Anda di halaman 1dari 2

Gerakan Literasi Sekolah, antara Euforia, Stagnasi dan Aksi

Oleh : Heny Mas Rahayu


Apakah perintah Tuhan pertama kali? tidak lah salat ,bekerja, nikah, tapi iqra’, bacalah, ini
jelas-jelas adalah perintah literasi. Literacy berasal dari bahasa latin, literatus, yang berarti “a
learned person” atau orang yang belajar, secara bahasa, literasi adalah keberaksaraan, yaitu
kemampuan menulis dan membaca. Dalam bahasa Inggris, literacy artinya kemampuan
membaca dan menulis (the ability to read and write). Secara konseptual, pengertian literasi
yang diadopsi dan disosialisasikan Kemendikbud bukanlah sekadar kegiatan membaca dan
menulis. Lebih dari itu, literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan
memanfaatkan informasi secara cerdas.
Gerakan Literasi Sekolah dilatarbelakangi oleh masih rendahnya budaya baca masyarakat
Indonesia khususnya pelajar. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru
mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat
membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak
usah dibandingkan dengan orang Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku per
tahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang orang membaca 2-
3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan.
Hal pokok yang tertuang dalam peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, adalah kewajiban membaca buku nonteks
pelajaran selama 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari di sekolah.
Literasi menjadi mediator bagi peserta didik dengan kultur keterbelengguan dalam minus
membaca menuju lingkup budaya yang gemar membaca dan terus membaca. Gerakan literasi
penting dibumikan dalam aksi dinamika kehidupan kependidikan untuk memperkaya daya
imajinasi peserta didik dalam mencari pengalaman eksistensialnya. Melalui literasi, peserta
didik terbantu untuk lebih dalam memahami bagaimana cara membaca dan menulis yang benar.
Karena membaca bukan sekedar mengeja kata-kata yang tertera di balik buku, melainkan
merengkuh ikhtiar di balik kata-kata.
Diakui atau tidak, saat ini Gerakan Literasi Sekolah ditahap euforia, penuh dengan seremonial,
dan formalitas. Salam literasi menggema disertai foto-foto selfie. Sebagai langkah awal tidak
menjadi masalah. Biarlah hal itu berproses. Yang perlu dinantikan adalah kelanjutannya.
Gerakan Literasi Sekolah yang bertujuan mulia yaitu membangun minat baca yang diharapkan
pada meningkatnya budaya menulis mengalami stagnasi, ibarat penyakit, ini adalah endemik
yang berbahaya terhadap kelangsungannya. Oleh karena itu, harus segera diobati sebelum
“virusnya” makin menyebar. Jangan sampai stagnasi literasi menjadi “musibah akademik” di
negara kita yang masih berjuang membangun bangsa yang literat.
Sosialisasi, Bimbingan Teknis (Bimtek), dan berbagai kegiatan lainnya telah dilakukan untuk
menumbuhkan minat minat baca tersebut. Selain itu, pemerintah membuat semacam sekolah
percontohan (pilot project) sebagai sekolah penggerak literasi. Hal tersebut pada dasarnya hal
yang baik. Semangat guru penggerak literasi dan semangat siswa yang dibinanya patut diberi
apresiasi. Walau demikian, semangat mereka perlu dipelihara, jangan dibiarkan sendiri, tetapi
perlu didukung dan dibina, utamanya oleh pemerintah dan Kepala Sekolah.
Berkaca kepada program-program yang bersifat “proyek”, kegiatan dapat berjalan dengan baik
ketika proyeknya masih berjalan, tetapi ketika “proyek” itu telah selesai, maka jalannya
kegiatan terseok-seok, terbengkalai, bahkan terhenti. Hal ini pun dapat terjadi ketika Gerakan
Literasi Sekolah dilakukan melalui pendekatan “proyek”, ramai diawal, tapi sepi diakhir
“proyek.” Itulah yang menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, dan semoga itu tidak terjadi.
Gerakan Literasi Sekolah tidak hanya berupa utopia peserta didik berbondong-bondong ke
Perpustakaan dan disetiap 15 menit sebelum jam pembelajaran dimulai setiap hari membaca
