Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN RADIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2019


UNIVERSITAS HASANUDDIN

AKALASIA ESOFAGUS

DISUSUN OLEH :
1. Farra Y Pattipawae 2013-83-062
2. Zwesty A Salhuteru 2013-83-063
3. Weynasari F Pagaya 2013-83-064
4. Mathilda I Uniplaita 2013-83-065
5. Viory C Rumfot 2014-83-001

PEMBIMBING RESIDEN :
dr. Rufik

DOSEN PEMBIMBING :
Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp. Rad(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
2

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


1. Ikram Syah Maulana 2013-83-053
2. Farra Y Pattipawae 2013-83-062
3. Zwesty A Salhuteru 2013-83-063
4. Weynasari F Pagaya 2013-83-064
5. Mathilda I Uniplaita 2013-83-065
6. Viory C Rumfot 2014-83-001

Judul Laporan Kasus: Akalasia Esofagus


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Januari 2019


Dosen Pembimbing Pembimbing Residen

Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp. Rad(K) dr. Rufik

Penguji Lisan

Mengetahui,
Kepala Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp.Rad (K)


3

DAFTAR ISI

SAMPUL.........................................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
BAB II..............................................................................................................................6
A. Identitas Pasien..............................................................................................6

B. Anamnesis.....................................................................................................6

C. Pemeriksaan Fisis..........................................................................................7

D. Pemeriksaan Laboratorium............................................................................8

F. Pemeriksaan Radiologi..................................................................................9

BAB III..........................................................................................................................14
A. Anatomi dan Fisiologi.................................................................................14

B. Definisi........................................................................................................22

C. Etiologi........................................................................................................23

D. Patofisiologi.................................................................................................23

E. Epidemiologi...............................................................................................24

F. Diagnosis.....................................................................................................25

G. Diagnosis Banding.......................................................................................27

H. Penatalaksanaan...........................................................................................29

I. Komplikasi..................................................................................................30

J. Prognosis.....................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................33
4

BAB I
PENDAHULUAN

Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,


Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi
esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti
“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower
esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung)
untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan
relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi
bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia
merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa
penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.1,2

Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1672. Mula-mula
diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan
dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam
lambung. Pada tahun 1908 Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter
balon. Pada tahun 1913 Heller melakukan pembedahan dengan cara
kardiomiotomi di luar mukosa yang terus dianut sampai sekarang.1,2,3 Namun,
Penyebab dari achalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas
penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan
infeksi, kelainan atau yang diwariskan (genetik), sistim imun yang menyebabkan
tubuh sendiri untuk merusak esophagus (penyakit autoimun), dan proses penuaan
(proses degeneratif).1,2 Achalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang
terjadi. Prevalensi akalasia esophagus sekitar 10 kasus per 100.000 populasi di
mana rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan yaitu
1:1. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi
antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade
5

pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada
pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.1,3

Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan
mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini
sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden
death. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan
diagnosis Akalasia esofagus. Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan
manometrik.1 Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik
esofagus tidak dapat dipulihkan kerabali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).2

BAB II
PRESENTASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. MS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 17 maret 1963
6

Agama : Islam
Alamat : Mamuju, Sulawesi Barat
Ruang perawatan : Pasien Rawat jalan (Poli Digestive)
MR : 306245

B. Anamnesis
 Keluhan utama
Sulit menelan (Disfagia)
 Riwayat penyakit sekarang
Dialami sejak 6 bulan yang lalu ketika makan, berawal dari rasa mual
yang dialami pasien ketika selesia makan, setelah itu berlanjut lagi ketika
makan harus disorong mengunakan air. akibat susah menelan pasien
mengalami penurunan berat badan (BB) ≤ 10kg dalam 1 bulan terakhir.
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Hipertensi tidak ada, DM disangkal,Riwayat Asma (-), Riwayat
konsumsi OAT tidak ada, riwayat merokok ada.
 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien. Tidak
ada anggota keluarga menderita kesulitan menelan.
 Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan.

C. Pemeriksaan Fisis
 Keadaan umum : sakit sedang
 BB/TB : 65 Kg
 TB : 160 cm
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda Vital
7

