Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL
I. Definisi

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1) Obstruksi saluran napas


yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan
maupun dengan pengobatan; 2) Inflamasi saluran napas; 3) Peningkatan respons
saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Obstruksi saluran napas
ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan
saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan
menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan
kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran
napas,dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan
hipertrofi otot polos bronkus. Diduga baik obstruksi maupun peningkatan respons
terhadap berbagai rangsangan didasari oleh inflamasi saluran napas.

II. Epidemiologi
• Umurnnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa.
• Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.

III. Faktor Risiko

Multi faktorial; status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Semakin
berat saat terpapar allergen; debu, tungau, hewan, jamur, bahan kimia aerosol, asap
rokok, obat (aspirin, penyekat B), olah raga, polen, infeksi pernafasan, stress emosional.

IV. KLASIFIKASI

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kekerapan, berdasarkan derajat


kendali dan berdasarkan derajat berat serangan asma akut.

a. Berdasarkan derajat berat serangan asma akut


b. Berdasarkan derajat kekerapan

c. Berdasarkan derajat kendali


V. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi


berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus
inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat
asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan
pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma
yang dicetuskan aspirin.
INFLAMASI AKUT Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe
lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast
dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.

Reaksi Fase Lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

INFLAMASI KRONIK Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel
tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.

Limfosit T Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi
sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Epitel Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian
mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat
disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,
TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFIL Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi


tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain
LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi
dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yangmengandung granul
protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil
peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.

Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.
Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-
alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF
serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan
pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-

AIRWAY REMODELING Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan


kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan
(healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama
dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang
menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam
proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui
dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan
proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau
perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot
polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses
inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling,
juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot
polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :

 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas


 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder
dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding
inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas
dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam
manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

VI. GAMBARAN KLINIS

Karakteristik gejala asma adalah adanya serangan episodik mengi, sesak napas,
dan batuk yang bervariasi, dapat muncul secara spontan maupun dengan berjalannya
terapi. Gejala dapat memburuk pada malam hari dan pasien biasanya bangun pagi buta.
Pasien dapat mengeluhkan kesulitan bernapas dengan gejala tidak jelas seperti rasa
berat di dada. Awalnya batuk tanpa disertai sekret, namun terjadi peningkatan produksi
mukus kental yang sulit dikeluarkan, meningkatnya laju napas & ada penggunaan otot
tambahan dalam pernapasan. Gejala prodromal dapat mendahului serangan, dengan
gatal di bawah dagu, rasa tidak nyaman di antara skapula, atau perasaan takut.

Ronkhi pada fase inspirasi & ekspirasi dapat ditemukan di seluruh lapang paru,
dapat ditemukan juga hiperinflasi. Pada beberapa pasien, terutama anak-anak, ada yang
gejalanya hanya batuk tanpa disertai dahak atau mengi, dikenal dengan istilah cough-
variant asthma. Bila hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum
dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun
perubahan cuaca.

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan dengan gejala yang biasanya
memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu, dan jika tetap
memburuk sepanjang minggu gejala mungkin membaik jika ia dijauhkan dari
lingkungan kerjanya seperti saat cuti.

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan


penunjang. Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita
tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat
episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada, dan variabiliti
yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan
diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Riwayat penyakit/gejala:
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi/atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan
kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan
hiperinflasi.

Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu nafas.

Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, serta sebagai parameter yang objektif untuk
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. obstruksi jalan nafas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).

Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kerja sama penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma:


 Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP< 75% atau VEP<
80% nilai prediksi
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15 % secara spontan , atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator) atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
 Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang
relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di
berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat
darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk
memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan tindakan yang koperatif dari penderita dan instruksi yang jelas.

Manfaat APE dalam diagnosis asma:


1. Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respon terapi kortikosteroid
(inhalasi/oral, 2 minggu)
2. Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat
penyakit.

Nilai APE tidak selalu berkolerasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,
di samping itu APE juga tidak selalu berkolerasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita
yang bersangkutan.

