Dalam periode yang sama, Deere melakukan diversifikasi terhadap peralatan industri lainnya
seperti konstruksi, utility, dan pertambangan. Pada tahun 1962 Deere mulai membangun
gedung dan traktor perkebunan dan peralatan lainnya.
Pada pertengahan tahun 1980 Deere menjadi perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertanian dan perkebunan terbesar di dunia. Di tahun 1980, komoditas pertanian
mengalami penurunan danoleh karena itu, Deere mengambil beberapa kebijakan yaitu
menurunkan level operasinya, memotong biaya yang memungkinkan, meningkatkan
tekanan untuk mendorong pengambilan keputusan, dan melakukan restrukturisasi. Untuk
meningkatkan volume produksi, Deere ingin agar produksi komponennya memasok untuk
perusahaan dan industri lain.
Permasalahan
Sejarah mencatat kehancuran agribisnis yang dimulai dengan turunnya nilai tanah pertanian
dan harga komoditas yang menurun tajam yang mengakibatkan Deere untuk mengatur
tingkat pelaksanaan operasi semakin ke menurun, pemotongan biaya, menekankan
pembuat keputusan dilakukan secara desentralisasi, dan rekstrukturisasi pada proses
manufaktur. Deere juga melakukan pengurangan tempat produksi, mengurangi karyawan,
mendorong agar karyawan pensiun dini, dan tidak melakukan penggantian untuk karyawan
yang keluar dari perusahaan.
JDCW mempunyai 3 divisi yaitu The Hidraulics Division, The Drive Trains Division, dan Gear
and Special Product Division. Sebagai bagian dari sebuah perusahaan terintegrasi secara
vertikal, JDCW mendapatkan part dari Deere’s Equipment Division, karena dapat
memproduksi berbagai macam part dalam jumlah yang banyak, walaupun produksi traktor
relatif rendah. Rendahnya produksi traktor memberikan kerugian pada mesin karena mesin
lebih efisien beroperasi pada jumlah yang besar.
Kebijakan perusahaan, melakukan transfer antar divisi berdasarkan full cost (direct
material+direct labour+direct iverhead +period overhead). Perusahaan juga punya kebijakan
make-buy policy ketika kapasitas mencukupi, yaitu divisi pembeli bisa membandingkan yang
mana yang lebih rendah antara direct cost (bukan full cost) dibandingkan dengan penawaran
dari luar.
Equipment Division tampaknya hanya melihat harga, berperilaku seperti profit center bukan
cost center, karena hanya memerhatikan keuntungan divisi dibandingkan perusahaan secara
keseluruhan. Dalam prakteknya equipment division tidak mengikuti kebijakan perusahaan,
sehingga JDCW kehilangan porsi untuk equipment factory karena perusahaan pesaing.
Keith William menyadari kekurangan dari penggunaan standard costing tersebut dan beralih
menggunakanActivity-Based Activity Costing, yang mencerminkan nilai cost per unit yang
tepat untuk tiap produk. Namun, perbedaan nilai cost penggunaan standard costing dan
Activity-Based Costing bervariasi, ada beberapa produk yang mengalami penurunan cost dan
ada yang justru cost-nya menjadi lebih besar.
TeoriActivity-Based Costing
Analisis Permasalahan
Pengalokasian biaya overhead ke dalam setiap produk dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama adalah mengidentifikasi aktivitas-aktivitas proses produksi yang signifikan dari
setiap produk. Dalam tahap ini, JDWC mengidentifikasi 7 aktifitas signifikan dalam proses
produksi. Oleh karena itu, total biaya overhead akan dialokasikan ke dalam 7 aktifitas
dibandingkan menggunakan standard cost yang hanya memiliki dua cost driver (direct labor
dan machine hour). Ketujuh aktifitas yang digunakan JDWC sebagai cost driver sebagai
berikut;
1. Direct Labor Support, overhead dialokasikan berdasarkan karyawan langsung yang
menangani pembuatan komponen-komponen. Biaya ini termasuk allowance for benefits,
break period, gaji, personnel, percentage of supervision dan gaji industrial engineering.