o Tekanan darah : 120/81 mmHg


o Freukuensi nadi : 76 kali/menit
o Pernapasan : 20 kali/menit
o Suhu : 36,6 oC
 Status general
1. Kepala Leher : anemis (-), ikterik(-), pupil anisokor(-), kelenjar
limfe membesar (-)
2. Kulit : warna sawo matang, turgor cepat, sianosis (-),
ikterus (-), edema (-)
3. Mata : pucat (+/+), hematom (-/-), pupil isokor 3mm/3mm,
sklera icterik (-/-) , sklera hiperemis (-/-)
4. Telinga : AD normotia, CAE lapang, serumen (+), membran
timpanius intak, refleks cahaya (+)
5. Hidung : nafas cuping hidung (-), massa (-/-), sekret (-/-),
deviasi septum (-/-), hiperemis konka (-/-)
6. Tenggorokan : bibir kering (+), sianosis (-), arcus faring simetris ,
pucat (+), uvula di tenggah, tonsil T1/T3 hiperemis
7. Leher : pembesaran KGB (-), kelenjar getah bening kesan
simetris, pembesaran (-), peningkatan TJV (-), R5-
2 cmH2O
8. Axila : pembesaran KGB (-)
9. Thoraks : paru-paru: tampak simetris, sonor(+), vesikuler(+),
ronki(-/-), whezzing (-/-)
jantung : Bunyi jantung I>II, reguler, bising (-)
10. Abdomen : inspeksi distensi(-), simetris, massa(-). Palpasi
nyeri tekan(-), soepel(+), hepar, lien dan renal tidak
teraba. Perkusi pekak hati(+), timpani (-).
Auskultasi peristaltik dalam batas normal
11. Ekstremitas : superior: edema (-/-), sianosis (-/-)
inferior: edema (-/-), sianosis (-/-)
genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan
8

D. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel. 2.1 Nilai Hematologi pada pasien serta rujukannya
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hb 14,8 13-16 /ul
WBC 6200 3200-10.000
Platelet 289.000 /ul
Eritrosit 3,9 4,5-5,5 /ul
Trombosit 3,7 150-450 mm3
PT 10,2 10-14 /dtk
APTT 24,7 22,0-30,0 /dtk
INR 0,85 -
Hitung jenis
EOS 1 0-3 /Detik
BAS 0 0-1
N.Seg 56 35-66 /Detik
Lim 37 24-44
Mon 5 3-6
Elektrolit
Natrium
Kalium 2,5 3,6-4,8 mmol/L
Klorida 104 97-111 mmol/L
Klinik
(SGOT) 24 <37 U/l
(SGPT) 27 <37 Mg/dl
Kreatinin 1,0 L(1,3) P(1.1) Mg/dl
Ureum 19 10 – 50 mg/dl
Glukosa Darah Sewaktu 115 80 ~ 150 mg/dl
Alb 3,50 3,8-5,0 g/%
Globulin 3,50 2,3-3,2 g/%
HBSag Non-reactive

E. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Tharox AP dan Foto Polos Abdomen AP
9

Gambar.1.1 Foto thoraks AP

Gambar.2.2 Foto Polos Abdomen tampak AP


10

Gambar 2.3 Foto polos abdomen tampak AP

Foto Polos Abdomen AP :


- Udara usus terdistribusi sampai distal
- Tidak tampak dilatasi loop-loop usus dan gambaran herring bone
- Kedua psoas dan peritoneal fat line baik
- Tampak bayangan radioopaque pada regio hipokondrium dextra setinggi
CV Th12-L1 berukuran +/- 1,2x1,1cm
- Tulang-tulang intak
Kesan : cholelith
11

2. Hasil Foto Oesophagography (08 januari 2019)


12
13

Hasil Foto Oesophafography :


- Kontras barium sebanyak +/- 250 ml diminumkan
- Dengan fluroscope tampak kontras mengisi dengan lambat oesophagus
hingga ke gaster
14

- Tampak penyempitan pada distal esofagus dengan tepi reguler dan dilatasi
dibagian proksimalnya membentuk gambaran bird beak sign
- Mukosa esofagus reguler
- Tidak tampak filling defect, additional shadow, maupun ekstravasasi kontras

Kesan: Gambaran akalasia esofagus

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Intestinal


1. Anatomi
Fungsi dari mulut dan struktur yang berasosiasi dengan mulut adalah sebagaii
penerima pertama makanan, yang memulai pencernaan melalui proses mastikasi,
kemudian menelan. Mulut, yang disebut juga oral cavity/rongga mulut dibentuk
oleh pipi, bibir, palatum durum (keras), dan palatum molle (halus), dan lidah.
Batas: Anterior: bibir; Lateral: pipi; Superior: palatum; Inferior: lidah; Posterior:
isthmus faucium.4
Mulut dibagi menjadi vestibulum oral dan cavitas oral propria. Bukaan dari
rongga mulut disebut juga orifisia oris (oral orifice). Cavitas oral propria
merupakan ruang yang memanjang dari gusi dan gigi ke fauces (lubang atau pintu
masuk antara rongga mulut dengan orofaring). Batas dari struktur ini: atap mulut,
15

