Syed Hussein Alatas dalam Sumarwani S 2011, mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:

1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.


2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau
bawahannya menganggapnya tidak perlu.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain.
7. Terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan
mereka yang dapat mempengaruhinya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan.

Menurut Buku Saku yang dikeluarkan oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK:2006) memaparkan berbagai bentuk korupsi, yaitu sebagai berikut:

9
No Bentuk Korupsi Perbuatan Korupsi
1 Kerugian Keuangan  Secara melawan hokum melakukan perbuatan
Negara memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi,
dengan tujuan menuntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau saran yang ada.
2 Suap Menyuap  Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai
Negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud
supaya berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu dalam
jabatannya.
 Memberi sesuatu kepada Pegawai negeri atau
penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan
kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
 Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh
pemberi hadiah/janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut.
 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima pemberian atau janji.
 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan sesuatu atau tindakan
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya.
 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan

10
karena telah melakukan sesuatu atau tindakan
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan jabatannya.
 Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada
hubungan dengan jabatannya.
 Memberi atau menjanjikan sesuatu pada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara.
 Memberi atau menjanjikan sesuatu pada advokat untuk
menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubungan dengan perkara.
 Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara.
3 Penggelapan dalam  Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
Jabatan ditugaskan menjalankan sesuatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya atau uang/surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
 Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalakan jabatan umum secara terus-
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja

11
memalsukan buku atau daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi.
 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalakan jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan, merusak atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya.
 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalakan jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusak atau membuat tidak dipakai
barang akta, surat atau daftar tersebut.
 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalakan jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
membantu orang lain menghilangkan menghancurkan,
merusak atau membuat tidak dipakai barang akta, surat
atau daftar tersebut
4 Pemerasan  Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
Sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan
potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri.
 Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada
waktu menjalakan tugas meminta atau menerima
pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah

12
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
 Pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang pada
waktu menjalakan tugas, meminta, atau menerima atau
memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
5 Perbuatan Curang 1) Pembarong ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan atau penjual bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang atau keselamatan Negara dalam
keadaan perang.
2) Setiap orang bertugas mengawasi pembangunan atau
menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan
perbuatan curang.
3) Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan
perbuatan curang dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang.
6 Benturan Kepentingan 4) Pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik
dalam Pengadaan langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut
serta dalam pemborongan pengadaan atau persewaan
yang pada saat dilakukan perbuatan untuk keseluruhan
atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
7 Gratifikasi 5) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara Negara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

13
Bentuk/jenis tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan korupsi
berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan:

1. Melawan hokum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan
keuangan Negara
3. Menyuap pegawai negeri
4. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri merusak bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti
14. Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti
15. Pegawai negeri memeras
16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
17. Pemborong berbuat curang
18. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
19. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
22. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
23. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
24. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
25. Merintangi proses pemeriksaan
26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya
27. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
28. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu

14
29. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi
keterangan palsu
30. Saksi yang membuka identitas pelapor

Selain perbuatan sebagaimana dipaparkan di atas, dalam praktik di masyarakat dikenal


pula istilah gratifikasi.

1. Pengertian Gratifikasi

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification: “a


voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” (gratifikasi adalah
“sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”).

2. Bentuk Gratifikasi
a. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari
seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda
kasih” tanpa mengharapkan balasan apapun.
b. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih,
pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha
karena adanya interaksi kepentingan.

Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya didefinisikan
sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau
diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa “Setiap gratifikasi


kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”.
Apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu pemberian,
maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada KPK sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001, yaitu :

15
a. Ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1) mengenai gratifikasi dianggap sebagai pemberian
suap dan tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada
KPK;
b. Laporan penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal gratifikasi diterima;
c. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan laporan,
KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara;
d. Tata cara penyampaian laporan dan penentuan status gratifikasi diatur menurut
Undang-undang tentang KPK.

D. Penyebab Korupsi
1. Faktor-Faktor Umum yang Menyebabkan Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya bervariasi dan beranekaragam.
Akan tetapi, penyebab korupsi secara umum dapat dirumuskan sesuai dengan pengertian
korupsi itu sendiri yang bertujuan mendapatkan keuntungan pribadi, kelompok, keluarga,
golongan sendiri.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Boulogne atau sering disebut GONE
Theory bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi sebagai berikut.
a. Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial
ada di dalam diri setiap orang.
b. Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
c. Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar
d. Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi
oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan
Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengaan individu pelaku (aktor) korupsi
yaitu individu atau kelompok, baik dalam organisasi maupu di luar organisasi yang
melakukan korupsi dan merugikan pihak korban.

16
Adapun faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan dengan korban
perbuatan korupsi, yaitu organisasi, institusi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Sarwono, faktor penyebab seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor
dari dalam diri sendiri, seperti keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya serta faktor
rangsangan dari luar, seperti dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol, dan
sebagainya.
2. Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Penyebab Korupsi
Ditinjau dari hubungan pelaku korupsi dengan lingkungannya, tindakan korupsi
pada dasarnya bukan merupakan peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari
internal pelaku korupsi itu sendiri, tetapi bisa juga berasal dari situasi lingkungan yang
mendukung seseorang untuk melakukan korupsi.
a. Faktor Internal
Faktor ini merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri pelaku yang
dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut.
1) Aspek perilaku individu
a) Sifat tamak/rakus manusia
Korupsi bukan kejahatan yang hanya kecil-kecilan karena
membutuhkan makan. Korupsi bisa terjadi pada orang yang tamak/rakus karena
walaupun sudah berkecukupan, tapi masih juga merasa kurang dan mempunyai
hasrat besar untuk memperkaya diri. Korupsi berkaitan dengan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum (publik) atau masyarakat luas untuk keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu (Syarbaini, 2011). Menurut Nursyam (2000)
dalam Kemendikbud (2011) bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi
adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak
mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan,
sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka
jadilah seseorang akan melakukan korupsi.
b) Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,

