Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Disusun oleh:
Dinni Aulia Kartika
030.13.058

Pembimbing:
dr. Eddi Junaidi, Sp.OG, SH, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 2 OKTOBER - 9 DESEMBER 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
Referat dengan judul:

“Perdarahan Antepartum”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 2 Oktober - 9 Desember 2017

Disusun oleh :
Dinni Aulia Kartika
(030.13.058)

Jakarta, November 2017


Mengetahui,

dr. Eddi Junaidi, Sp.OG, SH, M.Kes


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Perdarahan Antepartum”. Referat ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan
Kandungan di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 2 Oktober - 9
Desember 2017. Penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Eddi Junaidi, Sp.OG, SH, M.Kes selaku
pembimbing atas waktu, pengarahan, masukan, serta berbagai ilmu yang telah
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Adapun referat ini disusun berdasarkan acuan dari berbagai sumber. Penulis
menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk melengkapi referat ini. Akhir
kata, semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak dan referat ini dapat
memberi wawasan kepada pembaca dan penulis serta bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, profesi, dan masyarakat, terutama dalam bidang Ilmu Kebidanan
dan Kandungan.

Jakarta, November 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang..................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi............................................................................................................3
2.2 Fisiologi............................................................................................................5
2.3 Histologi...........................................................................................................7
2.4 Perdarahan antepartum.....................................................................................8
2.5 Plasenta previa.................................................................................................9
2.5.1 Definisi..................................................................................................9
2.5.2 Epidemiologi.........................................................................................9
2.5.3 Etiologi.................................................................................................10
2.5.4 Faktor risiko..........................................................................................11
2.5.5 Patofisiologi..........................................................................................12
2.5.6 Klasifikasi.............................................................................................13
2.5.7 Manifestasi klinis..................................................................................14
2.5.8 Kriteria diagnosis..................................................................................15
2.5.9 Tatalaksana...........................................................................................16
2.5.10 Komplikasi...........................................................................................18
2.5.11 Prognosis..............................................................................................19
2.6 Solusio plasenta...............................................................................................20
2.6.1 Definisi.................................................................................................20
2.6.2 Epidemiologi........................................................................................20
2.6.3 Etiologi.................................................................................................21
2.6.4 Faktor risiko..........................................................................................21
2.6.5 Patofisiologi..........................................................................................21
2.6.6 Klasifikasi.............................................................................................23
2.6.7 Manifestasi klinis..................................................................................25
2.6.8 Kriteria diagnosis..................................................................................26
2.6.9 Tatalaksana...........................................................................................27
2.6.10 Komplikasi...........................................................................................28
2.6.11 Prognosis..............................................................................................29
BAB III KESIMPULAN........................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Proses kehamilan, persalinan, dan masa nifas merupakan tahapan yang dialami
oleh seorang wanita yang ingin memiliki anak. Salah satu asuhan yang dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan deteksi dini adanya komplikasi atau penyakit
selama kehamilan. World Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 210
kematian wanita tiap 100.000 kelahiran hidup akibat komplikasi kehamilan dan
persalinan di tahun 2013. Komplikasi kehamilan yang dapat terjadi pada kehamilan
muda disebut abortus sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum.1
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan usia 20
minggu dengan insiden 2-5%. Adapun yang termasuk perdarahan antepartum adalah
plasenta previa, solusio plasenta, dan penyebab lain yang masih belum diketahui.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah
rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Perdarahan
pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya dibandingkan dengan plasenta
previa, karena pada kejadian tertentu perdarahan pervaginam hampir tidak ada atau
tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung intrauterin. Hal inilah yang
membuat solusio plasenta lebih berbahaya karena dalam keadaan yang demikian
seringkali perkiraan jumlah darah yang telah keluar sukar diperhitungkan, dan janin
telah mati, sehingga dapat membuat ibu berada dalam keadaan syok.2-3
Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan antepartum
dan perdarahan postpartum. Pada umumnya dapat terjadi perdarahan yang berat, dan
jika tidak segera mendapatkan penanganan dapat menyebabkan syok. Berdasarkan
laporan World Health Organization (WHO) 2008 angka kematian ibu di dunia
sebanyak 536.000. Kematian ini dapat disebabkan oleh 25% perdarahan, 20%
penyebab tidak langsung, 15% infeksi, 13% aborsi yang tidak aman, 12% eklampsi,
8% penyulit persalinan, dan 7% penyebab lainnya. Menurut Survei Demografi

4
Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak 228
per 100.000 kelahiran hidup pada periode tahun 2003 sampai 2007. Pada tahun 2009
Angka Kematian Ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Dari hasil survey tersebut terlihat adanya peningkatan angka kematian ibu di
Indonesia. Sehingga masalah Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu
indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan.1-2
Plasenta merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Plasenta memiliki peran sebagai tempat pertukaran zat,
penghasil hormon yang berguna selama kehamilan, dan sebagai barier. Melihat
pentingnya peranan plasenta, maka bila terjadi kelainan pada plasenta akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin ataupun mengganggu proses persalinan.
Dari permasalahan yang terjadi, perdarahan antepartum merupakan salah satu
masalah serius yang dapat berdampak tidak hanya secara medis, baik pada maternal
maupun fetal. Berdasarkan penyebab utama, kematian ibu hamil dan melahirkan
adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia. Sehingga hal ini merupakan indikasi bahwa
hingga saat ini perdarahan antepartum masih merupakan masalah kesehatan yang
perlu ditangani lebih lanjut dan sedini mungkin.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Plasenta merupakan bagian dari kehamilan yang penting, mempunyai bentuk
bulat dengan ukuran 15x20 cm dengan tebal 2,5 sampai 3 cm dan berat 500 gram.
Plasenta merupakan organ yang sangat aktif dan memiliki mekanisme khusus untuk
menunjang pertumbuhan dan ketahanan hidup janin. Hal ini termasuk pertukaran gas
yang efisien, transport aktif zat-zat energi, toleransi imunologis terhadap imunitas ibu
dan akuisisi janin. Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral
arteries yang berada di desidua basalis. Pada sistosel darah disemprotkan dengan
tekanan 70-80 mmHg ke dalam ruang interviler sampai mencapai chorionic plate,
pangkal kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua villi koriales dan kembali
perlahan-lahan dengan tekanan 80 mmHg menuju ke vena-vena di desidua.4
Di bawah lapisan amnion, pembuluh darah korion bersambungan dengan
pembuluh darah fetus membentuk struktur yang dinamakan tali pusat. Biasanya
panjang tali pusat dapat mencapai 30-90 cm dan berinsersi pada tengah permukaan
plasenta, tetapi ada juga yang berinsersi di pinggir plasenta. Tali pusat berisi 2 arteri,
1 vena umbilikalis dan massa mukopolisakarida yang disebut jeli Wharton. Vena
berisi darah penuh oksigen sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah
kotor. Pembuluh darah tali pusat berkembang dan berbentuk seperti heliks agar
terdapat fleksibilitas. Rongga intervili adalah kolam yang berisi takungan darah ibu
yang keluar dari pembuluh darah yang ada pada lapisan desidua. Terdapat sinus-sinus
arteri dan vena yang tersebar pada plat desidua yang berfungsi untuk mensuplai dan
aliran keluar darah dari rongga ini. Sebelum plasenta terbentuk dengan sempurna dan
sanggup untuk memelihara janin, fungsinya dilakukan oleh korpus luteum
gravidarum yang dikonversi dari korpus luteum normal akibat pengaruh hormon
korionik gonadotropin (hCG) yang dihasilkan setelah beberapa jam berlakunya proses
implantasi.4-5

