Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS LAMA WAKTU TUNGGU PELAYANAN RAWAT JALAN

PASIEN PESERTA BPJS KESEHATAN


(Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Tasik Medika Citratama
(TMC) Kota Tasikmalaya Tahun 2018)

Ikhwan Nur Falah1)


Dian Saraswati dan Rian Arie Gustaman2)
Mahasiswa Fakultas ilmu Kesehatan Peminatan AKK1)
Universitas Siliwangi (ikhwannurfalah68@gmail.com)
Dosen di Fakultas Kesehatan2)
Universitas Siliwangi

ABSTRAK

Waktu tunggu adalah waktu yang digunakan pasien untuk mendapatkan


pelayanan kesehatan mulai tempat pendaftaran sampai masuk ke ruang
pemeriksaan dokter. Waktu tunggu merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis
lama waktu tunggu pelayanan rawat jalan pasien peserta BPJS Kesehatan di
Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Tasik Medika Citratama (TMC) Kota
Tasikmalaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode
wawancara mendalam terhadap 7 informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode wawancara


mendalam terhadap 11 informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
implementasi program penanggulangan TB paru belum berjalan dengan
maksimal. Hal ini ditandai dengan kurangnya komitmen politis, kurangnya
dukungan dana, petugas belum mendapatkan pelatihan, kurangnya penyuluhan
dan penderita belum memahami dan sadar gejala TB Paru. Berdasarkan hasil
penelitian, diharapkan kepada Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya agar
meningkatkan dukungan dalam pembiayaan program pengendalian TB paru di
Kota Tasikmalaya. Kepada Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya agar lebih
Meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di Puskesmas Bantar melalui pelatihan,
serta meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan
program penanggulangan TB paru di setiap wilayah kerja puskesmas
meningkatkan monitoring dan evaluasi. Kepada Puskesmas Bantar agar
meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat umum sehingga masyarakat
memiliki kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai penyakit TB paru
terutama pengenalan, penularan dan bahaya dari TB paru . Kepada petugas TB
paru agar lebih meningkatkan penemuan kasus dan penyuluhan kepada
masyarakat umum.

Kata Kunci : Implementasi, Program Penanggulangan, TB Paru.


Kepustakaan : 2002-2016

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 1
IMPLEMENTATION OF PULMONARY TB CONTROLPROGRAM AT UPTD
BANTAR HEALTH CENTER IN TASIKMALAYA CITY IN 2018

Nurjanah1)
Dr. Asep Suryana Abdurrahat dan Nur Lina2)
Mahasiswa Fakultas ilmu Kesehatan Peminatan AKK1)
Siliwangi University (nurjanah385@yahoo.co.id)
Lecturer at Faculty of Health Sciences2)
Siliwangi University

ABSTRACT

Lung Tuberculosis is an infectious disease which is still a public health problem


and one of the causes of death so it is necessary to implement a continuous
tuberculosis control program. The coverage of case finding rates and the success
rate of pulmonary TB treatment at the Bantar Health Center in 2016 was still low
at 69.23% and 43.33% respectively. While the rate of treatment success
according to the Ministry of Health in 2011 was 85% and case finding was 70%.
The purpose of this study was to find out more clearly and more deeply about the
implementation of the pulmonary TB control program at the Bantar Health Center
with the DOTS strategy. This type of research is qualitative research with in-
depth interviews with 11 informants. The results showed that the implementation
of pulmonary tuberculosis control programs had not run optimally. This is marked
by a lack of political commitment, lack of financial support, officers have not
received training, lack of counseling and sufferers do not understand and are
aware of the symptoms of Lung TB. Based on the results of the study, it is
expected that the Regional Government of Tasikmalaya Regency should
increase support in financing pulmonary TB control programs in the City of
Tasikmalaya. To the Tasikmalaya City Health Office to further improve the quality
of health workers at the Bantar Health Center through training, and improve
supervision and monitoring of the implementation of pulmonary TB control
programs in each working area of the puskesmas to improve monitoring and
evaluation. To the Bantar Health Center to increase counseling to the general
public so that the community has good awareness and knowledge of pulmonary
TB disease, especially the introduction, transmission and danger of pulmonary
TB. To pulmonary TB officers to further increase case finding and counseling to
the general public