17
bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu. Moral
yang kurang kuat salah satu penyebabnya adalah lemahnya pembelajaran
agama dan etika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), etika adalah
nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika merupakan ajaran tentang moral atau norma tingkah laku yang berlaku
dalam suatu lingkungan kehidupan manusia. Seseorang yang menjunjung tinggi
etika atau moral dapat menghindarkan perbuatan korupsi walaupun kesempatan
ada. Akan tetapi, kalau moralnya tidak kuat bisa tergoda oleh perbuatan
korupsi, apalagi ada kesempatan. Sebetulnya banyak ajaran dari orangtua kita
mengenai apa dan bagaimana seharusnya kita berperilaku, yang merupakan
ajaran luhur tentang moral. Namun dalam pelaksanaannya sering dilanggar
karena kalah dengan kepentingan duniawi.
c) Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai selayaknya memenuhi kebutuhan hidup
yang wajar. Apabila hal itu tidak terjadi, seseorang akan berusaha
memenuhinya dengan berbagai cara. Akan tetapi, apabila segala upaya yang
dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini akan mendorong
tindak korupsi, baik korupsi waktu, tenaga, maupun pikiran.
Menurut teori GONE dari Jack Boulogne, korupsi disebabkan oleh salah
satu faktor atau lebih dari: keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan
kelemahan hukum. Karena adanya tuntutan kebutuhan yang tidak seimbang
dengan penghasilan, akhirnya pegawai yang bersangkutan dengan
keserakahannya akan melakukan korupsi.
d) Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami
situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi
seseorang untuk mengambil jalan pintas, di antaranya dengan melakukan
korupsi. Kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan seseorang terdesak dalam
segi ekonomi. Orang bisa mencuri atau menipu untuk mendapatkan uang. Di
samping itu, untuk mencukupi kebutuhan keluarga orang mungkin juga mencari
pekerjaan dengan jalan yang tidak baik. Untuk mencari pekerjaan orang

18
menyuap karena tidak ada jalan lain untuk mendapatkan pekerjaan kalau tidak
menyuap, sementara tindakan menyuap justru malah mengembangkan kultur
korupsi (Wattimena, 2012).
e) Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang
konsumtif atau hedonis. Perilaku konsumtif apabila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan mendorong seseorang untuk melakukan
berbagai tindakan guna memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan
itu adalah dengan korupsi. Menurut Yamamah (2009) dalam Kemendikbud
(2011), ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem
politik yang masih mendewakan materi berkembang, hal itu akan memaksa
terjadinya permainan uang dan korupsi.
f) Malas atau tidak mau bekerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa
keluar keringat atau malas bekerja. Sifat semacam ini berpotensi melakukan
tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat atau jalan pintas, di
antaranya melakukan korupsi.
g) Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, yang tentu melarang
tindak korupsi dalam bentuk apa pun. Agama apa pun melarang tindakan
korupsi seperti agama Islam yang juga mengecam praktik korupsi. Istilah
riswah terdapat dalam Islam yang bermakna suap, lalu di Malaysia diadopsi
menjadi rasuah yang bermakna lebih luas menjadi korupsi. Apa yang dikecam
Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga setiap pihak yang ikut
terlibat dalam tindakan korupsi itu. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa
korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradoks ini
menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2) Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan
dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang

19
sudah menjadi sifat pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan
dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan
kekuasaannya.Teori Solidaritas Sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim
(1858–1917) memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dan
dikendalikan oleh masyarakatnya. Emile Durkheim berpandangan bahwa individu
secara moral adalah netral dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor dari luar yang berasal dari situasi lingkungan
yang mendukung seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini beberapa faktor
eksternal yang menyebabkan terjadinya korupsi:
a) Aspek organisasi
1) Manajemen yang kurang baik sehingga memberikan peluang untuk melakukan
korupsi
Manajemen adalah ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan di dalam
berbagai jenis organisasi untuk membantu manajer memecahkan masalah
organisasi (Muninjaya, 2004).
Pengorganisasian adalah bagian dari manajemen, merupakan langkah untuk
menetapkan, menggolong-golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan,
menetapkan tugas-tugas pokok dan wewenang, dan pendelegasian wewenang
oleh pimpinan kepada staf dalam rangka mencapai tujuan organisasi
(Muninjaya, 2004).
Manajemen adalah sebuah konsep, yang harus dikembangkan oleh
pimpinan dan staf sehingga bisa mencapai tujuan organisasi. Tujuan organisasi
yang tidak dipahami dengan baik oleh pimpinan dan staf membuka ruang
terjadinya penyalahgunaan yang termasuk kegiatan korupsi, sehingga
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil. Seringkali pihak
manajemen menutupi kegiatan stafnya yang melakukan korupsi sebagai usaha
mencegah ketidaknyamanan situasi yang ditimbulkan.
2) Kultur organisasi yang kurang baik
Korupsi di Indonesia sebagai kejahatan sistemik (Wattimena, 2012).
Artinya yang korup bukan hanya manusianya, tetapi juga sistem yang dibuat