bagian anterior dibatasi palatum durum, posterior dibatasi palatum molle; daerah
lantai dibatasi 2 /3 lidah dan gusi; dasar mulut, frenulum lidah.4,6
Bibir atau labia merupakan lipatan daging yang mengelilingi mulut. Bibir
terdiri dari otot orbicularis oris dan dilindungi dari luar oleh kulit dan dari dalam
oleh membran mukosa. Permukaan dalam setiap bibir berhubungan dengan gigi
melalui suatu lipatan pada garis tengah bibir yang disebut labial frenulum.. Ketika
mengunyah, kontraksi dari otot buccinator yang terdapat di pipi bekerja sama
dengan otot orbicularis yang terdapat pada bibir untuk mempertahankan makanan
agar tetap berada di antara gigi atas dan gigi bawah, yang juga berperan ketika
berbicara. Bukaan dari rongga mulut disebut juga orifisia oris (oral orifice). 4,6
Pipi membentuk dinding lateral rongga mulut dari luar oleh kulit dan dilapisi
dari dalam oleh membran mukosa. Membran mukosa merupakan lapisan kulit tak
berkeratin dan terdiri dari epitel skuamosa. Otot-otot buccinator dan jaringan ikat
berada di antara kulit dan membran mukosa pipi. Bagian anterior pipi ini
kemudian menjadi bibir. 4,6
Palatum merupakan dinding atau septum yang memisahkan rongga mulut dari
rongga nasal yang kemudian membentuk atap mulut. Struktur ini sangat penting
karena memungkinkan pernapasan dan pengunyahan terjadi secara bersamaan.
Palatum durum (keras), yang merupakan bagian anterior dari atap mulut terbentuk
oleh tulang maksila dan palatin yang dilindungi oleh membran mukosa. Struktur
ini membentuk sekat dari tulang di antara rongga mulut dan nasal. Sedangkan
palatum halus, membentuk bagian posterior dari atap mulut, yang merupakan otot
melengkung yang membentuk sekat di antara orofaring dan nasofaring yang
dilapisi membran mukosa. 4,6
Lidah berfungsi untuk menggerakkan makanan saat mastikasi dan membantu
dalam proses menelan. Lidah berupa otot rangka yang diselubungi oleh membran
mukosa. Otot ekstrinsik lidah menggerakkan lidah dari sisi-ke-sisi dan keluar-
masuk. Dua per tiga bagian lidah berada di rongga mulut, sementara sepertiganya
berada di faring, melekat dengan tulang hioid. Tonsila lingualis berada pada
permukaan superior dari pangkal lidah, dan bagian inferior lidah berhubungan
dengan garis tengah dari dasar mulut dengan frenulum lingualis. Pada permukaan
16

lidah terdapat papilla yang memberikan permukaan kasar pada lidah yang
membantu pergerakan makanan dan sebagian memiliki kuncup pengecap. Lidah
dipersarafi oleh n. trigeminus (n. maksila dan mandibula) gerakan mengunyah, n.
fasilalis mempersarafi 2/3 anterior lidah dengan fungsi sensoris mengecap dan
autonom berupa sekresi saliva , n. glosofaringeus 1/3 posterior lidah yang
berfungsi untuk sensoris mengecap dan mengangkat faring ketika menelan serta
autonom berupa sekresi saliva, n. hipoglosus untuk pergerakan lidah. Terdapat 4
tipe papillae yakni papillae filliform, fungiform, vallate, foliate. Lidah
divaskularisasi oleh arteri dan vena lingual. 4,6

Gigi, terdapat 4 jenis gigi, yaitu gigi seri/incisors, gigi taring/canines, dan gigi
geraham premolar dan molar. Gigi geraham memiliki permukaan buccal yang
bersinggungan dengan pipi, sementara gigi seri dan gigi taring memiliki
permukaan labial yang bersinggungan dengan bibir. Semua gigi memiliki
permukaan lingual yang bersinggungan dengan lidah. 4,6
Kelenjar saliva merupakan kelenjar pencernaan aksesoris yang menghasilkan
saliva. Banyak kelenjar-kelenjar saliva minor yang berlokasi di membran mukosa
daerah palatum di dalam rongga mulut, akan tetapi terdapat 3 pasang kelenjar
saliva di luar rongga mulut yang memproduksi sebagian besar dari saliva yang
dialirkan ke rongga mulut melalui saluran tertentu. Kelenjar salivia berfungsi
untuk membuka ke dalam rongga oral. Dibagi menjadi kelenjar ludah intrinsik
(kelenjar pada lidah, palatum, bibir, pipi) dan ekstrinsik (kelenjar parotis,
submandibular, dan sublingual). 4,6
Kelenjar parotid merupakan kelenjar saliva terbesar, yang berada di bagian
depan-bawah dari daun telinga, di antara kulit dan otot masseter. Saliva yang
diproduksi kelenjar ini dialirkan melalui duktus parotid (Stensen’s) yang
keluar di rongga mulut berhadapan dengan gigi molar atas kedua. Kelenjar
submandibular berada di bawah mandibula, di sisi dalam dari rahang, ditutupi otot
mylohioid. Saliva dari kelenjar ini dialirkan melalui duktus submandibularis
(Wharton’s), yang keluar di dasar mulut di bagian lateral dari frenulum lingualis.
Kelenjar sublingualis berada di bawah membran mukosa dari bagian dasar
17

mulut, dangan saliva yang dikeluarkan melalui duktus sublingual (Rivinus


duct) yang keluar di dasar mulut pada area posterior dari papilla ductus
submandibularis. 4,6

