Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

POST TREPANASI

Penugasan ini disusun untuk memenuhi tugas individu profesi keperawatan

Oleh:

Maya Rachmah Sari


NIM. 0910723033

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
KONSEP PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL

Pengertian
Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang diberikan oleh otak,
darah, dan cairan cerebrospinal (cerebrospinal fluid/ CSF) di dalam ruang kranium yang
kaku. Sebagai respon terhadap peningkatan volume intrakranial, kompensasi awal terjadi
melalui perpindahan CSF dari ventrikel ke ruang subaraknoid serebral, dan meningkatkan
penyerapan CSF. Kisaran nilai tekanan intrakranial (intracranial pressure/ ICP) normal
bervariasi sesuai dengan usia.
Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan oleh peningkatan volume
otak (edema serebral), darah (perdarahan intrakranial), lesi desak ruang, atau CSF
(hidrosefalus). Pemantauan ICP dapat berupa teknik invasif dan memiliki beberapa risiko
yang terkait.
Pengukuran ICP adalah standar baku pada neurocritical care. Manajemen yang
efektif terhadap hipertensi intrakranial diawali dengan menghindari secara ketat faktor-faktor
yang memicu atau memperburuk peningkatan tekanan intrakranial. Ketika tekanan
intrakranial menjadi tinggi, penting untuk menyingkirkan lesi massa baru yang harus
dievakuasi melalui pembedahan.

Fisiologi Tekanan Intra Kranial


Kompartemen Tekanan dan Aliran Cairan

Variasi kontraktil curah jantung memiliki dua efek yang berbeda pada dinamika
intrakranial, perubahan berkala pada tekanan dan perubahan berkala pada aliran cairan
dalam otak. Sementara tekanan dan aliran cairan terkait fenomena fisik, mereka harus
dianggap terpisah untuk satu alasan utama: pulsasi tekanan menyebar melalui otak pada
kecepatan suara dan titik yang tepat untuk pengukurannya bukanlah suatu masalah,
sementara aliran cairan membutuhkan perpindahan cairan dari satu kompartemen ke
kompartemen yang lain dan pulsasi arus bervariasi secara dramatis tergantung pada lokasi
Kisaran nilai tekanan intrakranial (intracranial pressure/ ICP) normal bervariasi
sesuai dengan usia. Nilai normal adalah kurang dari 10 sampai 15 mmHg untuk orang
dewasa dan tua, anak yang lebih besar, 3 sampai 7 mmHg untuk anak-anak yang lebih
muda, dan 1,5-6 mmHg untuk bayi. ICP dapat bernilai ‘sub-atmosfer’ pada bayi baru lahir.
Batas normal yang biasa digunakan adalah 5 sampai 15 mmHg. Nilai ICP lebih besar
dari 40 mmHg yang berkelanjutan menunjukkan hipertensi intrakranial berat yang
mengancam nyawa

Dinamika Tekanan Intrakranial


a. Compliance
Compliance merupakan indikator toleransi otak terhadap peningkatan ICP.
Ketika compliance pasien terlewati, akan terjadi peningkatan dramatis pada tekanan/
kurva volume, menyebabkan peningkatan ICP yang cepat.
b. Aliran darah serebral
Pada otak yang mengalami cedera, aliran darah serebral (cerebral blood flow/
CBF) diatur untuk memasok oksigen dan substrat yang cukup ke otak. Faktor
fisiologis tertentu seperti hiperkarbia, asidosis dan hipoksemia menyebabkan
vasodilatasi, yang menyebabkan peningkatan CBF. Aktivitas kejang dan demam
akan meningkatkan tingkat metabolisme otak dan CBF.
c. Tekanan perfusi serebral
Tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah tekanan
di mana otak mendapatkan perfusi. CPP memungkinkan pengukuran tidak langsung
terhadap kecukupan CBF. Hal ini dihitung dengan mengukur perbedaan antara
tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) dan ICP (MAP - ICP), di mana
MAP = 1/3 tekanan sistolik ditambah 2/3 tekanan diastolik. Nilai CPP normal yang
umumnya diterima sebagai tekanan minimal yang diperlukan untuk mencegah
iskemia adalah: orang dewasa > 70 mmHg; anak > 50-60 mmHg; bayi/ balita > 40-50
mmHg. CPP < 40 mmHg adalah prediktor yang bermakna dari mortalitas pada anak
dengan TBI.