Keywords : Implementation, Handling Program, Lung Tuberculosis


Literature : 2002-2016

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 2
PENDAHULUAN
Tuberkulosis Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global dan salah satu penyakit yang penanggulangannya
menjadi komitmen global dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
(Kemenkes, 2012). Indikator pencapaian SDGs 2015 yaitu meningkatkan
proporsi jumlah kasus TB yang terdeteksi mencapai 70% serta meningkatkan
proporsi kasus TB yang diobati dan sembuh minimal mencapai 85% (Kemenkes,
2011).
World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 memperkirakan
terdapat 10,4 juta kasus baru TB paru atau 142 kasus/100.000 populasi, dengan
480.000 kasus multidrug-resistant. Sebesar 60% kasus baru terjadi 6 negara
yaitu India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan. Indonesia
merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah
India (WHO, Global Tuberculosis Report, 2016).
Indonesia memiliki beban TB paru yang tinggi, hal ini terbukti pada tahun
2016 ditemukan jumlah kasus TB paru sebanyak 351.893 kasus, meningkat bila
dibandingkan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus. TB paru sebanyak
298.128 kasus, sedangkan BTA positif sebanyak 156,723 kasus. Jumlah kasus
tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang
besar yaitu Jawa Barat (23,714), JawaTimur (21,606), dan Jawa Tengah
(14,139). Di Indonesia, kasus TB paru pada laki-laki lebih tinggi (59,8%)
dibanding kasus TB paru pada perempuan (40,2%). Menurut Kemenkes tahun
2016, prevalensi TB paru di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 395/100.000
penduduk dan angka kematian sebesar 40/100.000 penduduk (Kemenkes RI
2016).
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-
rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
Sejak tahun 1995, program nasional pemberantasan TB di Indonesia mulai
menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang
direkomendasikan oleh WHO dan dilaksanakan secara bertahap. Kemudian
berkembang seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional
(GERDUNAS) TB yang dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 24 Maret 1999,
maka pemberantasan penyakit TB telah berubah menjadi program
penanggulangan TB Paru. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: (1)
Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan, (2)
Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya, (3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi
pasien, (4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
yang efektif, (5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu
memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program
(Kemenkes RI, 2016).
Penelitian sebelumnya oleh Nurainun (2009) menyatakan bahwa masih
terdapat faktor penyebab kurang optimalnya pelaksanaan penanggulangan TB

