Anda di halaman 1dari 8

LETUSAN GUNUNG YANG DAHSYAT, PENGGANGGU STABILITAS IKLIM

(Study Kasus : Letusan Gunung Tambora 1815 )


Dibuat oleh : Dina Novi Astuti [Geofisika UGM 2015, 15/383205/PA/16865]

Hujan dengan frekuensi tinggi di tengah-tengah musim panas, musim hujan yang
lebih panjang dari seharusnya, itulah fenomena yang sering diresahkan oleh masyarakat
Indonesia saat ini. Cuaca yang semakin sulit diprediksi juga menjadi indikasi terjadinya
perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim (perubahan variabel iklim) ini
diakibatkan oleh pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan kenaikan permukaan
air laut, perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, serta pengaruh terhadap
ketersediaan air dan pertanian. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
memprediksi bahwa dalam 90 tahun ke depan suhu global cenderung meningkat sebesar
1,1°C sampai 6,4°C (IPCC dalam Masters, 2012, Syaifulloh, 2015).
Perubahan iklim diakibatkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah letusan
gunung berapi. Berdasarkan penelitian para ahli dari satelit riset atmosfer NASA(UARS),
walaupun aktivitas vulkanik hanya berlangsung beberapa hari ,sisa material seperti gas dan
abu mengendap bertahun-tahun di lapisan atmosfer dan berdampak pada perubahan iklim di
bumi. Padahal jika dilihat dari segi gunung api, Indonesia adalah salah satu negara yang
terletak di wilayah Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api Pasifik (Ring of Fire). Bahkan di
Indonesia mempunyai catatan beberapa letusan gunung api yang dasyat, meliputi Gunung
Toba, Gunung Krakatau, Gunung Tambora,dll. Melihat hal tersebut maka pemahaman lebih
lanjut tentang pengaruh letusan gunung api terhadap perubahan iklim sangatlah penting.
Bukan hanya pemahaman dampak yang bersifat analitis namun juga bukti empiris yang ada.
Maka dari itu ,selanjutnya akan diulas bagaimana letusan gunung berapi dapat mempengaruhi
iklim di bumi. Dilanjutkan dengan studi kasus dampak letusan Gunung Tambora di Czech
Lands.
Bahasan utama adalah faktor-faktor apa saja yang menunjukkan kebenaran bahwa
suatu letusan gunung api dapat mempengaruhi iklim global. Meliputi produk erupsi gunung
api yang dikeluarkan, tingkat keeksplosifan letusan, dan spatial factor (faktor posisi). Hal-hal
tersebut akan memberikan gambaran tentang letusan seperti apa dan bagaimana letusan
gunung api dapat mempengaruhi iklim secara global.
Ketika gunung berapi meletus tidak hanya lava yang dikeluarkan. Bahkan hal yang
dapat diamati secara langsung adalah material yang terlontar ke udara. Material yang secara
umum dikenal mayarakat sebagai abu dan wedhus gembel. Selain material padat, letusan
gunung api juga melontarkan gas-gas vulkanik. Gas inilah yang menjadi tokoh utama
penyebab perubahan iklim akibat letusan gunung api.
Saat meletus gas vulkanik yang dikeluarkan oleh gunung berapi adalah sulfur (S),
carbon (C), chloride(Cl) , flouride(F), dan water vapor(H2Og). Gas-gas tersebut
terinjeksikan ke atmosfer, bereaksi dengan komponen-komponen lain seperti air, oksigen, dll.
Akibat reaksi tersebut, terbentuklah aerosol asam seperti sulfuric acid (H2SO4) dan
hidocloride acid (HCl) dengan rasio 75% komponen gas dan 25% air. Sulfuric acid
terproduksi saat gas-gas teroksidasi dan dapat menyerap dan merefleksikan radiasi matahari
yang datang.
Gas asam yang paling berpengaruh (menyerap dan merefleksikan sinar matahari)
adalah asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat merupakan bentukan dari dua tipe gas erupsi yaitu
H2S dan SO2 tergantung komposisi dari magma asal (meskipun H2S yang terlontar juga akan
teroksidasi menjadi SO2 dengan cepat). Lalu SO2 teroksidasi menjadi H2SO4 dan aerosol
kurang lebih 1 bulan .Gas lain yang dikeluarkan adalah asam khlorida (HCL) dan
hidroflouric acid (HF). Namun kedua gas tersebut mudah terlarutkan oleh hujan dan tidak
akan berada di ketinggian dalam waktu yang lama. Maka HCl dan HF kurang memiliki
pengaruh dalam perubahan iklim. Aerosol yang tercipta di lapisan Troposfer dimana cuaca
bumi terjadi akan tercuci oleh prespitasi 2-3 minggu. Sedangkan aerosol yang tercipta di
stratosfer dapat mempengaruhi iklim 3-4 tahun setelah erupsi. (Zielinski,2002).