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan oleh peningkatan volume
otak (edema serebral), darah (perdarahan intrakranial), lesi desak ruang, atau CSF
(hidrosefalus). Edema serebral adalah penyebab paling penting dari peningkatan ICP pada
cedera otak non-trauma seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP), serta ensefalopati sistemik
dan metabolik. Edema serebral vasogenik terjadi karena cedera pada sawar darah otak dan
peningkatan permeabilitas kapiler di sekitar daerah cedera atau peradangan terutama pada
infeksi SSP. Edema otak interstisial terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dari CSF
dan sering terlihat pada pasien dengan hidrosefalus obstruktif atau produksi CSF
berlebihan. Edema otak sitotoksik (pembengkakan seluler) terjadi setelah iskemia otak dan
hipoksia menyebabkan kerusakan sel ireversibel dan kematian. Pembengkakan osmolar
dapat terjadi karena peningkatan beban osmolar lokal di sekitar fokus nekrotik yang
disebabkan oleh infark atau kontusio, dan mungkin karena peningkatan volume darah
serebral (hiperemi) pada infeksi SSP. Etiologi primer bisa berasal dari intrakranial atau
ekstrakranial.

Jika penyebab primer peningkatan ICP berasal dari intrakranial, normalisasi ICP
tergantung pada kecepatan mengatasi gangguan otak yang mendasarinya. Peningkatan
ICP juga dapat terjadi setelah prosedur bedah saraf. Hipertensi intrakranial yang terjadi
setelah cedera otak traumatis (traumatic brain injury/ TBI) bersifat multifaktorial:2 trauma
akibat hematoma epidural atau subdural, kontusio hemoragik, dan fraktur depresi tengkorak,
edema serebral (penyebab paling penting setelah hematoma), hiperemia akibat hilangnya
autoregulasi, hipoventilasi yang menyebabkan hiperkarbia dan vasodilatasi serebral,
hidrosefalus akibat terhalangnya aliran CSF atau penyerapannya, peningkatan tekanan
intra-toraksik atau intra-abdomen sebagai akibat dari ventilasi mekanik, posturing, agitasi,
atau manuver Valsava.

Prosedur Pemantauan Tekanan Intrakranial


Pada gilirannya CBF tergantung pada tekanan perfusi serebral (CPP) yang
berhubungan dengan tekanan intrakranial (ICP-lebih mudah untuk diukur). Kisaran normal
ICP bervariasi sesuai dengan usia (pada orang dewasa < 10 -15 mmHg). Pemantauan ICP
dapat berupa teknik invasif dan memiliki beberapa risiko yang terkait. Indikasi pemantauan
ICP adalah sebagai berikut:3,4 kriteria neurologis: cedera kepala berat (GCS <= 8), hasil
CT-scan abnormal pada saat masuk (kontusio, edema serebral, hematoma dengan atau
tanpa pergeseran garis tengah > 5mm/ terdapat kompresi cisterna atau tidak), hasil CT-scan
normal, tetapi memiliki lebih dari 2 faktor risiko berikut: usia > 40 tahun, menunjukan postur
deserebrasi atau dekortikasi pada pemeriksaan motorik (unilateral atau bilateral), tekanan
darah sistolik < 90 mmHg.
Berdasarkan prosedur yang harus dilakukan, terdapat dua metode pengukuran ICP
-) Metode pengukuran ICP invasif
Pengukuran ICP dapat dilakukan di berbagai lokasi anatomi intrakranial;
intraventricular, intraparenkimal, epidural, subdural dan subaraknoidal. Pada pasien
dengan aliran CSF yang terbuka/ terhubung (communicating), dalam kondisi
tertentu ICP dapat dinilai melalui pungsi lumbal.
a. Drainase Eksternal Ventrikel (external ventricular drainage/ EVD)
Pemantauan invasif menggunakan teknik EVD, di mana kateter ditempatkan
ke salah satu ventrikel melalui burr-hole. Teknik ini juga dapat digunakan untuk
drainase dari CSF dan pemberian obat intratekal, misalnya pemberian antibiotik
dalam kasus ventrikulitis.
Tergantung pada ukuran ventrikel, penempatan EVD mungkin sulit, terutama
pada pasien muda dengan sistem ventrikel yang sangat sempit. Kesalahan
penempatan kateter juga dapat mengakibatkan cedera pada struktur otak yang
penting, misalnya ganglia basal, talamus, kapsula interna dan bahkan penetrasi pada
ventrikel ketiga.
b. Alat pemantau ICP microtransducer
Merupakan perangkat pemantau ICP invasif dapat dibagi ke dalam perangkat
serat optik, perangkat strain gauge dan sensor pneumatik. Perangkat serat optik,
seperti Camino ICP Monitor, mentransmisikan cahaya melalui serat optik menuju
cermin displaceable. Codman MicroSensor, Raumedic Neurovent-P ICP sensor dan
Pressio sensor termasuk ke dalam grup perangkat piezoelektrik strain gauge. Ketika
transduser digerakkan oleh perubahan ICP, terjadi perubahan resistensi dan ICP
dapat dihitung. Pneumatic sensor (Spiegelberg) menggunakan balon kecil di ujung
distal kateter untuk mendeteksi perubahan tekanan, dan memungkinkan pengukuran
kuantitatif peningkatan tekanan intrakranial. ICP microtransducers yang paling
banyak digunakan, adalah ICP intraparenkimal, biasanya ditempatkan di daerah
frontal tepat pada kedalaman sekitar 2 cm.