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 3
paru. Faktor tersebut yaitu rendahnya komitmen politik dari para pengambil
keputusan termasuk dukungan dana dan penyuluhan tentang TB Paru.
Penelitian Aboy (2013) dalam Wilda Zulihartika (2015) tentang
implementasi program penanggulangan tuberkulosis di Puskesmas Kampung
Dalam kota Pontianak mengatakan bahwa program penanggulangan
tuberkulosis belum maksimal karena sebagian perawat belum memahami
sepenuhnya prosedur penanggulangan dan kurang mendapatkan pelatihan serta
sistem pelaporan yang belum maksimal, akibatnya kegiatan pelayanan terhadap
penderita TB menjadi terhambat.
Kota Tasikmalaya merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi
Jawa Barat , terdapat jumlah suspek TB paru sebanyak 1. 448 orang dengan
BTA positif sebanyak 39,16%. Jumlah yang meninggal karena TB paru sebanyak
15 orang, sedangkan angka penyembuhan telah melebihi target nasional yaitu
sebesar 90,60% (Dinkes Kota Tasikmalaya tahun 2016).
Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya menginformasikan mengenai angka
kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru pada tahun 2016 diketahui
angka kesembuhan yang paling rendah terdapat pada Puskemas Bantar sebesar
69,23% Jumlah BTA (Basil Tahan Asam) positif yang diobati di Puskesmas
Bantar terdapat 13 orang dari 30 suspek (Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
2016).
Data Pelaporan TB paru di puskesmas Bantar pada tahun 2016, dari 30
suspek TB paru yang ditemukan dan yang ditangani 13 orang atau 43,33%,
angka ini mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2015 yaitu 32 suspek
TB paru yang ditemukan dan 18 orang ditangani atau 56,25, sementara target
penemuan kasus mencapai 70%. Data tersebut menunjukkan masih adanya
kendala dalam pelaksanaan program penanggulangan TB paru, sehingga
implementasi program penanggulangan TB paru menjadi kurang optimal dan
belum mencapai target.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Bantar
dengan petugas TB paru bahwa dalam pelaksanaan penanggulangan TB paru
belum optimal dan masih di jumpai kendala seperti petugas pemegang TB paru
belum mendapatkan pelatihan DOTS, karena setiap kali di adakannya pelatihan
DOTS pemegang program TB paru berhalangan hadir dan kebijakan dari Dinas
Kesehatan dalam mengadakan pelatihan DOTS di puskesmas dilakukan secara
bergiliran sesuai dengan ketentuan dari Dinas Kesehatan, hal tersebut
mengakibatkan keterlambatan penerimaan informasi yang diterima oleh petugas
TB paru. Selain itu juga pemantauan dari petugas TB paru masih kurang karena
masih ditemukan penderita TB yang pindah dari wilayah kerja puskesmas tanpa
diketahui oleh petugas, ditemukannya penderita yang DO dan ditemukannya
penderita yang meninggal.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang
menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif. Teknil pengambilan
sampel yang di gunakan adalah Purposive Sampling dengan jumlah informan
sebanyak 11 informan, yang terdiri dari 1 bidang pengendalian dan
pemberantasan penyakit Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, 1 Kepala
Puskesmas Bantar, 1 Petugas P2 TB paru Puskesmas Bantar, 3 penderita TB
Paru, 3 PMO, dan 2 penderita TB Paru yang sudah sembuh. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara (interview guide).

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 4
Panduan wawancara ini digunakan untuk metode pengumpulan data melalui
wawancara mendalam dengan bantuan alat perekam suara (tape recorde atau
handphone), kamera dan alat tulis. Analisis data dilakukan dengan reduksi data,
Triangulasi, dan penarikan kesimpulan untuk mengetahui Implementasi Program
Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Bantar Kota Tasikmalaya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Informan

Tabel 1
Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, dan Pendidikan
No. Informan Jenis Umur Pendidikan Jabatan
Kelamin
1. Bpk. GS Laki-laki 37 S2 Staff Bidang
Pengendalian dan
Pemberantasan
Penyakit
2. Bpk. TS Laki-laki 43 S2 Kepala Puskesmas
3. Ibu. LN Perempuan 35 D3 Petugas P2 TB Paru
4. Ibu. NW Perempuan 42 SMP Penderita TB Paru
5. Ibu. MY Perempuan 31 SMP Penderita TB Paru
6. Bpk. MM Laki-laki 63 SD Penderita TB Paru
7. Bpk. BS Laki-laki 45 SMA PMO
8. Bpk. Sy Laki-laki 34 SMP PMO
9. Ibu. Ny Perempuan 23 SD PMO
10. Ibu. DA Perempuan 24 SMP Penderita TB yang
sembuh
11. Bpk. WT Laki-laki 36 SD Penderita TB yang
sembuh
Informan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang dengan latar
belakang pendidikan, pekerjaan dan umur yang berbeda dimana umur
informan mulai dari 20-63 tahun, sementara tingkat pendidikan dari SD-S2.
Semua informan tersebut berdomisili di Kota Tasikmalaya dan terkait
dengan penelitian yang akan dilakukan.