6
Gambar 1. Anatomi sirkulasi feto-maternal
Plasenta mempunyai dua permukaan, yaitu permukaan fetal dan maternal.
Permukaan fetal adalah permukaan yang menghadap ke janin berwarna keputihan dan
licin. Hal ini disebabkan karena permukaan fetal tertutup oleh amnion, dan terdapat
pembuluh darah pada bagian bawahnya. Permukaan maternal adalah permukaan yang
menghadap dinding rahim, berwarna merah dan terbagi oleh celah-celah yang berasal
dari jaringan ibu. Jumlah celah pada plasenta dibagi menjadi 16-20 kotiledon.4

Gambar 2. Plasenta

7
2.2 Fisiologi
Kehamilan merupakan proses fisiologi mulai dari konsepsi, implantasi sampai
lahirnya janin. Kehamilan normal berlangsung dalam waktu 40 minggu. Kehamilan
dibagi menjadi 3, yaitu trimester pertama berlangsung dalam 12 minggu, trimester
kedua dari minggu ke-13 sampai minggu ke-27, dan trimester ketiga dari minggu ke-
28 sampai minggu ke-40. Pemeriksaan dan pengawasan secara teratur perlu di
lakukan pada saat hamil hal ini bertujuan untuk menyiapkan kondisi fisik dan mental
ibu selama kehamilan secara optimal serta untuk mendeteksi dini adanya tanda
bahaya maupun komplikasi. Kehamilan adalah merupakan suatu proses dari ovulasi,
pelepasan sel telur, migrasi spermatozoa dan ovum, konsepsi dan pertumbuhan zigot,
nidasi (implantasi) pada uterus, pembentukan plasenta, dan tumbuh kembang hasil
konsepsi sampai aterm.6
Setelah pembuahan terjadi, zigot mulai membagi diri menjadi beberapa sel,
mulai dari 2, 4, 8, 16, 32 sel, dan seterusnya. Proses ini merupakan bukti awal adanya
sel-sel tertentu yang bergerak, berpindah, dan memiliki hubungan dengan sel-sel lain.
Dengan gerakan-gerakan ini, embrio mulai mengalami bentuk-bentuk yang
bervariasi. Selama tahap cleavage, terjadi pembagian sel yang disebut morula dan
setelah itu menjadi blastosit (blastocyst). Kemudian terdapat sel-sel padatan pada
bagian ujung dari blastosit yang disebut inner cell mass. Inner cell mass ini kemudian
menjadi lempengan embrio yang terdiri dari dua lapis: lapisan atas (ektoderm) dan
lapisan bawah (endoderm). Selanjutnya, lapisan bilayer tersebut mengalami
pemanjangan untuk membentuk primitive streak, pada bagian tengah (midline)
embrio. Morfogenesis terus berlanjut sampai bagian atas sel-sel pada primitive streak
masuk ke bagian dalam dan menyebar di antara ektoderm dan endoderm. Sel-sel
tersebut dinamakan lapisan mesoderm. Proses differentiation akan segera berlangsung
sebab ektoderm, mesoderm, dan endoderm merupakan lapisan embrio yang
memungkinkan pertumbuhan untuk semua jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh
selanjutnya.6
Setelah minggu pertama (hari 7-8), sel-sel trofoblas yang terletak di atas
embrioblast yang berimplantasi di endometrium, mengadakan proliferasi dan

8
berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda, yaitu sitotrofoblas yang terdiri dari
selapis sel kuboid, batas jelas, inti tunggal, di sebelah dalam (dekat embrioblas) dan
sinsitiotrofoblas yang terdiri dari selapis sel tanpa batas jelas, di sebelah luar
(berhubungan dengan stroma endometrium). Unit trofoblas ini akan berkembang
menjadi plasenta. Di antara massa embrioblast dengan lapisan sitotrofoblas terbentuk
suatu celah yang semakin besar, yang nantinya akan menjadi rongga amnion. Sel-sel
embrioblas juga berdiferensiasi menjadi dua lapis yang berbeda menjadi epiblast
(selapis sel kolumnar tinggi, di bagian dalam, berbatasan dengan bakal rongga
amnion) dan hipoblast (selapis sel kuboid kecil, di bagian luar, berbatasan dengan
rongga blastokista. Unit sel-sel blast ini akan berkembang menjadi janin.7

Gambar 3. Plasentasi
Setelah infiltrasi pembuluh darah trofoblas ke dalam sirkulasi uterus, seiring
dengan perkembangan trofoblas menjadi plasenta dewasa, terbentuklah komponen
sirkulasi utero-plasenta. Melalui pembuluh darah tali pusat, sirkulasi utero-plasenta
dihubungkan dengan sirkulasi janin. Meskipun demikian, darah ibu dan darah janin
tetap tidak bercampur menjadi satu (disebut sistem hemochorial), tetap terpisah oleh
dinding pembuluh darah janin dan lapisan korion. Dengan demikian, komponen
sirkulasi dari ibu (maternal) berhubungan dengan komponen sirkulasi dari janin
(fetal) melalui plasenta dan tali pusat, yang dinamakan sirkulasi feto-maternal.7
Plasentasi adalah proses pembentukan stuktur dan jenis plasenta. Setelah nidasi
embrio ke dalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia, plasentasi
berlangsung sampai 12-18 minggu setelah fertilisasi. Pada keadaan normal, plasenta

9
terletak di bagian atas uterus, biasanya di depan atau di belakang dinding uterus, agak
ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan bagian atas
korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk berimplantasi. Di tempat-
tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat vena-vena yang lebar (sinus) untuk
menampung darah kembali. Pada pinggir plasenta di beberapa tempat terdapat suatu
ruang vena yang luas untuk menampung darah yang berasal dari ruang intervillus.
Darah ibu yang mengalir di seluruh plasenta diperkirakan naik dari 300 ml tiap menit
pada kehamilan 20 minggu sampai 600 ml tiap menit pada kehamilan 40 minggu.7
2.3 Histologi
Pada plasenta dilapisi oleh amnion sebagai membran transparan berwarna abu-
abu yang melapisi korion. Selaput ini menutup pars fetal plasenta dan talipusat.
Kantung amnion berisi cairan amnion dan janin berada dalam cairan tersebut. Selaput
amnion terdiri dari 5 lapisan, yaitu lapisan seluler, membrana basalis, stratum
kompaktum, stratum fibroblast, dan stratum spongiosum di bagian paling luar dan
melekat dengan lapisan seluler korion. Sedangkan korion merupakan membran
bagian paling luar dan menempel pada dinding uterus serta menempel pada tepi
plasenta. Korion terdiri dari 4 lapisan, yaitu lapisan seluler, lapisan retikuler padat,
pseudo-basement membrane, dan trofoblas. Cairan amnion merupakan cairan jernih
agak pucat dan basa (pH 7,2), Pada pertengahan kehamilan jumlahnya sekitar 400 ml
dan pada kehamilan 36-38 minggu mencapai 1000 ml setelah itu volume terus
menurun dan penurunan berlanjut terus sampai kehamilan postmatur.8