Seluruh direct labor yang menunjang overhead dapat dijumlahkan menjadi $ 1,898,000
(in 1985) dan dibagi oleh total direct labor dollar $ 1,714,000 yang menghasilkan
overhead rate untuk aktifitias ini sebesar 111%.
2. Machine Operation, overhead yang dihasilkan dari beroperasinya turning machine,
ditambah pengalokasian biaya kapasitas dan fasilitas. Total biaya yang digunakan untuk
mengoperasikan turning machine $ 4,045,000 dan dibagi total machine hour 242,000
yang menghasilkan $ 16.70 per hour overhead rate untuk aktifitas ini.
3. Setup Hours, overhead yang dihasilkan berdasarkan perubahan dari tugas yang harus
dijalankan. Hal ini termasuk biaya actual setup; small share machine, small tool
maintenance, supervision, dan gaji industrial engineering. Biayanya adalah $ 1,111,000
dibagi dengan estimated number of setup hours 32,900 yang menghasilkan overhead rate
per jamnya $33.80.
4. Production Order Activity, dihasilkan dari kegiatan penjualan yang menghasilkan pesanan
komponen-komponen. Total biaya dibagi dengan total pesanan produksi per tahun 7,150
yang menghasilkan biaya $ 114 setiap production order.
5. Materials Handling, biaya overhead yang muncul dari aktifitas perpindahan barstock ke
dalam mesin dan perpindahan komponen-komponen yang dihasilkan ke tahap
selanjutnya. Biaya yang mendominasi aktifitas ini adalah karyawan yang menangani
material dan perawatan peralatan. Overhead rate-nya adalah $ 19.42 yang dihasilkan dari
membagi total biaya yang dialokasikan ($303,000) dengan total muatan (15,600). Total
muatan diestimasikan berdasarkan 6 tahapan;
𝑃𝑎𝑟𝑡𝑊𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡×𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
a. = 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡/𝑟𝑢𝑛
𝑟𝑢𝑛𝑠/𝑦𝑒𝑎𝑟𝑓𝑜𝑟𝑡ℎ𝑎𝑡𝑝𝑎𝑟𝑡
𝑊𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡/𝑟𝑢𝑛
b. = 𝐿𝑜𝑎𝑑𝑠/𝑟𝑢𝑛
𝑃𝑜𝑢𝑛𝑑𝑠/𝑙𝑜𝑎𝑑
c. loads/run + 0.5
d. multiply result in (c) by number of runs of that part/year = number of loads/year
moved away from machine
e. loads/year × 2 (movement to and from machine) = total number of loads/year for that
part
f. repeat process for all numbers, and add number of load/part to obtain total number of
loads per year
6. Parts Administration, biaya overhead didapat dari total biaya $ 999,000 yang ketika
didistribusikan ke 2,050 parts di dalam system, menghasilkan head tax $ 487 per
komponen.
7. General and Administrative, biaya overhead dihubungkan keseluruh pabrik, tidak hanya
pada suatu aktifitas atau proses manufakture tertentu. Biaya ini termasuk pajak,
depresiasi, etc. Total General and Administrative ($ 998,000) dibagi rata kesetiap produk
dengan dasar value added.
STANDARD COST
Total Overhead Overhead
No Standard
Overhead base Rate
Direct
1 3,501,000 1,714,000 205%
Labor
Machine
2 6,670,000 242,000 $27.56
Hours
Total 10,171,000
Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa alokasi overhead dengan menggunakan ABC memiliki
keragaman cost driver dibandingkan dengan standard cost. Dengan total overhead yang
sama dapat menghasilkan alokasi overhead yang berbeda-beda berdasarkan driver costnya.
JDCW sebaiknya menggunakan ABC dalam menentukan costs/unitnya karena JDCW memiliki
keragaman produk yang dihasilkan dan setiap produk mengkonsumsi overhead yang
berbeda-beda. Oleh sebab itu apabila menggunakan standard costing maka hasil alokasi
overhead menjadi tidak akurat. Keakuratan yang dihasilkan dengan sistem ABC ini akan
mencerminkan kegiatan yang sebenarnya terjadi dalam membuat suatu produk.