-) Metode Non Invasif


Metode pengukuran ICP non-invasif terlihat menggiurkan, yaitu dilihat dari komplikasi
yang dapat dihindari dalam pemasangan metode invasif yang dapat menyebabkan
perdarahan dan infeksi.
a. Transcranial Doppler Ultrasonography (TCD)
Teknik TCD menggunakan USG untuk awalnya mengukur kecepatan aliran
darah pada arteri serebri media. Rasio selisih antara kecepatan aliran sistolik dan
diastolik, dibagi dengan kecepatan aliran rata-rata, disebut Pulsatility Index (PI): PI =
(kecepatan aliran sistolik - kecepatan aliran diastolik) / kecepatan aliran rata-rata.
b. Tympanic Membrane Displacement (TMD)
Teknik ini mengambil keuntungan dari hubungan anatomis CSF dan perilimfa melalui
saluran perilimfatik. Stimulasi refleks stapedial menyebabkan gerakan dari membran
timpani, yang terbukti berkorelasi dengan ICP. Stapes bersandar pada oval window,
yang ditutupi oleh membran. Membran ini fleksibel, artinya tekanan cairan dalam
koklea mempengaruhi posisi membran dan stapes serta bagaimana mereka
bergerak.

Penatalaksanaan Tekanan Intrakranial


Pengukuran ICP adalah standar baku pada neurocritical care. Estimasi tekanan
perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) adalah inti dari terapi hipertensi
intrakranial yang diarahkan oleh ICP/ CPP, terutama pada cedera otak traumatik yang parah
(severe traumatic brain injury/ severe TBI). Perhitungan CPP dilakukan dengan pengukuran
ICP intraventricular atau intraparenkimal dan pemantauan tekanan arteri rata-rata (mean
arterial pressure/ MAP) invasif, menurut persamaan CPP = MAP-ICP.
Manajemen medis tekanan intrakranial yang meningkat mencakup sedasi, drainase
cairan serebrospinal, dan osmoterapi baik dengan manitol atau garam hipertonik. Untuk
hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap manajemen medis awal, koma yang diinduksi
barbiturat, hipotermia, atau kraniektomi dekompresif harus dipertimbangkan.
Pasien dengan berbagai kelainan intrakranial - termasuk cedera otak traumatis,
stroke, perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, dan tumor otak - sering terjadi
peningkatan tekanan intrakranial progresif. Edema otak pasca trauma adalah hasil dari
berbagai mekanisme sekunder dan pilihan perawatan terbatas pada osmoterapi dan
dekompresi bedah. Obat farmakologis yang mempengaruhi berbagai mekanisme sekunder
masih dalam tahap pengembangan awal, yang paling menjanjikan adalah aquaporin 4
channel inhibitors
Doktrin Monroe-Kellie
Doktrin Monroe-Kellie menyatakan bahwa volume total dalam kranium selalu tetap
karena tulang tengkorak tidak elastis sehingga tidak bisa mengembang jika ada
penambahan volume. Pada kondisi normal, volume intrakranial terdiri dari 80% jaringan
otak, 10% LCS, dan 10% darah. Peningkatan volume dari salah satu komponen ini, atau
adanya tambahan komponen patologis (misalnya hematom intrakranial), akan menimbulkan
kompensasi melalui penurunan volume dari komponen lainnya untuk mempertahankan
tekanan.
Bila terdapat penambahan masa seperti hematoma akan menyebabkan tergesernya
LCS akan terdesak melaui foramen magnum ke arah rongga sub-arakhnoid spinalis dan
vena akan segera mengempis/kolaps, dimana darah akan diperas keluar dari ruangan
intrakranial melalui vena jugularis atau melalui vena emisaria dan kulit kepala. Mekanisme
kompensasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu saja. Namun jika mekanisme
kompensasi ini terlampaui maka kenaikan volume sedikit saja akan menyebabkan kenaikan
TIK yang tajam
Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan
intra cerebral akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau menekan masa
otak. Otak yang normal mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi aliran darah
serebral. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan melalui pembuluh serebral di atas
rentang tekanan perfusi dengan mengubah diameter pembuluh darah dalam berespon
terhadap tekanan perfusi serebral. Faktor-faktor yang mengubah kemampuan pembuluh