10
Gambar 4. Histologi selaput plasenta

2.4 Perdarahan antepartum


Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah minggu ke 28
masa kehamilan. Perdarahan antepartum dapat berasal dari plasenta meliputi plasenta
previa, solusio plasenta dan ruptura sinus marginal, dari genitalia seperti infeksi,
polip, erosi serviks, tumor, keganasan, dan trauma. Plasenta previa merupakan
penyebab utama perdarahan antepartum. Perdarahan akibat plasenta previa terjadi
secara progresif dan berulang seiring dengan proses pembentukan segmen bawah
rahim. Sampai saat ini belum terdapat definisi yang tetap mengenai keparahan derajat
perdarahan antepartum. Seringkali jumlah darah yang keluar dari jalan lahir tidak
sebanding dengan jumlah perdarahan sebenarnya sehingga sangat penting untuk
membandingkan jumlah perdarahan dengan keadaan klinis pasien. Terdapat beberapa
definisi yang dapat digunakan untuk menggambarkan perdarahan antepartum seperti
spotting yaitu terdapat bercak darah pada pakaian dalam, perdarahan minor yaitu
kehilangan darah < 50 ml, perdarahan mayor yaitu kehilangan darah 50-1000 ml
tanpa tanda klinis syok, dan perdarahan masif yaitu kehilangan darah > 1000 mL
dengan/tanpa tanda klinis syok.9-10
2.5 Plasenta previa

11
2.5.1 Definisi
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen
bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang
ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa
adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan
kedelapan. Plasenta dapat memberikan dampak yang sangat merugikan ibu
maupun janin berupa perdarahan, prematuritas dan peningkatan angka kesakitan
dan kematian perinatal.11

2.5.2 Epidemiologi
Plasenta previa lebih sering terjadi pada awal kehamilan dan dapat
menetap ataupun tidak sampai aterm tergantung usia kehamilan dan lokasi
plasenta. Hal ini terjadi karena adanya proses “migrasi” plasenta. Apabila
plasenta yang melalui ostium uteri >20 mm setelah usia kehamilan 26 minggu
maka diperkirakan membutuhkan tindakan seksio sesarea saat persalinan.
Angka kejadian plasenta previa (tepi plasenta mencapai atau menutupi ostium
uteri) pada usia kehamilan 11-14 minggu sebesar 42%, saat usia kehamilan 20-
24 minggu angka kejadiannya turun menjadi 3,9% dan hanya 1,9% saat aterm.11
Angka kejadian plasenta previa beriksar 4-5 per 1000 kehamilan,
berkisar 2,8% dari 1000 persalianan pada kehamilan tunggal dan 3,9% dari
1000 persalinan pada kehamilan gemelli. Berdasarkan penelitian sebelumnya
telah dijelaskan bahwa angka kejadian plasenta previa meningkat seiring
dengan bertambahnya usia ibu. Angka kejadiannya yaitu 1 per 1500 pada wanita
usia < 20 tahun dan 1 per 100 pada wanita usia > 35 tahun. Pada ibu dengan
usia tua akan terjadi pertumbuhan plasenta yang abnormal karena penurunan
fungsi arteri intramiometrium dan endometrium. Wanita usia > 35 tahun
memiliki risiko 1,1 kali lebih besar untuk terjadi plasenta previa bila
dibandingkan dengan wanita berusia < 35 tahun.1

12
Plasenta plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan
paritas tinggi. Kelainan uterus dapat meningkatkan angka kejadian plasenta
previa. Pada negara berkembang, dilaporkan angka kejadian plasenta previa
berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Sedangkan di negara maju angka
kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1% yang mungkin disebabkan oleh
berkurangnya wanita hamil dengan paritas tinggi. Plasenta previa merupakan
komplikasi obstetri yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Hal
itu dapat menyebabkan kematian yang serius baik bagi janin dan ibu dan salah
satu penyebab utama perdarahan pervaginam pada trimester kedua dan ketiga.12

2.5.3 Etiologi
Sebagian besar plasenta akan berimplantasi pada yang tempat yang
subur agar dapat memberikan nutrisi yang cukup bagi janin yaitu pada dinding
uterus bagian depan maupun belakang fundus uteri. Namun, hal ini tidak selalu
terjadi sehingga menyebabkan berbagai kelainan implantasi plasenta. Kelainan
implantasi plasenta dibagi menjadi kelainan lokasi implantasi pada bagian
bawah uterus berupa plasenta previa totalis, plasenta previa parsialis, plasenta
previa marginalis, dan plasenta letak rendah. Penyebab plasenta previa sampai
saat ini belum diketahui secara pasti, namun teori lain mengemukakan bahwa
yang menjadi salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak
memadai, yang mungkin terjadi karena proses radang maupun atropi. Beberapa
teori yang berhubungan dengan plasenta previa, diantaranya ovum yang dibuahi
tertanam sangat rendah di dalam rahim, menyebabkan plasenta terbentuk dekat
dengan atau di atas pembukaan serviks. Kelainan endometrium seperti fibroid
atau jaringan parut (dari plasenta previa sebelumnya, sayatan, atau abortus).
Selain itu, peningkatan umur ibu dapat menyebabkan sklerosis pembuluh darah
arteli kecil dan arteriole miometrium sehingga aliran darah ke endometrium
tidak merata dan plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih
besar, untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat.10-11

13
2.5.4 Faktor risiko
Faktor risiko timbulnya plasenta previa belum diketahui secara pasti
namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa frekuensi plasenta previa
tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat seksio sesarea
dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat mempengaruhi
peningkatan resiko timbulnya plasenta previa. Faktor risiko terjadinya plasenta
previa, antara lain:12-13
1. Usia ibu saat hamil > 35 tahun. Risiko plasenta previa berkembang 3 kali
lebih besar pada perempuan di atas usia 35 tahun dibandingkan pada wanita
di bawah usia 20 tahun. Usia wanita produktif yang aman untuk kehamilan
dan persalinan adalah 20-35 tahun.
2. Multigravida 1,3 kali lebih besar dibandingkan primigravida. Pada
multipara, plasenta previa disebabkan vaskularisasi yang berkurang dan
perubahan atrofi pada desidua akibat persalinan masa lampau. Aliran darah
ke plasenta tidak cukup dan memperluas permukaannnya sehingga menutupi
pembukaan jalan lahir
3. Riwayat abortus 4 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat
abortus.
4. Wanita pada umur kurang dari 20 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami plasenta previa karena endometrium masih belum matang,
terjadinya hipoplasia endometrium bila kehamilan pada usia muda, atau
karena korpus luteum bereaksi lambat sehingga endometrium belum siap
menerima hasil konsepsi
5. Adanya tumor, seperti mioma uteri, polip endometrium
6. Riwayat operasi seksio sesaria
7. Kehamilan kembar (gemelli)
8. Ibu merokok atau menggunakan kokain
.

