Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

“FRAMBUSIA”

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kepanitraan Klinik Madya di Bagian SMF Kulit dan
Kelamin RSUD Abepura

Pembimbing:

dr. Titie Soepraptie, Sp.KK, FINSDV

dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK

Oleh :

Nurillah Intan Permatasari

Gafri Bumbungan Tandililing

Reiner Surira Kombong Langi’

Theresia Marlen Loinenak

SMF DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABEPURA

2018
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan referat mengenai “Frambusia” sebagai salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Kami mengucapkan terima kasih
kepada dr. Titie Soepraptie, Sp.KK, FINSDV dan dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK atas
waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan karya tulis ini. Kami
menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam pembuatan referat ini. Oleh karena
itu, kami mohon maaf apabila terdapat kekeliruan dalam penulisan karya tulis ini. Kritik dan saran
sangat kami harapkan demi perbaikan di kemudian hari. Semoga referat ini dapat menambah
pengetahuan para pembaca mengenai penyakit frambusia. Atas perhatian yang diberikan, kami
mengucapkan terima kasih.

Jayapura, 22 November 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Endemic non-venereal treponematoses adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang
terkait erat dengan Treponema pallidum pallidum yang merupakan kuman penyebab sifilis.
Keduanya dibedakan berdasarkan cara penularan, distribusi geografik, usia perolehan, dan
manifestasi klinik. Penyakit yang termasuk endemic non-venereal treponematoses adalah
frambusia, sifilis endemik, dan pinta. Dari ketiga penyakit tersebut, frambusia merupakan
treponematosis yang paling sering dijumpai. . (Marks M et all. 2015)

Frambusia atau yaws adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema
pallidum pertenue. Penyakit ini menyerang kulit, tulang, dan kartilago. Berbeda dengan sifilis,
frambusia tidak menular melalui kontak seksual. Frambusia ditularkan secara kontak langsung
non seksual melalui cairan getah (eksudat) dan serum dari lesi kulit penderita. Treponema
pallidum pertenue tidak dapat menembus kulit yang utuh. Luka kecil pada kulit dapat
menyebabkan penetrasi kuman. (Mitja et all 2016)

Penyakit frambusia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Indonesia


merupakan satu-satunya Negara diregional Asia Tenggara yang melaporkan adanya kasus
Frambusia berdasarkan laporan WHO tahun 2012. Pada tahun 2014, dilaporkan adanya1.521
kasus Frambusia di Indonesia, terutama di provinsi Banten, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Tenggara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Hasil survai serologi tahun 2012 dibeberapa
kabupaten/kota, menunjukkan prevalensi Frambusia berkisar antara 20-120 per 100.000
penduduk usia 1-15 tahun. (Permenkes)

Manifestasi klinis Yaws dapat dibagi menjadi beberapa stadium yakni stadium primer,
stadium sekunder, stadium latent, dan stadium tersier. (Marks M et all. 2015)
1.2. Tujuan
Mengetahui transmisi, daerah endemik, gejala klinis, diagnosis dan tatalaksana penyakit
frambusia.

1.3. Manfaat
Penulis berhadap referat ini menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai penyakit
frambusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Endemic non-venereal treponematoses adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri


yang terkait erat dengan Treponema pallidum pallidum yang merupakan kuman penyebab
sifilis. Keduanya dibedakan berdasarkan cara penularan, distribusi geografik, usia
perolehan, dan manifestasi klinik. Penyakit yang termasuk endemic non-venereal
treponematoses adalah frambusia, sifilis endemik, dan pinta. Dari ketiga penyakit tersebut,
frambusia merupakan treponematosis yang paling sering dijumpai. (Marks M et all. 2015)

Frambusia atau yaws adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Treponema pallidum pertenue. Penyakit ini menyerang kulit, tulang, dan kartilago.
Berbeda dengan sifilis, frambusia tidak menular melalui kontak seksual. Frambusia
ditularkan secara kontak langsung non seksual melalui cairan getah (eksudat) dan serum
dari lesi kulit penderita. Treponema pallidum pertenue tidak dapat menembus kulit yang
utuh. Luka kecil pada kulit dapat menyebabkan penetrasi kuman. (Mitja et all 2016)

2.2 Epidemiologi

Penyakit frambusia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.