Gambar 3.1. Anatomi Leher


Sumber: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2012.6
Faring dibagi menjadi 3 bagian: Nasopharynx (respirasi), Oropharynx
(respirasi dan pencernaan), Laryngopharynx (respirasi dan pencernaan). Faring
membuka ke esophagus setinggi VC VI. Ketika makanan pertama kali ditelan,
makanan lewat dar mulut ke dalam faring, tabung corong kerucut yang
menyambung dari internal nares ke esofagus porterior dan ke laring anterior.
Faring disusun dari otot rangka dan dilapisi oleh membran mukosa. Makanan
yang ditelan melewati mulut ke dalam orofaring dan laringofaring; kontraksi otot
pada daerah ini membantu mendorong makanan ke esofagus lalu ke lambung.
Faring membentang dari palatum molle hingga batas superior epiglotis. Arcus
palatoglossus merupakan lipatan membran mukosa yang menutupi musculus
palatogossus. Daerah antara arcus palatoglossus disebut isthmus faucium. Arcus
palatopharyngeus merupakan lipatan membran mukosa pada dinding lateral
orofaringdan menutupi musculus palatopharyngeus. 4,6
18

Gambar 3.2. Dinding Esofagus


Sumber: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2012.6
Esofagus merupakan bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
faring dengan lambung. Esofagus merupakan organ berbentuk tabung yang
memiliki panjang kurang lebih 25 cm, berawal dari laring di vertebra servikal VI
dan berada posterior dari trakea. Esofagus berawal dari inferior laringofaring dan
melalui mediastinum anterior ke kolumna vertebralis menembus diafragma dan
membuat suatu lubang bernama esophageal hiatus, dan berakhir di gaster bagian
superior. Terkadang terdapat bagian gaster yang menonjol ke esophageal hiatus
yang disebut hiatus hernia. Leher (pars servikalis), sepanjang 5 cm dan berjalan di
antara trakea dan kolumna vertebralis. Dada (pars thorakalis), setinggi manubrium
sterni berada di mediastinum posterior mulai di belakang lengkung aorta dan
bronkus cabang utama kiri, lalu membelok ke kanan bawah di samping kanan
depan aorta thorakalis bawah. Abdomen (pars abdominalis), masuk ke rongga
perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia lambung,
panjang berkisar 2-4 cm.4,6,7

2. Fisiologi
Sistem GI memiliki sistem saraf enterik yang berada di sepanjang dinding
saluran cerna, mulai dari esofagus hingga anus. Sistem saraf ini memiliki jumlah
19

neuron yang sangat banyak, menyerupai jumlah neuron di korda spinalis. Oleh
karena itu sistem saraf enterik sangatlah penting dalam pengaturan sistem GI.
Sistem saraf enterik terdiri atas pleksus myenteric Auerbach (terletak di antara
lapis longitudinal dan sirkuler) serta pleksus submukosa Meissner. Pleksus
Auerbach berperan dalam pengaturan motilitas sistem GI, sedangkan pleksus
Meissner lebih memilii efek terhadap pengaturan sekresi dan perdarahan sistem
ini. 6,7
Persarafan sistem GI berperan dalam refleks GI yang berperan dalam
pengaturan kerja sistem GI. Saat ini setidaknya dikenal tiga jenis refleks GI, yakni
refleks yang hanya melibatkan sistem saraf enterik; refleks yang melibatkan
ganglia simpatis, serta refleks yang melibatkan pusat pengaturan sentral. Selain
kontrol melalui persarafan, sistem GI juga dapat dikendalikan melalui pengaruh
hormonal. Hormon dapat meningkatkan atau menurunkan motilitas saluran cerna,
demikian pula sekresi saluran cerna. Pada akhirnya, baik persarafan maupun
hormon memberikan suatu mekanisme umpan balik (feedback) terhadap sistem
GI. Keseluruhan ini mengatur sistem GI melalui reseptor yang peka baik terhadap
zat kimiawi, mekanik, maupun osmolaritas.6,7
Proses awal yakni mengunyah dan sekresi saliva makanan yang dimakan akan
dikunyah (proses mastikasi), yang tidak lain merupakan proses motilitas yang
terjadi di rongga mulut (cavum oris). Makanan dapat terkunyah karena adanya
proses oklusi (merapatnya susunan gigi geligi atas dengan bawah, yang mana
pada orang-orang dengan kelainan maloklusi menyebabkan makanan tidak
terkunyah dengan baik). Mengunyah adalah proses yang penting karena
menghancurkan struktur dan kontur makanan menjadi halus dan mudah tertelan.
Hal yang lebih penting lagi adalah dengan penghancuran, permukaan makanan
yang berkontak dengan enzim akan lebih luas sehingga lebih baik tercerna. 1 Pada
dasarnya mengunyah merupakan proses volunter, walaupun pada akhirnya akan
merupakan suatu proses refleks yang melibatkan otot-otot rahang, pipi, dan lidah.
Makanan akan dibahasi dengan air liur untuk kemudian mengalami sedikit
pencernaan. Zat-zat nutrien tidak ada yang diserap di organ ini, dan makanan
selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke faring. 6,7
Saliva (liur) adalah sekret yang dihasilkan oleh tiga kelenjar besar, yakni 3