B. PEMBAHASAN
Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di UPTD Puskesmas
Bantar Kota Tasikmalaya :
1. Komitmen Politik
Berdasarkan hasil Penelitian melalui wawancara mendalam Hasil
wawancara menunjukkan komitmen politik yang terjalin di jajaran
pemerintahan di Kota Tasikmalaya saling mendukung. Sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Staf Bidang Pengendalian dan Pemberantasan
penyakit Menular di Dinas Kesehatan yang menyatakan bahwa dukungan
dari lintas sektor cukup berperan dalam penanganan TB paru seperti
kerjasama atau lintas sektor dengan beberapa organisasi masyarakat dan
akan berjalan dengan LKNU kesehatan dari Nahdatul Ulama, kemudian
lintas sektornya dengan dinas tenaga kerja, dengan dinas sosial untuk
membangun komitmen bahwa pelaksanaan yang menyangkut paut
dengan masalah TB harus bersama-sama menjalankannya. sementara
dukungan pemerintah di tingkat kelurahan yakni dengan memfasilitasi dan

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 5
memberikan motivasi kepada suspek atau penderita untuk berobat ke
pelayanan kesehatan secara berkala dan selelsai, motivasi yang
diberikan berupa penyuluhan.
Komitmen politis juga ditunjukkan dengan adanya dukungan dana
untuk pelaksanaan kegiatan yang ada. Dukungan dana tersebut berasal
dari APBD, namun dana yang tersedia masih terbatas. Kurangnya
ketersediaan dana disebabkan karena dana APBD terbatas dan
dipergunakan untuk supervisi dan penjaringan ke kelurahan. Komitmen
Pemerintah daerah kota Tasikmalaya dalam menanggulangi masalah TB
paru masih kurang, hal ini terbukti dengan dukungan dana yang terbatas
dan masih mengandalkan dana internasional. Kebutuhan dana tersebut
bisa terpenuhi jika adanya komitmen politis dari pemerintah, sehingga
komitmen politis belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah
daerah..
Petugas P2 TB Paru di Puskesmas bantar belum melaksanakan pelatihan
khusus mengenai DOTS atau Penanggulangan TB Paru, karena pelatihan
tersebut di lakukan satu tahun sekali secara bergiliran. Sudah lama tidak
di lakukan lagi pelatihan karena keterbatasan dana.
Kurangnya ketersediaan dana akan berdampak pada terhambatnya
pelaksanaan kegiatan. Hal ini sejalan dengan penelitian Wahab (2003)
menyatakan bahwa adanya hubungan komitmen politis berupa adanya
dukungan dana dan kegiatan terhadap keberhasilan pengobatan
penderita TB paru. Adanya dukungan dana secara penuh sehingg seluruh
kegiatan dapat terlaksana secara baik.
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap
dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja
petugas (Kemenkes, 2011). Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan
merupakan bagian dari pengembangan sumber daya manusia. Apabila
semua petugas TB di puskesmas telah mengikuti pelatihan dan
menerapkannya dalam pelayanan kesehatan maka diharapkan angka
penemuan penderita TB paru akan meningkat pula sehingga mencapai
target global 70% (Awusi dkk, 2009).
2. Deteksi Kasus
Berdasarkan hasil Penelitian melalui wawancara mendalam Hasil
wawancara yang dilakukan menunjukkan pendeteksian kasus TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Bantar Kota Tasikmalaya dilakukan oleh kader
yang umumnya sudah diberikan pelatihan dalam pengenalan gejala TB
paru serta di bantu oleh petugas kesehatan. Proses penemuan dan
deteksi dini kemudian setelah penderita menjalani pengobatan tiap
bulannya penderita diharapkan datang ke Puskesmas untuk pemeriksaan
lanjutan atau jika penderita tidak bisa datang dan penderita yang mangkir
akan dilakukan kunjungan rumah oleh petugas TB. Setelah pengobatan
selesai dan tuntas petugas TB akan tetap memantau tahap pemulihan
penderita sampai benar-benar pulih dan sehat. Suspek TB ketika sudah
ditemukan biasanya langsung di antar ke Puskesmas dilakukan oleh
petugas P2 TB, pada tahap awal akan dilakukan pemeriksaan dahak dan
foto thoraks setelah hasil pemeriksaan sudah ada baru biasanya
diberikan OAT sesuai dengan hasil dari pemeriksaan, kemudian setelah
penderita menjalani pengobatan tiap bulannya penderita diharapkan
datang ke Puskesmas untuk pemeriksaan lanjutan atau jika penderita