Indonesia merupakan satu-satunya Negara diregional Asia Tenggara yang melaporkan
adanya kasus Frambusia berdasarkan laporan WHO tahun 2012. Pada tahun 2014,
dilaporkan adanya1.521 kasus Frambusia di Indonesia, terutama di provinsi Banten, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua dan Papua Barat. Hasil survai
serologi tahun 2012 dibeberapa kabupaten/kota, menunjukkan prevalensi Frambusia
berkisar antara 20-120 per 100.000 penduduk usia 1-15 tahun. (Permenkes)

Frambusia masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Papua, terutama di Kota
Jayapura. Penyakit ini belum optimal diberantas meskipun pengobatan massal secara rutin
dilakukan. Insiden Frambusia di Papua tercatat 729 kasus selama 2012 dan 26,7% dari total
kasus yang ditemukan di Jayapura. Total kasus menurun pada tahun 2013 tercatat 714
kasus di Papua. Pada tahun 2014 total kasus menurun menjadi 237 kasus, 53% total kasus
yang ditemukan di Jayapura. Wilayah Hamadi adalah contributor tertinggi untuk kasus
Frambusia di kota Jayapura. (Yuli Arisanti)

2.3 Etiologi

Pada tahun 1905, castellani menemukan subspecies Treponema yaitu


pertenue,organisme penyebab frambusia. Kuman ini terlihat tipis, menyerupai pembuka
botol berwarna perak dengan galur melingkar-lingkar, dan bergerak khas dengan gerakan
memutar cepat. Cara penularan melalui kontak langsung dengan sekret luka (dari orang ke
orang) baju yang terkontaminasi. Treponema Pertenue tidak dapat menginvasi kulit yang
utuh dan juga tidak dapat melalui sawar plasenta atau kongenital. Faktor pendukung
penyebaran frambusia ialah kepadatan penduduk yang tinggi dan sanitasi lingkungan yang
buruk. (Patrik, Michael)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan frambusia antara


lain: (Permenkes)

1. Lingkungan kumuh, hangat, dan lembab. Penularan tinggi pada musim penghujan.
2. Jarang mandi.
3. Bergantian menggunakan pakaian yang sama dengan orang lain atau jarang berganti
pakaian.
4. Luka terbuka atau adanya penyakit kulit seperti bisul dapat menjadi tempat masuk
bakteri frambusia.

2.4 Histopatologi
Pada banyak Treponema terdapat di epidermis pada tempat-tempat terserang. Pada
stadium I terjadi akan tosis dan papiloma tosis. Pada dermis terhadap infiltrat padat terdiri
atas sel plasma, netrofil, eosinophil, limfosit, histiosit, dll. Pada stadium II gambarannya
sama seperti pada stadium I. stadium III kelainannya tanpa kelainan pembuluh darah.
(Marks M et all. 2015, Fitzpatrick)

2.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis frambusi atau yaws dapat dibagi menjadi beberapa stadium yakni
stadium primer, stadium sekunder, stadium latent, dan stadium tersier. (Marks M et all.
2015)

1. Stadium primer
Sebuah papul muncul ditempat infeksi, setelah sekitar 21 hari. Kemudian dapat
berkembang menjadi papiloma eksudatif berukuran 2-5 cm atau berdegenerasi untuk
membentuk ulkus yang tidak lunak yang ditutupi oleh kerak kuning. Limfadenopati regional
sering terjadi, lesi genital jarang terjadi. Lesi primer indolens dan memakan waktu 3-6 bulan
untuk sembuh dan lebih sering meninggalkan bekas luka berpigmen. Lesi primer masih ada
ketika terjadi pada stadium sekunder. (Marks M et all. 2015)

