Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan
masalah, terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari
masalah tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-
Sunnah. Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah
tersebut tentang baik buruknya Dan dalam bentuknya yang telah mengalami
kemajuan, teori hukum Islam (Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber
dan metode yang darinya dan melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber
yang darinya hukum diambil adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang
keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumber-sumber yang
melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi, atau
pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan). Oleh karena itu, penulis
membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis membahas tentang :

1 .Apa pengertian dari ijtihad?

2. Apa dasar ijtihad sebagai sumber hukum Islam?

3. Bagaimana kedudukan ijtihad dalam islam ?

4. Apa saja metode pelaksanaan ijtihad ?

5. Jelaskan syarat – syarat berijtihad ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad


Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya
kesungguhan dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti
penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan
dari sesuatu ayat atau hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan)
hukum, ijtihad adalah penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum
yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai
berikut: .

a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak
ada peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi reformulasi
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.

Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk


mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan
sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan As-Sunnah.

Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu
mencakup dua pengertian:

a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan


secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil
kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits

Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan
pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu
tertentu. Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-
ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski
Al-Quran diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan
manusia diatur secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap
saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam
melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari. Jika terjadi persoalan
baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau disuatu masa waktu
tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu
sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya sudah
ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-
Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam
memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang
paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan
Mujtahid.

2.2 Dasar Hukum Ijtihad


Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :

1. Al-Qur’an

‫ّٰللاَ َوا َ ِطيـعُوا‬ َ ُ ٰ َّ َ ٰۤ


‫ه‬ ‫وا‬ ‫ع‬
ُ ِ ‫يـ‬ ‫ط‬ ‫ا‬ ‫وا‬ ‫ن‬ ‫م‬
َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ‫ِين‬ ‫ال‬ ‫ا‬‫ه‬َ ٰ
ُّ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ـ‬ ‫ي‬
‫مر ِمن ُكم فَاِن تَنَازَ عتُم فِى‬ ِ َ‫سو َل َواُو ِلى اال‬ ُ ‫الر‬ َّ
‫سو ِل اِن‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ّٰللاِ َو‬‫شَىءٍ فَ ُردُّوهُ اِلَى ه‬
ٌ ‫اال ِخ ِر ٰذ ِل َك خ‬
‫َير‬ ٰ ‫ـوم‬ِ َ‫اّٰللِ َوالي‬ ‫ؤمنُونَ ِب ه‬ ِ ُ ‫ُكنـتُمت‬
﴾4:59﴿ ‫يل‬ ً ‫س ُن تَا ِو‬ َ ‫َّواَح‬
“Hai orang -orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS.An-nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan


kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an
dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa
diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad.
Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan
diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka
untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus
melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).

firman-Nya yang lain :

َ‫ٱّلل لمعَ ْٱل ُم ْح ِسنِين‬


ََ ‫ن‬ ُ ‫وٱلَذِينَ َٰجهدُواَ فِينا لن ْهدِينَ ُه َْم‬
ََ ِ‫سبُلنا وإ‬
“Dan orang -orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-„Ankabut:69 )

2. Al-Hadits –

- Sabda Nabi SAW

.Ijtihadlah diperuntukkan kepadanya‖ (Jalaluddin Rahmat, Dasar HukumIslam,


hlm 163)kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang

“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia


mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya).
Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat
satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukharidan Muslim)

Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,

ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa

Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau


bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu
memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-
Qur‟an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al
Qur‟an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam
Sunnah Rasul dan Al-Qur‟an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan
seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan
beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi- Nya.”(HR.Abu Dawud)
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-
ketentuan berikut:

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia
yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan
daripada suatu ijtihad pun adalah relatif,
b. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan
yang mutlak absolut.. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku
pada masa/tempat yang lain,
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni).
Sebab urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah,


dan

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,


akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang
menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam. Kedudukan ijtihad sebagai
sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran
dan Al-Hadits.

2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode,


antara lain sebagai berikut:
1.Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada
hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-
Sunnah, karena ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi) :
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.
b.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam
Al-Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab
(illat).

2. Ijma’ atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama


Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi
persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai
atau tidaknya ijma tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan
berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.

3 .Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan


ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan,
kasih sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas
Khofi (analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang
diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan
kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih
salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita
harus mengambil yang lebih ringan keburukannya. Beberapa definisi
istisan:
a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar,
b. .Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya,
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat
orang banyak,
d. Tindakan memtuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan
.
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.

4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu


persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan
yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan
mashalitul mursalah ialah, istihsan mempertimbangkan dasar
kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-Quran atau Al-
Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan
dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang
secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.

5. Urf , adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap
baik oleh masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan
masih bolehnya suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat
selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

6. Istishab,adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya


sehingga terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkanpada masa lampau secara
kekal menurut keadaan sehingga teradapat dalil yang menunjukan atas
perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya.

7. Sududz Dzariah,yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah


menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

8. Madzhab Shahabi,yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu


persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang
suatu kasus, yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para
sahabat yang menetapkan hokum tersebut.

9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.