kelenjar submandibularis, sublingualis, dan parotis, serta oleh kelenjar pipi


(buccal) yang lebih kecil. Hampir seluruh komponen saliva adalah H2O, dengan
komposisi sisanya merupakan elektrolit yang sebagian besar tersusun atas ion K +,
bikarbonat (HCO -). Perlu diketahui bahwa kandungan elektrolit saliva berbeda
dengan cairan tubuh akibat proses transpor aktif ion-ion yang terjadi di saluran
keluar kelenjar liur. Sebagai tambahan, elektrolit mengandung sedikit Na + dan Cl-
serta bersifat hipotonik, Sekret serosa, berupa ptialin (suatu alfa-amilase) yang
berperan dalam memecah pati (atau polisakarida) menjadi maltosa (suatu
disakarida), terdaoat pula enzim lipase lingual. Mucin, suatu sekresi mukus untuk
melicinkan makanan dan melindungi mukosa oral. Enzim proteolitik, berupa
lisozim yang bekerja menyerang bakteri untuk memasukkan ion tiosianat (SCN-)
yang akan menjadi agen bakterisidal, serta Imunoglobulin A yang merupakan
bagian dari sistem imun humoral dan mencegah bakteri agar tidak mempenetrasi
epitelium maupun laktoferin yang dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan bagi
perkembangbiakan bakteri. 6,7

20
Secara umum fungsi dari saliva adalah untuk mendinginkan, mengencerkan,
menghancurkan bakteri yang berbahaya, serta membantu proses penelanan dan
membantu dalam berbicara. Setiap harinya sekitar 1-2 liter saliva dihasilkan
(dengan volume mulai dari 0,5 ml/menit hingga maksimum 5 ml/menit). Variasi
volume sekresi salivamengisyaratkan bahwa sekresi saliva adalah suatu proses
yang melibatkan pengaturan melalui persarafan baik parasimpatis maupun
simpatis. Rangsangan parasimpatis akan menghasilkan saliva dengan jumlah yang
cukup banyak namun cenderung encer (watery fluid), mengandung banyak
elektrolit namun sedikit protein. Rangsangan parasimpatis dikendalikan oleh
nukleus salivatorius superior dan inferior yang terletak di batang otak. Melalui
n.glossofaringeal dan ganglion otik-lah kelenjar parotis dipersarafi. Sementara itu
kelenjar submandibular melibatkan jaras persarafan n.fasialis dan ganglion
submandibularis. 6,7
Peranan pusat luhur (higher center) dari sistem saraf pusat dapat memengaruhi
sekresi saliva. Oleh karena itu, seseorang yang mencium aroma makanan
kesukaannya dapat menghasilkan saliva yang lebih banyak daripada apabila ia
mendapati makanan yang ia tidak terlalu suka. Hal seperti demikian melibatkan
appetite areayang berkomunikasi dengan korteks serebri dan amigdala. Jika
memang demikian adanya proses pengeluaran saliva, dapat dikatakan bahwa
proses pengeluaran saliva merupakan suatu refleks yang dapat dibedakan menjadi
dua macam, yakni refleks sederhana dan refleks terkondisi. Refleks sederhana
terjadi ketika kemoreseptor dan baroreseptor di rongga mulut merespons
keberadaan makanan yang kemudian menyampaikan informasi melalui serabut
saraf aferen ke pusat saliva. Refleks terkondisi, secara kontras, tidak melibatkan
stimulasi oral. Hanya dengan membayangkan atau mencium aroma makanan
dapat menginisiasi pengeluaran saliva melalui jenis refleks ini. Refleks terkondisi
adalah suatu refleks yang didapatkan (acquired) berdasarkan pengalaman
sebelumnya (previous experience) dan melibatkan korteks serebri dan fungsi
luhur lainnya. 6,7

