Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan ektopik merupakan masalah yang besar bagi wanita yang

sedang dalam usia reproduktif. Hal ini merupakan hasil dari kesalahan dalam

fisiologi reproduksi manusia yang membiarkan hasil konseptus untuk

berimplantasi dan matang diluar kavitas endometrium, yang secara langsung akan

berakhir pada kematian fetus. Tanpa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat,

kehamilan ektopik ini dapat menjadi keadaan yang membahayakan jiwa.

Kehamilan ektopik menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan

dengan kehamilan dalam trimester pertama kehamilan di Amerika Serikat.

Dengan terjadinya keadaan sakit yang tiba-tiba akibat kehamilan ektopik,

kemampuan wanita untuk hamil kembali dapat terpengaruh menjadi buruk.

Kehamilan ektopik pertama kali diungkapkan pada abad ke-11, dan,

sampai pertengahan abad ke-18, biasanya berakibat fatal. John Bard melaporkan

satu intervensi bedah yang berlangsung sukses untuk mengobati sebuah

kehamilan ektopik di New York pada tahun 1759. Angka keselamatan pada awal

abad ke-19 sangat kecil, satu laporan mengatakan hanya 5 dari 30 yang dapat

selamat dari operasi abdominal. Menariknya, angka keselamatan pasien yang

tidak diobati 1 dari 3.

Pada permulaan abad ke-20, kemajuan pesat dalam ilmu anestesi,

antibiotik, dan transfusi darah berperan dalam menurunkan angka kematian ibu.

Pada awal pertengahan abad ke-20, tercatat 200-400 kematian per 10.000 kasus.

1
Sejak tahun 1970, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mulai

mencatat dan membuat statistik mengenai kehamilan ektopik, dilaporkan terdapat

17.800 kasus. Pada tahun 1992, angka kehamilan ektopik meningkat menjadi

108.000 kasus. Namun, angka kematian menurun dari 35,5 per 10.000 kasus pada

tahun 1970 menjadi 2,6 per 10.000 kasus pada tahun 1992.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis tentang diagnosis dan penatalaksanaan kasus Ny. D ?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mampu melakukan analisis diagnosis pada kasus Ny. D.

2. Mampu melakukan analisis penatalaksanaan pada kasus Ny. D.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menambah

wawasan dan pengetahuan mengenai kehamilan ektopik baik untuk penulis pada

khususnya maupun untuk pembaca pada umumnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang dibuahi

oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus.1,2

Pada tahap awal perkembangannya, embrio dapat tumbuh dan berkembang

di dalam saluran tuba tetapi jika dibiarkan maka perkembangan embrio tersebut

dapat menyebabkan ruptura/pecahnya saluran tuba atau saluran telur tersebut

karena berkembang melebihi kapasitas ruang tempat implantasi. Jika ini terjadi

maka akan terjadi perdarahan hebat akibat ruptura saluran tersebut, perdarahan

tersebut akan mengumpul di dalam rongga perut seorang wanita dan jika

dibiarkan maka wanita tersebut akan meninggal karena perdarahan tidak diatasi,

hal ini disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET). 3,4

Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi

dalam beberapa golongan:4

 Tuba Fallopii

 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)

 Ovarium

 Intraligamenter

 Abdominal

 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering

terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di

3
isthmus, dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal,

dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.3,5,6

Gambar 1 : Lokasi terjadinya kehamilan ektopik

Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ekstrauterin,

namun pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus

termasuk dalam kehamilan ektopik.3,4

2. 2 Epidemiologi

Insiden dari kehamilan ektopik digambarkan dalam berbagai macam cara

pada beberapa literature. Denominator yang paling umum digunakan adalah

jumlah konsepsi yang dikenali, yang mana digambarkan sebagai jumlah

kehamilan ektopik per 1000 konsepsi. Denominator lainnya adalah jumlah wanita

dalam usia produktif, yang digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per

10.000 wanita dalam rentang usia 14-44 tahun, dan jumlah total kelahiran yang

digambarkan sebagai jumlah kehamilan ektopik per 1000 kelahiran.

Akan sangat baik bila dapat menghitung insiden kehamilan ektopik per

1000 total konsepsi. Namun, bagaimanapun juga, sejak abortus spontaneous dan

4
banyak abortus yang direncanakan tidak dilaporkan, denominator itu selalu lebih

kecil dibandingkan dengan angka yang sebenarnya, dan juga sejak kehamilan

ektopik asimptomatis yang tidak diketahui sehingga tidak dilaporkan. Hal ini

mengakibatkan insiden kehamilan ektopik per 1000 total konsepsi yang

sebenarnya tidak akan dapat diukur secara tepat. Jumlah insiden yang dilaporkan

di literatur, bagaimanapun juga, merupakan perkiraan yang baik dan, sejak

metodologi yang digunakan sama , maka dapat dibandingkan secara tepat.7

Pada perkembangan terbaru, di Inggris, kehamilan ektopik masih

merupakan penyebab terbesar pada kematian ibu hamil trimester pertama. Hampir

32.000 kehamilan ektopik terjadi yang tercatat setiap tahunnya. Di Amerika

Serikat, jumlah kejadian setiap tahunnya menurun dari 58.178 pada tahun1992

menjadi 35.382 pada tahun 1999. Di Norwegia, diperkirakan angka kejadian ini

menurun seiring dengan menurunnya angka kejadian Pelvic Inflammatory Disease

(PID).8

Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan

diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan

menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan

ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.9

2.3 Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki, namun sebagian besar