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 6
tidak bisa datang akan dilakukan kunjungan rumah oleh petugas TB.
Setelah pengobatan selesai dan tuntas petugas TB akan tetap memantau
tahap pemulihan penderita sampai benar-benar pulih dan sehat.
Deteksi kasus yang dilakukan di Puskesmas Bantar tersebut telah sesuai
dengan pedoman nasional pengendalian tuberkulosis dimana pada tahap
awal akan dilakukan pemeriksaan dahak dan foto thoraks kemudian
diberikan OAT. Pemeriksaan dahak dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),(a) S (sewaktu): dahak
dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua. (b) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah
pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Kepala Puskesmas menyatakan bahwa image masyarakat terhadap
penyakit TB Paru masih mengaanggap penyakit yang memalukan dan
tidak mau untuk mengakuinya sehingga jika ada yang batuk lebih dari 3
minggu penederita lebih baik diam dan tidak melapor . Sering pasien
untuk tidak mau mengungkapkannya atau disembunyikan kepada kader
dan petugas kesehatan. Kemudian Petugas P2 TB paru menyatakan
masih ada yang menganggap remeh terhadap penyakit TB paru, karena
jika pertama deteksi dan pengobatannya di Rumah sakit kemudian pindah
ke Puskesmas dengan alasan pembiayaan yang gratis. Hal tersebut
kurangnya penyuluhan dan penjaringan aktif yang di dapatkan oleh
penderita TB paru maupun masyarakat terkait penyakit TB paru tersebut.
3. Distribusi Obat
Hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan pendistribusian
obat TB paru di atur langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
selanjutnya OAT tersebut di distribusikan ke tiap-tiap Puskesmas yang
ada di Kota Tasikmalaya, setelah OAT berada di puskesmas OAT diambil
alih langsung oleh petugas pemegang program TB, selanjutnya jika ada
penderita yang sudah melakukan pemeriksaan dan sudah di diagnosa
oleh dokter mederita TB paru maka akan langsung di beri pengobatan
selama 6 bulan. Dan selama pengobatan OAT akan di berikan secara
bertahap dan berkala, OAT biasanya di berikan kepada PMO atau
penderita itu sendiri. Jika sampai 6 bulan pertama penderita belum
sembuh maka akan diberikan pengobatan lanjutan plus 3 bulan sesuai
dengan anjuran dokter. Selama ini ketersediaan dan pendistribusian obat
di Puskesmas Bantar belum pernah mengalami kendala dan kekurangan
karena koordinasi yang baik dan berkesinambungan antara petugas
pemegang program TB dengan petugas P2M di Dinas Kesehatan.
Hal ini juga sesuai dengan standard operasional prosedur (SOP) bahwa
prosedur dalam pendistribusian obat dimulai dengan pemberian
penjelasan oleh petugas kesehatan tentang tindakan yang akan diberikan
kemudian pasien yang telah diperiksa dahaknya dipersilahkan masuk ke
ruangan, kemudian pasien diberikan penjelasan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dahak, kemudian untuk pasien dengan hasil BTA positif (+)
diberikan pengobatan dengan OAT kategori 1 dan untuk pasien dengan
BTA negative dan ronseng mendukung diberikan pengobatan dengan
kategori 1 sesuai berat badan pasien, setelah pengobatan tahap intensif
akhir bulan ke II, dilakukan pemeriksaan BTA, bila hasil negative
dilanjutkan tahap lanjutan dan bila hasil pemeriksaan BTA positif