darah serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea,
dan trauma otak dapat mengganggu autoregulasi.
Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh
serebral, menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan peningkatan
volume intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan intrakranial. Agar autoregulasi
berfungsi, kadar karbon dioksida harus dalam batasan yang dapat diterima dan tekanannya
dalam batasan : tekanan perfusi serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah
160 mmHg dan tekanan sistolik antara 60 – 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg.
Cedera otak juga dapat merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami kerusakan,
alirah darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan tekanan darah sistemik. Pada klien
dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang menyebabkan tekanan darah, seperti
batuk, suction, dan ansietas dapat menyebabkan peningkatan aliran darah serebral yang
dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Otak mampu mengkompensasi atau menerima perubahan minimal pada tekanan
intrakranial dengan cara pengalihan CSS ke dalam spasium subaraknoid spinal,
peningkatan absorbsi CSS, penurunan pembentukan CSS dan pengalihan darah vena ke
luar dari tulang tengkorak.

Gambar 1. Tekanan intrakranial akan tetap normal dengan peningkatan volume sampai titik
dekompensasi tercapai. Di atas volume kritis ini, TIK akan meningkat dengan cepat.1

Sumber: fisiologi manusia dan mekanisme penyakit (Human physiology and mechanism of
disease). Ed. 33.

Aliran darah otak normalnya 50 - 60 mL/100 gr jaringan otak/menit. Bila aliran darah
otak menurun sampai 20-25 mL/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang dan pada nilai
5 mL/100gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadilah kerusakan sel yang
menetap. Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi mempertahankan aliran darah
pada tingkat yang konstan apabila MAP (mean arterial pressure) berada dikisaran 50-160
mmHg. Bila MAP dibawah 50 mmHg, aliran darah otak sangat berkurang dan bila MAP
diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah
meningkat.Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera
otak sekunder karena iskemia akibat hipotensi yang tiba-tiba.
KONSEP TREPANASI

Pengertian

Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan


maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Trepanasi/ kraniotomi adalah
suatu tindakan membuka tulang kepala yangbertujuan mencapa i otak untuk tindakan
pembedahan definitif.

Indikasi

a. Pengangkatan jaringan abnormal


b. Mengurangi tekanan intracranial
c. Mengevaluasi bekuan darah
d. Mengontrol bekuan darah
e. Pembenahan organ-organ intracranial
f. Tumor otak
g. Perdarahan
h. Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak
Teknik Operasi

a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup
kurang lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi
betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah
kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk kosmetik,
sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui lokasi, zygoma –
sebagai batas basis cranii, jalannya N VII ( kurang lebih 1/3 depan antara tragus
sampai dengan canthus lateralis orbita).
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
e. Operasi
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) :
 Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nystagmus, diplopia, kebutaan,
tanda-tanda papil edema.
 Perubahan bicara, msalnya: aphasia
 Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.
 Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.
 Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan
konstipasi.
 Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness.
 Perubahan dalam seksual

Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).
 Sakit kepala
 Nausea atau muntah proyektil
 Pusing
 Perubahan mental
 Kejang