21
Gambar 3.3. Proses Menelan
Sumber: Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2012.6

Proses penelanan, serta faring dan esofagus, tempat lewat makanan sebelum
memasuki lambung. Makanan yang telah tercairkan dengan adanya saliva dari
rongga mulut dan berbentuk seperti bola disebut dengan nama bolus. Bolus akan
meninggalkan rongga mulut menuju saluran cerna berikutnya (faring) melalui
suatu proses yang dinamakan menelan (deglutisi). 6,7
Proses menelan terbagi menjadi tiga tahap, yakni fase volunter, fase faringeal,
dan fase esofageal. Fase volunter ditandai dengan proses mengangkat lidah ke atas
untuk kemudian mendorong bolus ke arah belakang. Fase ini merupakan fase
yang dapat dikendalikan. Setelah bolus melewati fase volunter, bolus akan
mengikuti fase involunter. Fase faringeal merupakan suatu refleks yang terpicu
akibat bolus menyentuh area reseptor di bukaan faring.Fase ini dimulai dengan
penutupan trakea (melalui penutupan glottis, yakni bagian superior dari laring),
pembukaan esofagus, serta gelombang peristaltik cepat yang timbul di faring
untuk menekan bolus ke esofagus atas. Pusat pengendali dari proses penelanan
merupakan pusat penelanan yang terletak di daerah medulla dan pons bagian
bawah yang berjalan melalui n.vagus. Saat menelan kerja sistem respirasi
terhambat akibat pusat menelan menghambat pusat respirasi di sekitarnya, namun
hambatan ini tidak terlihat efeknya. Fase terakhir adalah fase esofageal yang
membawa bolus dari esofageal atas ke esofageal bawah, sebelum memasuki
gaster. Gerakan mendorong esofagus ini dilakukan oleh gerak peristaltik primer
22
(yang merupakan kontinuasi dari peristaltik faring, dikoordinasi oleh n.vagus) dan
gerak peristaltik sekunder (yang muncul apabila bolus yang menyangkut di
esofagus meregang esofagus dan menimbulkan refleks ini, dikoordinasi oleh
sistem saraf enterik).Gangguan dari penelanan dapat menimbulkan kelaianan
berupa reflux, belching (sendawa), serta akalasia. Sebelum memasuki gaster
ditemukan lagi struktur sfingter gastroesofageal yang berperan untuk mencegah
terjadinya refluks isi asam lambung naik ke atas melalui esofagus. Gerak
peristaltik yang muncul dari esofagus turun ke bawah dan menimbulkan relaksasi
reseptif yang terjadi di sfingter ini. Tonus sfinger ini berkurang, relaks, dan
memperbolehkan bolus untuk masuk ke gaster.4,6

B. Definisi
Akalasia esofagus adalah keadaan yang ditandai dengan tidak adanya
peristaltik di esofagus bagian bawah dengan spingter esofagus bagian bawah
(LES) yang hipertonik sehingga tidak terjadi relaksasi sempurna saat menelan
makanan. Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama simple ectasia,
kardiospasme, megaesofagus, dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau dilatasi
esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah akalasia berarti
“gagal untuk mengendur” dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower
esophageal sphincter (cincin otot antara esofagus bagian bawah dan lambung)
untuk membuka dan membiarkan makanan lewat ke dalam lambung. Kegagalan
relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi
bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Penderita akalasia
merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya makanan dengan air atau
minuman guna menyempurnakan proses menelan. Gejala lain dapat berupa rasa
penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.8,9

C. Etiologi
Berdasarkan etiologi, terdapat dua jenis akalasia, yaitu primer dan sekunder.
Akalasia esofagus primer penyebab jelasnya tidak diketahui. Akalasia esofagus

23
primer diduga terjadi akibat Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang
berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia
mienterikus pada esofagus. Selain itu, akalasia primer diduga terjadi akibat tidak
adanya seluruh atau sebagian sel ganglion inhibitor pada pleksus Mienterikus
(Auerbach’s) pada esofagus. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan antara
neuron eksitatorik dan neuron inhibitorik yang menyebabkan spinchter esofagus
bawah tidak dapat berelaksasi. Di samping itu, faktor keturunan juga cukup
berpengaruh pada kelainan ini.9, 10

Penyebab sekunder akalasia esofagus yang paling sering adalah penyakit


Chagas, suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infestasi spesies protozoa,
yaitu Trypanosoma cruzi, yang ditansmisikan oleh seekor serangga, menginfeksi
neuron intramural, dan menyebabkan disfungsi otonom. Penyakit Chagas paling
sering terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, dan diduga penyakit ini menjadi
penyebab sekunder terbanyak dari akalasia esofagus. Selain itu, penyebab
sekunder dari akalasia esofagus dapat berupa malignansi (karsinoma lambung,
esofagus), postvagotomi, pseudo-obstruksi intestinal kronik tipe neuropatik,
amiloidosis, sarkoidosis, dan penyakit Anderson-Fabrey. 9, 10

D. Patofisiologi
Patofisiologi dari akalasia sendiri adalah kontraksi dan relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah diatur oleh neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin
dan substansi P, serta neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan
vasoactive intestinal peptide.8
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia:8
1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan
sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon
gastrin. Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB

24
basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat
sekitar dua kali lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
2. Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-
40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan
mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung.
Kegagalan ini berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus.
Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan
residual. Bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi
tekanan residual, makanan dapat masuk ke dalam lambung.
3. Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi 2⁄3 bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah
motilitas, secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara
manometrik pada keadaan normal dan akalasia.

