Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)

2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut
:

LFG ¿

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Klasifikasi tersebut tampak pada table berikut :
Deraja LFG
Penjelasan
t (ml/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG
1 ≥ 90
normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG
2 60 - 89
menurun ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
3 30-59
menurun sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG
4 15-29
menurun berat
Gagal ginjal
5 < 15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

2.1.4 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu
Negara dengan Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan
insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat.Sedangkan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia seperti
pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus,
nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan
penyebab yang tidak diketahui.
Tabel 4. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat
(195-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%

- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%

Glomerulonefritis 10%

Nefritis interstitialis 4%

Kista dan penyakit bawaan lain 3%

Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%

Neoplasma 2%

Tidak diketahui 4%

Penyakit lain 4%
2.1.5 Patofisologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya
proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut
memeberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut.Aktivasi jangka panjang aksis rennin-agiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF- β).Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminaria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti : nokturia, badan lemah,
mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang
nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.Pasien
juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
Secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya
CKD yaitu glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis
vascular.
1. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel
intra glomerular dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-
glomerular dapat terjadi pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel
mesangium sel epitel), maupun sel ekstrinsik (trombosit, limfosit,
monosit/makrofag).
2. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi
dengan fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis.
Proses ini termasuk inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan
deposisi ECM yang berlebih. Sel tubular yang mengalami kerusakan
berperan sebagai antigen presenting cell yang mengekspresikan cell
adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi seperti
sitokin, kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi
ECM dan menginvasi ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi
deposisi ECM tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks
metalloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik plasmin oleh
aktivator plasminogen.Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur
kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan
produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis
yang irreversibel.
3. Sklerosis vascular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh
berbagai sebab (misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis
kronis) akan menimbulkan terjadinya eksaserbasi iskemi interstisial
dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan sel tubulus dan
fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas
kolagenolitik. Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan
produksi proangiogenic vascular endothelial growth factor (VEGF)
dan ginjal yang mengalami parut akan mengekspresikan
thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga terjadi delesi
mikrovaskular dan iskemi.
2.1.6 Diagnosis

1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,
infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi,hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dan
lain sebagainya
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihanvolume cairan (volume overload),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampaikoma.
c) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia,
osteodistorfi renal, payah jantung, asidosismetabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida)

2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunanLFG yang dihitung
menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat,hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
cast, isostenuria
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a) Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal
yangsudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan
indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanyahidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila
ada indikasi
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yg masih mendekati normal,dimana diagnosis
secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.Pemeriksaan histopatologi ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yg telah diberikan.Biopsi ginjal indikasi-kontra
dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.1.7 Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Deraja LFG
Rencana Tatalaksana
t (ml/mnt/1,73 m2)
-Terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasipemburukan
1 >90
( progression ) fungsi ginjal,
memperkecilrisiko kardiovaskuler
- Menghambat pemburukan
2 60 – 89
(progression) fungsi ginjal
3 30 – 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 -Terapi pengganti ginjal
1. Terapi Spesifik Penyakit Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal
tidak terjadi.Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
uktrasonografi, biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
memntukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.Sebaliknya, bila
LFG sudah menurun samai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit
dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengkuti dan mencatat kecepatan penurunan
LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik.Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-
faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksisk, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Factor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Skemati tentang pathogenesis perburukan fungsi
ginjal dapat dilihat pada gambar berikut :

Kompensasi
Netropati hiperfiltrasi dan
hipertrofi

Berkurangnya
jumlah netron

Hipertensi Kebocoran protein


Angiostensin II
hiperemik lewat glomerulus

Meningkat ekspresi growth


Glomeruosklerosis
mediatoral inflamasi/fibrosis
Gambar 1.Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronis
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
:Pembatasan Asupan Protein. Pembatan asupan protein mulai dilakukan
pada LFG ≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan
asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
08/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari.Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status
nutrisi protein dapat ditingkatkan.Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea
dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan mealui ginjal.
Selain itu, makanan tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik
akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion anorganik
lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut
uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.

3.1Terapi farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertropi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran
yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
Dsamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat teraait dnegan derajat
proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan
factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat enzim
Konverting Angiostenin, melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburuan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat
mekanisme kerjanya sebagai antihpertensi dan antiproteinuria.