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian :


Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara :

 Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi atau perbedaan nilai


APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya
sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam
sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE
harian. Nilai >20% dipertimbangkan sebagai asma.

Variabiliti harian = APE malam-APE pagi x 100%

½ (APE malam+APE pagi)

 Metode lain untuk mendapatkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum brokodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari)

Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis

Uji Provokasi Bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita


dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifisitas yang rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma
persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil
positif selalu terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan saluran nafas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.

Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil dalam
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga
dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penetalaksanaan.

Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif atau negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (misalnya pada dermatitis). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.

Diagnosis Banding

Dewasa: Anak :
1. PPOK 1. Benda asing di saluran nafas
2. Bronkitis kronik 2. Laringotrakeomalasia
3. Gagal jantung kongestif 3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Batuk kronik akibat lain-lain 4. Tumor
5. Obstruksi mekanis (misal tumor) 5. Stenosis trakea
6. Emboli paru 6. Bronkiolitis

VIII. PENATALAKSANAAN ASMA


Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan
kontrol manifestasi klinis asma dalam jangka waktu tertentu. Saat asma terkontrol,
pasien dapat mencegah hampir semua serangan, mencegah gejala yang mengganggu
pada siang dan malam hari, dan tetap aktif secara fisik.

Untuk mencapai tujuan ini, 4 komponen terapi diperlukan, yaitu :

1. Mengembangkan hubungan pasien dan dokter yang baik


2. Mengidentifikasi dan menurunkan paparan terhadap faktor resiko
3. Menilai, mengobati, dan memonitor asma
4. Menangani eksaserbasi asma

Komponen 1 : Mengembangkan Hubungan Dokter/Pasien

Penanganan yang efektif terhadap asma memerlukan hubungan antara pasien


dengan dokter yang baik sehingga dengan bantuan kita, pasien dapat belajar untuk :

 Mencegah faktor risiko


 Meminum obat dengan benar
 Mengerti perbedaan antara controller dan reliever
 Mengenali tanda asma yang memburuk dan mengambil tindakan
 Mencari pertolongan medis bila diperlukan

Edukasi harus merupakan bagian yang terintegrasi dengan semua interaksi


antara dokter dan pasien. Dengan menggunakan metode yang bervariasi, diharapkan
pasien mendapatkan pesan edukasi tentang penyakitnya. Personal asthma action plan
juga harus dibuat bersama, antara dokter dan pasien sehingga pengobatan yang
dilakukan praktis dan tepat.

Komponen 2 : Mengidentifikasi dan Menurunkan Paparan terhadap Resiko

Untuk mengontrol asma dan menurunkan medikasi yang diperlukan, paparan


terhadap resiko juga harus diturunkan. Namun ada beberapa faktor resiko yang tidak
bisa dihindari oleh pasien sehingga medikasi untuk mengontrol asma memegang
peranan yang penting karena pasien kurang sensitif terhadap faktor resiko bila asmanya
terkontrol.

Aktivitas fisik dapat menjadi pencetus gejala asma namun pasien tidak boleh
menghindari aktivitas fisik. Gejala dapat dicegah dengan menggunakan β2 – agonist
inhalasi kerja cepat sebelum olah raga.

Pasien dengan asma sedang hingga berat dapat dianjurkan untuk divaksin
terhadap influenza setiap tahun.

Komponen 3 : Menilai, Mengobati, dan Memonitor Asma


Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan, seperti:

A. Mencegah ikatan alergen-IgE:


1. Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan
hiposensitisasi.
2. Mencegah pelepasan mediator
Antara lain dengan pemberian anticholinergic, agonis beta 2, maupun teofilin.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator

- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis beta
2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan diberikan
pada serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau dewasa muda

- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut

- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung


dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi
pemeliharaan.

- Antikolinergik

B. Pengobatan:

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:

a. Pencegah (controller)

Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar
gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini
antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2
agonis inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin
lepas lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan
pencegah yang paling efektif saat ini.

b. Penghilang gejala (reliever)


Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi
bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk
golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi,
teofilin kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat.