E. Epidemiologi
Akalasi merupakan kasus yang jarang terjadi. Prevalensi akalasia sekitar 10
kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang, insidens penyakit ini telah
cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi
per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan.
Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara
umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama
(kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien
orang dewasa adalah 25-60 tahun.5

F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan manometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis akalasia
25
esofagus, seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang
bermakna.11
1. Pemeriksaan radiologi
Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang
dicurigai menderita akalasia esofagus. Pada akalasia esofagus, foto toraks
menunjukkan pelebaran mediastinum yang berasal dari esofagus yang
berdilatasi dan tidak adanya gelembung udara yang normal pada lambung,
karena kontraksi spinchter esofagus bawah mencegah udara untuk masuk ke
dalam lambung.11

Gambar 3.4. Pemeriksaan esofagografi pada penderita akalasia esofagus, menunjukkan


esofagus bagian distal yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor
tikus (mouse tail appereance)11
Sumber: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. h. 290.
Pemeriksaan esofagografi dengan menggunakan barium, memiliki
akurasi sekitar 95% dalam mendiagnosis akalasia esofagus, dan secara khas
menunjukkan bagian esofagus yang berdilatasi dan terdapat juga bagian
yang menyempit yang menyerupai paruh burung (bird-beak appereance)

26
atau menyerupai ekor tikus (mouse tail appereance) akibat kontraksi
spinchter esofagus bawah secara persisten.11
2. Manometrik esofagus
Manometrik esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar)
untuk mendiagnosis akalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometrik
adalah untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan
pemeriksaan tekanan di dalam lumen dan spinchter esofagus. Pemeriksaan
ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara kuantitatif maupun
kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk
pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung.10,11
Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometrik esofagus,
antara lain:10,11
a. Relaksasi spinchter esofagus bawah yang tidak sempurna.
b. Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi
esofagus secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
c. Tanda klasik akalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan yang
tinggi pada spinchter esofagus bawah (tekanan spinchter esofagus bawah
saat istirahat lebih besar dari 45 mmHg), dan tekanan esofagus bagian
proksimal dan media saat istirahat (relaksasi) melebihi tekanan di
lambung saat istirahat (relaksasi).
3. Pemeriksaan endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita akalasia
esofagus, untuk menyingkirkan kausa malignansi pada esophagogastric
junction. Pada akalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang
berdilatasi dan mengandung sisa-sisa makanan dan spinchter esofagus tidak
membuka secara spontan. Jika akalasia esofagus disebabkan oleh neoplasma
atau striktur fibrosis esofagus, spinchter esofagus biasanya dapat dibuka
dengan sedikit memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan
endoskopi.11

G. Diagnosis Banding
27
1. Skleroderma

1. Skleroderma adalah penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan


atrofi otot polos dan fibrosis pada dinding kerongkongan. Inkompetensi
sfingter gastro-esofagus mengakibatkan esofagitis refluks berat dengan
penataan, edema mukosa (pola mozaic) dan ulserasi yang mendalam.
Scleroderma dengan striktur peptikum. Kontras menunjukkan segmen yang
relatif panjang penyempitan meruncing di esofagus distal (panah) yang
dihasilkan dari lambung ditandai jaringan parut pada pasien dengan
keterlibatan esophageal oleh scleroderma. 12,13

Gamb
ar 3.5. Gambaran radiologi scleroderma
Sumber: Indriyani RD, Pemeriksaan radiologi pada akalasia, Refarat radiologi; FKUKI. Jakarta,
201414
2. Karsinoma esofagus

Pada karsinoma esofagus, penderita mengalami Disfagia pada makanan-


makanan padat terjadi lebih awal, meskipun kesulitan untuk menelan makanan
cair dapat terjadi jika progresifitas penyakit sudah lanjut. Gejala lain ialah
kehilangan berat badan dengan cepat. Pada saat dilakukan pemeriksaan
28
esofagografi dan endoskopi akan tampak adanya obstruksi pada esofagus
akibat adanya tumor.12

Gambar 3.6. Gambaran radiologi karsinoma esofagus


Sumber: Indriyani RD, Pemeriksaan radiologi pada akalasia, Refarat radiologi; FKUKI. Jakarta,
201414

H. Penatalaksanaan
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus
tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi diet
tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller).11
1. Terapi Non-Bedah

29
a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine,
dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu
membedakan antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi
spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga diberikan calcium channel
blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual), dimana dapat mengurangi
tekanan pada spinchter esofagus bawah.15,16
b. Injeksi Botulinum Toksin
Injeksi botulinum toksin merupakan suatu injeksi botulinum toksin intra-
spinchter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada
bagian spinchter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan
keseimbangan antara neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik. Dengan
menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum
skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut
kemiringan 45°, di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2
cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak
tepat di atas batas proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin
tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang
digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk
diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi
diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil
yang maksimal.16,17

c. Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-
tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction
yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi
intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun
akan turun menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah
beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika
30
terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan
perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.
Insidens dari refluks gastroesophageal yang abnormal adalah sekitar 25%.
Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilation biasanya diterapi
dengan miotomi Heller.16
2. Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu pemisahan
serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal
lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.
Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-
hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedahan ini berhasil
mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks postoperatif
adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik,
perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus.
Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan
tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (esofagektomi).16