penyebabnya masih tidak diketahui. Pada tiap kehamilan akan dimulai dengan

pembuahan di dalam ampulla tuba, dan dalam perjalanan kedalam uterus telur

5
mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba, atau

nidasinya di tuba dipermudah.1,2,6

Resiko terjadinya kehamilan ektopik ini meningkat dengan adanya

beberapa faktor, termasuk riwayat infertilitas, riwayat kehamilan ektopik

sebelumnya, operasi pada tuba, infeksi pelvis, paparan Diethylstil-bestrol (DES),

penggunaan IUD, dan fertilisasi in vitro pada penyakit tuba. Faktor-faktor ini

mungkin berbagi mekanisme umum yang dapat berupa mekanisme anatomis,

fungsional, atau keduanya. Pastinya, sangat sulit untuk menilai penyebab dari

implantasi ektopik dengan tidak adanya alat pendeteksi kelainan tuba.

Normalnya, seperti disebut diatas, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan

berjalan kedalam tuba ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang

mengganggu fungsi normal dari tuba fallopii selama proses ini meningkatkan

resiko terjadinya kehamilan ektopik.6,10

Kehamilan ovarium dapat terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de

Graaf yang baru pecah dan membuahi sel telur yang masih tinggal dalam folikel,

atau apabila sel telur yang dibuahi bernidasi di daerah endometriosis di ovarium.

Kehamilan intraligamenter biasanya terjadi sekunder dari kehamilan tuba atau

kehamilan ovarial yang mengalami ruptur dan mudigah masuk di antara 2 lapisan

ligamentum latum. Kehamilan servikal berkaitan dengan faktor multiparitas yang

beriwayat pernah mengalami abortus atau operasi pada rahim termasuk seksio

sesarea. Sedangkan kehamilan abdominal biasanya terjadi sekunder dari

kehamilan tuba, walau ada yang primer terjadi di rongga abdomen.3

Secara ringkas dapat dipisahkan faktor-faktor pada tuba yang dapat

mendukung terjadinya kehamilan ektopik :2

6
1. Faktor dalam lumen tuba :

a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping,

sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu;

b) Lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk yang dapat terjadi pada

hipoplasia uteri. Hal ini dapat disertai kelainan fungsi silia

endosalping;

c) Lumen tuba sempit yang diakibatkan oleh operasi plastik tuba dan

sterilisasi yang tidak sempurna.

Gambar 2 : Gambaran mikroskopik dari saluran tuba

2. Faktor pada dinding tuba :

a) Endometriosis tuba, dapat memudahkan implantasi telur yang

dibuahi dalam tuba;

7
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat

menahan telur yang dibuahi ditempat itu.

3. Faktor diluar dinding tuba :

a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat

menghambat perjalanan telur;

b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen

tuba.

4. Faktor lain :

a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovum kanan ke tuba kiri atau

sebaliknya dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke

uterus. Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan

implantasi prematurs.

b) Fertilisasi in vitro.

Diantara faktor-faktor tersebut diatas, salpingitis akut merupakan penyebab

utama.

Tempat keluar ovum pada ovulasi di ovarium juga disinyalir mempunyai

peran dalam kehamilan ektopik. Ovulasi yang berasal dari arah kontralateral dari

ovarium telah dianggap sebagai penyebab dari terlambatnya transport blastokist,

dan oleh Breen, dilaporkan bahwa ovulasi dari arah kontralateral ditemukan pada

sepertiga dari gestasi tuba yang diobati dengan laparatomi. Bagaimanapun juga,

Saito dkk. mengamati bahwa bagian dari tuba dimana terjadi implantasi pada

wanita dengan kehamilan ektopik adalah sama pada apakah korpus luteum berada

di ipsilateral atau kontralateral. Jika transmigrasi adalah salah satu faktor,

8
hipotesis dari mereka adalah ada banyak insiden terjadinya kehamilan di distal

tuba dengan ovulasi dari kontralateral ovarium.