Gambar 1 . Skema
injeksi material ke atmosfer
saat letusan gunung berapi
(McCormick, 1995,
Zielinski,2002 ).

Setelah melihat bukti bahwa material yang diinjeksikan ke atmosfer dapat


mempengaruhi iklim. Lalu, bagaimana material tersebut dapat terlontarkan begitu jauh
sampai mengjinjeksi stratosfer?. Tentunya terdapat beberapa faktor yang memepengaruhinya,
yaitu tentang karakteristik letusan tersebut. Material lontaran dapat mencapai stratosfer
bergantung pada tingkat keekplosifan letusan dan lokasi letusan tersebut.
Telah di bahas bahwa H2SO4 dapat berpengaruh pada iklim jika sampai di stratosfer.
Sehingga H2SO4 perlu terbang tinggi hingga menembus troposfer. Tipe erupsi yang dapat
melontarkan material jauh sampai stratosfer adalah very explosive plinian eruption yang
menciptakan jamur besar atau kolom besar material piroklastik. Tipe tersebut umunya
terdapat di daerah subduksi. Namun very explosive eruptions mengandung silika lebih banyak
daripada sulfur, maka tidak semua very explosive eruptions dapat berpengaruh pada iklim.
Parameter yang menunjukkan tingkat emisi sulfur minimum untuk merubah iklim
adalah optical depth stratosfer , dilambangkan dengan thao ().

Semakin tinggi nilai , maka semakin sedikit radiasi matahari yang sampai di
permukaan bumi. Hubungan optical depth stratosfer dengan massa emisi H2SO4 adalah ;
D=MD / 1.5 x 1014 g (Stothhers, R. B.,1984, Zielinski,2002). Dengan kata lain membutuhkan
1013 g atau 10 Mt H2SO4 untuk membuat optical depth yang cukup berpengaruh pada iklim.
Mengingat H2SO4 yang tercipta adalah hasil dua kali dari emisi SO2 dan aerosol yang
terbentuk sekitar 1,25 x H2SO4, maka jika letusan mengerupsikan 5 Mt SO2 maka akan
tercipta 10 Mt H2SO4 dan 12,5 Mt aerosol H2SO4.
Selain tingkat keeksplosifan letusan, faktor lain letusan gunung berapi dapat merubah
iklim atau tidak adalah lokasi gunung berapi tersebut. Pada kenyatannya, bentuk bumi tidak
sepenuhnya bulat, namun penggambaran geometrisnya adalah elipsoid dengan sumbu ekuator
yang lebih panjang. Hal ini terjadi karena efek dari rotasi bumi. Karena hal itulah lapisan
troposfer di ekuator lebih tinggi dibandingkan lapisan troposfer di kutub(Basofi,2013). Less
explosive eruption (biasanya gunung yang berada di mid-to high latitudes) bisa menembus
troposfer dengan ketinggian 10 km,sedangkan equatorial eruption butuh 15 km untuk sampai
ke stratosfer (Zielinski,2002).
Setelah mengetahui beberapa alasan mengapa dan bagaimana letusan gunung berapi
dapat mempengaruhi iklim, saatnya membahas tentang bukti empiris. Kasus yang akan
diangkat adalah letusan Gunung Tambora. Letusan Tambora 1815(Sumbawa, Indonesia)
termasuk letusan dahsyat yang tercatat sejarah. Letusan Tambora 1815 memiliki nilai
VEI(Volcanic Explosivity Index) 7 (Staff Live Science,2012). Nilai tersebut didasarkan pada
material vukanik yang dikeluarkan dan ketinggian lontarannya. Mengingat bahasan
sebelumnya, diperlukan 10 Mt H2SO4 untuk mempengaruhi iklim. Sedangkan Gunung
Tambora mengeluarkan sekitar 60Tg SO2 (60Mt SO2) yang dilontarkan sampai ke stratosfer.
Maka akan tercipta sekitar 120 Mt H2SO4 dan 150 Mt aerosol H2SO4 yang tentunya
melampaui batas minimal untuk dapat mempengaruhi iklim. Menurut perhitungan , Gunung
Tambora mengeluarkan material lontaran ke atmosfer 25 kali lebih banyak dibandingkan
letusan Gunug St. Helens pada 1980, dan sekitar 5 kali lebih besar dari letusan Gunung
Pinatubo pada 1991. Berikut terdapat penggambaran material erupsi Gunung Tambora
dibandingkan letusan besar lainnya dari sumber lain ;