2.5.5 Patofisiologi

14
Penyebab plasenta melekat pada segmen bawah uterus belum diketahui
secara pasti. Teori menyebutkan bahwa vaskularisasi desidua tidak adekuat
yang diakibatkan oleh proses radang atau atrofi, dapat menyebabkan plasenta
berimplantasi pada segmen bawah uterus. Selain itu dapat disebabkan karena
endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, dan
endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu
memberikan nutrisi janin. Plasenta yang terlalu besar dapat tumbuh melebar ke
segmen bawah uterus dan menutupi ostium uteri internum seperti pada
kehamilan ganda. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih awal
dalam kehamilan dibandingankan dengan plasenta previa parsialis dan plasenta
letak rendah, karena pembentukan segmen bawah uterus dimulai dari ostium
uteri internum. Selain itu segmen bawah uterus dan serviks mempunyai sedikit
elemen otot sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada plasenta previa.14
Perdarahan karena plasenta previa uumumnya terjadi pada trimester
ketiga karena saat itu segmen bawah uterus mengalami perubahan berkaitan
dengan semakin tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan semakin
melebar. Pada saat segmen bawah uterus terbentuk, tapak plasenta akan
mengalami pelepasan dari desidua basalis dan menyebabkan plasenta yang
berimplantasi pada segmen bawah uterus akan mengalami laserasi. Selain itu,
laserasi plasenta juga disebabkan oleh serviks yang mendatar dan membuka.
Hal ini menyebabkan perdarahan pada tempat laserasi. Perdarahan akan
dipermudah dan diperbanyak oleh segmen bawah uterus dan serviks yang tidak
berkontraksi secara adekuat. Pembentukan segmen bawah uterus akan
berlangsung secara progresif, hal tersebut menyebabkan terjadi laserasi dan
perdarahan berulang. Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan
dari plasenta previa ini ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya
plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari
plasenta.14
2.5.6 Klasifikasi

15
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian
atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium uteri internal) dan oleh karenanya
bagian terendah sering kali terkendala memasuki Pintu Atas Panggul (PAP) atau
menimbulkan kelainan janin. Pembagian plasenta previa berdasarkan letak
implantasinya, yaitu plasenta previa totalis atau komplit, dimana plasenta yang
menutupi seluruh ostium uteri internum. Plasenta previa parsialis, dimana
plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum. Plasenta previa
marginalis, dimana plasenta berada pada pinggir ostium uteri internum, serta
plasenta letak rendah, dimana plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim dimana tepi plasenta berjarak < 2 cm dari ostium uteri internum.10,15

Gambar 5. Klasifikasi plasenta previa


Menurut Browne klasifikasi plasenta previa, yaitu tingkat 1 yang
merupakan lateral placenta previa dimana pinggir bawah plasenta berinsersi
sampai ke segmen bawah rahim, namun tidak sampai ke pinggir pembukaan.
Tingkat 2, yaitu marginal placenta previa dimana plasenta mencapai pinggir
pembukaan. Tingkat 3, yaitu complete placenta previa dimana plasenta
menutupi ostium saat masih tertutup, dan tidak menutupi bila pembukaan
hampir lengkap. Tingkat 4, yaitu central plasenta previa dimana plasenta
menutupi seluruhnya pada pembukaan hampir lengkap.15
2.5.7 Manifestasi klinis

16
Gambaran klinik setiap wanita dengan perdarahan pervaginam setelah
usia kehamilan lebih dari 22 minggu dapat dicurigai sebagai plasenta previa.
Selain itu dapat ditemukan perdarahan tanpa rasa nyeri, posisi abnormal dan
presentasi letak tinggi. Diagnosis klinis sangat penting untuk mencurigai dan
penatalaksanaan plasenta previa, namun diagnosis pasti tergantung dari hasil
pemeriksanaan USG. Perdarahan tanpa nyeri biasanya mulai terjadi pada akhir
trimester II. Pada umumnya perdarahan akan berhenti akibat proses koagulasi
dan akan berulang karena proses pembentukan segmen bawah uterus. Pada
setiap pengulangan akan terjadi perdarahan yang lebih hebat. Pada plasenta
previa jarang terjadi koagulopati karena tempat perdarahan dekat dengan ostium
uteri sehingga darah mudah mengalir ke luar uterus dan tidak membentuk
hematoma retroplasenta yang menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan
tromboplastik ke dalam sirkulasi maternal.10,15
Gambaran klinik plasenta previa adalah perdarahan pervaginam
berwarna merah terang pada umur kehamilan trimester kedua atau awal
trimester ketiga. Perdarahan pertama biasanya tidak banyak sehingga tidak akan
berakibat fatal, tetapi perdarahan berikutnya hampir selalu lebih banyak dari
perdarahan sebelumnya. Kejadian yang paling khas pada plasenta previa adalah
perdarahan tanpa nyeri yang biasanya baru terlihat setelah kehamilan mendekati
akhir trimester kedua atau setelahnya. Pada ibu dapat menimbulkan anemia
sampai syok tergantung keadaan umum dan jumlah darah yang hilang,
perdarahan yang sedikit demi sedikit atau dalam jumlah banyak dengan waktu
yang singkat. Pada janin, turunnya bagian terbawah janin ke dalam Pintu Atas
panggul (PAP) akan terhalang, tidak jarang terjadi kelainan letak janin dalam
rahim, dan dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam rahim.10,15

2.5.8 Kriteria diagnosis

17
Plasenta previa dapat didiagnosis dengan melihat gejala klinis dan
pemeriksaan obstetri. Plasenta previa terdeteksi pada akhir tahun pertama atau
trimester kedua, sering kali lokasi plasenta akan bergeser ketika rahim
membesar. Diagnosis plasenta previa bisa ditegakkan dengan adanya gejala
klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu pada saat anamnesis dapat ditanyakan
beberapa hal yang berkaitan dengan perdarahan antepartum seperti umur
kehamilan saat terjadinya perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk
terjadinya perdarahan, frekuensi serta banyaknya perdarahan. Inspeksi dapat
dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina, darah beku, dan
sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang banyak maka ibu akan terlihat
pucat. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi
fundus uteri yang rendah karena belum cukup bulan. Sering dijumpai bahwa
bagian terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, masih bergoyang,
terapung atau mengolak di atas pintu atas panggul. Pemeriksaan inspekulo
dengan menggunakan spekulum untuk melihat sumber perdarahan ataupun
terdapat kelainan pada serviks dan vagina.16
Vaginal toucher harus dihindari pada semua ibu yang mengalami
perdarahan antepartum sampai terdiagnosis bukan sebagai plasenta previa.
Beberapa metode pemeriksaan penunjang telah digunakan untuk mendiagnosis
plasenta previa diantaranya USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI.
USG transabdominal dilakukan dalam keadaan kandung kemih yang kosong
akan memberikan kepastian diagnosa plasenta previa, namun kekurangan USG
transabdominal, yaitu visualisasi yang kurang baik pada plasenta letak posterior
dan segmen bawah rahim akibat terhalang kepala bayi. MRI juga mempunyai
tingkat akurasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan USG transabdominal,
namun tidak dapat memberikan gambaran lokasi, selain itu MRI tidak tersedia
pada semua pelayanan kesehatan.16