Menilai kontrol asma merupakan tindakan yang penting untuk menentukan


pengobatan yang akan kita berikan. Setelah menilai status kontrol asma pada pasien,
pengobatan yang diberikan meliputi reliever untuk menangani gejala akut yang terjadi
dan controller, untuk menjaga gejala dan serangan terjadi.

Untuk sebagian besar pasien yang baru didiagnosis, pengobatan biasanya


dimulai pada step 2 (atau bila gejala sangat berat, step 3). Bila asma tidak terkontrol
dengan regimen yang diberikan, dapat dinaikkan stepnya.

Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan
sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang sebisa
mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari – hari.

Pengobatan inhalasi lebih dipilih karena penghantaran obat yang langsung ke


jalan nafas sehingga dapat mencapai efek terapi dengan efek samping yang minimal.
Penggunaan inhaler juga harus diajarkan kepada pasien sehingga pasien dapat
mengontrol asmanya dengan baik.

Monitoring untuk Mempertahankan Kontrol

Monitoring yang terus menerus penting untuk menjaga kontrol dan menegakkan
step yang lebih rendah dan dosis pengobatan untuk meminimalisir biaya dan
memaksimalkan keamanan.

Secara tipikal, pasien perlu datang satu hingga tiga bulan setelah kunjungan
pertama dan tiga bulan sekali setelahnya. Setelah eksaserbasi, follow up harus dilakukan
dalam 2 minggu hingga 1 bulan.
C. Menyesuaikan pengobatan:
 Bila asma tidak terkontrol, step up pengobatan. Perkembangan secara umum
terjadi selama 1 bulan, namun harus ditinjau pula teknik medikasi, kepatuhan,
dan penghindaran terhadap faktor resiko
 Bila asma sebagian terkontrol, pikirkan untuk meningkatkan step
pengobatan tergantung apakah ada pilihan yang lebih efektif, keamanan, dan
harga obat, serta kepuasan tingkat kontrol pasien yang dicapai.
 Bila kontrol terjadi selama minimal 3 bulan, step down secara gradual.
Tujuannya adalah untuk menggunakan obat sesedikit mungkin untuk
mempertahankan kontrol.

Monitoring harus tetap dilakukan setelah kontrol tercapai karena asma merupakan
penyakit yang variabel. Pengobatan harus selalu disesuaikan dengan respon ataupun
tingkat kontrol pasien.

Komponen 4 : mengatasi eksaserbasi


Eksaserbasi asma (serangan asma) merupakan episode peningkatan sesak nafas yang
progresif, batuk, mengi, atau chest tightness atau kombinasi dari gejala – gejala ini.

Asma berat dapat mengancam jiwa sehingga penanganannya harus diperhatikan dengan
baik. Pasien dengan resiko tinggi asma yang berhubungan dengan kematian
memerlukan perhatian yang lebih dan harus dipacu untuk mencari pertolongan bila
terjadi serangan. Pasien – pasien tersebut di antaranya adalah pasien :
 Dengan riwayat asma yang fatal sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi
mekanik
 Yang dirawat atau datang ke UGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
 Yang sekarang sedang menggunakan atau baru berhenti menggunakan
glukokortikoid oral
 Yang sedang tidak menggunakan inhalasi glukokortikoid
 Yang bergantung secara berlebihan terhadap β2 agonist inhalasi kerja cepat
terutama yang menggunakan lebih dari 1 tabung salbutamol setiap bulannya
 Dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial terutama pengguna
sedative
 Dengan riwayat kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan asma

Pasien harus segera mencari pertolongan medis bila :

 Serangan yang terjadi berat :