Gambar 2 . Perbandingan material injeksi dari beberapa erupsi besar dalam


sejarah(Adam, 2013).
Terdapat pula, skenario letusan Gunung Tambora 10 April 1815 (gambar 3) dengan
perangkat lunak Fall3d-5.1.1. Skenario perangkat lunak tersebut menunjukkan model
sebaran dan pegendapan abu vulkanik dari suatu erupsi gunung. Dengan didasarkan pada data
letusan yaitu nilai VEI 7, ketinggian kolom 43km, kecepatan angin antara 5-35 m/s, arah
angin ke barat (B), dan durasi waktu dibuat 6 jam. Hasil pengolahan data tersebut
menunjukkan bahwa selama 2 jam pertama, sebaran dan ketebalan abu antara 10-640mm ke
arah barat, masuk jam ke 4, lebih luas ke arah barat dengan ketebalan mencapai 10-580mm.
Namun 2 jam berikutnya ( 6 jam) sebaran abu vulkanik melebihi jarak 100km (out of range
dari Digital Elevation Model). (Heriwaseso,2009).
Gambar 3. Model sebaran
abu vulkanik letusan Gunung
Tambora 1815 setelah 2 jam(A), 4
jam(B), dan 6 jam(C).

Untuk mengetahui efek Letusan G.Tambora 1815 di Czech Lands (Eropa)


digunakan beberapa analisa data instrumental dan data dokumenter. Data dokumenter
berupa data-data yang berkaitan dengan cuaca dan fenomena-fenomena berupa surat
kabar, laporan ekonomi, dll. Data instrumental berupa data bulanan, tahunan dan musiman
dari temperatur dan presipitasi di Czech Lands ;
1. Data Pregue Klementinum ( Bohemia tengah) : Data temperatur (1775-2010) dan
presipitasi (1804- 2010).
2. Brno ( south-eatern Moravia) : Data temperatur (1810-2010) dan presipitasi (1803-
2010).
3. Czech Lands : Data rata-rata temperatur (1800-2010) dan rata-rata presipitasi (1804-
2010) dari 10 data temperatur dan 14 data presipitasi.
4. Zitenice (north-western Bohemia) : Data temperatur (1801-1829)
5. Eropa Tengah : Data temperatur (1500-2007)
Data-data tersebut diolah untuk menghasilkan penggambaran yang lebih visual
berupa grafik. Berikut adalah hasil plot data anomali temperatur ;

Gambar 4. Anomali temperatur musiman Prague-Klementinum(1), Žitenice (2), Brno


(3), di Czech Lands (4) dan Eropa Tengah (5) sekitar letusan Tambora
1815 (Wi–Winter, Su – Summer). (Brázdil,dkk, 2016)
Gambar di atas menunjukkan anomali temperatur untuk Prague-Klementinum,
Žitenice dan stasiun Brno, serta rata-rata untuk Czech Lands dan Eropa Tengah.
Anomali terlihat yaitu adanya pedinginan pada Musim Panas (Summer) dan Musim
Gugur (Autumn) pada 1815, serta anomali positif saat Musim Dingin (Winter)
1815/1816. Anomali terbesar terjadi saat Musim Panas (Summer) 1816, terlihat grafik
menunjukkan suhu sekitar -20 Celcius. Padahal tahun-tahun sebelumnya (5 tahun
sebelum) tidak pernah menyentuh angka -20 Celcius. Musim panas 1816 itu tidak
seperti biasa yang orang ingat. Salju turun di New England. Langit suram, hujan di
seluruh Eropa. Keadaan dingin, penuh badai dan gelap, sama sekali berbeda dengan
musim panas biasanya. Akibatnya, di Eropa dan Amerika Utara ,tahun 1816 dikenal
sebagai “A Year Without Summer” ( tahun tanpa musim panas). (UCAR,2012).