20
oleh manusia tersebut yang memiliki skala lebih luas, dan dampak lebih besar.
Latar belakang kultur Indonesia yang diwarisi dari kultur kolonial turut
menyuburkan budaya korupsi. Masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan
sikap asertif (terbuka) atau mungkin dianggap kurang “sopan” kalau terlalu
banyak ingin tahu masalah organisasi. Budaya nepotisme juga masih melekat
karena juga mungkin ada dorongan mempertahankan kekuasaan dan
kemapanan individu dan keluarga. Sikap ingin selalu membalas budi juga bisa
berujung korupsi, ketika disalahgunakan dengan melibatkan wewenang atau
jabatan. Sikap sabar atau ikhlas diartikan “nrimo”, apapun yang terjadi,
sehingga bisa memberikan peluang kepada pimpinan atau bagian terkait untuk
menyalahgunakan wewenangnya.
3) Lemahnya controling/pengendalian dan pengawasan
Controlling/pengendalian, merupakan salah satu fungsi manajemen.
Pengendalian adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu
perusahaan, agar sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana (Earl P.
Strong, dalam Hasibuan, 2010). Pengendalian dan pengawasan ini penting,
karena manusia memiliki keterbatasan, baik waktu, pengetahuan, kemampuan
dan perhatian. Pengendalian dan pengawasan sesuai tugas pokok dan fungsi
masing-masing dengan SOP (Standard Operating Procedure) yang jelas.
Fungsi pengawasan dan pengendalian bertujuan agar penggunaan sumber daya
dapat lebih diefisienkan, dan tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program
dapat lebih diefektifkan (Muninjaya, 2004). Masyarakat bisa juga melakukan
pengawasan secara tidak langsung dan memberikan masukan untuk
kepentingan peningkatan organisasi, dengan cara-cara yang baik dan
memperhatikan aturan.
4) Kurangnya transparansi pengelolaan keuangan
Keuangan memegang peranan vital dalam sebuah organisasi. Dengan uang,
salah satunya, kegiatan organisasi akan berjalan untuk melaksanakan misi
organisasi dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan. Pengelolaan
keuangan yang baik dan transparan menciptakan iklim yang kondusif dalam
sebuah organisasi, sehingga setiap anggota organisasi sesuai tugas pokok dan

21
fungsinya masing-masing dapat ikut bertanggung jawab dalam penggunaan
anggaran sesuai perencanaan yang telah disusun.
b) Sikap Masyarakat Terhadap Korupsi
Sikap masyarakat juga dapat menyuburkan tindakan korupsi, di antaranya adalah:
1) Nilai-nilai yang dianut masyakat. Seperti pergaulan yang menghargai
seseorang yang kaya, dan tidak pelit dengan kekayaannya, senang memberikan
hadiah. Masyarakat sering kali senang ketika ada yang memberi apalagi
nominalnya besar atau berbentuk barang berharga, tanpa memikirkan dari mana
sumber kekayaannya atau barang/hadiah yang diberikannya.
2) Masyarakat sering kali menganggap bahwa pejabat harus kaya, oleh karena itu
pejabat harus mendapat uang
3) Masyarakat tidak menyadari bahwa yang dilakukannya juga termasuk korupsi,
karena kerugian yang ditimbulkan tidak secara langsung. Padahal korupsi tidak
hanya melibatkan pejabat negara saja tetapi juga anggota masyarakat.
4) Dampak korupsi tidak kelihatan secara langsung, sehingga masyarakat tidak
merasakan kerugian. Masyarakat seringkali hanya menjadikan korupsi sebagai
obrolan karena tayangan media, tanpa berusaha untuk mencegah tindakan
tersebut dalam lingkungan terkecil masyarakat. Setiap korupsi biasanya diawali
dari lingkungan terkecil yang menjadi kebiasaan, lama-lama menjadi
kebutuhan dan dilegalkan.
5) Masyarakat memandang wajar hal-hal umum yang menyangkut
kepentingannya. Misalnya, menyuap untuk mendapatkan pekerjaan atau
menyuap untuk bisa kuliah. Istilah yang digunakan dikaburkan, bukan
menyuap, tetapi ucapan “terima kasih”, karena sesuai dengan adat ketimuran.
c) Aspek ekonomi
Gaya hidup yang konsumtif, menjadikan penghasilan selalu dianggap
kurang. Lingkungan pergaulan juga berperan mendorong seseorang menjadi lebih
konsumtif dan tidak dapat menetapkan prioritas kebutuhan.
d) Aspek politik atau tekanan kelompok
Seseorang melakukan korupsi mungkin karena tekanan orang terdekatnya seperti
istri/suami, anak-anak, yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup. Korupsi juga

22
bisa terjadi karena tekanan pimpinan atau rekan kerja yang juga terlibat. Bahkan
korupsi cenderung dimulai dari pimpinan, sehingga staf terpaksa terlibat. “Power
tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan itu
cenderung ke korupsi, kekuasaan mutlak mengakibatkan korupsi mutlak. Perilaku
korup juga dipertontonkan oleh partai politik. Tujuan berpolitik disalahartikan
berupa tujuan mencari kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara. Perilaku
korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
e) Aspek Hukum
Subtansi hukum di Indonesia sudah menjadi rahasia umum, masih
ditemukan aturan-aturan yang diskriminatif, berpihak, dan tidak adil, rumusan yang
tidak jelas sehingga menjadi multitafsir, kontradiksi dan overlapping dengan
peraturan lain (baik yang sederajat maupun lebih tinggi). Penegakan hukum juga
masih menjadi masalah. Masyarakat umum sudah mulai luntur kepercayaan kepada
aparat penegak hukum, karena praktik-praktik penegakan hukum yang masih
diskriminatif, dan tidak jelas tujuannya. Masyarakat menganggap ketika terlibat
masalah hukum pasti butuh biaya yang tidak sedikit untuk aparat penegak hukum.
Muncul lelucon, kalau hilang ayam, lapor ke aparat hukum, jadi hilang sapi, karena
biaya perkara yang mahal. Karena itu, orang-orang yang banyak uang dianggap
akan luput dari jerat hukum atau mungkin hukumannya lebih ringan dan
mendapatkan berbagai kemudahan.
E. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi

Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor eksternal
(kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi perilaku dan nilai-nilai
yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan system yang berlaku. Upaya pencegahan
korupsi dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu. Nilai-
nilai inilah yang akan mendukung prinsip-prinsip anti korupsi untuk dijalankan dengan baik.
Setidaknya ada 9 (sembilan) nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan, yaitu:

1. Kejujuran
2. Kepedulian
3. Kemandirian

23
4. Kedisiplinan
5. Pertanggungjawaban
6. Kerja keras
7. Kesederhanaan
8. Keberanian
9. Keadilan

F. Dampak Korupsi
Korupsi tentu saja menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan sebuah
bangsa dan negara. Dampak korupsi antara lain sebagai berikut :
1. Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah
Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan semakin
membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pemerintah.
Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa berkurang terhadap pemerintah yang
sedang berkuasa di negara tersebut sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di
kalangan pemegang kekuasaan publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang
cukup besar terhadap pembangunan di segala bidang.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah.
Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra dan
kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa menyebabkan rakyat
bersikap apatis terhadap peraturan-peraturan serta himbauan-himbauan yang diberikan
pemerintah. Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
3. Kerugian negara dalam bidang ekonomi
Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan
seharusnya juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataannya
uang rakyat banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh pemegang kekuasaan publik.
4. Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal tersebut akan
berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Dan akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian nasional.

24
Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih mengedepankan uang daripada
profesionalisme dan tanggung jawab sebagai birokrat juga menjadikan modal asing
berpaling dari Indonesia dan mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik
birokrasinya, dll.

G. Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia

Meskipun faktanya korupsi hampir tidak mungkin bisa diberantas secara menyeluruh,
namun setidaknya korupsi itu bisa ditekan agar di masa mendatang korupsi tidak semakin
membudaya dan semakin merusak moral para pejabat negara. Maka dari itu, setelah dapat
diketahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan seorang pemegang kekuasaan publik
melakukan korupsi serta dampak apa saja yang timbul akibat korupsi di Indonesia, dapat
dirumuskan beberapa cara untuk mencegah dan menanggulangi adanya praktik korupsi.

Dalam hal ini, beberapa ahli memiliki sejumlah pandangan atau pendapat tentang
bagaimana cara menanggulangi korupsi. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-
langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :

1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah


pembayaran tertentu.
2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas
adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
4. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
5. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional
maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan
adanya perubahan organisasi

Pada poin pertama pendapat Caiden diatas terlihat seperti tindakan yang melegalkan
pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah, namun dalam konteks ini, pungutan yang

25
diterapkan sudah berlandaskan aturan resmi untuk kebaikan bersama dan menghilangkan
kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar. Namun, disisi lain apabila tidak diadakan
kontrol maksimal, cara ini bisa dimanfaatkan saja oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan orang-orang disekitarnya..

Sedangkan, Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.

Dari dua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang cukup
efektif untuk menanggulangi korupsi, antara lain :

1. Merestrukturisasi organisasi di berbagai sektor pemerintahan sehingga bisa memudahkan


dalam pengawasan/kontrol terhadap kinerja aparat pemerintahan.
2. Meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga bisa mengurangi dorongan untuk
melakukan korupsi
3. Penegakan hukum secara tegas dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemberian sanksi pidana

26
maupun sanksi sosial yang bisa memberikan efek jera sekaligus bisa memberikan
peringatan bagi aparatur negara lainnya agar tidak melakukan korupsi.
4. Meningkatkan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk turut berpartisipasi dalam
melakukan kontrol sosial serta pengawasan kinerja pemegang kekuasaan publik serta
memaksimalkan fungsi media massa sebagai agen untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
5. Menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Hal ini bisa dimulai dengan perekrutan pegawai baru berdasarkan keahlian dan menghapus
jalur-jalur ilegal (suap dan nepotisme) sehingga kedepan organisasi kepemerintahan bisa
lebih baik.
6. Pencatatan kekayaan aparatur negara secara berkala sehingga bisa diketahui apabila ada
aparatur negara yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
7. Menanamkan rasa nasionalisme sejak dini, serta memberikan pendidikan tentang dampak
yang ditimbulkan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta membangun karakter
generasi penerus bangsa yang berkarakter Pancasila.
H. Tindak Pidana Korupsi
1. Jenis-Jenis Korupsi
Beberapa istilah yang perlu dipahami terkait dengan jenis-jenis korupsi yaitu
adanya pemahaman tentang pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Istilah KKN
ini sempat populer menjelang jatuhnya rezim Orde Baru.
a. Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara
tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan
pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi
lancar. Kolusi dapat didefinisikan sebagai pemufakatan secara bersama untuk melawan
hukum antarpenyelenggara negara atau antara penyelenggara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan negara.

27
c. Nepotisme yaitu setiap perbuatan penyelenggaraan negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, negara, dan bangsa. Dalam istilah lain nepotisme adalah tindakan yang
hanya menguntungkan sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam
pemerintahan walaupun objek yang diuntungkan tidak kompeten.

Dalam suatu delik tindak pidana korupsi selalu ada pelaku. Pelaku tindak pidana
korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang dalam
pengertian:
a. Orang perseorangan: siapa saja, setiap orang, pribadi kodrati;
b. korporasi: kumpulan orang atau kekayaan yang berorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum;
c. Pegawai negeri:
1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian,
2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP,
3) Orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah,
4) Orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara/daerah,
5) Orang yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/ masyarakat.
Beberapa ahli mengidentifikasi jenis korupsi, di antaranya Syed Hussein Alatas
yang mengemukakan bahwa berdasarkan tipenya korupsi dikelompokkan menjadi 7 jenis,
yaitu:
a. Korupsi transaktif (transactive corruption); yaitu menunjukkan kepada adanya
kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima, demi keuntungan
kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-
duanya.
b. Korupsi yang memeras (extortive corruption); adalah jenis korupsi di mana pihak
pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam
dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
c. Korupsi investif (investive corruption) adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada
pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan
diperoleh pada masa yang akan datang.
d. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau
tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau
bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan
yang berlaku.
e. Korupsi defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan
pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.