Tabel 7. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal


Kronik
LFG Fosfat
Asupan Protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 ≤10 g


gr/kg/hr
Nilai biologi tinggi
5-25 ≤10 g
0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35
gr/kg/hr
Protein nilai biologi tinggi atau
Tambahan 0,3 g asam amino esensial
<60 atau asam keton ≤9 gr
(sindrom
nefrotik) 0,8/kg/hr (+1 gr protein/ g proteinuria
atau
0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupkan
hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardivaskular.Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi penyakit kardivaskular adalah, pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian hiperfosfstemia dan
terapi teradap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit.Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang.
2.2.2 Epidemiologi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum
ditemukan dalam praktek kedokteran primer. Hasil analisa The Third
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) blood
pressure data, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 kategori. 26% pada
populasi muda (umur ≤ 50 tahun), terutama pada laki-laki 63,5% yang
biasa didapatkan lebih banyak IDH dibanding ISH. 74% pada populasi
tua (umur ≥ 50 tahun), utamanya pada wanita (58%) yang biasanya
didapatkan lebih banyak ISH dibandig IDH.
Dengan bertambahnya umur, angka kejadian hipertensi juga makin
meningkat, sehingga diatas umur 60 tahun prevalensinya mencapai
65,4%.
Riset Kesehatan Dasar/ RISKESDAS tahun 2013 menunjukan bahwa
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.
2.2.3 Klasifikasi
1. Klasifikasi hipertensi JNC VII

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHG)


Normal <120 <80
Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
Krisis hipertensi >180 >120
2. Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebab
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar
95 % kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti
genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem
renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na, dan
Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko,
seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.Terdapat sekitar 5%
kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
Cushing,feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.
2.2.4 Faktor risiko
1. Rokok
2. Kurang gerak
3. Obesitas
4. Dislipidemia
5. Diabetes melitus
6. Wanita usia > 65 tahun dan pria usia > 55 tahun
7. Riwayat keluarga penyakit kardiovascular dini.
2.2.5 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme
(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di
hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah
menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin
I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki
peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan
bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah
meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks
adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan
penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan
ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan
tekanan darah.
1.2.6 Gejala klinis
1. Umumnya tak bergejala
2. Gejala bisa pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan.
3. Gejala kerusakan target organ.

2.2.7 Diagnosis hipertensi


Diagnosis hipertensi dengan pemeriksaan fisik paling akurat
menggunakan sphygmomanometer air raksa. Sebaiknya dilakukan lebih
dari satu kali pengukuran dalam posisi duduk dengan siku lengan
menekuk di atas meja dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas
dan posisi lengan sebaiknya setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dalam keadaan tenang.
2.2.8 Terapi
1. Non farmakoterapi
2 Farmakoterapi

Golongan obat Nama obat Dosis (mg/hari)


Diuretik Hidroklorotiazid 12,5-50
(HCT) 20-80
Furosemid 25-50
Spironolakton
Beta bloker Metaprolol 50-100
Bisoprolol 2,5-10
Propanolol 40-160
Calcium Channel Blocker Amlodipin 2,5-10
(CCB Nifedipin 30-60
Verapamil 120-360
Diltiazem 120-540
Angiotensin Converting Captopril 25-100
Enzyme inhibitor (ACE Enalapril 30-70
inhibitor) Lisinopril 10-40

Golongan obat Nama obat Dosis (mg/hari)


Angiotensin Reseptor Blocker Losartan 25-100
(ARB) valsartan 80-320
Alpha Blocker Klonidin 0,1-0,8
Kombinasi Alpha dan Beta Carvedilol 12,5-50
Blocker Labetolol 200-800
Vasodilator direct Hidralazin 25-100
Minoksidil 2,5-80
2.2.9 Komplikasi
Kerusakan organ-organ yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah:
1) Jantung
- hipertrofi ventrikel kiri
- angina atau infark miokardium
- gagal jantung
2) Otak
- stroke atau transient ishemic attack
 3) Penyakit ginjal kronis
4) Penyakit arteri perifer
5) Retinopati

2.3 Nefrosklerosis Hipertensi


2.3.1 Definisi
Nefrosklerosis hipertensi penyakit ginjal yang disebabkan
karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya
peningkatan tekanan darah. Nefrosklerosis yang terjadi akibat
hipertensi (nefrosklerosis hypersensitive) terbagi menjadi dua
yakni Neproskelrosis benigna dan nefrosklerosis maligna.
2.3.2Etiologi

Nefrosklerosis maligna merupakan suatu keadaan yang lebih


berat, yang terjadi bersamaan dengan hipertensi maligna.
Hipertensi maligna paling sering terjadi akibat tekanan darah
tinggi yang tidak terkendali, tetapi juga bisa terjadi akibat :
- Glomerulonefritis
- Gagal ginjal kronis
- Penyempitan arteri renalis (hipertensi vaskuler renalis)
- Peradangan pembuluh darah ginjal (vaskulitis renalis)
Nefrosklerosis benigna biasanya ditemukan pada dewasa lanjut.
Penyebabnya dikarenakan nefrosklerosis benigna ini sering
dihubungkan dengan arterisklerosis/usia tua dan hipertensi.

