ASMA BRONKIAL
I. Definisi
II. Epidemiologi
• Umurnnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa.
• Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.
Multi faktorial; status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Semakin
berat saat terpapar allergen; debu, tungau, hewan, jamur, bahan kimia aerosol, asap
rokok, obat (aspirin, penyekat B), olah raga, polen, infeksi pernafasan, stress emosional.
IV. KLASIFIKASI
Reaksi Fase Lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
INFLAMASI KRONIK Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel
tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot
polos bronkus.
Limfosit T Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi
sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian
mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat
disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical,
TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.
Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-
alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada
orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF
serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan
pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena sekunder
dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus (longstanding
inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas
dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam
manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Karakteristik gejala asma adalah adanya serangan episodik mengi, sesak napas,
dan batuk yang bervariasi, dapat muncul secara spontan maupun dengan berjalannya
terapi. Gejala dapat memburuk pada malam hari dan pasien biasanya bangun pagi buta.
Pasien dapat mengeluhkan kesulitan bernapas dengan gejala tidak jelas seperti rasa
berat di dada. Awalnya batuk tanpa disertai sekret, namun terjadi peningkatan produksi
mukus kental yang sulit dikeluarkan, meningkatnya laju napas & ada penggunaan otot
tambahan dalam pernapasan. Gejala prodromal dapat mendahului serangan, dengan
gatal di bawah dagu, rasa tidak nyaman di antara skapula, atau perasaan takut.
Ronkhi pada fase inspirasi & ekspirasi dapat ditemukan di seluruh lapang paru,
dapat ditemukan juga hiperinflasi. Pada beberapa pasien, terutama anak-anak, ada yang
gejalanya hanya batuk tanpa disertai dahak atau mengi, dikenal dengan istilah cough-
variant asthma. Bila hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum
dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun
perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan dengan gejala yang biasanya
memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu, dan jika tetap
memburuk sepanjang minggu gejala mungkin membaik jika ia dijauhkan dari
lingkungan kerjanya seperti saat cuti.
VII. DIAGNOSIS
Riwayat penyakit/gejala:
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas. Pada
keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan
kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan
hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.
Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang
sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu nafas.
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi;
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk
menyamakan persepsi dokter dan penderita, serta sebagai parameter yang objektif untuk
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
1. obstruksi jalan nafas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan nafas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus
puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kerja sama penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Nilai APE tidak selalu berkolerasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,
di samping itu APE juga tidak selalu berkolerasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh
karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik
sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita
yang bersangkutan.
Metode lain untuk mendapatkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi
sebelum brokodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan
persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari)
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit
atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil dalam
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga
dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penetalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif atau negatif palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (misalnya pada dermatitis). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/atopi.
Diagnosis Banding
Dewasa: Anak :
1. PPOK 1. Benda asing di saluran nafas
2. Bronkitis kronik 2. Laringotrakeomalasia
3. Gagal jantung kongestif 3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Batuk kronik akibat lain-lain 4. Tumor
5. Obstruksi mekanis (misal tumor) 5. Stenosis trakea
6. Emboli paru 6. Bronkiolitis
Aktivitas fisik dapat menjadi pencetus gejala asma namun pasien tidak boleh
menghindari aktivitas fisik. Gejala dapat dicegah dengan menggunakan β2 – agonist
inhalasi kerja cepat sebelum olah raga.
Pasien dengan asma sedang hingga berat dapat dianjurkan untuk divaksin
terhadap influenza setiap tahun.
- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis beta
2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan diberikan
pada serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau dewasa muda
- Antikolinergik
B. Pengobatan:
a. Pencegah (controller)
Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar
gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini
antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2
agonis inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin
lepas lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan
pencegah yang paling efektif saat ini.
Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan
sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang sebisa
mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari – hari.
Monitoring yang terus menerus penting untuk menjaga kontrol dan menegakkan
step yang lebih rendah dan dosis pengobatan untuk meminimalisir biaya dan
memaksimalkan keamanan.
Secara tipikal, pasien perlu datang satu hingga tiga bulan setelah kunjungan
pertama dan tiga bulan sekali setelahnya. Setelah eksaserbasi, follow up harus dilakukan
dalam 2 minggu hingga 1 bulan.
C. Menyesuaikan pengobatan:
Bila asma tidak terkontrol, step up pengobatan. Perkembangan secara umum
terjadi selama 1 bulan, namun harus ditinjau pula teknik medikasi, kepatuhan,
dan penghindaran terhadap faktor resiko
Bila asma sebagian terkontrol, pikirkan untuk meningkatkan step
pengobatan tergantung apakah ada pilihan yang lebih efektif, keamanan, dan
harga obat, serta kepuasan tingkat kontrol pasien yang dicapai.
Bila kontrol terjadi selama minimal 3 bulan, step down secara gradual.
Tujuannya adalah untuk menggunakan obat sesedikit mungkin untuk
mempertahankan kontrol.
Monitoring harus tetap dilakukan setelah kontrol tercapai karena asma merupakan
penyakit yang variabel. Pengobatan harus selalu disesuaikan dengan respon ataupun
tingkat kontrol pasien.
Asma berat dapat mengancam jiwa sehingga penanganannya harus diperhatikan dengan
baik. Pasien dengan resiko tinggi asma yang berhubungan dengan kematian
memerlukan perhatian yang lebih dan harus dipacu untuk mencari pertolongan bila
terjadi serangan. Pasien – pasien tersebut di antaranya adalah pasien :
Dengan riwayat asma yang fatal sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi
mekanik
Yang dirawat atau datang ke UGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
Yang sekarang sedang menggunakan atau baru berhenti menggunakan
glukokortikoid oral
Yang sedang tidak menggunakan inhalasi glukokortikoid
Yang bergantung secara berlebihan terhadap β2 agonist inhalasi kerja cepat
terutama yang menggunakan lebih dari 1 tabung salbutamol setiap bulannya
Dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial terutama pengguna
sedative
Dengan riwayat kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan asma
Sedatif
Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
Fisioterapi dada (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
Hidrasi dengan volume yang besar
Antibiotic (kecuali ada tanda – tanda infeksi seperti pneumonia atau sinusitis)
Epinefrin / adrenalin
Evaluasi gejala dan peak flow diperlukan untuk memonitor respon terapi. Pada
setting rumah sakit, dapat dilakukan pengukuran saturasi oksigen. Pemeriksaan
analisa gas darah dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai hipoventilasi,
kelelahan, distress yang berat, atau PEF diprediksi 30 – 50%.
Follow Up : Setelah eksaserbasi ditangani, penyebab serangan perlu
diidentifikasi dan perlu ditetapkan strategi untuk mencegah serangan dan
menentukan pengobatan pada pasien
DAFTAR PUSTAKA
13. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. 2008. Harrison's principles of internal medicine. 17th ed. McGraw Hill.
14. Global Initiative For Asthma (GINA). Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention.
Canada, 2015.
15. Asthma Pathophysiology. http://www.alvesco.com/en/About-
Asthma/Asthma-
pathophysiology