I. Komplikasi
Komplikasi akalasia adalah sebagai berikut:19
1. Obstruksi saluran pernapasan adalah kegagalan sistem pernapasan dalam
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas
bagian atas (dari hidung sampai percabangan trakea). Obstruksi saluran
napas ini sering menyebabkan gagal napas.
2. Bronkhitis adalah suatu peradangan pada saluran bronkial atau bronki.
Peradangan tersebut disebabkan oleh virus, bakteri, merokok, atau polusi
udara (Samer Qarah, 2007). Definisi bronkitis akut adalah batuk dan
kadang-kadang produksi dahak tidak lebih dari tiga minggu (Samer Qarah,
2007). Definisi bronkitis kronis adalah batuk disertai sputum setiap hari

31
selama setidaknya 3 bulan dalam setahun selama paling sedikit 2 tahun
berturut-turut.
3. Pneumonia aspirasi adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
terhirupnya bahan-bahan ke dalam saluran pernafasan.
4. Abses paru diartikan sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan
rongga yang berisi sel-sel mati atau cairan akibat infeksi bakteri.
5. Divertikulum meckel adalah suatu kelainan bawaan, yang merupakan suatu
kantung (divertikula) yang menjulur/menonjol dari dinding usus halus;
divertikula bisa mengandung jaringan lambung maupun jaringan pankreas.
6. Perforasi esophagus adalah pecahnya dinding esofagus karena muntah-
muntah. 90 % penyebab ruptur esofagus adalah iatrogenik, yang biasanya
diakibatkan oleh instrumentasi medis seperti paraesophageal endoskopi atau
pembedahan dan 10%nya disebabkan oleh muntah-muntah,
7. Small cell carcinoma
8. Sudden death

J. Prognosis
Prognosis akalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak
sedikitnya gangguan motilitas. semakin singkat durasi penyakit dan semakin
sedikit gangguan motilitasnya, maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus
yang normal setelah pembedahan (miotomi heller) memberikan hasil yang sangat
baik. Apabila tersedia ahli bedah, pembedahan memberikan hasil yang lebih baik
dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien, dan memberikan hasil
yang lebih baik daripada tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksin
botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani
pneumatic dilation dan laparoskopik miotomi heller.16,20

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ritcher, I.E. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus, 4th
edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. 2013.
2. Siegel, G. Leighton. Penyakit Jalan Napas Bagian Bawah, Esofagus dan
Mediastinum Pertimbangan Endoskopik. Dalam: Adams, G. L., Boies,
Lawrence R., Higler, P. A. BOIES Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta.
EGC. 2002.
3. Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. 2013.
4. Paulsen F, Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC. 2013.
5. Aru WS, Bambang S, Idrus A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid l Ed V.
Jakarta: Interna Publishing. 2015.
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2012.
7. Sherwood LZ. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC.
2014.
8. Hedayanti N, Supriano. Achalasia: a review of etiology, pathophysiology,
and treatment. The Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and
Digestive Endoscopy. 2016;1(1). 32-37.
33
9. Agianto, Riyadi E, Aisyah, et al. Studi kasus: gangguan menelan pada pasien
akalasia esofagus. 2015;3(2). 53-60.
10. Williams VA, Peters JH. Achalasia of the esophagus: a surgical disease.
American College of Surgeons. 2009; 208: 151.
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. h. 290.
12. Spechler SJ. Esophageal disorders. In: Dale DC, Federman DD, editors. ACP
Medicine 3rd edition. USA: WebMD Inc; 2007.
13. Sutton, David. Textbook of Radiology and Imaging. Seventh Edition.
Volume I. London: Churchill Livingstone. 2003. Hal. 552-3
14. Indriyani RD, Pemeriksaan radiologi pada akalasia, Refarat radiologi;
FKUKI. Jakarta, 2014

15. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et
al, editors. Harrison’s principles of internal medicine 17thed. New York:
McGraw Hill, Health Professions Division; 2008.
16. Nursiam Y. Laporan akalasia [online]. [cited 2019 Januari 13]. Available
from: https://www.academia.edu/17000825/laporan_akalasia
17. Patti MG. Achalasia [online]. 2011 [cited 2019 Januari 13]. Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com/article/169974
18. Kumar P, Clark M. Gastrointestinal disease-motility disorder. In: Kumar P,
Clark M, editors. Clinical medicine 6th edition. Philadelphia: Elsevier-
Saunders; 2009. p. 277-8.
19. Ritcher, I.E. 1999. Achalasia. In: Castell, D. O, Ritcher, I.E. The Esophagus,
4th edition. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. Pg. 6-22
20. J., Finley R. 2002. Achalasia: Thoracoscopic and Laparoscopic Myotomi. In:
Pearson F.G. MD, Cooper J.D. MD, et all. Esophageal Surgery, 2nd edition.
Churchill Livingstone. New York. Pg. 76-569

34

Anda mungkin juga menyukai