2.3.3 Patofisiologi
Tekanan glumerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni
tekanan arteri rerata (mean arterial pressure – MAP) atau tekanan
perfusi, dan kedua arteriol aferen dan arteriol eferen. Kondisi
normal tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan
secara kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular
glomerular. Hal ini karena adanya perlindungan oleh suatu
mekanisme autoregulasi dengan vasokontriksi arteriol aferen untuk
mempertahankan “renal blod flow” dan agar tekanan hidrostatik
intraglomerular dalam keadaan relative konstan. Respon
peningkatan MAP (Mekanisme Autoregulasi Kapiler) adalah
peningkatan resistensi arteriol aferen untuk mencegah tekanan
sistemik yang tinggi dalam kapiler. Sedangkan pada resistensi
arteriol eferen dapat menurunkan dan menyebabkan dekompresi
pada glumerulus. Hal ini berguna untuk membatasi peningkatan
tekanan hidrostatik kapiler glumerular, guna mempertahankan
aliran plasma renal agar dalam kondisi konstan.
Jika MAP berada sedikit diatas batas autoregulasi, yang terjadi
adalah nefrosklerosis benigna, namun jika terjadi peningkatan
akselerasi tekanan darah yang mendadak dapat mengakibatkan
terjadinya nefrosklerosis maligna. Hipertensi yang berlangsung
lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol aferen yang
menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Pada kondisi
ini akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respon
inflamasi. Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator inflamasi, dan
aktivasi angiotensin II intrarenal. Kondisi ini pada akhirnya akan
mengaktivasi apoptosis guna meningkatkan produksi matriks dan
deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis
glomerulus atau nefrosklerosis.
2.3.4 Klasifikasi dan manifestasi klinis

Terdapat dan bentuk nefroskelorosis :


a. Nefrosklerosis maligna
Nefrosklerosis ganas terjadi pada hipertensi maligna.
Komplikasi ini terjadi pada sekitar 5% pasien hipertensi. Sering
dihubungkan dengan hipertensi maligna (tekanan darah
diastolic > 130 mmHg ). Hal ini biasanya terjadi pada dewasa
muda, dan pria terkena dua kali lipat lebih sering daripada
wanita. Proses penyakit berkembang cepat dan lebih dari 50%
pasien meninggal akibat uremia dalam beberapa tahun.
Ginjal berukuran normal atau sedikit membesar dan
mempunyai permukaan yang licin dengan banyak perdarahan
petekia kecil. Secara mikroskopis, terdapat nekrosis fibrinoid
( nekrosis fibrinoid tampak sebagai bahan granular merah muda
yang tampak dengan imunofluoresen ) arteriol dan glomerulus.
Arteri interlobus memperlihatkan proliferasi selular intimal dan
fibrosis yang berlapis-lapis ( kulit bawang ). Penyempitan
lumen menyebabkan ikemia.
Secara klinis, nefrosklerosis ganas bermanifestasi sebagai
proteinuria dan hematuria yang kemudian dengan cepat diikuti
oleh gagal ginjal akut. Tanpa pengobatan, 90% pasien
meninggal dalam satu tahun. Dengan pengobatan antihipertensi
modern, lebih dari 60% pasien dapat bertahan hidup selamaa 5
tahun setelah didiagnosis.
b. Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis benigna adalah kerusakan vaskularisasi pada
ginjal yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang
menetap (hipertensi stage 2) baik primer maupun sekunder
dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan dengan LFG < 60
mL/menit/1,73m2
Nefroskelrosis jinak terjadi pada sebagian besar pasien
hipertensi esensial. Perubahan serupa tampak pada autopsy
pasien usia lanju tanpa hipertensi, akibat proses penuaan.
Terdapat pengurangan ukuran ginjal yang simetris bilateral.
Permukaan ginjal bergranular merata halus dan terjadi
penipisan yang seragam pada korteks ginjal. Secara
mikroskopis, terdapat penebalan hialin dinding arteri kecil dan
ateriol (penyempitan lumen pembuluh darah ini menyebabkan
iskemia glomerulus kronis), sklerosis global pada glomerulus,
dan atrofi neuron dengan fibrosis intertisial. Dengan
imunofloresensi dan mikroskop electron tidak tampak adanya
bukti deposit imun. Perubahan nefroskelrosis jinak biasanya
ringan. Gagal ginjal kronis terjadi kurang dari 5% kasus.
Manifestasi klinis pasien dengan nefrosklerosis benigna
jarang mengeluh gejala renal, gejala yang muncul :
- Proteinuria ringan
- Nokturia
2.3.5 Pemeriksaan Penunjang
Biopsy ginjal pada nefrosklerosis hipersensitif serupa
dengan kondisi pada nefropati diabetic. Biopsy ginjal hanya
dilakukan pada keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang
tidak mengalami akselerasi hipertensi atau riwayat hipertensi yang
lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari 2,5 mg/dl
dan proteinuria lebih dari 1500 mg per 24 jam meski ada juga yang
menyebabkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg / 24 jam.