Pemeriksaan Penunjang
Untuk membantu menentukan lokasi tumor yang tepat, sebuah deretan pengujian
dilakukan.
a. CT-Scan memberikan info spesifik menyangkut jumlah, ukuran, dan kepadatan jejas
tumor, serta meluasnya edema serebral sekunder.
b. MRI membantu mendiagnosis tumor otak. Ini dilakukan untuk mendeteksi jejas tumor
yang kecil, alat ini juga membantu mendeteksi jejas yang kecil dan tumor-tumor
didalam batang otak dan daerah hipofisis.
c. Biopsy stereotaktik bantuan computer (3 dimensi) dapat digunakan untuk
mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk memberikan dasar-dasar
pengobatan dan informasi prognosis.
d. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh darah serebral dan
letak tumor serebral.
e. EKG dapat mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor
dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
Komplikasi Post Operasi

a. Edema cerebral.
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
c. Hypovolemik syok.
d. Hydrocephalus.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.

b. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.

c. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh
darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati,dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini
d. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.

Penatalaksanaan
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
b. Mempercepat penyembuhan.
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
d. Mempertahankan konsep diri pasien.
e. Mempersiapkan pasien pulang.

Perawatan Pasca Pembedahan


a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati,
d. jangan sampai drain tercabut.
e. Perawatan luka operasi secara steril.
f. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan
sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah
makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses
penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu
meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang
dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika:
- Perut tidak kembung
- Peristaltik usus normal
- Flatus positif
- Bowel movement positif
g. Mobilisasi
Pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Posisi awal
adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi
dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk
melakukan ambulasi dini.
h. Pemenuhan kebutuhan eliminasi

- Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia

inhalasi, IV, spinal.


- Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi retensio urine.
· Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusia abdomen bawah (distensi bulibuli).
· Dower catheter a kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam a
i. Sistem Gastrointestinal :
- Mual muntah a 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan
stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher
serta TIO meningkat.
· Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
· Kaji paralitic ileus a suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus.

· Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.

- Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan


decompresi dan drainase lambung.
· Meningkatkan istirahat.
· Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
· Memonitor perdarahan.
· Mencegah obstruksi usus.
· Irigasi atau pemberian obat.

Kriteria Evaluasi
a. Tidak timbul nyeri luka selama penyembuhan.
b. Luka insisi normal tanpa infeksi.
 Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel
darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening
digunakan sebagai kerangka.
 Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan
kemerahan.
 Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-
jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
 Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka :
 Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.
 Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
 Pencegahan infeksi.
 Pengembalian Fungsi fisik.
c. Tidak timbul komplikasi.
d. Pola eliminasi lancar.
e. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat.
f. Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal.
g. Sebelum pulang, pasien mengetahui tentang :
· Pengobatan lanjutan.
· Jenis obat yang diberikan.
· Diet.
· Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah
·
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN POST TREPANASI

1. Pengkajian
Primary Survey
a. Airway
- Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi.
- Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
- Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
b. Breathing
- Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
- Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à
depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata
metabolisme yang meningkat.
- Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma,
retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.
c. Circulating:
- Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
- Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
d. Disability : berfokus pada status neurologi
- Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-
tanda vital.
- Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan
atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah.
e. Exposure
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan
Secondary Survey : Pemeriksaan fisik

a. Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak
membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.
Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan
pada gastrointestinal.
b. Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan
ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat.
c. Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang
d. Pemeriksaan neurologis
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
 Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
 Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
 Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
 Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
 Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

Tersiery Survey

a. Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan darah
120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan laboratorium: HB =
9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235.
b. Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks
dalam batas normal.
c. Blader
Klien terpasang doewer chateter urine meliputi jumlah dan warna

2. Diagnosa Keperawatan
a. Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk.
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan.
e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi.
f. Pola nafas inefektif berhubungan dengan efek anastesi.
g. Bersihan jalan napas inefektif berhubungan dengan penumpukan secret.
h. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan efek anastesi.
i. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah.