1. Stadium Sekunder
Penyebaran hematogen dan limfa dari treponema menimbulkan lesi sekunder, paling
sering satu sampai dua bulan setelah lesi primer. Malaise dan linfadenopati dapat terjadi.
Manifestasi yang paling terlihat pada kulit dan tulang. (Marks M et all. 2015)
- Kulit
Ruam menjadi papula yang berukuran kepala jarum pentul, kemudian menjadi
pustular atau berkrusta dan dapat bertahan selama berminggu-minggu. Jika kerak
diangkat, terlihat seperti rasberry. Kadang-kadang papula membesar dan menyatu menjadi
lesi yang menyerupai kembang kol. Paling sering pada wajah, bada, genital, dan bokong.
Makula bersisik dapat dilihat lesinya menyerupai kondiloma sifilis. (Marks M et all.
2015)
Lesi kulit pada frambusia dini sering gatal dan terlihat fenomena koebner. Lesi
papular dan makular sering terlihat. Lesi sekunder dapat sembuh sendiri dengan atau tanpa
jaringan parut. (Marks M et all. 2015)
Makula skuamosa atau plantar dapat menyerupai sifilis pada stadium sekunder. Lesi
pada telapakm kaki bisa menjadi hiperkeratosis, retak, dan berubah warna. Hal ini dapat
menyebabkan rasa sakit dan berjalan seperti kepiting. (Marks M et all. 2015)
Ada beberapa bukti bahwa manifestasi dari frambusia diera modern kurang semerbak
dari yang dilaporkan sebelumnya. (Marks M et all. 2015)
- Tulang
Frambusia stadium sekunder menyebabkan osteoperiostitis. Pada tulang panjang
terjadi nyeri nokturnal dan terlihat penebalan periosteal. Pada proksimal jari-jari falang
dapat terlihat polydactylitis. (Marks M et all. 2015)

2. Stadium laten
Individu dengan stadium laten memiliki tes serologi reaktif tetapi tidak ada tanda-tanda
klinis. Pasien dengan stadium primer dan sekunder dapat melewati periode laten setelah
resolusi tanda-tanda klinis. Kekambuhan dapat terjadi hingga 5 tahun setelah infeksi. Lesi
yang kambuh cenderung terjadi disekitar aksila, anus, dan mulut. (Marks M et all. 2015)

3. Stadium tersier
Stadium tersier diperkirakan terjadi pada sekitar 10% pasien yang tidak diobati, meskipun
manifestasinya jarang terjadi. Hiperkeratosis pada telapak tangan dan telapak kaki dan plak
dapat terjadi. Nodul dapat terbentuk didekat sendi dan ulserasi menyebabkan nekrosis
jaringan. “sabre tibia” hasil dari osteo-periostitis kronis. Gangosa atau rinofaringitis
menunjukkan ulserasi pada langit-langit mulut dan nasofaring sekunder akibat osteitis.
Gangosa merupakan komplikasi langkah bahkan ketika frambusia hiperendemik dan ditandai
dengan eksostosis tulang maksilaris. (Marks M et all. 2015)

2.6 Diagnosa klinis

1. Anamnesa
Untuk anamnesa tannyakan riwayat tinggalnya apakah didaerah endemik atau tidak,
riwayat kontak dengan orang yang sakit sepertinya sebelumnya, tanyakan onset gejala klinis,
tanyakan juga kebersihan pasien. (Rachmawati R. 2015)

2. Pemeriksaan fisik
Pada stadium primer ditemukan papula eritematous soliter, meskipun beberapa lesi
kadang-kadang terjadi. Kemudian terjadi ulkus yang ditutupi oleh kerak kekuningan dan tepi
dan pangkal bergranulasi. Kemudian ukurannya meningkat menyerupai rasberry. Pada tahap
sekunder lesi multipel berkembang. Terdapat papul, lesi exophytic, ulkus, dan plak bersisik.
(Griffiths c et all. 2016)