2.3.6 Penatalaksanaan
Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada
penelitian AASK ( African American Study of Kidney Disease and
Hypertension ). AASK meneliti 1094 orang ras Afrika-America
ang hipertensi kronik dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya serta adanya proteinuria ringan berkisar
500 – 600 mg per hari. Digunakan tiga obat antihipertensi yakni
ramipril, metoprolol dan amlodipin. Target penurunan tekanan
darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90mmHg. Sasaran primer
pada akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat pertama
terjadi penurunan LFG 50% atau LFG 25 ml/menit/1,73 m2, saat
terjadi gagal ginjal atau saat kematian. Penelitian ini selama 4
tahun, didapatkan rerata penurunan tekanan darah tertinggi adalah
141/85 mmHg dan rerata penurunan tekanan darah terendah adalah
128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata tidak berbeda bermakna
pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg.
hal ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang 140/90
mmHg tidak memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok
jenis obat, ramipril menunjukkan hasil sasaran primer yang lebih
baik dibandingkan dengan metoprolol atau berbeda bermakna
dengan amlodipin. Namun setelah 10 tahun penelitian, tidak
didaapatkan perbedaaan bermakna antara ketiga jenis
antihipertensi maupun penurunan tekanan darah serendah mungkin
terhadap progresi penurunan LFG.

2.3.7 Komplikasi
Hipertensi merupakan penyeybab kedua terjadinya penyakit
ginjal tahap akhir. Sekitar 10% individu pengidap hipertensi
esensial akan mengalami penyakit ginjal tahap akhir. Pada
nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri ginjal tampak tebal,
lumen menyempit, dan ada kapiler glomerular yang sklerotik dan
kempis. Perubahan vascular ini dapat menyebabkan suplai darah
ke ginjal berkurang. Tubulus ginjal juga mengalami atrofi. Pada
nefrosklerosis benigna, tanda dan gejalanya juga ringan seperti
proteinuria ringan. Nokturia dapat terjadi karena kemampuan
tubula mengonsentrai urine juga berkembang.
Walaupun insufisensi ginjal yang terjadi ringan, pasien ini
memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal ginjal akut.
Pada nefrosklerosis maligna, perubahan besarnya adalah
nekrosis dan penebalan arteriola, kapiler glomerular, serta atrofi
tubula yag terbesar. Selain itu terjadi hematuria makrospik
proteinuria berat dan peningkatan kreatinin plasma. Nefrosklerosis
maligna adalah kondisi kedaruratan medis. Tekanan darah yang
tinggi harus diturunkan untuk menghindari kerusakan ginjal yang
permanen dan kerusakan ginjal yang permanen dan kerusakan
organ tubuh yang vital, misalnya otak dan jantung. Tanda dan
gejalanya sama dengan gagal ginjal kronik.

2.3.8 Pencegahan
Pencegahan yang baik adalah penapisan rutin untuk
mendeteksi hipertensi, dan perawatan lanjut. Strategi
pencegahan yang efektif dalam mengindentifikasi individu
yang beresiko tinggi ( usia, obesitas, diabetes mellitus,
riwayat keluarga positif, perokok, dan tidak melakukan
gerak badan ) dan menerapkan modifikasi hidup yang
sesuai. Pasien dengan nefrosklerosis perlu juga mengetahui
jenis obat, modifikasi diet, dan perawatan lanjut. Ia perlu
diberi pengetahuan dan keterampilan memantau tekanan
darahnya serta mengukur asupan dan haluaran cairan.

Anda mungkin juga menyukai