28
f. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilaksanakan oleh
seseorang seorang diri.
g. Korupsi dukungan (supportive corruption) yaitu korupsi tidak secara langsung
menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain.
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana
Korupsi yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan 7
(tujuh) jenis Tindak Pidana Korupsi, yaitu korupsi terkait kerugian keuangan negara,
suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan
kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
2. Tindak Pidana Korupsi Perbuatan Curang
Tindak Pidana Korupsi Perbuatan Curang Jenis korupsi ini diatur dalam pasal 7
dan pasal 12 huruf h Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diperbarui oleh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a) pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual
bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b) setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
c) setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;
atau
d) setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 12 huruf h
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah- olah sesuai

29
dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Contoh kasus pidana korupsi curang:
a. Seorang penyedia barang mengirimkan order barangnya tidak sesuai dengan
spesifikasi yang dipersyaratkan dalam kontrak penyediaan barang.
b. Seorang petugas gizi dengan sengaja memberikan jumlah diet 1.700 Kkal kepada
pasien, padahal sebenarnya pasien harus mendapatkan 2.100 KKal.
Contoh kasus perilaku korupsi curang:
a. Seorang pasien harus mengantre urutan dalam pemeriksaan dokter, seharusnya yang
bersangkutan urutan ke-50, tetapi karena ada keluarga yang bekerja di rumah sakit
tersebut ia mendapatkan kemudahan menempati urutan ke-10.
b. Seorang mahasiswa membuat laporan kegiatan praktik klinik dengan menggunakan
data yang tidak sebenarnya—hasil manipulasi buatan sendiri.
c. Mahasiswa membuat catatan kecil yang digunakan untuk menyontek pada saat ujian.

30
BAB III

TINJAUAN KASUS
A. Kasus

Lika-liku Kasus Beras Maknyuss yang Diduga Rugikan Negara

Oleh Zulfi Suhendra pada 24 Jul 2017, 18:47 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Kasus beras oplosan kini tengah hangat diperbincangkan menyusul
penggerebekan Tim Satuan Tugas (Satgas) Ketahanan Pangan dan Operasi Penurunan Harga
Beras Mabes Polri ke sebuah gudang beras di Jalan Raya Rengas Bandung, Km 60,
Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi pada Kamis 20 Juli malam.

Penggerebekan yang dipimpin oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Menteri
Pertanian Andi Amran Sulaiman ini membuahkan hasil. Gudang milik PT Indo Beras Unggul
(IBU) diduga melakukan praktik curang, yaitu mengoplos beras subsidi dikemas ulang menjadi
beras premium bermerek Cap Ayam Jago dan Maknyuss yang dijual dengan harga tinggi.

Dalam operasi tersebut, 15 karyawan gudang telah diperiksa. Begitu pula pemilik gudang telah
diidentifikasi dan tengah dalam perburuan polisi.

Para pelaku akan terancam pidana dengan Pasal 139 juncto Pasal 84 ayat (1) UU RI Nomor
18/2012 tentang Pangan dan Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 UU RI No 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Pemerintah menduga negara menderita kerugian puluhan triliun rupiah. Namun, hal tersebut
dibantah oleh pihak dari PT Tiga Pilar Sejahtera, yang merupakan induk usaha dari PT IBU.

Lantas, benarkah negara merugi dan PT IBU melakukan praktik kecurangan?

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, modus yang dilakukan perusahaan ini yaitu
dengan mengganti kemasan beras subsidi menjadi beras premium yang dijual dengan harga
beras premium.

"Mereka membeli beras IR 64, beras yang disubsidi pemerintah. Kemudian dipoles menjadi
beras premium dan dijual dengan harga tinggi," ujar Amran di lokasi pekan lalu.

31
Hitung-hitungannya, beras subsidi jenis IR64 dibeli dengan harga Rp 7.000 per kilogram (kg),
kemudian dijual berkali-kali lipat hingga mencapai Rp 24 ribu per kg. Perusahaan diduga
meraup keuntungan yang sangat besar karena praktik ini.

Kapolri Jenderal Tito juga menambahkan, pihaknya tidak segan menindak tegas para mafia
dan kartel beras yang nekat memainkan harga beras. Sebab, sepertiga uang dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikucurkan untuk mensubsidi komoditas beras.

"Karena kita lihat potensi pelanggaran hukum dalam komoditas beras ini tidak main-main.
Uang yang beredar untuk komoditas paling tinggi dari sembako adalah beras, karena mencapai
Rp 488 triliun, jadi hampir sepertiga dari APBN kita. Ini upaya menyelamatkan uang negara,
seperti dalam penindakan kasus korupsi," jelas Tito.

Dugaan Pelanggaran

Polisi menduga ada dua poin pelanggaran yang dilakukan oleh PT IBU. Pertama pembelian di
atas harga rata-rata di mana beras IR64, ditetapkan harga eceran tertingginya sebesar Rp 9.000
per kg namun dijual lebih tinggi ndari itu bahkan dua kali lipat.

Kemudian yang kedua adalah pelanggaran tindak pidana persaingan usaha.

"Selain melanggar tindak pidana persaingan curang sebagaimana termaktub dalam Pasal 382
BIS KUHP, dua anak perusahaan itu diduga juga melanggar Undang-Undang Pangan No 18
Tahun 2012 tentang Pangan yaitu Pasal 141 dan 89 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono
Sukmanto.

Polri juga mendapatkan temuan soal pembohongan publik soal nilai gizi beras.