buku nonteks. Atau setiap istirahat peserta didik bergerombol di gazebo atau dibawah pohon
yang rindang di sekolah dengan buku nonteks ditangan.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan, keluarga
merupakan sekolah pertama bagi seorang anak.Untuk mengoptimalkan peran orang tua dalam
Gerakan Literasi Sekolah, maka orang tua pun harus mendapatkan sosialisasi tentang Gerakan
Literasi Sekolah. Orang tua dipersiapkan untuk menjadi pelopor Gerakan Literasi Sekolah di
rumahnya. Misalnya, dengan memberikan contoh kepada anak-anaknya untuk rajin membaca,
memiliki minat yang tinggi dalam mengoleksi buku-buku, menyediakan buku-buku bacaan
bagi anak-anaknya, menyediakan waktu untuk membaca dan berdiskusi bersama, membawa
anak-anaknya untuk mengunjungi perpustakaan dan toko buku, melakukan kegiatan bersama
dengan sekolah atau kelompok masyarakat dalam kegiatan literasi, dan lain sebagainya.
Bagi orang tua yang berpendidikan relatif tinggi, mungkin hal tersebut tidak terlalu sulit
dilakukan, tetapi bagi orang tua yang berpendidikan relatif rendah, hal tersebut mungkin sulit
dilakukan dengan berbagai alasan. Jangankan mengampanyekan Gerakan Literasi Sekolah,
mendengar kata literasi saja mungkin mereka belum pernah. Oleh karena itu, orang tua harus
menjadi sasaran yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mensosialisasikan dan
mengkampanyekan Gerakan Literasi Sekolah.
Gerakan Literasi Sekolah tidak menjadi trend manakala hanya dijadikan komoditi, promosi
dalam dunia pendidikan. Pendidikan karakter yang pertama dan utama, tidak dilaksanakan
dalam pendidikan formal saja tetapi dalam pendidikan informasi di keluarga, meluas di
masyarakat dan bangsa. Pendidikan karakter selalu berhubungan dengan persoalan integritas,
contoh dan perilaku. Integritas mampu memunculkan berbagai aspek pengembangan karakter
utama seperti jujur, disiplin dan bertanggung jawab.
Pendidikan karakter selalu berproses dan tidak pernah selesai dilakukan oleh individu. Proses
itu terus menerus dilakukan untuk penyempurnaan. Seorang yang tidak pernah susah, akan
sangat menghargai orang lain jika ia belajar betapa susahnya menjadi seorang susah. Seorang
yang tidak pernah berbagi, akan menyerahkan milik kepunyaannya ketika menyaksikan
pengorbanan orang-orang miskin.Pendidikan karakter tidak bisa dijadikan terobosan apalagi
bersifat instant atau seketika. Namun, demikian pendidikan karakter dapat dilakukan di sekolah
dengan menyosialisasikan dan melakukan karakter utama seperti solidaritas, toleransi,
penghargaan, kejujuran, tanggung jawab dalam masyarakat yang multi kultural.
Selama ini, gaung literasi hanya ramai di sekolah, sementara di lingkungan keluarga hampir
nyaris tak terdengar. Urusan literasi identik dengan urusan akademisi dan guru di sekolah,
padahal literasi merupakan urusan semua elemen yang terkait dengan pendidikan, termasuk
orang tua. Intinya, peran orang tua harus dikuatkan dalam menyukseskan gerakan literasi
Gerakan Literasi Sekolah adalah sarana demi kemajuan dunia pendidikan.Oleh karena itu,
literasi harus membumi dalam prinsip dan konsep pendidikan yang bersinergi dan
berkolaborasi secara efektif. Mutu dan kemajuan dunia pendidikan hanya bisa tercapai apabila
keterampilan menulis dan ketekunan membaca menjadi prioritasnya.
Momentum Gerakan Literasi Sekolah memberikan suatu ruang transformatif bagi
perkembangan gerakan literasi dalam dunia pendidikan. Karenanya, budaya dan gerakan
literasi harus mengakar dan bila perlu menjadi “action habit”. Budaya literasi bukan hanya soal
akal tetapi juga melibatkan perasaan untuk membaca realitas.
Kita ditantang untuk berpikir kritis dalam menciptakan kreasi-kreasi baru sebagai wujud nyata
kita dalam mengamalkan dan membumikan budaya literasi kapan saja dan di mana pun.
Gerakan Literasi Sekolah sudah saatnya dibumikan / beraksi mengingat kemajuan dunia
modern saat ini dengan cepat degradasi mutu dan kemajuan. Dengan membaca, kita mengenal
dunia,dan dengan menulis kita dikenal oleh dunia.

Anda mungkin juga menyukai