18
A B

Gambar 6. Hasil USG pada (A) plasenta normal, (B) plasenta previa

2.5.9 Tatalaksana
Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus perdarahan
antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, melakukan resusitasi secara
tepat apabila diperlukan, apabila terdapat fetal distress dan bayi sudah cukup
matur untuk dilahirkan maka perlu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan
dan memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan rhesus negatif.
Penanganan ibu dengan plasenta previa simptomatik setelah terdiagnosis maka
ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, tersedia transfusi darah apabila
dibutuhkan segera, fasilitas yang mendukung untuk tindakan seksio sesarea
darurat, dan rencana terminasi kehamilan pada usia kehamilan 38 minggu.17
Lokasi plasenta menentukan rencana dan cara persalianan yang akan
dilaksanakan. Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi plasenta dan
ostium uteri internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada usia
kehamilan 35 minggu. Apabila jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri
internum 0-20 mm maka besar kemungkinan dilakukan tindakan seksio sesarea.
Dampak buruk kelahiran kurang bulan dapat diringankan dengan pemberian
kortikosteroid antenatal untuk pematangan paru dan tokolitik untuk menunda
persalinan agar dapat mencapai fasilitas kesehatan rujukan sebelum
melahirkan.18

19
Pada umumnya yang menentukan tindakan dalam memilih cara
persalinan yang terbaik tergantung dari jenis plasenta previa, paritas, jumlah
perdarahan, keadaan umum ibu, keadaan janin, pembukaan jalan lahir, dan
fasilitas serta penolong. Tindakan yang dapat dilakukan bidan pada kasus
plasenta previa adalah dengan cara memasang infus dengan cairan pengganti
(NaCl, Ringer Laktat, atau Dextrose. Penatalaksanaan pada plasenta previa
dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:18
1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan
hidup di dunia masih kecil baginya. Syarat terapi ekspektatif, yaitu
kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti,
belum ada tanda-tanda in partu, keadaan umum ibu cukup baik (kadar
hemoglobin dalam batas normal), dan janin masih hidup intrauterin.
2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi
perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya kehamilan telah
cukup bulan, perdarahan banyak, dan janin telah meninggal. Terminasi ini
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pervaginam yang bermaksud untuk
mengadakan tekanan pada plasenta, dengan cara ini maka pembuluh-
pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup kembali (tamponade pada
plasenta). Penekanan tersebut dapat dilakukan melalui amniotomi
(pemecahan selaput ketuban). Cara ini dilakukan apabila plasenta previa
lateralis, plasenta previa marginalis, atau plasenta letak rendah, dan bila ada
pembukaan. Selain itu dengan cara tindakan seksio sesarea, yang
dimaksudkan untuk mengosongkan rahim sehingga rahim dapat
berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu seksio sesarea juga
dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah uterus yang
sering terjadi pada persalinan pervaginam.
Persalinan seksio sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta
previa. Pada sebagian besar kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal.
Indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea pada plasenta previa adalah

20
dilakukan pada semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau meninggal,
serta semua plasenta previa lateralis, posterior, karena perdarahan yang sulit
dikontrol, semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak, berulang dan
tidak berhenti dengan tindakan yang ada, serta plasenta previa yang disertai
dengan panggul sempit, letak lintang. Gawat janin maupun kematian janin dan
bukan merupakan halangan untuk dilakukannya persalinan seksio sesarea demi
keselamatan ibu. Tetapi apabila dijumpai gawat ibu kemungkinan persalinan
seksio sesarea ditunda sampai keadaan umum ibu membaik, apabila fasilitas
memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan ibu, sebaiknya dilakukan
seksio sesarea jika itu merupakan satu-satunya tindakan yang terbaik untuk
mengatasi perdarahan yang banyak pada plasenta previa totalis.18

2.5.10 Komplikasi
Pada plasenta previa oleh karena pembentukan segmen bawah rahim
secara ritmik terjadi laserasi plasenta berulang. Hal ini menyebabkan
perdarahan berulang dan semakin banyak yang tidak dapat dicegah sehingga ibu
mengalami anemia bahkan syok. Anemia didefinisikan sebagai kadar
hematokrit, konsentrasi Hb, atau hitung eritrosit di bawah batas normal. Ibu
hamil dianggap anemia apabila kadar Hb < 11g/dL pada trisemester I, < 10,5
g/dL pada trimester II, dan < 11 g/dL pada trimester III. Menurut WHO, anemia
pada kehamilan menjadi normal jika kadar Hb > 11 g/dL, anemia ringan jika
kadar Hb 9-10,9 g/dL, anemia sedang jika kadar Hb 7-8,9 g/dL, dan anemia
berat jika kadar Hb < 7 g/dL. Anemia merupakan keadaan medis yang sering
dijumpai pada kehamilan, dan apabila tidak segera diatasi berdampak pada
peningkatan morbiditas dan mortalitas baik pada maternal dan perinatal.
Sedangkan syok adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam
mencukupi kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Terdapat tipe-tipe syok yaitu
syok hipovolemik (termasuk syok hemoragik), syok kardiogenik, syok
distributif dan syok obstruktif. Plasenta previa meningkatkan risiko untuk

21
terjadinya syok hemoragik pada kasus obstetrik. Perdarahan berulang dan
semakin banyak akibat pelepasan plasenta menyebabkan ibu jatuh dalam
keadaan syok.10,19
Selain itu dapat menimbulkan kelainan letak pada janin sehingga
meningkatnya letak bokong dan letak lintang, kelahiran prematur, infeksi, serta
komplikasi selama persalinan plasenta previa dapat menyebabkan ruptur atau
robekan jalan lahir, prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, perdarahan
intrapartum, serta dapat menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus
dikeluarkan secara manual atau bahkan dilakukan kuretase. Sedangkan pada
janin plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan
rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus, kelainan kongenital
serta cidera akibat intervensi kelahiran.10,19

2.5.11 Prognosis
Prognosis ibu pada plasenta previa dewasa ini lebih baik jika
dibandingkan dengan masa lalu. Hal ini dikarenakan diagnosa yang lebih dini,
ketersediaan transfusi darah, dan infus cairan yang telah ada hampir semua
rumah. Demikian juga dengan kesakitan dan kematian anak mengalami
penurunan, namun masih belum terlepas dari komplikasi kelahiran prematur
baik yang lahir spontan maupun karena intervensi seksio cesarea. Karenanya
kelahiran prematur belum sepenuhnya bisa dihindari sekalipun tindakan
konservatif diberlakukan. Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh
jumlah dan kecepatan perdarahan serta pertolongan sedini mungkin.17
Plasenta previa totalis memiliki angka morbiditas maternal yang lebih
tinggi dibandingkan dengan plasenta previa parsialis. Morbiditas tersebut
meliputi kebutuhan akan transfusi darah antepartum dan postpartum, perdarahan
postpartum dan histerektomi postpartum. Pada ibu dengan plasenta previa
totalis yang melahirkan cukup bulan secara signifikan mempunyai bayi dengan
berat lahir yang lebih rendah. Kematian pada ibu dapat dihindari apabila