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 7
diberikan sisipan berat badan pasien, dan bila hasil pemeriksaan pada
akhir tahap intensif negative dilanjutkan tahap lanjutan kemudian
diperiksa dahak ulang pada akhir bulan ke V, bila hasil negative
dilanjutkan pengobatannya dan dilakukan pemeriksaan ulang pada akhir
bulan VI atau akhir pengobatan, kemudian bila hasil pemerikssan pada
bulan ke IV negative dan pada awal pengobatannya positif maka pasien
dinyatakan sembuh serta bila pada akhir pengobatan hasil negative dan
pada awal pengobatan negative dengan rongsent positif maka pasien
dikatakan pengobatan lengkap Pengawasan Menelan Obat (PMO).
4. PMO
Pengawas minum obat yang dilakukan di Puskesmas Bantar
tersebut telah sesuai dengan pedoman nasional pemberantasan
tuberculosis bahwa yang bisa di jadikan pengawas minum obat sebaiknya
petugas kesehatan, bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, tokoh
masyarakat atau anggota keluarga yang merupakan seseorang yang
dikenal dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun
pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien, seseorang
yang tinggal dekat dengan pasien, bersedia membantu pasien dengan
sukarela (Departemen Kesehatan, 2011).
5. Pencatatan dan Pelaporan
Hasil wawancara menunjukkan sistem pencatatan dan pelaporan
yang dilakukan di Puskesmas Bantar Kota Tasikmalaya sudah baik. Ini
terlihat data suspect dan penderita sudah lengkap dan di perbaharui
setiap tahun. Pada umumnya penderita yang dinyatakan suspect TB paru
di wilayah kerja Puskesmas akan secara langsung di data dari awal
memulai pengobatan sampai dengan memasuki tahap pemulihan dan
secara terus-menerus akan di pantau dan di catatat perkembangannya.
Sistem yang digunakan pada saat ini dalam pencatatan dan pelaporan
berupa SITT (Sistem Informasi Tuberculosis Terpadu) dengan cara online
maupun offline.
Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di Puskesmas Bantar
tersebut telah sesuai dengan standard operasiona prosedur (SOP) yang
menjelaskan bahwa bukti kegiatan berupa format laporan tuberculosis,
evaluasi yang dilakukan setiap 3 bulan dengan laporan bulanan dengan
menggunakan program SITT.

KESIMPULAN
1. komitmen politis dalam program TB paru di Pukesmas Bantar belum
maksimal, hal ini dikarenakan Kepala Puskesmas dan jajarannya
menganggap bahwa TB Paru itu penting dan masuk kedalam prioritas
program, tetapi belum menyediakan dana cukup dari pemerintah untuk TB
paru sehingga petugas P2 TB paru belum mendapatkan pelatihan khusus
dan belum mempunyai ruang tunggu khusus untuk pasien TB. Sumber dana
program TB paru berasal dari APBD. Kerjasama lintas program sudah terjalin
dengan baik.
2. Deteksi Kasus TB paru kebanyakan hanya menunggu dan kurang dilakukan
penjaringan suspek secara aktif. Kurangnya penyuluhan yang di dapatkan,
sehingga penderita ada yang masih menyembunyikan penyakitnya, pindah
pengobatan tanpa diketahui petugas P2 TB paru. Penderita tidak memahami

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 8
dan sadar gejala TB paru sebelumnya. Pemeriksaan dahak dilakukan
dengan mengumpulkan dahak sesuai dengan SPS.
3. Pendistribusian obat diawali dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
kemudian didistribusikan ke tiap-tiap puskesmas yang ada di Kota
Tasikmalaya, dari Puskesmas obat di ataur langsung oleh petugas P2 TB
kemudian di berikan langsung kepada PMO atau penderita itu sendiri.
4. Kinerja PMO yang ada di Puskesmas Bantar biasanya dipilih dari keluarga
penderita itu sendiri atau yang tinggal serumah dengan penderita. PMO tidak
pernah diberikan pelatihan khusus seputar pengobatan, PMO hanya
mendapat arahan dari petugas P2 TB paru.
5. Pencatatan dan pelaporan yang dilakukan di Puskesmas Bantar meliputi
penemuan kasus, pengobatan, dan pemulihan. Suspect TB paru akan di data
kemudian akan di pantau sampai hasil pemeriksaan sudah di dapatkan.
Pencatatan dan pelaporan akan di laporkan tiap bulan ke Dinas Kesehatan.