- Pasien sesak saat beristirahat, membungkukkan badan ke depan, berbicara
dalam beberapa kata, agitasi, bingung, bradikardia, atau pernafasan > 30
x/menit.
- Mengi keras ataupun tidak ada
- Nadi lebih dari 120 x/menit
- PEF kurang dari 60% nilai yang diprediksi, walaupun telah diterapi inisial
- Pasien kelelahan
 Respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator inisial tidak berhasil
dan masih berlangsung setidaknya 3 jam
 Tidak ada kemajuan dalam 2 – 6 jam setelah meminum glukokortikoid
oral
 Terjadi perburukan

Serangan asma memerlukan pengobatan yang tepat :


 β2 – agonist inhalasi kerja cepat (dimulai dengan 2 – 4 puff setiap 20 menit
untuk 1 jam pertama, serangan ringan 2 – 4 puff setiap 3 – 4 jam, dan serangan
sedang 6 – 10 puff setiap 1 – 2 jam)
 Glukokortikoid oral (0,5 – 1,0 mg prednisolon / kgBB selama 24 jam) pada
serangan sedang dan berat untuk mengurangi inflamasi dan mempercepat
penyambuhan
 Oksigen diberikan bila saturasi O2 kurang dari 95%
 Kombinasi β2 – agonist dengan antikolinergik berhubungan dengan angka
perawatan di rumah sakit yang lebih rendah dan perkembangan PEV dan FEV1
yang lebih baik.
 Methylxanthine tidak direkomendasikan bila digunakan bersama dengan
β2 – agonist inhalasi. Walaupun demikian, teofilin dapat digunakan bila β2 –
agonist inhalasi tidak tersedia. Bila pasien mengkonsumsi teofilin, konsentrasi
serum harus diukur sebelum menambahkan teofilin kerja cepat.
Terapi yang tidak direkomendasikan untuk serangan asma, yaitu :

 Sedatif
 Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
 Fisioterapi dada (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
 Hidrasi dengan volume yang besar
 Antibiotic (kecuali ada tanda – tanda infeksi seperti pneumonia atau sinusitis)
 Epinefrin / adrenalin

Monitor Respon Terapi

 Evaluasi gejala dan peak flow diperlukan untuk memonitor respon terapi. Pada
setting rumah sakit, dapat dilakukan pengukuran saturasi oksigen. Pemeriksaan
analisa gas darah dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai hipoventilasi,
kelelahan, distress yang berat, atau PEF diprediksi 30 – 50%.
 Follow Up : Setelah eksaserbasi ditangani, penyebab serangan perlu
diidentifikasi dan perlu ditetapkan strategi untuk mencegah serangan dan
menentukan pengobatan pada pasien
DAFTAR PUSTAKA

1. Antariksa B. Diagnosis dan penatalaksanaan asma. Departemen


Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran respirasi FKUI-RS. Persahabatan.
2. Bateman ED, et al. Global strategy for asthma management and
prevention. Global Initiative for Asthma; 2011.
3. Dewan Asma Indonesia. Pedoman tatalaksana asma. Jakarta: CV, Mahkota
Dirfan; 2011, hal. 36-48.
4. Fanta CH. Drug Therapy : Asthma. N Engl J Med 2009;360:1002-14.
5. Fauci AS, Brunwald E, Kasper DL, Hauser Sl, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta:
Elsevier, 2006. p.
499-501.
7. Mangunnegoro H, et al. Asma: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004
8. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Maj Kedokt Indon. Vol.
58; 2008.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Asma di Indonesia. PDPI. Jakarta, 2006
10. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia , 2009
11. Sundaru H, Sukamto. Asma Bronkial. Buku Ajar Penyakit Dalam. EGC.
Jakarta:Jilid I;404-414.
12. Global Initiative For Asthma (GINA). Pocket Guide For Asthma Management
and Prevention. Canada, 2012.

13. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. 2008. Harrison's principles of internal medicine. 17th ed. McGraw Hill.
14. Global Initiative For Asthma (GINA). Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention.
Canada, 2015.
15. Asthma Pathophysiology. http://www.alvesco.com/en/About-
Asthma/Asthma-
pathophysiology

Anda mungkin juga menyukai