22
penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan pembedahan
seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih burik oleh karena kelahiran yang
prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa melalui proses persalinan
spontan. Namun perawatan yang intensif pada neonatus sangat membantu
mengurangi kematian perinatal. Dengan penatalaksanaan yang baik mortalitas
perinatal adalah 50 per 1000 kelahiran hidup.17

2.6 Solusio plasenta


2.6.1 Definisi
Abrupsio atau solusio plasenta adalah lepasnya sebagian atau seluruh
plasenta yang terlalu dini atau prematur dalam masa kehamilan lebih dari 20
minggu dan sebelum janin lahir dengan implantasi normal pada uterus.
Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan darah antara
plasenta dan dinding uterus yang dapat menimbulkan penyulit terhadap
maternal maupun fetal. Dalam plasenta terdapat banyak pembuluh darah yang
memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta ini
terlepas dari implantasi maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat.
Hebatnya perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang terlepas.16
2.6.2 Epidemiologi
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Frekuensi solusio
plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia sekitar 1%. Saat ini kematian
maternal akibat solusio plasenta menjadi sekitar 6%. Solusio plasenta
merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan
kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Kematian
maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran hidup. Angka
tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali lebih tinggi
dari angka kematian maternal di negara maju. Diperkirakan risiko kematian ibu
0,5-5% dan kematian janin 50-80%.1-3
2.6.3 Etiologi
Penyebab solusio plasenta adalah adanya trauma langsung terhadap
uterus gravidarum, seperti terjatuh terutama tertelungkup dan trauma abdomen

23
lainnya. Selain itu adanya trauma kebidanan, yaitu solusio plasenta yang terjadi
karena tindakan kebidanan yang dilakukan, seperti setelah dilakukan versi luar,
setelah memecahkan ketuban (amniotomi), dan persalinan anak kedua pada
kehamilan kembar (gemelli).16
2.6.4 Faktor risiko
Faktor predisposisi terjadinya solusio plasenta adalah kehamilan pada
usia tua, kehamilan dengan tali pusat yang pendek karena pergerakan janin yang
banyak atau bebas, ketuban pecah dini, perdarahan retroplasenta, kekuatan
uterus yang berkurang pada multigravida, kehamilan kembar (gemelli),
mempunyai tekanan darah tinggi, bersamaan dengan pre-eklampsia atau
eklampsia, tekanan vena cava inferior yang tinggi, defisiensi asam folat, dan
paparan zat kimia, merokok, konsumsi obat-obatan atau alkohol.20
2.6.5 Patofisiologi
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang
membentuk hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak dan akhirnya
terlepas. Apabila perdarahan sedikit, hematoma yang kecil itu hanya akan
mendesak jaringan plasenta, pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum
terganggu, dan tanda serta gejala pun belum jelas. Kejadian baru diketahui
setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada
permukaan maternal dengan bekuan darah yang berwarna kehitaman.21
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus
yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi
menghentikan perdarahan. Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah
besar, sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding uterus.
Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput amnion keluar dari vagina
atau menembus selaput amnion masuk ke dalam kantong amnion atau
mengadakan ektravasasi di antara serabut-serabut otot uterus. Apabila
ektravasasinya berlangsung hebat, maka seluruh permukaan uterus akan
berwarna bercak biru atau ungu. Hal ini disebut uterus Couvelaire (perut terasa
sangat tegang dan nyeri). Akibat kerusakan jaringan miometrium dan

24
pembekuan retroplasenter, maka banyak trombosit akan masuk ke dalam
peredaran darah ibu, sehingga terjadi pembekuan intravaskuler yang akan
menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya terjadi
hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah tidak hanya
di uterus tetapi juga pada organ tubuh lainnya.20
Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari
dinding uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas, akan terjadi
anoksia sehingga mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang
terlepas, dapat tidak berpengaruh atau akan mengakibatkan gawat janin. Waktu
sangat menentukan beratnya gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan
keadaan janin. Semakin lama penanganan solusio plasenta sampai persalinan
selesai, dapat menimbulkan komplikasi yang semakin hebat.20
Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan
keluar antara selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari
serviks hingga terjadilah perdarahan pervaginam atau perdarahan terbuka.
Terkadang darah tidak keluar, tetapi berkumpul di belakang plasenta
membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan semacam ini disebut perdarahan
ke dalam atau perdarahan tersembunyi. Solusio plasenta dengan perdarahan
tersembunyi menimbulkan tanda yang lebih khas karena seluruh perdarahan
tertahan di dalam dan menambah volume uterus. Umumnya lebih berbahaya
karena jumlah perdarahan yang keluar tidak sesuai dengan beratnya syok.
Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal dari ibu, namun dapat juga
berasal dari janin.10
2.6.6 Klasifikasi
Solusio plasenta dapat terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu solusio
plasenta parsialis bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari tempat
perlengkatannya, solusio plasenta totalis bila seluruh plasenta sudah terlepas
dari tempat perlengketannya, dan prolapsus plasenta, turunnya plasenta ke jalan
lahir dan biasanya teraba saat dilakukan pemeriksaan dalam. Selain itu
pembagian solutio plasenta menurut gejala klinis, yaitu:22

25
1. Kelas 0 (asimptomatik), ditegakkan secara retrospektif dengan menemukan
hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada plasenta.
2. Kelas 1 dengan gejala klinis ringan dan terdapat hampir 48 % kasus, yaitu
ruptur sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil plasenta sehingga
tidak terjadi perdarahan yang banyak dan tidak mempengaruhi keadaan ibu
atau janinnya. Gejala yang ditimbulkan berupa perdarahan pervaginam
berwarna kehitaman dan sedikit bahkan tidak ada, nyeri perut ringan yang
terus menerus, tekanan darah dan denyut jantung maternal normal, tidak
ditemukan tanda-tanda koagulopati dan fetal distress.
3. Kelas 2 dengan gejala klinis sedang dan terdapat hampir 27% kasus. Dalam
hal ini plasenta telah terlepas lebih dari seperempatnya tetapi belum sampai
dua pertiga luas permukaannya. Gejala yang ditimbulkan, seperti perdarahan
pervaginan yang berwarna kehitaman, nyeri perut mendadak dan terus-
menerus, nyeri tekan perut, bagian janin sulit diraba, apabila janin masih
hidup bunyi jantung sulit didengar, terdapat fetal distress, dan
hipofibrinogenemi (150-250 % mg/dl).
4. Kelas 3 dengan gejala klinis berat dan terdapat hampir 24% kasus. Lepasnya
plasenta lebih dari dua pertiga permukaannya dan terjadi mendadak. Gejala
yang terjadi ibu telah dalam keadaan syok, dan kemungkinan janin telah
meninggal, uterus sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri, perdarahan
pervaginam tampaknya tidak sesuai dengan keadaan syok ibu,
hipofibrinogenemi (< 150 mg/dl).
Berdasarkan jumlah perdarahan pervaginam, yaitu:22
1. Solusio plasenta ringan dengan perdarahan pervaginam < 100-200 cc.
2. Solusio plasenta sedang dengan perdarahan pervaginam > 200 cc,
hipersensitifitas uterus atau peningkatan tonus, syok ringan, dapat terjadi
fetal distress.
3. Solusio plasenta berat dengan perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus
tetanik, syok maternal sampai kematian janin dan koagulopati.
Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam, yaitu:22

26
1. Solusio plasenta yang nyata (revealed), terjadi perdarahan pervaginam,
gejala klinis sesuai dengan jumlah kehilangan darah, dan tidak terdapat
ketegangan uterus.
2. Solusio plasenta yang tersembunyi (concealed), tidak terdapat perdarahan
pervaginam, uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
Tipe ini sering disebut perdarahan retroplasental.
3. Solusio plasenta tipe campuran (mixed), terjadi perdarahan baik
retroplasental atau pervaginam dan uterus tetanik.