Sedangkan dengan menggunakan sistem lama, standard cost system, membuat efek yang
buruk terutama pada alokasi harga per unit yang menjadi tidak akurat. Ketidak akuratan ini
berdampak pada cost per unit yang tidak sesuai. Ada suku cadang yang ditetapkan terlalu
rendah (under costs) dan ada pula suku cadang yang ditetapkan terlalu tinggi (over costs).
Berikut element of costing Part A103 tahun 1985 dengan Standard Costing:
Berikut merupakan perhitungan elements part A103 dengan menggunakan ABC
Direct Materials : 6.44
Direct Labor : (0.185x4.2hr) 2.36
Overhead :
Direct Labor Support (0.185x111%x12.76) 2.62
Machine Operation (0.31x(8.99+7.61)) 5.15
Setup hours (33.76x4.2x2)/(8000/100) 3.54
Production order activity (114.27x2/80) 2.86
Materials handling (19.42x4)/80 0.97
Parts administration (487x0.176)/80 1.07
General and administrative (9.1%x(2.36+16.21)) 1.69 17.9
Total costs (per 100 parts) 26.7
Agar ABC Model yang digunakan lebih efektif maka dilakukan beberapa perubahan dalam
implementasinya, yaitu terhadap
1. Penawaran
ABC digunakan untuk menghitung biaya mesin dan menyiapkan penawaran untuk
Deere ataupun pelanggan dari luar. Dengan menggunakan ABC perusahaan tahu
mana saja produk yang cost nya tinggi dalam low-volume.
Dan divisi juga harus merubah sistem penawaran dalam praktek transfer pricing
mereka. Dan memulai untuk untuk menegosiasikan “market-based-price” yang
berada di bawah full cost
2. Process Planning
Bagian Proses enginering menggunakan model perbandingan relative efisiensi mesin
untuk tipe yang berbeda dari baja dan part number untuk memilih bagian mana saja
yang diproses sesuai tipe mesinnya, karena ABC menunjukan setup dan biaya
produksi yang tinggi dari pada MRP. Process engineering menggunakan ABC untuk
menghitung biaya pada basis optimal run/ tahun dan bisa dinegosiasi untuk
customer untuk meneriman run yang lebih kecil pada harga yang lebih murah
3. Low Value- Added Parts
Gear and special produk mempercepat perpindahan dari low-volume, short-running
part dari turning mesin. Kira-kira 31% part membutuhkan lebih dari 20 jam direct
labor; secara keseluruhan dihitung 97% dari semua direct labor tersisa untuk mesin.
Tapi part yang kurang dari 8 jam akan di outsource. Secara kebetulan part yang
tersisa masih belum ditentukan, tapi keputusanyang dibuat berdasarkan costing yang
lebih akurat yaitu ABC.
Kombinasi dari perpindahan LVA part diharapkan dapat meningkatkan rata-rata run
time, mengurangi kerumitan penjadwalan dan mengurangi permintaan untuk staf
pendukung.
4. Cell Arrangements
Infrastruktur pabrik berubah dari sistem row mesin menjadi sistem per-sel. Beberapa
mesin dikelompokkan bersama dan dipakai untuk high-run part.
5. Layout
ABC juga membantu manajemen dalam mengatur departemen permesinan.
Secondari operations yang memiliki cost yang tinggi menyebabkan manajemen untuk
mengembalikan menjad divisi sebelumnya dan mengembalikan ke gedung sebelum
dipindahkan. Untuk mendapatkan tempat yang lebih besar, turning machine yang
sudah tidak efisien lagi dibuang. Lalu untuk meminimalisir jarak penanganan antara
barstock dengan packaging dan shipping, kegiatan-kegiatan tersebut dibuat menjadi
lebih dekat agar lebih efisien. Tetapi sayangnya layout yang baru ini belum pernah
dicoba selama proses produksi dikarenakan baru diatur selama bulan agustus 1986,
sedangkan pada januari 1987 pabrik tersebut ditutup. Walaupun begitu terdapat satu
perubahan layout yang sudah diterapkan tahun 1985 dan membuat perubahan yang
signifikan. Layout yang berhasil diterapkan pada tahun tersebut adalah process
engineering group. Mulanya, process engineering group ini berada jauh dari lantai
penjualan tetapi sekarang berada tepat ditengah area permesinan. Akibat dari
pemindahan layout ini komunikasi antar personelnya menjadi lebih mudah.