SARAN
1. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
a. Meningkatkan kualitas tenaga kesehatan di Puskesmas Bantar melalui
pelatihan.
b. Meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan
program penanggulangan TB paru di setiap wilayah kerja puskesmas.
2. Puskesmas Bantar
a. Meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi TB paru secara aktif kepada
masyarakat sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan
yang baik mengenai penyakit TB paru.
b. Serta diperlukan penyebaran informasi lebih lanjut tentang perawatan TB
paru khususnya yang bersifat alternatife kepada kader-kader kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat bila ada yang di alami oleh diri sendiri, tetangga atau
kerabat diharapkan lebih kooperatif dalam melaporkan gejala TB paru
kepada kader, petugas kesehatan dan segera periksakan diri ke Puskesmas
dan pelayanan kesehatan lain. Jangan pernah malu atau menutup diri
terkait penyakit TB, serta lebih menjaga kebersihan lingkungan dan gaya
hidup sehat.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan kajian lebih mendalam
mengenai startegi DOTS dari segi komitmen politik, deteksi kasus, distribusi
obat, kinerja PMO dan pecatatan dan pelaporan.

DAFTAR PUSTAKA
Aboy. 2013. Implementasi Program Penanggulangan Tuberkulosis di
Puskesmas Kampung Dalam Kota Pontianak. Jurnal, FISIPOL UNTAN.
Pontianak.
Aditama, Tjandra Yoga. 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan
Masalahnya. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jakarta.
Anengsih, Cici Putri. 2017. Implementasi Penanggulangan TB Paru dengan
Strategi DOTS di Wilayah Kerja Puskesmas Batupanga Kabupaten
Polewali Mandar. Skripsi, FKM UIN ALAUDDIN. Makassar.
Departemen Kesehatan, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, jakarta: Departemen Kesehatan.

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 9
Dinkes Kota Tasikmalaya. 2016. Profil Kesehatan Kota Tasikmalaya Tahun
2016. Tasikmalaya.
Eka, N.A. & Santi Martini, 2014. Evaluasi Program Pengendalian Tuberkulosis
Paru Dengan Strategi DOTS Di Puskesmas Kalikedinding Surabaya.
Berkala Epidemiologi, 2.
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kokom Komariah. 2013. Pola Komunikasi Kesehatan Dalam Pelayanan dan
Pemberian Informasi Mengenai Penyakit TBC pada Puskesmas. Kab.
Bogor.
Mansur, M., Khadijah, S. & Rusmalawaty, 2015. Analisis Penatalaksanaan
Program Penanggulangan Tuberculosis Paru Dengan Strategi DOTS Di
Puskesmas Desa Lalang Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2015.
Tesis, (Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara).
Noveyani Adistha Eka, Santi Martini, 2014. Evaluasi Program Pengendalian
Tuberkulosis Paru Dengan Strategi DOTS di Puskesmas Tanah
Kalikedinding Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(2).
Notoatmodjo, Soekidjo. 2011. Kesehatan Masyarakat: Ilmu & Seni. Rineka
Cipta. Jakarta.
Nurainun. 2009. Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Aek Kanopan Labuhanbatu Utara. Skripsi, FKEP USU. Medan
Nurmadya, 2015. Hubungan Pelaksanaan Strategi DOTS Dengan Hasil
Pengobatan Tuberculosis Paru Puskesmas Padang Pasir Kota Padang
20112013. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1).
Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Jakarta.
Profil UPTD Puskesmas Bantar Kota Tasikmalaya Tahun 2017.
Wahab, Irwana. 2003. Penggunaan Komponen Strategi DOTS dalam
Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Padang Bulan Selayang tahun
2003. Skripsi, FKM USU. Medan.
WHO. 2016. Global Tuberculosis Report
Wibowo, Adik. 2014. Kesehatan Masyarakat di Indonesia: Konsep, Aplikasi dan
Tantangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Analisis Lama Waktu Tunggu Pelayanan Rawat Jalan PasienPeserta BPJS Kesehatan
Page 10

Anda mungkin juga menyukai