Gambar 7. Solusio plasenta berdasarkan ada tidaknya perdarahan pervaginam


Berdasarkan luasnya bagian plasenta yang terlepas dari uterus, yaitu:10,22
1. Solusio plasenta ringan, yaitu lepasnya plasenta yang kurang dari ¼ bagian
plasenta dan perdarahan kurang dari 250 ml.
2. Solusio plasenta sedang, yaitu lepasnya plasenta ¼-½ bagian, dengan
perdarahan < 1000 ml, uterus tegang, dan dapat terjadi fetal distress akibat
insufisiensi uteroplasenta, gerak janin berkurang, palpasi bagian janin sulit
diraba, auskultasi denyut jantung janin dapat terjadi asfiksia ringan dan
sedang, pada pemeriksaan dalam ketuban menonjol, dan dapat terjadi
gangguan pembekuan darah.
3. Solusio plasenta berat, lepasnya plasenta > ½ bagian, dengan perdarahan >
1000 ml, terdapat fetal distress sampai dengan kematian janin, syok
maternal serta koagulopati.

2.6.7 Manifestasi klinis

27
Tanda gejala dari abrupsio plasenta, yaitu perdarahan pervaginam
disertai rasa nyeri di perut yang terus menerus, wama darah merah kehitaman,
uterus keras seperti papan dan nyeri tekan karena isi uterus bertambah dengan
darah yang berkumpul di belakang plasenta hingga rahim teregang (wooden
uteri), palpasi janin sulit karena uterus keras, tinggi fundus uteri semakin
bertambah, auskultasi denyut janjtung janin sering sulit ditemukan, kejang
karena syok (hipovolemik dan neurogenik), ibu terlihat pucat, gelisah dan
kesakitan.22,23
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas.
Sebagai contoh, perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan
plasenta belum begitu luas sehingga menimbulkan efek langsung pada janin,
atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal tidak ada, tetapi plasenta sudah
terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat langsung dari
keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung
ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat
kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas
perdarahan yang tidak diketahui sehinga pemberian transfusi sering tidak
memadai atau terlambat.22
2.6.8 Kriteria diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, yaitu adanya
keluhan berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan. Dari inspeksi didapatkan
pasien gelisah, sering mengerang kesakitan, pucat, sianosis, berkeringat dingin,
serta adanya darah keluar pervaginam. Pada palpasi didapatkan tinggi fundus
uteri (TFU) yang tidak sesuai dengan kehamilan, uterus tegang dan keras seperti
papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun di
luar his, nyeri tekan di tempat plasenta terlepas, dan bagian janin sulit dikenali.
Pada auskultasi sulit dilakukan dan bila terdengar biasanya diatas 140 kali
permenit, kemudian turun dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih
dari satu per tiga bagian. Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan serviks

28
dapat telah terbuka atau masih tertutup, dan apabila telah terbuka maka plasenta
dapat teraba menonjol dan tegang baik sewaktu his maupun di luar his.22
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding solusio plasenta antara lain, pemeriksaan darah lengkap, kadar
fibrinogen, waktu prothrombin dan waktu tromboplastin parsial teraktifasi
untuk mengetahui terjadinya DIC, dan ureum kreatinin dalam darah.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu Ultrasonografi (USG). Pada
pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain terlihat daerah terlepasnya
plasenta, penumpukan darah, dan tepian plasenta atau darah beku yang biasanya
menempel di belakang plasenta yang disebut hematoma retroplasenta.23

Gambar 8. Hasil USG pada solusio plasenta


2.6.9 Tatalaksana
Beberapa wanita hamil yang menunjukkan tanda-tanda abrupsio
palsenta harus dirawat di rumah sakit dan dievaluasi pada waktu tertentu.
Evaluasi wajib dilakukan untuk mengetahui keadaan kardiovaskular ibu hamil
dan kondisi janin. Jika kondisi sudah sedikit membaik, janin belum matur, dan
tidak menunjukkan tanda distress, maka dianjurkan untuk melakukan tindakan
konservatif. Hal ini termasuk bed rest, dan mungkin termasuk pemberian
tokolitik untuk menurunkan aktivitas uterus. Menunda pelahiran mungkin
bermamfaat pada janin masih imatur serta bila solusio plasenta hanya derajat
ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin lingkungan intrauterin aman.
Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia,

29
anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang masih berimplantasi
dapat membaik.24
Kelahiran janin dengan segera penting dilakukan bila tanda kehidupan
janin atau ibu hamil menunjukkan adanya tanda perdarahan terlalu banyak, baik
perdarahan yang terlihat atau yang tersembunyi. Penanganan yang intensif
terhadap ibu dan janin merupakan hal penting, karena penurunan kondisi yang
cepat dari ibu dan janin dapat terjadi. Pelahiran janin secara cepat yang hidup
hampir selalu berarti seksio caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu
karena ia mengalami hipovolemia berat. Apabila terlepasnya plasenta
sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan
persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian berat
sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif.
Jumlah darah yang digunakan untuk penggantian harus sesuai dengan
kebutuhan. Wanita dengan riwayat trauma abdomen akan meningkatkan resiko
abrupsio plasenta, maka harus dipantau 24 jam setelah trauma.24
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama dianggap penting
dalam penatalaksanaan solusio plasenta. Alasan dilakukannya amniotomi ini
adalah bahwa keluarnnya cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari
tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan mungkin
faktor-faktor pembekuan aktif dari bekuan retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu.
Apabila janin sudah cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan
mempercepat persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin
lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada tekanan yang
ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran kecil.24
2.6.10 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta yang
terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu seperti
anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan pembekuan
darah, gagal ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada beberapa penderita yang