Gambar 5. Anomali temperatur saat musim panas 1816 di Eropa [UCAR,2012]


Gambar 6. Anomali presipitasi musiman di Prague-Klementinum (1), Brno (2) and
Czech Lands (3) time sekitar letusan Gunung Tambora (Brázdil,2016).

Setelah analisa data temperatur, terdapat pula analisa data anomali presipitasi
(Gambar 6). Nilai presipitasi tinggi menunjukkan adanya frekuensi dan curah hujan yang
tinggi, serta sebaliknya. Terlihat dari gambar di atas , bahwa pada Musim Panas(Summer)
1815 terjadi presipitasi yang sangat tinggi, sedangkan Musim Gugur (Autumn) nilai
presipitasi sangat rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut menandakan
bahwa Musim Panas (Summer) yang dingin dan basah, dilanjutkan dengan Musim Gugur
(Autumn) yang sangat kering.
Selain menimbulkan efek langsung pada iklim, Letusan Gunung Tambora juga
mempengaruhi sektor pertanian di Eropa dan Amerika Utara. Tanaman pertanian mati karena
membeku dan kekurangan cahaya matahari. Makanan nabati menjadi langka. Para petani
takut untuk bertanan karena rawan perampokan sayuran. Harga makanan nabati menjadi naik
tajam. Bahkan para petani memilih memakan kuda mereka yang biasa digunakan untuk
mengantar sayuran dan menjual hasil tanam mereka dengan sepeda.
Semua bukti analitis dan empiris yang telah dibahas menunjukkan bahwa memang
benar letusan gunung berapi dapat menyebabkan terganggunya kestabilan iklim, pertanian
dan ekonomi. Namun tidak semua letusan gunung berapi dapat memepengaruhi iklim secara
drastis. Untuk menentukannya, letusan tersebut harus dikaji . Pertama, tentang banyaknya
material letusan yang dilontarkan ke atmosfer (nilai VEI). Kedua, tingkat keeksplosifan
letusan tersebut agar bisa mencapai stratosfer. Ketiga, letusan tersebut terjadi di daerah low
latitudes (ekuator) , mid latitudes, atau di high latitudes(kutub). Pemahaman ini menjadi
penting untuk mengkaji lebih lanjut perubahan iklim yang terjadi di bumi.

Daftar Pustaka
Adam, 2013, Supervulkány Najnebezpečnejšie sopky na planéte.
http://www.milujemcestovanie.sk/supervulkany-najnebezpecnejsie-sopky/, diakses tanggal
17 Maret 2017(22:00 WIB).
Basofi,A.,2013, Konsep Geodesi Data Spasial. Politeknik Elektronika Negri
Surabaya.http://ariv.lecturer.pens.ac.id/G.I.S/01Teori/M05.%20Konsep%20Geodesi%20Data
%20Spasial.pdf , diakses tanggal 17 Maret 2017(19:30 WIB).
Brázdil,A., Reznícková,L.,Valášek,H.,Dolák,L., dan Kotyza, O., 2016, Climatic
effects and impacts of the 1815 eruption of Mount Tambora in the Czech Lands, Climate of
The Past, 12, 1361-1374.
Heriwaseso, A,2009, Model Perkiraan Penyebaran dan Ketebalan Abu Vulkanik
Akibat Letusan Gunung Api, (Studi Kasus di G.Galunggung, G.Merapi, dan G.Tambora),
Bulletin Vulkanologi dan Bencna Geologi , No.3,Volume 4.
Live Science Staff, 2012, The Greatest Eruption in Human History: Mount Tambora,
http://www.livescience.com/31337-mount-tambora-image.html, diakses tanggal 17 Maret
2017(19:50).
Syaifullah, M.D.,2015, Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan Hubungannya
dengan Pemanasan Global. J. Segara, No. 2 ,Vol, 103-113.

UCAR(Center of Science Education), 2012, Mount Tambora and The Year Without
Summer, https://scied.ucar.edu/shortcontent/mount-tambora-and-year-without-summer ,
diakses tanggal 17 Maret 2017(20:30 WIB).
Zielinski, G.A.2002. Climatic Impact of Volcanic Eruption, The Scientific Word
Journal, 2, 869-884.

Anda mungkin juga menyukai