Penyebab lain yang lebih fisiologik adalah ketidakseimbangan hormonal,

yang mana peningkatan kadar estrogen atau progesterone yang beredar dapat

merusak kontraktilitas normal tuba. Kenaikan rata-rata kehamilan ektopik

dilaporkan terjadi pada wanita yang digambarkan secara fisiologis dan

farmakologis mempunyai kadar progestin yang meningakat. Secara iatrogenik,

dapat terjadi peningkatan estrogen dan progesterone setelah induksi ovulasi baik

itu dengan clomiphene citrate atau human menopausal gonadotrophins, dan

dilaporkan terjadi kenaikan angka kehamilan ektopik pada wanita dengan

perlakuan seperti itu. Kemungkinan penyebab lainnya adalah perkembangan

embrionik yang abnormal. Stratford memeriksa 44 konseptus dari gestasi ektopik

dengan mikrodiseksi dan potongan histologik dan menemukan sekitar duapertiga

abnormal dan setengahnya mempunyai banormalitas struktural umum. Kelainan

abnormal-abnormal ini dapat mengganggu transpor normal di tuba.7

Tatum dan Schmidt menyimpulkan bahwa kehamilan yang mucul yang

dikarenakan kegagalan beberapa metode kontrasepsi mempunyai kesempatan

yang lebih besar untuk menjadi ektopik dibandingkan pada wanita yang hamil

karena tidak memakai alat kontrasepsi. Wanita yang menjadi hamil sewaktu

memakai IUD Copper T380 atau kontrasepsi oral progestin saja, mempunyai

kemungkinan 5% lebih tinggi untuk mengalami kehamilan ektopik. Wanita yang

menjadi hamil selama memakai progesterone-releasing IUD bahkan lebih tinggi,

sekitar 25%, bahkan bila dibandingkan dengan wanita yang tidak memakai alat

9
kontrasepsi sama sekali, kemungkinan terjadi kehamilan ektopik lebih besar dua

lipat. Hal ini disebabkan progesterone menghambat kontraksi tuba.

Walaupun pada banyak laporan yang mengatakan bahwa riwayat aborsi

yang diinduksi meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik, Levin dkk.

menunjukkan metode statistik yang digunakan untuk mengontrol efek dari faktor-

faktor resiko, riwayat dari satu aborsi yang diinduksi tidak meningkatkan secara

bermakna kemungkinan terjadi kehamilan ektopik. Efek itu baru akan nyata bila

sudah dua atau lebih aborsi.

2.4 Patofisiologi

Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat

yang paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian

berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah

intersisial tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan

ektopik non tuba sangat jarang.1,2,7. Kehamilan pada daerah intersisial sering

berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang

muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya

menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi rupture.7

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya

sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau

interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot

endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya

vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara

interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi

tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang

10
menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan

desidua di tuba tidak sempurna bahkan kadang-kadang tidak tampak, dengan

mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin

selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat

pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada

endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan

intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma

sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.

Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan

ektopik dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk

pertumbuhan hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh

seperti di uterus. Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan

antara 6 minggu sampai 10 minggu.2 Kemungkinan itu antara lain :2,11

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan

ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat

untuk beberapa hari.

11
2. Abortus tuba

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh

villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan

mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya

pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,

tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,

mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian

didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi abortus dalam

tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus tuba lebih umum

terjadi pada kehamilan tuba pars ampullaris, sedangkan penembusan dinding

tuba oleh villi koriales ke arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan

pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars amoullaris lebih

luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi

dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan

akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sampai berubah

menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk

rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan

membentuk hematokel retrouterina. Bila fimbriae tertutup, tuba fallopii dapat

membesar karena darah dan membentuk hematosalping.

3. Ruptur tuba

Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan ruptur pada

saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar

12
korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada

trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering

terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada

kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di pars intersisialis, maka

muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara

spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.

Gambar 3 : Ruptur tuba

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba

tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari

trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang

ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma

intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.

Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila

robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.

Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin

bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin

mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat

diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan

13
masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,

kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi

kehamilan abdominal sekunder.

2.5 Gambaran Klinik

Bila terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala, maka kita

sebut kehamilan ektopik belum terganggu.

Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias kehamilan ektopik

yaitu, nyeri abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut

menjadi sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang

dengan kehamilan di trimester pertama. Namun sayangnya, hanya 50% pasien

dengan kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut secara

khas.1,2,4,5,7 Gejalanya antara lain, yaitu :

1.Terdapat tanda-tanda kehamilan muda

Seperti mual, muntah, uterus membesar dan lembek, yang mungkin tidak sesuai

dengan usia kehamilan.

2.Nyeri abdomen

Nyeri yang dapat dirasakan pada satu sisi atau kedua sisi perut bagian atas,

bawah, atau seluruh bagian perut. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas

tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri

akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-

menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke

rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh.

14
3. Amenorhea

Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak

menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau

mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan

keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.

Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini

disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.

4.Perdarahan pervaginam

Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari

abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua.

5.Tanda-tanda syok

Penderita pucat, kesadaran menurun atau lemah, Nadi lemah, tekanan darah

menurun akibat kehilangan banyak darah.

6. Gangguan vasomotor

Berupa vertigo atau sinkop, payudara terasa penuh, fatigue.

7. Iritasi diafragma bila perdarahan intraperitoneal cukup banyak

Berupa kram yang berat dan nyeri pada bahu atau leher, terutama saat inspirasi.

8.Pada pemeriksaan vaginal

Timbul nyeri jika serviks digerakkan, kavum douglas menonjol dan nyeri pada

perabaan.

9.Pada USG

Tampak kantong kehamilan dan denyut jantung janin di dalam tuba.

15
Gambar 3 :Kehamilan Ektopik dilihat dari pemeriksaan USG

2.6 Diagnosis

Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang

belum terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau

abortus dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis,

dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan

ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan

pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik. 2

Anamnesis. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk

beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.

Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.

Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan

nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya,

apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar

gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah

pernah hamil, riwayat menstruasinya.2,4

Pemeriksaan umum. Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan

kesakitan. Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda

syok dan pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak

16
mendadak, mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit

menggembung dan nyeri tekan.2

Pemeriksaan ginekologi.

Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan muda.

Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat diraba,

maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping

uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga teraba menonjol

dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Kadang terjadi

demam, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi pelvik.2,4

Pemeriksaan laboratorium.

Para dokter di ruang gawat darurat biasanya menggunakan beta-human chorionic

gonadotropin (β-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk membantu

menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. β-hCG diproduksi oleh

trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1 minggu sebelum haid

berikutnya. Jika serum β-hCG negatif, kemungkinan besar tidak terjadi

kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien dengan tes

serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal kenaikan

kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai mencapai

puncaknya 100.000 mIU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah mencapai

nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis dengan USG.

Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini berguna untuk mendiagnosis

kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan ektopik atau

kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya adalah

pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat rendah

17
bila terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk

membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik

ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi

hingga dapat lebih dari 20.000. 2,5

Alat-Alat Bantu Diagnostik

Diagnosis awal diperlukan untuk perawatan yang maksimal terhadap

ketahanan tuba dan mencegah potensi terjadinya perdarahan intraperitoneal.

Atrash dkk. Menemukan bahwa perdarahan menjadi penyebab terbesar (88%)

kematian pada kasus kehamilan ektopik. Pada saat ini, yang merupakan acuan

untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah Transvaginal Ultrasonography dan

pemeriksaan kadar hCG serial. Transvaginal Ultrasonography sekarang ini telah

menggantikan posisi Laparaskopi karena lebih menguntungkan.9,10

Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis

kehamilan ektopik adalah berikut ini :1,7

1. Kuldosentesis

Penemuan hasil darah yang tidak membeku pada kuldosentesis dan terutama

bila hematokrit lebih dari 15 % adalah bantuan yang amat berguna.

2. Laparaskopi

Diagnosis definitif dari kehamilan ektopik dapat hampir selalu ditegakkan

dengan melihat organ pelvis secara langsung melalui laparaskopi. Namun,

dengan adanya hemoperitoneum, adhesi, atau kegemukan dapat menjadi

penyulit dari laparaskopi.

18
Gambar 4 : Teknik laparaskopi

Dalam penelitian oleh Samuellson dan Sjovall, didapatkan ada 4 dari 166

kehamilan ektopik yang tidak dapat dilihat oleh laparaskopis karena hal

diatas, sehingga ada kemungkinan 2-5 % terjadi false-positif atau false-

negatif.

3. Human Chorionic Gonadotrophin

Wanita dengan kehamilan ektopik menunjukan adanya kadar hCG dalam

serum, walaupun 85% diantaranya lebih rendah dibandingkan dengan kadar

hCG pada kehamilan normal. Uji hCG tunggal kuantitatif tidak dapat

digunakan untuk mendiagnosis kehamilan ektopik karena tanggal pasti dari

ovulasi dan konsepsi terjadi tidak diketahui pada banyak wanita. Pada

kehamilan yang abnormal seperti kehamilan ektopik ini, kadar hCG biasanya

tidak meningkat seperti seharusnya. Kadar dkk. melaporkan bahwa jika

persentase kenaikan kadar hCG tidak lebih dari 66%, maka kemungkinan

seseorang untuk mempunyai kehamilan abnormal tinggi.

4. Progesteron

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa jumlah progesterone yang dihasilkan

korpus luteum pada kehamilan ektopik lebih sedikit dibandingkan dengan

korpus luteum pada kehamilan normal. Stern dkk. mengukur sampel kadar

19
progesterone pada beberapa wanita hamil di minggu gestasi ke 4, 5, dan 6.

Mereka melaporkan bahwa pada minggu ke-4 dengan kadar kurang dari 5

ng/ml, sensitifitas yang didapat 100% dan spesifitasnya 97% dan menurun

seiring meningkatnya umur gestasi. Bila kadar progesterone lebih dari 25

ng/ml menyingkirkan kehamilan ektopik dengan kepastian 97,4%.

5. Ultrasonography

Dengan menggunakan ultrasonografi abdominal, Kadar dkk. melaporkan

pada tahun 1981 bahwa jika level hCG lebih besar dari 6500 mIU/ml dan

tidak ada kantong gestasi pada uterus, hampir pasti kehamilan ektopik. Tapi,

teknik ini tidak berguna secara klinik, karena banyak wanita (90%) dengan

kehamilan ektopik mempunyai level hCG yang jauh dibawah nilai diatas.