10. Ta’arud Ad-Dilalah,artinya pertentangan (secara lahir dalam


pandangan mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat
yang sama (ayat dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).

2.5 Syarat ber-ijtihad


Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki
kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh
setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para
pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun
setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di
situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan
kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat
melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti
dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa
berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas
melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika
semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat
resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri.
Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad
(maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan
membahayakan kehidupan ummat. Untuk itu, dalam kajian usul Fikih,
para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang
yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk dapat
melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing
dalam lima persyaratan itu akan dilihat di bawah ini:

1. mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.


Persyaratan pertama ini disepakati oleh segenap ulama usul
Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah,
menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan
syarat mutlak yang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut
al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat
hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal
oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga
dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan. Sebenarnya, apa yang
dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi seseorang
mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah
hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan
ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki
pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut tersebut
secara mendalam. Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang
sunnah, menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui
sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa pendapat tentang
jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus
hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn
Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima
ratus ribu hadits. Namun, hadits hadits tersebut tidak wajib dihafal di
luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu,
sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan. Di samping itu,
seseorang mujtahid menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib
mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula
mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad
(kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut
hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah
antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah).
Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala,
cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-
kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan
ta’dil (keadilan periwayat hadits).
2. mengetahui ijmak,
sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan
tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum,
maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat
melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat
menempatkan pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk
dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan
bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak
tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan
suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin
dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa .
ijmak bukan dalil hukum.
3. mengetahui bahasa Arab,
yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah
secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang
mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,
sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam:
mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai);
mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. kaidah Untuk mengetahui seluk-
beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu:
nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya,
pengetahuan (-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala,
cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui
buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika
ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat
pengambilannya. Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk
menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan
benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits adalah bahasa Aarab,
seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua
sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar
demikian,sementara ulama- antara lain’Abd al Wahhab Khallaf
menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat
pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
4. mengetahui ilmu usul fikih.
Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh
seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang
dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat
memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu
menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode
dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di
dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi
menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai
syarat ijtihad :
a. yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah
satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
b yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat
ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai
gantinya.
c. yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam
ijtihad. Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan
pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama
memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu
hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena
hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-
kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-
istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.
d. mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang
telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah
dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut
Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan
itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka
hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak
dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama
persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa
ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas,
ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan
dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat
mencapai persyaratan-persyaratan tersebut. Persyaratan-persyaratan
ijtihad sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk
dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam
ijtihad hukum itu menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan
hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi
persyaratan persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang
dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah
masyarakat. Kendati demikian menurutnya wewenang itu hanya
diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan
sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu. Dari kajian di
atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih
yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah
orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap.
Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-
syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan
ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang
diketahuinya secara luas dan mendalam.
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat,
Nikmat, serta Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah Filsafat Hukum Islamyang berjudul “Metode Ijtihad (Epistemologi
Hukum Islam)”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya sampai hari
pembalasan..
Dan pada akhirnya, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan
selalu kami nantikan dari teman-teman khususnya para pembaca, apabila dalam
pembuatan tugas ini jauh dari kesempurnaan dan tidak sesuai sebagaimana tugas
mestinya.
Lebih dan kurangnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan semoga
tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis, Amiiin.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala
kesanggupann untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata
ijtihad tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata
ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya
upaya atau usaha yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”.
Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : adalah usaha maksimal dalam melahirkan
hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang
sungguh-sungguh dan mendalam.
Hukum berijtihad adalah wajib ain dan wajib kifayah. Sebagai imbalan
jerih payah seorang mujtahid dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia
akan diberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia
akan dapat pahala ganda. Satu pahala sebagai imbalan jerih payahnya dan satu
pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya.
Syarat-syarat berijtuhad adalah : Mengetahui bahasa arab, mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran, memiliki pengetahuan yang
memadai tentang Al Sunnah, mengetahui letak ijma’ dan khilaf, mengetahui
Maqashid al-Syariah, memiliki pemahaman dan penalaran yang benar, memiliki
pengetahuan tentang Ushul Fiqih, niat dan i’tikad yang benar.
3.2 SARAN
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh
dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kamisemoga dapat dijadikan
suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!
DAFTAR PUSTAKA

- Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa
Tim Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,
- Razak Nasaruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1985
- Saiban Kasui, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005

- Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996

- Yahya, Muktar dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh


IslamBandung: PT Al-Ma’arif, 1983
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………...

DAFTAR ISI …………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………………………………………………….


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

1 .Apa pengertian dari ijtihad? ……………………………………

2. Apa dasar ijtihad sebagai sumber hukum Islam? ………………..

3. Bagaimana kedudukan ijtihad dalam islam ? ……………………

4. Apa saja metode pelaksanaan ijtihad ? …………………………..

5. Jelaskan syarat – syarat berijtihad ? ……………………………...

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………


3.2 Saran ……………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA
Makalah
IJTIHAD PADA SUMBER AJARAN ISLAM

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

RESKI AMALIA 17031014167

FIDYA MUH ILYAS 16031014

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR

MAKASSAR

2018

Anda mungkin juga menyukai