Berdasarkan hasil laboratorium, beras merk Ayam Jago mencantumkan kadar protein sebesar
14 persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,73 persen. Kadar karbohidrat tercantum 25 persen,
padahal lebih besar yaitu 81,45 persen. Lalu kadar lemak tercantum 6 persen padahal lebih
kecil yaitu hanya 0,38 persen.

Sementara untuk beras merek Maknyuss, dalam kemasan dicantumkan kadar protein 14
persen, padahal lebih kecil yaitu hanya 7,72 persen. Kadar karbohidrat 27 persen, padahal lebih

32
besar yaitu 81,47 persen. Lalu kadar lemak tercantum 0 persen padahal lebih besar yaitu 0,44
persen.

"Ini mencurigakan. Ada apa dengan perbedaan kandungan nilai gizi itu? Sekadar memainkan
mutu beras? Persoalan bisnis semata? Atau merupakan usaha sejenis melemahkan bangsa ini,
karena yang dikonsumsi oleh masyarakat selama ini justru mengandung protein, karbohidrat,
dan lemak yang justru terindikasi memainkan kesehatan masyarakat melalui pangan," papar
Ari.

Berdasarkan temuan, PT IBU dan PT SAKTI menjual beras yang dioplos tersebut dengan
harga berikut:

Merk Ayam Jago Rp 102 ribu/5 kg = Rp 20.400/kg, Maknyuss Rp 68.500/5 kg = Rp 13.700/kg,


Jatisari Rp 65.900/5 kg = Rp 13.180/kg, Rumah Adat Rp 101.500/5 kg = Rp 20.300/kg, Desa
Cianjur Rp 101.500/5 kg = Rp 20.300/kg.

Kedua anak perusahaan itu diduga telah melanggar Pasal 382 BIS KUHP, dan Permendag No.
27/M-DAG/PER/2017. Dimana untuk harga acuan pembelian di petani, gabah kering panen
Rp 3.700/kg, gabah kering giling Rp 4.600/kg, dan beras Rp 7.300/kg. Sedangkan harga acuan
penjualan di konsumen untuk beras Rp 9.500/kg.

Hitung-hitungan Kerugian ke Negara

Kementerian Pertanian menegaskan jika kerugian negara terkait dugaan pemalsuan dan
pengoplosan beras subsidi di gudang beras milik PT IBU benar mencapai Rp 10 triliun.

"Hitungan kerugiannya seperti ini, yaitu harga beras di petani sekitar Rp 7.000/kg dan harga
premium di konsumen sampai Rp 20.000/kg. Jika diasumsikan selisih harga ini minimal Rp
10.000/kg dengan pengkalian beras premium yang beredar 1,0 juta ton atau 2,2 persen dari
beras 45 juta ton setahun, maka kerugian keekonomian ditaksir Rp 10 triliun," ujar Kepala
Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Ana Astrid dalam
keterangannya di Jakarta, Sabtu 22 Juli 2017.

Dia pun menjelaskan, yang dimaksud beras subsidi dimulai saat proses memproduksi beras
tersebut. Terdapat subsidi input yaitu subsidi benih Rp 1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp 31,2

33
triliun. Ini ditambah bantuan sarana dan prasarana bagi petani dari pemerintah yang nilainya
dikatakan mencapai triliunan rupiah.

"Di luar subsidi input, ada juga subsidi beras sejahtera (Rastra) untuk rumahtangga sasaran
(pra sejahtera) sekitar Rp 19,8 triliun yang distribusinya satu pintu melalui BULOG, dan tidak
diperjualbelikan di pasar," jelas Ana.

Padi varietas IR64 merupakan salah satu benih dari Varietas Unggul Baru (VUB), di antara
varietas Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo dan lainnya.
VUB ini total digunakan petani sekitar 90 persen dari luas panen padi 15,2 juta hektar setahun.

"Memang benih padi varietas IR64 cukup lama populer sejak tahun 80-an, sehingga sering
menjadi sebutan tipe beras, dengan ciri bentuk beras ramping dan tekstur pulen, masyarakat
sering menyebut beras IR, meskipun sebenarnya varietas VUB nya beda-beda, bisa Ciherang,
Impari dan lainnya” ungkap Ana.

Kesukaan petani terhadap IR64 ini sangat tinggi, sehingga setiap akan mengganti varietas baru
selalu diistilahkan dengan IR64 baru. Akibatnya seringkali diistilahkan varietas unggu baru itu
adalah sejenis IR. Apapun varietasnya yang sebagian petani menyebut benih jenis IR.

"Seluruh beras medium dan premium itu kan berasal dari gabah varietas Varietas Unggul Baru
(VUB) yaitu IR64, Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, Impari, Ciliwung, Cibogo
dan lainnya yang diproduksi dan dijual dari petani kisaran Rp 3.500-4.700 per kilogram
gabah," terang Ana.

Dari hal ini, menurut Ana, PT IBU diketahui membeli gabah/beras jenis varietas VUB dan
harga beli dari petani relatif sama. Selanjutnya diolah menjadi beras premium dan dijual ke
konsumen dengan harga tinggi.

Ini yang menyebabkan disparitas harga tinggi, marjin yang perusahaan peroleh tinggi bisa
hingga 100 persen.

"Mereka memperoleh marjin di atas normal profit, sementara petani menderita dan konsumen
menanggung harga tinggi," tutur dia.

Sementara perusahaan lain membeli gabah ke petani harga yang sama dan diproses menjadi
beras medium dengan harga normal medium.

34
Lebih lanjut Ana menegaskan negara dirugikan akibat perilaku seperti ini. Kerugian pertama,
uang negara dibelanjakan untuk membantu produksi petani, namun petani tidak menikmati.

Produk dari petani diolah perusahaan sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga
tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku.

Terkait kebijakan HET yang dikatakan mendadak, Ana mengatakan harga acuan di konsumen
atau biasa disebut Harga Atas tidak berlaku mendadak. Penerbitan HET sudah berlaku sejak
tahun lalu.