Perkembangan alat dengan transduser transvaginal dengan frekuensi 5.0

sampai 7.0 MHz, lebih mampu melihat lebih tepat organ pelvis pada awal

kehamilan dibandingkan transabdominal. Dengan alat ini biasanya mungkin

bisa untuk mengidentifikasi kantong gestasi intrauterine saat kadar hCG

mencapai 1500 mIU/ml dan selalu bila kadar hCG sudah mencapai 2000

mIU/ml pada sekitar 5 atau 6 minggu setelah haid terakhir. Karena kombinasi

kehamilan intrauterine dan ekstrauterin hampir merupakan kejadian yang

jarang, maka penemuan kantong gestasi intrauterine hampir selalu dapat

menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. Bila kantong gestasi tidak

ditemukan dan kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, lebih mungkin terjadi

kehamilan patologis, apakah itu kehamilan ektopik, atau suatu gestasi

intrauterine tidak viable, dan harus dipikirkan kemungkinannya. Biasanya

massa adneksa dan/atau struktur yang menyerupai kantong gestasi dapat

20
dikenali pada saluran telur saat kehamilan ektopik muncul yang

menghasilkan kadar hCG diatas 2500 mIU/ml.

Gambar 5 : Contoh gambaran USG kehamilan ektopik

Jadi kriteria diagnosis USG dengan menggunakkan transduser

transvagina untuk kehamilan ektopik termasuk : adanya komplek atau

massa kistik adneksa atau terlihatnya embrio di adneksa dapat dideteksi,

dan/atau tidak adanya kantong gestasi dimana diketahui bahwa usia

gestasi sudah lebih dari 38 hari, dan/atau kadar hCG diatas ambang

tertentu, biasanya antara 1500 dan 2500 mIU/ml.

2.7 Diagnosis Banding

1. Appendisitis akut

Daerah yang lunak terletak lebih tinggi dan terlokalisir di fossa iliaka kanan.

Bisa ditemukan pembengkakkan bila ada abses apendiks, namun tidak

terletak dalam di pelvis seperti pada pembengkakan tuba. Demam lebih tinggi

dan pasien terlihat sakit berat. Tes kehamilan menunjukkan hasil negatif.

21
2. Salpingitis

Terjadi pembengkakan dan pembesaran tuba bilateral, demam tinggi dan tes

kehamilan negatif. Dapat ditemukan getah serviks yang purulen.

3. Torsi Tangkai Tumor Ovarium

Teraba massa yang terpisah dari uterus, sedangkan kehamilan tuba umumnya

terasa menempel pada uterus. Perut lunak dan mungkin terdapat demam

akibat perdarahan intraperitoneal. Tanda dan gejala kehamilan mungkin tidak

ditemukan namun ada riwayat serangan nyeri berulang yang menghilang

dengan sendirinya

4. Abortus Inkomplit

Gejala klinik yang dominan adalah perdarahan, umumnya terjadi sebelum

ada nyeri perut. Perdarahan berwarna merah, bukan coklat tua seperti pada

kehamilan ektopik. Nyeri perut umumnya bersifat kolik dan kejang (kram).

5. Pelvic Inflammatory Disease (PID) atau Radang Panggul

6. Endometriosis

2.8 Penatalaksanaan

Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,

yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya

bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti

adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien

harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan

22
perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila

terjadi rupture harus dioperasi.2,9,6,11

2.8.1 Terapi Bedah

Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan

tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif

(biasanya salpingotomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau

laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara

hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,

fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan

teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini

membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa

kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang

hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan

teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil

ektopik yang belum ruptur dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter

transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.

23
Gambar 6 : Terapi bedah menggunakan tehnik laparatomi pada kehamilan ektopik

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada

pasien hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan

antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian

diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik

dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter.

24
Gambar 7 : Linear salpingektomi di permukaan antimesenterik tuba pada kehamilan ektopik di pars

ampullaris.

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih

baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika

diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat isthmus dapat dilakukan

salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat

dilakukan gerakan seperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan

trofoblastik melalui fimbriae.

Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada laparaskopi.

Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada disebelah kanan di E.

Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan ligasi tuba

25
2.8.2 Terapi Farmakologi

Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan

dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari

tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan patensi

dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti

termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik ( misal: methotrexate dan

actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih

jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.

1. Methotrexate

Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka

dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki (1983)

dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi pertama pada kehamilan

ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian methotrexate pada berbagai jenis

kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu, dengan semakin banyaknya keberhasilan

memakai obat, maka mulai diperbandingkan pemakaian methotrexate dengan

terapi utama salpingostomi.

Methotrexate bekerja dengan menghambat sintesis basa purin dan

pirimidin dengan berikatan pada enzim dihidofolat reduktase, sehingga dapat

mengintervensi sintesis DNA dan multiplikasi sel. Sel-sel dengan tingkat

pembelahan tinggi paling sensitif terhadap methotrexate. Berdasarkan sifatnya,

obat ini bekerja pada jaringan trofoblastik, dan juga berefek pada mukosa bukal,

traktus gastrointestinal, kandung kemih, sumsum tulang dan kulit.

Methotrexate yang digunakan adalah 1 mg/kg IM. Walaupun methotrexate

memiliki potensi menimbulkan efek samping toksik yang diagnosis kehamilan

26
ektopik telah ditegakkan dan massa ektopik memiliki dimensi terbesar kurang dari

3.5 cm, terapi methotrexate dapat dijadikan pertimbangan.