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan radiologi. (Marks M et all. 2015)
Pemeriksaan laboratorium:
- Miksroskop gelap
Ditemukan treponema pallidum spp. Sampel diambil dari lesi stadium primer dan
sekunder. (Marks M et all. 2015)
- PCR
Pengujian PCR dari sampel dapat mengidentifikasi T. Pallidum spp pertenue pada
tingkat sub species dengan menggunakan PCR real time dan sekuensing DNA dan erupsi
kulit pruritus. (Marks M et all. 2015)
- Serologi
Pada pemeriksaan serologi tidak dapat membedakan antara sub spesies T. Palidum.
(Marks M et all. 2015)
- Cardiolipin test
Veneral Disease research laboratory (VDRL) dan rapid plasma reagin (RPR)
menggunakan antigen cardiolipin, lestin dan kolesterol. Antibodi yang diturunkan dari
pasien yang diproduksi terhadap lipid dipermukaan sel T. Pallidum bereaksi dengan
antigen untuk menyebabkan flokulasi. VDRL di kerjakan dengan mikroskop, sedangkan
RPR bisa dengan mata keranjang. Meskipun non spesifik , titer VDRL/RPR paling baik
untuk aktivitas penyakit. Titer RPR lebih tinggi pada stadium primer dari pada stadium
sekunder. (Marks M et all. 2015)
- Test treponemal
Ini termasuk uji hemaglutinasi T. Pallidum (TPHA) dan uji T. Pallidum partikel
agglutinasi (TPPA). Mereka lebih spesifik dari pada tes kardiolipin. (Marks M et all.
2015)
Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi, stadium sekunder ditemukan osteoperiostitis. (Marks M et


all. 2015)

2.7 Diagnosa banding

Diagnosis banding yang menyerupai dengan penyakit ini adalah ulkus tropik dan sifilis.
(Griffiths c et all. 2016)

2.8 Terapi
Pilihan utama untuk terapi frambusia adalah benzatin penisilin. Obat alternatif
lainnya yang dapat diberikan yaitu tetrasiklin, doksisiklin dan eritromisin.
Azitromisin dosis tunggal, antibiotik makrolid oral, sebelumnya telah terbukti
efektif dalam pengobatan sifilis, sehingga dipertimbangkan juga sebagai pengobatan
alternatif atau sebagai POPM (Pemberian Obat Pencegahan secara Masal) untuk frambusia
Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :
1. Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka
seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2. Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka
penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan.
3. Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun <
2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan.
4. Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid
dalam kelas yang sama.

UMUR NAMA OBAT DOSIS CARA LAMA


PEMBERIAN PEMBERIAN
Pilihan Utama
< 10 tahun Benzatin Penisilin 600.000 IU IM Dosis tunggal
≥ 10 tahun Benzatin Penisilin 1.200.000 IU IM Dosis tunggal
Alternatif
< 12 tahun Eritromisin 8-10 mg/KgBB/6 jam Oral 15 hari
8-15 tahun Tetrasiklin / eritromisin 250 mg, 4 x sehari Oral 15 hari
> 15 tahun Tetrasiklin / eritromisin 500 mg, 4 x sehari Oral 15 hari
> 8 tahun Doksisiklin 2-5 mg/KgBB/6 jam Oral 15 hari
Dewasa Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari Oral 15 hari
Anak/Dewasa Azitromisin 30 mg/KgBB, Oral Dosis tunggal
maksimal 2 gr