Ini seiring penerbitan Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras
di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan
Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg
dan di konsumen Rp 9.000/kg.

"Harga beras rerata sekarang Rp 10.500 per kilogram itu kan tinggi, karena terbentuk dari
adanya beras yang dijual tinggi selama ini," jelas dia.

Harga acuan dikatakan sudah mempertimbangkan kelayakan usaha tani, biaya distribusi dan
keuntungan wajar bagi setiap pelaku. Proses perhitungan harga acuan sudah dibahas bersama
para pihak, petani, pedagang, asosiasi dan lainnya.

Pembelaan Mantan Mentan

Kasus ini pun menyeret nama mantan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Anton disebut
merupakan Komisaris Utama PT Tiga Pilar Sejahtera, yang tak lain adalah induk perusahaan
PT IBU.

Penelusuran Liputan6.com, dalam situs tigapilar.com, Anton Apriyantono duduk sebagai


Komisaris Utama dan Komisaris Independen. Di laman tersebut, terpampang foto kader Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi Menteri Pertanian di masa era Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) itu.

Sementara Wakil Komisaris PT TPS adalah Kang Hongkie Widjaja. Ada juga nama penggiat
kuliner Bondan Haryo Winarno sebagai Komisaris Independen.

Anton mengatakan, apa yang dituduhkan kepada perusahaannya itu fitnah besar.

35
"Itu fitnah besar. Jelas tidak benar. Apa definisi mengoplos? Kami kan menjual merek dengan
kualitas tertentu, bukan varietas tertentu," kata Anton.

Varietas IR 64, ujar Anton, merupakan varietas lama yang sudah digantikan dengan varietas
yang lebih baru yaitu Ciherang. Kemudian diganti lagi dengan Inpari.

"Jadi di lapangan, IR 64 itu sudah tidak banyak lagi. Selain itu, tidak ada yang namanya beras
IR 64 yang disubsidi, ini sebuah kebohongan publik yang luar biasa," ujar Anton.

Dia menambahkan, yang ada adalah beras raskin. Subsidi bukan pada berasnya, tapi pada
pembeliannya, beras raskin tidak dijual bebas, hanya untuk konsumen miskin."

Menurut Anton yang mengaku bergabung dengan PT TPS 3 atau 4 tahun lalu, di dunia
perdagangan beras dikenal namanya beras medium dan beras premium, SNI untuk kualitas
beras juga ada.

"Yang diproduksi TPS sudah sesuai SNI untuk kualitas atas," jelas dia.

Anton juga membantah tuduhan yang menyebut negara dirugikan terkait kasus ini.

"Kalau dibilang negara dirugikan, dirugikan di mananya? Apalagi sampai bilang ratusan
triliun, lha wong omzet beras TPS saja hanya Rp 4 triliun per tahun, lagi-lagi pejabat negara
melakukan kebohongan publik," ucap Anton, seraya menyebut tuduhan menjual di atas HET
itu tidak bijak. (Baca juga: Dituding Rugikan Negara, Berapa Omzet Produsen Beras
Maknyuss?)

Anton sendiri meminta sebelum pemeriksaan, tuduhan dugaan pemalsuan beras subsidi itu
dikonfirmasi dulu.

"Sebelum melakukan itu tolong konfirmasi dulu tuduhannya, dikaji ulang," pinta Anton
Apriyantono.

Direktur Tiga Pilar Sejahtera Jo Tjong Seng mengungkapkan apa yang dituduhkan kepada
anak usahanya mengenai kecurangan dalam penjualan beras tersebut tidaklah benar.

"Kami sudah sampaikan kepada investor bahwa itu tidak benar. kami sudah berikan update ke
mereka mengenai tahapan produksi yang kita lakukan. Kami tegaskan kami tidak melakukan
pelanggaran dan produksi masih normal," kata dia di Jakarta, Sabtu (22/7/2017).

36
Dia menjelaskan harga beras hasil produksinya selama ini lebih murah dari pasaran karena
kategori gabah yang perusahaan dapatkan berbeda dengan beras kualitas premium yang
lainnya.

Selain itu, gabah yang kemudian diolah menjadi beras kualitas premium tersebut sudah sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Jadi tidak ada upaya monopoli di sini. Gabah yang kami beli punya spesifikasi tersendiri jadi
tidak bisa dibandingkan langsung dengan yang lan," tegas dia.

B. Analisis Matriks

Kasus di atas jika dianalisis dengan menggunakan matriks unsur tindak pidana korupsi.

Pasal 62 jo Pasal 8 ayat 1 huruf E, F, dan I, serta Pasal 9 huruf H UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen:

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pasal 9
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun atau pidana denda sebanyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliyar rupiah).

Pasal 144 jo Pasal 100 ayat 2 UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan:

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar
atau menyesatkan pada label, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga (3) tahun atau
denda paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enak miliyar rupiah).

Permendag Nomor 63/M-DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg


dan di konsumen Rp 9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor
47/M-DAG/PER/7/2017 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp
9.000/kg.