Penggunaan methotrexate dalam kehamilan ektopik tergolong baru, oleh

karena itu belum ada protokol standar. Terdapat beberapa cara pemberian, antara

lain pemberian dosis tunggal, dosis variabel, dosis rendah, serta injeksi langsung.

Kegagalan terapi ditandai dengan meningkat, menetap atau gagal tidak

terjadi penurunan kadar β-hCG sebesar 15% pada hari ke 4-7 setelah injeksi. Bila

terjadi, dapat dipikirkan perlunya terapi pembedahan. Pengulangan dosis tunggal

methotrexat juga dapat dijadikan pilihan setelah dilakukan evaluasi ulang

pasien.11

2.9 Prognosis

Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun

dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan

terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada

kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak

berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat

bilateral. Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan

ektopik atau dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka

kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %. Dengan kemajuan

terapi yang ada sekarang, kemungkinan ibu untuk dapat hamil kembali membesar,

namun ini harus didukung kemampuan untuk menegakkan diagnosis dini

sehingga dapat diintervensi secepatnya.2

27
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny.D

 Jenis kelamin : Perempuan

 Usia : 30 tahun

 Pekerjaan : IRT

 Agama : Islam

 Status : Menikah

KELUHAN UTAMA

 Nyeri pada seluruh perut sejak 4 hari yang lalu

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

› Nyeri pada seluruh lapangan perut sejak 4 hari yang lalu. Nyeri seperti

ditusuk-tusuk dan terus menerus.

› Keluar darah dari kemaluan sedikit-sedikit warna merah kehitaman

membercaki celana dalam sejak sekitar 15 hari yang lalu.

› Mual dan muntah (+)

› Keluar jaringan seperti daging (-)

› Keluar jaringan seperti mata ikan (-)

› Pasien tidak haid sejak sekitar 2,5 bulan yang lalu

28
› HPHT : lupa, pasien tidak mengetahui dirinya hamil

› Ini merupakan kehamilan ke-2

› Riwayat keputihan (-), riwayat demam (-), trauma (-)

› Riwayat menstruasi : menarche usia 16 tahun, teratur, lamanya 4-5 hari,

banyaknya 1-2x ganti duk perhari, nyeri haid (-)

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

 Tidak ada riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, HT, DM, alergi

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

 Tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit keturunan, kejiwaan dan

menular.

RIWAYAT OBSTETRI

 G2P1A0H1 gravid 9-10 minggu

 2005, perempuan, 3200 g, cukup bulan, lahir spontan, bidan, hidup

 Sekarang

 Riwayat pekerjaan : IRT

 Riwayat pendidikan : SMA

 Riwayat penggunaan kontrasepsi : pil KB (2009-2015)

 Riwayat imunisasi (-)

 Riwayat kebiasaan : rokok (-), alkohol (-)

PEMERIKSAAN FISIK

29
 KU : Sakit sedang

 Kesadaran : CMC

 VS :

 BP : 110/70 mmHg

 HR : 78 x/menit

 T : af

 RR : 20 x/menit

 Mata : konjungtiva anemis (+/+) , sclera tidak ikterik

 Leher : JVP 5-2cmH2O

 Cor/Pulmo : Dalam batas normal

 Ekstremitas : oedema (-/-), RF (+/+)

STATUS OBSTETRIKUS

 Abdomen :

INSPEKSI : perut tidak tampak membuncit

Palpasi : TFU sukar dinilai, NT(+), NL (+), DM (+)

Perkusi : sukar dinilai

Auskultasi : BU (+) menurun

 Genitalia :

Inspeksi : v/u tenang, PPV (+)

30
Inspekulo : tidak dilakukan

VT bimanual :

- Vagina : tumor (-)

- Porsio : MP, sebesar jempol kaki dewasa, tumor (-), nyeri goyang

(+), OUE tertutup

- CUT : sulit dinilai

- AP : sulit dinilai

- CD : menonjol

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

 WBC : 20.470/mm3 (↑)

 RBC : 1.470.000 /mm3

 HGB : 4,7 g/dL

 HCT : 13% (↓)

 PLT : 244.000/mm3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Plano test  +

 USG

31
DIAGNOSA

G2P1A0H1 gravid 9 - 10 minggu + akut abdomen ec KET + anemia gravis

( Hb =4,7 g/dL)

SIKAP

- Kontrol KU, VS, PPV


- Informed consent
- IVFD RL 2 line
- Siapkan darah PMI 4 unit PRC
- Lapor OK dan anestesi
- Antibiotik skin test (cefoperazone 1 g)

RENCANA

Laparatomi cyto

Jam 16.30 dilakukan laparatomi

Setelah peritoneum dibuka tampak darah dan bekuan darah 1000 cc

32
Dilakukan ekspirasi ternyata sumber perdarahan berasal dari rupture tuba kiri

pars ampullaris. Ukuran 3 x 2 x 1,5 cm.