3. Rencana Intervensi Keperawatan


a. Ganggguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka insisi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan rasa nyeri dapat teratasi atau
tertangani dengan baik.
Kriteria hasil:
 Melaporkan rasa nyeri hilang atau terkontrol.
 Mengungkapkan metode pemberian menghilang rasa nyeri.
 Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dan aktivitas hiburan sebagi
penghilang rasa nyeri.
Intervensi Rasional
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, skala Berguna dalam pengawasan keefektifan
(0-10). Selidiki dan laporkan perubahan obat, kemajuan penyembuhan. perubahan
nyeri dengan tepat. pada karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses.
Pertahankan posisi istirahat semi fowler. Mengurangi tegangan abdomen yang
bertambah dengan posisi telentang.
Dorong ambulasi dini Meningkatkan normalisasi fungsi organ,
contoh merangsang peristaltic dan
kelancaran flatus, dan menurunkan
ketidaknyamanan abdomen.
Berikan kantong es pada abdomen Menghilangkan dan mengurangi nyeri
melelui penghilangan ujung saraf.
catatan:jangan lakukan kompres panas
karena dapat menyebabkan kongesti
jaringan
Berikan analesik sesuai indikasi. Menghilangkan nyeri mempermudah kerja
sama dengan intervensi terapi lain.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.


Tujuan:
Setelah diberikan tindakan pasien tidak mengalami gangguan integritas kulit.
Kriteria hasil:
 Menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu. pasien menukjukkan
 Pasien menunjukkan perilaku untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi.
Intervensi Rasional
Kaji dan catat ukuran, warna, keadaan Mengidentifikasi terjadinya komplikasi
luka, dan kondisi sekitar luka.
lakukan kompres basah dan sejuk atau merupakan tindakan protektif yang dapat
terapi rendaman. mengurangi nyeri.
lakukan perawatan luka dan hygiene Memungkinkan pasien lebih bebas
sesudah mandi, lalu keringkan kulit bergerak dan meningkatkan kenyamanan
dengan hati hati. pasien

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan higiene luka yang buruk


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien diharapkan tidak mengalami infeksi.
Kriteria hasil:
 Tidak menunjukkan adanya tanda infeksi.
 Tidak terjadi infeksi.
Intervensi Rasional
awasi tanda-tanda vital, perhatikan Deteksi dini adanya infeksi.
demam, menggigil, berkeringat dan
perubahan mental dan peningkatan nyeri
abdomen.
Lihat lika insisi dan balutan. catat Memberikan deteksi dini terjadinya proses
karakteristik, drainase luka. infeksi.
Lakukan cuci tangan yang baik dan Menurunkan penyebaran bakteri
lakukan perawatan luka aseptik.
Berikan antibiotik sesuai indikasi. diberikan secara profilaktif untuk
menurunkan jumlah organisme, dan untuk
menurunkan penyebaran dan
pertumbuhannya

d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pendarahan.


Tujuan:
Setelah dilakukan perawatan tidak terjadi gangguan perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
 Tanda-tanda vital stabil.
 Kulit klien hangat dan kering
 Nadi perifer ada dan kuat.
 Masukan atau haluaran seimbang
Intervensi Rasional
Observasi ekstermitas terhadap Tirah baring lama dapat mencetuskan
pembengkakan, dan eritema. statis venadan meningkatkan resiko
pembentukan trombosis.
Evaluasi status mental. perhatikan Indikasi yang menunjukkan embolisasi
terjadinya hemaparalis, afasia, kejang, sistemik pada otak.
muntah dan peningkatan TD

e. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post operasi


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan keseimbangan cairan
yang adekuat.
Kriteria Hasil:
 Tanda-tanda vital stabil.
 Mukosa lembab
 Turgor kulit/ pengisian kapiler baik.
 Haluaran urine baik
Intervensi Rasional
Observasi intake dan out put cairan. memberikan informasi tentang
penggantian kebutuhan dan fungsi organ
Awasi TTV, kaji membrane mukosa, indicator keadekuatan volume sirkulasi/
turgor kulit, membrane mukosa, nadi perfusi
perifer dan pengisian kapile
Observasi hasil pemeriksaan Memberikan informasi tentang volume
laboratorium sirkulasi, keseimbangan cairan dan
elektrolit
Berikan cairan IV atau produk darah Mempertahankan volume sirkulasi
sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B.
Lippincott Campany, Philadelpia.
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC, Jakarta.
Carolyn M. Hudak, Barbara M. Gallo (1996), Keperawatan Kritis; Pedekatan

Anda mungkin juga menyukai