30
terhindar dari kematian setelah menderita syok yang berlangsung lama yang
telah menyebabkan iskemia dan nekrosis adenohipofisis sebagai akibat solusio
plasenta.25
Kematian janin, kelahiran prematur, dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Komplikasi pada
janin karena perdarahan yang tertimbun pada plasenta mengganggu sirkulasi
dan nutrisi ke arah janin sehingga dapat menimbulkan afiksia ringan sampai
berat dan kematian dalam uterus. timbulnya kejadian asfiksia sampai kematian
janin dalam uterus tergantung pada seberapa bagian plasenta telah lepas dari
implantasi di fundus uteri.20
Solusio plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25%
perempuan yang pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Komplikasi
koagulopati terjadi karena hematoma retroplasenta yang terbentuk
mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam peredaran darah.
Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan protrombin menjadi trombin.
Trombin yang terbentuk dipakai untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin
untuk membentuk lebih banyak bekuan utama pada solusio plasenta berat.
Melalui mekanisme ini apabila pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat
menyebabkan terjadi pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated
intravascular coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan
faktor-faktor pembekuan lain.20
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal
akibat tekanan intrauterin yang meningkat menyebabkan perfusi ginjal sangat
menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi adalah
nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut menyebabkan kegagalan fungsi
ginjal. Adanya sumbatan glomeruslus dapat menyebabkan produksi urin yang
berkurang dan terjadi oligouri. Dapat pula terjadi ekstravasasi luas darah ke
dalam otot uterus dan di bawah lapisan serosa uterus yang disebut sebagai
uterus couvelaire. Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan

31
darah menerobos melalui sela-sela serabut miometrium bahkan sampai ke
perimetrium dan ke dalam jaringan ligamentum latum, ovarium bahkan bisa
mengalir sampai ke rongga pernitoneum. Perdarahan miometrium ini dapat
mengganggu kontraksi dan menimbulkan perdarahan karena atonia uteri.25

2.6.11 Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil
dan lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa.
Solusio plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan
janin karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta
sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya
karena mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat
mempunyai prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih terhadap
janin.25

32
BAB III
KESIMPULAN

Keadaan ibu dengan perdarahan antepartum memiliki beberapa macam


berdasarkan tingkat keparahannya, tingkat keparahan ini dilihat dari volume
perdarahan yang terjadi mulai dari plasenta previa marginal hingga totalis, dan solutio
plasenta ringan hingga berat. Beberapa faktor predisposisi dapat diketahui mulai dari
faktor fisik dan psikologis. Adapun komplikasi dari perdarahan antepartum pada ibu
dan janin tergantung dari banyaknya perdarahan, usia kehamilan dan lamanya
perdarahan berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi mengakibatkan syok dan
keadaan seperti ini sangat berpengaruh pada keselamatan dari ibu dan janin.
Hal ini perlu dideteksi secara dini dan diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis keluhan berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan.
Pemeriksaan keadaan umum, tanda vital, dan status generalis juga perlu dilakukan
baik pada inspeksi, palpasi, perkusi, maupun auskultasi. Pada pemeriksaan obstetrik
dapat dilakukan pemeriksaan luar pada bagian abdomen dan pemeriksaan dalam
(vaginal toucher). Pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan memastikan penyebab perdarahan antepartum. Pemeriksaan
lain yang dapat dilakukan, yaitu secara radiologis meliputi ultrasonografi (USG) baik
secara transvaginal maupun transabdominal, dan MRI.
Perdarahan antepartum berhubungan dengan angka kematian bayi dan
memiliki risiko lebih tinggi terjadinya prematuritas dan pertumbuhan janin terhambat.
Penanganan dan prognosis tergantung dari penyebab terjadinya perdarahan. Tenaga
kesehatan diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan bagi ibu hamil,
melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan USG pada usia kehamilan lebih dari 28
minggu pada ibu hamil dengan faktor risiko terjadinya perdarahan antepartum.
Masyarakat dan keluarga perlu meningkatkan pengetahuan mengenai kejadian
perdarahan antepartum sehingga bisa mewaspadai kemungkinan terjadinya plasenta
previa dan solusio plasenta, serta pentingnya Ante Natal Care secara rutin.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Khan KS, Wojdyla D, Say L, Gülmezoglu AM, Van Look PF. WHO: analysis of
causes of maternal death: a systematic review. Lancet 2006;367:1066-74.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010.
3. Pertiwi Wara. Pelayanan kesehatan reproduksi terpadu untuk mendukung upaya
peningkatan kesehatan ibu. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
2014.
4. Rachimbahdi T. Anatomi alat reproduksi dalam: ilmu kebidanan. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2014; 115-30.
5. Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi 6. Jakarta:
EGC, 2012; 98-102.
6. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem, edisi 6. Jakarta: EGC, 2012;
119-30.
7. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology, 2 nd edition.
Asia: John Wiley & Sons, 2009; 1103-4.
8. Mescher AL. Junqueira’s basic histology text and atlas. 13th edition. USA:
McGraw-Hill, 2013; 293-97.
9. Mose JC. Perdarahan antepartum dalam: Sastrawinata S. Ilmu kesehatan
reproduksi: obstetri patologi, edisi 3. Jakarta: EGC, 2012; 83-97.
10. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SK, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Obstetri Williams, edisi 23. Jakarta: EGC, 2015; 226-50.
11. Faiz AS, Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta previa: an overview
and meta-analysis of observational studies. Journal of Maternal Fetal and
Neonatal Medicine 2013;13:175-90.
12. Hung TH, Hsieh CC, Hsu JJ. Risk factors for placenta previa in an Asian
population. International Journal of Gynecology and Obstetric 2007;97:26-30.
13. Wardana GA, Karkata MK. Faktor risiko plasenta previa. CDK 2007;34:229-32.

34
14. Ghourab S, Al-Jabari A. Placental migration and mode of delivery in placenta
previa. Ann Saudi Med 2000;20:382-385.
15. Davood S, Parviar K, Ebrahimi S. Selected pregnancy variables in women with
placenta previa. Res J Obstet Gynecol 2008;1:1-5.
16. Kay HH. Placenta previa and abruption in JR Scott. Danforth's obstetrics and
gynecology, 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2008; 365-79.
17. Oyelese Y, Smulian JC. Placenta previa, placenta accreta, and vasa previa.
Obstetrics and Gynecology 2006;107(4):927-41.
18. Scearce J, Uzelac PS. Third-trimester vaginal bleeding in: AH DeCherney.
Current diagnosis and treatment obstetrics and gynecology, 10 th edition. New
York: McGraw, 2008; 328-41.
19. Usta IM, Hobeika EM, Musa AA, Gabriel GE, Nassar AH. Placenta previa-acreta:
risk factors and complications. Am J Obstet Gynecol 2015;193:1504-59.
20. Pariente G, Wiznitzer A, Sergienko R, Mazor M, Holcberg G, Sheiner E.
Placental abruption: critical analysis of risk factors and perinatal outcomes. J
Matern Fetal Neonatal Med 2010;24:698-702.
21. Llewellyn JD. Dasar-dasar obstetri dan ginekologi, edisi 6. Jakarta: EGC, 2012;
109-12.
22. Tikkanen M. Etiology, clinical manifestations, and prediction of placental
abruption. Acta Obstet Gynecol Scand 2010;89:732-40.
23. Sumapraja S, Rachimhadi T. Perdarahan antepartum dalam: Wiknjosastro H. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2014; 365-85.
24. Begley CM, Gyte GM, Murphy DJ, Devane D, McDonald SJ, McGuire W. Active
versus expectant management for women in the third stage of labour. Cochrane
Database Syst Rev 2010;(7):412.
25. Yang Q, Wen SW, Phillips K, Oppenheimer L, Black D, Walker MC. Comparison
of maternal risk factors between placental abruption and placenta previa. Am J
Perinatol 2009;26:279-86.

35

Anda mungkin juga menyukai