Kesan : rupture tuba falopii pars ampullaris sinistra

Sumber perdarahan diklem

Rencana : salfingooforektomi sinistra

Dilakukan eksplorasi lanjut

Uterus : bentuk dan ukuran lebih besar dari normal, tuba falopii kanan dan

kedua ovarium bentuk dan ukuran dalam batas normal

Dilakukan salfingooforektomi sinistra

DIAGNOSIS POST OP

P1A1H1 post salfingoovorektomi sinistra ai akut abdomen ec ruptur tuba pars

ampularis sinistra.

FOLLOW UP 11 OKTOBER 2016

S/ nyeri bekas operasi (+), demam (-), pusing (-), mual (+), muntah (-), BAK

(+) via kateter

O/
KU KES TD HR RR T
sedang Cmc 100/70 80 18 af

Mata : konjungtiva anemis (+/+)

Abdomen : Luka operasi tertutup verban, BU (+), NT (+), NL (-), DM(-)

33
Genitalia : V/U tenang, PPV (+)

A/ P1A1H1 post salfingoovorektomi sinistra ai akut abdomen ec ruptur tuba

pars ampularis sinistra.

P/ Kontrol KU, VS

Transfusi 2 unit PRC


IVFD RL dan NaCl 20 tpm (2 line)
Injeksi cefoperazon 2 x 1 gr
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Vit. C 3 x 50 mg
SF 1 x 1
Ca glukonas 1 amp

Lab darah rutin


› HGB : 7,4 g/dL
› WBC : 10.800/mm3 (↑)
› RBC : 2.630.000 /mm3
› HCT : 24% (↓)
› PLT : 142.000/mm3

FOLLOW UP 12 OKTOBER 2016

S/ nyeri bekas operasi (+), demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-) BAK (+)

via kateter

O/
KU KES TD HR RR T
Sedang Cmc 110/70 88 20 af

Mata : konjungtiva anemis (+/+)

Abdomen : Luka operasi tertutup verban, BU (+), NT (+), NL (-), DM(-)

Genitalia : V/U tenang, PPV (+)

34
A/ P1A1H1 post salfingooforektomi sinistra ai akut abdomen ec ruptur tuba

pars ampularis sinistra.

P/ Kontrol KU, VS

Transfusi 2 unit PRC


Ivfd RL dan NaCl 20 tpm (2 line)
Injeksi cefoperazon 2 x 1 gr
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Vit. C 3 x 50 mg
SF 1 x 1
Ca glukonas 1 amp

Lab darah rutin


› HGB : 8,3 g/dL

FOLLOW UP 13 OKTOBER 2016

S/ nyeri bekas operasi (+), demam (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAK

(+)

O/
KU KES TD HR RR T
Sedang Cmc 110/70 86 17 af

Mata : konjungtiva anemis (-/-)

Abdomen : Luka operasi tertutup verban, BU (+), NT (-), NL (-), DM(-)

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P1A1H1 post salfingooforektomi sinistra ai akut abdomen ec ruptur tuba

pars ampularis sinistra.

P/ Kontrol KU, VS

35
Cefixime 2 x 100 mg
Asam mefenamat 3 x 500 mg
Vit. C 3 x 50 mg
SF 1 x 1

Lab darah rutin


› HGB : 10,3 g/dL

36
BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan suatu kasus seorang wanita umur 30 tahun masuk


melalui Poliklinik Kebidanan RSUD Pariaman tanggal 10 Februari 2016 pukul
9.30 WIB .
Pada kasus ini, usia pasien adalah 30 tahun yang merupakan usia produktif
wanita. Usia kehamilan pada pasien adalah 9 – 10 minggu, dimana pada kasus ini
usia kehamilan diketahui melalui anamnesis dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan teori untuk menentukan usia kehamilan, biasanya
menggunakan HPHT. Namun dari anamnesis pasien menyatakan bahwa pasien
lupa hari pertama haid terakhir, tetapi pasien mengatakan bahwa sudah tidak haid
sejak 2,5 bulan yang lalu.
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama berupa nyeri pada seluruh
lapangan perut sejak 4 hari yang lalu. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan terus
menerus. Keluar darah dari kemaluan sedikit-sedikit warna merah kehitaman
membercaki celana dalam sejak sekitar 15 hari yang lalu. Menurut kepustakaan,
KET memiliki gejala klasik berupa trias kehamilan ektopik yaitu amenorea, nyeri
perut, perdarahan ringan melalui vagina. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba
berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba. Penderita dapat jatuh pingsan dan
syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak
terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah
masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi
menyeluruh.
Pada pemeriksaan fisik dari inspeksi didapatkan konjungtiva anemis. Dari
palpasi, dapat dilakukan VT bimanual dimana akan didapatkan nyeri goyang
portio dan cavum douglas menonjol. Selain itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan
dengan inspekulo. Namun, pada kasus Ny. D ini pemeriksaan inspekulo tidak
dilakukan. Pemeriksaan inspekulo dapat dilakukan untuk menilai serviks, tanda-
tanda infeksi, dan cairan dari ostium uteri. Kemungkinan pemeriksaan inspekulo