Berikut Perbandingan Machine Parts Overhead Standard Costing dan ABC dengan 44 sampel
(hanya Turning Machine Operation)
Dari perbandingan atas 44 sampel di atas, diperoleh hasil yang bervariasi dari pada saat awal
menggunakan standard costing lalu menggunakan ABC, ada yang biayanya menjadi lebih
kecil dan menjadi lebih besar. Namun kelebihan dari penggunaan metode ABC adalah biaya
yang muncul merupakan biaya yang sebenarnya dan lebih akurat. Sehingga menghindari
terjadinya overcosting ataupun undercosting dan perusahaan dapat bersaing dengan vendor
lain dengan penetapan harga berdasarkan cost yang aktual, meskipun terdapat beberapa
barang menjadi lebih tinggi costnya, banyak juga barang lain yang lebih rendah costnya.
Pada saat menggunakan standard costing sangat memungkinkan terjadi overcosting dan
undercosting sehingga profit margin yang diperoleh pun tidak aktual. Tabel di atas juga
menunjukkan bahwa tujuan dari penggunaan metode ABC bukanlah untuk mendapatkan
biaya yang lebih kecil, melainkan untuk mendapatkan ceminan biaya yang sebenarnya.
Future of ABC
Walaupun ABC ini sangat berguna, tetapi manfaatnya juga masih terbatas pada:
1. ABC hanya berjalan pada komputer tiap individu, bukan pada komputer yang terintegerasi
dengan data base divisi
2. ABC hanya digunakan untuk operasi yang meggunakan turning machine
Kesimpulan
1. Penetapan biaya dengan standard costing tidak sesuai untuk digunakan oleh perusahaan
yang memproduksi barang dengan banyak aktivitas produksi dan variasi produk yang
beragam, tidak mencerminkan cost yang sebenarnya. Hanya menggunakan direct labor
dan machine hours sebagai cost driver, sedangkan ada banyak tahapan dalam aktivitas
produksi yang menuntut penentuan cost driver yang lebih akurat.
2. Dengan menggunakan Activity Based Costing perusahaan dapat mengetahui actual cost
per unit, sehingga tidak akan terjadi undercosting atau overcosting dalam penentuan
biaya. Penggunaan cost driver untuk yang disesuaikan berdasarkan aktivitas produksi
yang telah ditetapkan activity cost pool-nya, terdiri dari 7 cost driver yaitu direct labor
support, machine operation, setup hours, production order activity, materials handling,
parts administration, general and administrative.
3. Tujuan dari penggunaan metode ABC bukan untuk menghasilkan biaya per unit yang
kecil, namun menghasilkan biaya yang sebenarnya. Terbukti dari kasus John Deere,
perbedaan cost dari awal perusahaan menggunakan standard costing menjadi Activity
Based Costing hasilnya bervariasi, ada yang biayanya menjadi lebih kecil dan menjadi
lebih besar.
4. Meskipun terdapat variasi perubahan cost karena beralih menggunakan metode ABC,
John Deere tetap dapat bersaing dengan lebih percaya diri karena keakuratan penentuan
biaya, karena menghindari profit margin yang semu akibat adanya overcosting dan
undercosting.
5. Agar pengaplikasian ABC menjadi lebh efisien makan harus dibantu dengan perubahan-
perubahan pada pabrik. Misalkan dalam kebijakan transfer pricing yang diubanh dengan
menggunakan market based dibandingkan dengan direct cost v.s full cost. Selain
kebijakan, layout pabrik juga diubah untuk memaksimalkan efisiensi penggunaan ABC.
6. Saat ini ABC hanya diterapkan untuk operasi-operasi yang menggunakan turning machine,
namun tidak ada salahnya dikemudian hari untuk mengaplikasikan ABC pada proses-
proses produksi lain. Hal ini dikarenakan penggunaan ABC dalam mengalokasikan
overhead tepat untuk John deere karena John deere memiliki variasi produk yang
berbeda-beda.
Referensi
- Hilton, Ronald and Avid E. Platt, Managerial Accounting: Creating Value in a Dinamyc
Business Environment, 9th Edition: McGraw-Hill (2011)