No. Unsur Tindak Pidana Fakta Perbuatan yang Dilakukan Alat Bukti yang
dan Kejadian Mendukung

37
1. PT IBU melakukan Mengoplos beras subsidi dikemas PT IBU mengganti
praktik curang ulang menjadi beras premium kemasan beras subsidi
bermerek Cap Ayam Jago dan menjadi beras premium
Maknyuss yang dijual dengan yang dijual dengan harga
harga tinggi. beras premium.
2. PT IBU melakukan Memalsukan nilai gizi beras pada a. Hasil laboratorium,
tindak pembohongan kemasan beras. beras merk Ayam
public mengenai nilai Jago mencantumkan
gizi beras yang kadar protein sebesar
tercantum pada 14 persen, padahal
kemasan beras. lebih kecil yaitu
hanya 7,73 persen.
Kadar karbohidrat
tercantum 25 persen,
padahal lebih besar
yaitu 81,45 persen.
Lalu kadar lemak
tercantum 6 persen
padahal lebih kecil
yaitu hanya 0,38
persen.
b. beras merek
Maknyuss, dalam
kemasan
dicantumkan kadar
protein 14 persen,
padahal lebih kecil
yaitu hanya 7,72
persen. Kadar
karbohidrat 27
persen, padahal lebih

38
besar yaitu 81,47
persen. Lalu kadar
lemak tercantum 0
persen padahal lebih
besar yaitu 0,44
persen.
3. PT IBU menjual beras PT IBU membeli beras IR 64, PT IBU menjual beras
melebihi harga yang beras yang disubsidi pemerintah. berkali-kali lipat hingga
telah ditetapkan oleh Kemudian dipoles menjadi beras mencapai Rp 24.000,00
Kementrian premium dan dijual dengan harga per kilo.
Perdagangan. tinggi.
Merk Ayam Jago Rp 102 ribu/5
kg = Rp 20.400/kg, Maknyuss Rp
68.500/5 kg = Rp 13.700/kg,
Jatisari Rp 65.900/5 kg = Rp
13.180/kg, Rumah Adat Rp
101.500/5 kg = Rp 20.300/kg,
Desa Cianjur Rp 101.500/5 kg =
Rp 20.300/kg.

Kesimpulan:

Ketiga unsur tindak pidana korupsi pada Pasal 62 jo Pasal 8 ayat 1 huruf E, F, dan I, serta Pasal
9 huruf H UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan/atau Pasal 144 jo Pasal
100 ayat 2 UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan terpenuhi. Semua perbuatan yang dilakukan
oleh Direktur PT IBU dan PT SAKTI adalah sebuah tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal
62 jo Pasal 8 ayat 1 huruf E, F, dan I, serta Pasal 9 huruf H UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan/atau Pasal 144 jo Pasal 100 ayat 2 UU No 18 Tahun 2012 tentang
Pangan sehingga dituntut pidana penjara dan denda yang berlaku. Permendag Nomor 63/M-
DAG/PER/09/2016 dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp

39
9.500/kg. Selanjutnya pada Juli 2017 diterbitkan Permendag Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017
dengan harga acuan beras di petani Rp 7.300/kg dan di konsumen Rp 9.000/kg.

40
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang
kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang,
melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait janggung jawab yang dijalani.
Korupsi sudah berlangsung dari zaman kebesaran Romawi hingga masa keadidayaan
Amerika Serikat saat ini. Korupsi sulit hilang, bahkan semakin menggurita di beberapa
masa terakhir kini. Korupsi di Indonesia telah ada dari dulu sebelum dan sesudah
kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era reformasi. Korupsi telah
berakar jauh ke masa silam, tidak saja di masyarakat Indonesia, akan tetapi hampir di
semua bangsa.
Dalam upaya pemberantasan korupsi, badan legislatif Indonesia telah membuat
Undang-Undang yang mengatur tindak pidana korupsi tersebut, Undang-Undang ini telah
ada sejak tahun 1960 dan mengalami beberapa kali perubahan hingga saat ini. Undang-
Undang tersebut yaitu UU No 24 Tahun 1960, UU No 3 Tahun 1971, UU No 31 Tahun
1999, dan UU No 20 Tahun 2001.
Korupsi yang semakin hari semakin berkembang dengan pesat dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya kurang atau dangkalnya pendidikan agama dan etika
sehingga mempermudah pejabat untuk melakukan korupsi, kurangnya sanksi yang keras,
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang
makin hari makin meningkat, lemahnya pengawasan terhadap para penyelenggara negara,
faktor budaya atau kebiasaan dimana pejabat melakukan korupsi dianggap sebagai hal yang
biasa dan cenderung dilakukan terus-menerus.
Hampir semua orang di negeri ini sudah mulai melakukan perilaku korupsi mulai
dari taraf yang rendah hingga sampai taraf tinggi. Contoh kasus yang sering kita dengar
adalah kasus suap daging impor, kasus dana kas uang Sidoarjo, kasus pengadaan alat
simulator SIM, dan lain-lain. Korupsi ini memiliki dampak besar bagi segala aspek
kehidupan, baik dari bidang ekonomi, sosial, politik, maupun hukum. Upaya
pemberantasan korupsi haruslah dilakukan baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat
agar tercipta bangsa Indonesia yang bersih dari korupsi.

41
B. Saran

Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan
sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk
kepentingan segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa dengan tindakannya akan
membuat sengsara berjuta-juta rakyat ini. Tentu untuk mengatasi masalah korupsi ini
adalah tugas berat namun tidak mustahil untuk dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan
tinjauan untuk mengatasi, mencegah tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama
(mengingatkan bahwa korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam
agama), dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor
sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa malu kepada
pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan pelaku terorisme. Tugas
kita semua sebagai warga negara ikut serta dalam upaya pemberantasan korupsi agar
korupsi tidak semakin membudaya.

42
DAFTAR PUSTAKA

Kemendikbud RI “Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi” Jakarta 2011.


KPK., Buku Panduan untuk memahami tindak pidana korupsi, Jakarta 2006.
Pusdiklat Nakes PPSDM Kemenkes RI “Buku ajar Pendidikan Budaya Anti Korupsi” tahun
2014.
Tim Penulis Buku Ajar Pedidikan dan Budaya Anti Korupsi (PBAK). 2014 “Pendidikan dan
Budaya Anti Korupsi (PBAK)” Jakarta 2014.
https://m.liputan6.com/bisnis/read/3033701/lika-liku-kasus-beras-maknyuss-yang-diduga-
rugikan-negara

43

Anda mungkin juga menyukai