37
tidak dilakukan karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (inspeksi dan
palpasi), yaitu usia produktif, anemis, dan nyeri perut telah mengarah ke KET.
Berdasarkan kepustakaan, pada pemeriksaan fisik didaptkan tanda-tanda
akut abdomen berupa nyeti tekan, nyeri lepas, defans muscular, dan anemis. Pada
pemeriksaan VT bimanual didapatkan nyeri goyang portio dan cavum douglas
menonjol, hal ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis antara lain konfirmasi menggunakan USG untuk membuktikan bahwa
implantasi dari embrio memang diluar tempat implantasi seharusnya, yaitu di tuba
falopii pars ampularis sinistra.
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan laboratorium, hasil yang didapatkan
adalah Hb 4,7 g/dL (anemia berat). Hasil ini yang menyebabkan pada inspeksi,
pasien tampak anemis. Keadaan ini disebabkan karena adanya perdarahan di
dalam abdomen yang berasal dari ruptur tuba.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis pasien tersebut
adalah G2P1A0H1 gravid 9 - 10 minggu + akut abdomen ec KET + anemia
gravis ( Hb =4,7 g/dL).
Pada kasus ini pasien ditatalaksana secara radikal, yaitu dengan melakukan
salfingooforektomi sinistra (SOS). Selain itu juga perlu dilakukan kontrol keadaan
umum dan tanda vital. Informed consent dilakukan dengan menjelaskan kepada
pasien dan keluarga mengenai penyakit, tatalaksana yang akan dilakukan serta
komplikasi yang mungkin terjadi. Pada kasus ini harus dilakukan laparatomi cito
karena bahaya terhadap ibu.
Sebelum dilakukan laparatomi cito, injeksi antibiotik harus dilakukan
untuk pencegahan infeksi dan meminta keluarga pasien untuk segera
menyediakan setidaknya 4 unit PRC untuk mengganti darah yang hilang akibat
perdarahan pada KET.
Setelah laparatomi dilakukan, tampak ruang abdomen tampak penuh
dengan darah dan bekuan darah. Setelah dilakukan penarikan cairan dengan
suction, tampak ada ruptur tuba pars ampularis sinistra sehingga tindakan yang
harus dilakukan adalah salfingooforektomi sinistra.

38
Berdasarkan kepustakaan, pada kehamilan ektopik terganggu (KET)
dilakukan tindakan pemebedahan berupa laparatomi untuk mengeksplorasi dan
menentukan lokasi rupture, lalu dapat dilakukan beberapa jenis tindakan bedah
yaitu salfingotomi, salfingektomi, ooforektomi, salfingooforektomi, atau
histerektomi. Tindakan salfingotomi dilakukan pada kehamilan ektopik yang
belum mengalami ruptur, sedangkan salfingektomi dilakukan pada kehamilan
ektopik yang mengalami rupture. Salfingooforektomi dilakukan pada rupture tuba
pars ampularis seperti kasus Ny. D atau pada fimbrae. Ooforektomi dilakukan
pada kehamilan dalam ovarium. Histerektomi dilakukan pada kehamilan sevikal
atau interstisial atau kehamilan kornu.
Pada kasus ini setelah dilakukan laparotomi tampak adanya ruptur tuba
pars ampularis sinistra sehingga tindakan yang harus dilakukan adalah
salfingooforektomi sinistra yaitu dilakukan pengangkatan tuba fallopii dan
ovarium sinistra. Setelah operasi selesai, pasien diberikan transfusi PRC sebanyak
4 unit.

39
BAB V

KESIMPULAN

1. Penegakan diagnosis Ny. D sudah sesuai dengan yang semestinya, yaitu

dimulai dari anamnesis, pemeriksaa fisik dan didukung dengan pemeriksaan

penunjang.

2. Penatalaksanaan kasus Ny. D sudah tepat, yaitu dengan laparatomi cito dan

melakukan salfingooforektomi sinistra dan transfusi PRC untuk menaikkan

Hb Ny. D.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Sepilian, Vicken; Ellen W. Ectopic Pregnancy.

www.emedicine.com/health/topic3212.html

2. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi ketiga.

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.2005.hal 323-

338.

3. Wiknjosastro, Hanifa. Gangguan Bersangkutan Dengan Konsepsi. Ilmu

Kandungan edisi kedua. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Jakarta.2005.hal 250-260.

4. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi

pertama. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.

2000.hal 198-210.

5. Della-Guistina, David; Mark Denny. Ectopic Pregnancy. Emergency

Medicine Clinics of North America. Volume 21 number 3. W.B Saunders

Company. August 2003.

6. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and

Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company.

December 2004.

7. Stenchever. Ectopic Pregnancy. Comprehensive Gynecology, 4th ed.

Mosby Inc. 2001.

8. Sowter, Martin; Cindy Farquhar. Ectopic Pregnancy: an update. Current

Opinion in Obstetrics and Gynecology. 2004, 16:289-293.

9. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta

41
10. Lemus, Julio. Ectopic Pregnancy:an update. Current Opinion in

Obstetrics and Gynecology. 2000, 12:359-376.

11. Cunningham, FG et. Al. Reproductive Succes and Failure. Williams

Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange.

Connecticut. 2006.

12. Mycek., Harvey., Champe. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2.

Jakarta. Widya Medika. 2001.

42

Anda mungkin juga menyukai