2.9 Pencegahan dan Pemberantasan

1. Upaya Pencegahan
 Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat tentang treponematosis, jelaskan kepada masyarakat untuk memahami
pentingnya menjaga kebersihan perorangan dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk
penggunaan air dan sabun yang cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi
sosial ekonomi dalam jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
 Mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam upaya
pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik di wilayah
tersebut.periksalah seluruh anggota masyarakat dan obati penderita dengan gejala
aktif atau laten. Pengobatan kontak yang asimptomatis perlu dilakukan dan
pengobatan terhadap seluruh populasi perlu dilakukan jika prevalensi penderita
dengan gejala aktif lebih dari 10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang
berkesinambungan merupakan kunci sukses upaya pemberantasan.
 Survey serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada anak-anak
untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif yang menyebabkan
penularan penyakit pada komunitas tetap berlangsung.
 Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat melakukan
diagnosa dini dan pengobatan dini sebagai bagian dari rencana kampanye
pemberantasan di masyarakat.
 Lakukan penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan gejala lanjut.
(Depkes RI, 2007)

2. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar


 Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang,
 Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan
sampai luka sembuh,
 Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge
dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur,
 Karantina: Tidak perlu,
 Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan
penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif
diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati
semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang
kontak dengan sumber infeksi. (Depkes RI, 2007)

3. Upaya penanggulangan wabah: Lakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat


di daerah dengan prevalensi tinggi. (Depkes RI, 2007)

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Frambusia atau yaws adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema
pallidum pertenue. Penyakit ini menyerang kulit, tulang, dan kartilago. Frambusia ditularkan
secara kontak langsung non seksual melalui cairan getah (eksudat) dan serum dari lesi kulit
penderita. Treponema pallidum pertenue tidak dapat menembus kulit yang utuh. Luka kecil
pada kulit dapat menyebabkan penetrasi kuman.
Frambusia masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Papua, terutama di Kota
Jayapura. Penyakit ini belum optimal diberantas meskipun pengobatan massal secara rutin
dilakukan.
Manifestasi klinis frambusia atau yaws dapat dibagi menjadi beberapa stadium yakni
stadium primer, stadium sekunder, stadium laten, dan stadium tersier.
Pilihan utama untuk terapi frambusia adalah benzatin penisilin. Obat alternatif lainnya
yang dapat diberikan yaitu tetrasiklin, doksisiklin, eritromisin, dan azitromisin.
Pada prinsipnya pencegahan yang dapat kita lakukan adalah pemutusan rantai penularan
kuman dengan deteksi dini dan pengobatan yang tepat dan efektif terhadap penderita dan
orang yang kontak langsung dengan penderita. Dengan demikan proses transmisi penyakit
dapat kita batasi. Selain itu higienitas perorangan dan sanitasi lingkungan perlu kita pelihara
dengan baik karena hal tersebut juga merupakan faktor risiko penularan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Michael Marks et al. 2015. Yaws. Vol 26. International Journal of STD & AIDS. vol 26 (10);
696-703 https://journals.sagepub.com
2. Permenkes. 2017. Eradikasi Frambusia. www.ditjenpp.kemenkumham.go.id.

3. Wolff, Klaus et al. Fitzpatrick Dermatology in general:


Yaws.medicine:www.emchnet.com.pdf.Fitzpatrick

4. Yuli Arisanti, dkk. 2017. Serologic observation and risk factor of Yaws in Hamadi Public
Health Center, Jayapura. Vol 8. https://ejournal.litbang.depkes.go.id

5. Griffiths c et all. 2016. Rooks textbook of dematology Ed 9th. John Wiles & Sons Ltd. USA:
26.67-26.68

6. Rachmawati R. 2015. Kesesuaian gambaran klinis frambusia menurut pedoman WHO dengan
kepositivan treponema pallidium hemagluttination assay (TPHA). FK UI. Jakarta: 32

7. Depkes RI. 2007. Pedoman Eradikasi Frambusia. Jakarta: Depkes RI

8. Mitja O, Asiedu K, Mabey D. Yaws. www.thelancet.com [internet]. 2016 [accessed 20


November, 2018]. Available at http:// http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(12)
62130-8

Anda mungkin juga menyukai