Anda di halaman 1dari 9

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

RESPON LITOLOGI BATUAN VULKANIK TERHADAP KAJIAN MORFOTEKTONIK


SUB DAS CIKAPUNDUNG BAGIAN HULU KECAMATAN LEMBANG

Supriyadi
Nana Sulaksana
Ismawan
Murni Sulastri
Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadajran
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM. 21 Jatinangor Telp/Fax. (022)7796545 Kode Pos 45363
Email : supriyadizircon94@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian difokuskan untuk mengetahui pengaruh litologi terhadap kajian morfotektonik Sub DAS
Cikapundung Bagian Hulu. Metode yang digunakan meliputi perhitungan Smf dan Vf melalui analisis
data topografi. Secara umum berdasarkan perhitungan kelokan muka pegunungan (SMF) serta
perbandingan lebar-tinggi lembah (VF) dari 10 Sub DAS Cikapundung menunjukan adanya nilai
indikasi patahan aktif kelas tektonik lemah, namun terdapat perbedaan variasi nilai SMF dan VF yang
signifikan menunjukan adanya pengaruh respon litologi terhadap kajian morfotektonik daerah
penelitian. Satuan litologi pasir tufaan (Qyd), tuffa berbatuapung (Qyt), dan endapan kolluvium (Qc)
memiliki nilai Smf dan Vf yang relatif lebih tinggi dibandingkan satuan litologi hasil vulkanik tua tak
teruraikan (Qvu), dan satuan hasil vulkanik muda tak teruraikan (Qyu) yang didominasi oleh lava dan
breksi. Nilai Smf dan Vf yang lebih besar tersebut terjadi akibat adanya faktor respon litologi yang
kurang resisten sehingga proses erosi berlangsung sangat tinggi dan mengubah bentuk lembah sungai
menjadi lebih lebar dengan berbentuk U akibat erosi lateral. Sedangkan nilai Smf dan Vf yang lebih
kecil terjadi akibat adanya faktor respon litologi yang lebih resisten sehingga proses erosi tidak terlalu
tinggi dengan bentuk lembah V dan erosi vertikal. Data keterjadian longsor dari Pusat Survei Geologi
(PSG) tahun 1952-2012 menunjukan satuan litologi Qyd, Qyt, dan Qc memiliki titik longsor paling
banyak dibandingkan di satuan litologi Qvu dan Qyu. Hal ini juga membuktikan bahwa satuan litologi
Qyd, Qyt, dan Qc memiliki sifat resistensi yang lebih rendah dibandingkan satuan litologi Qvu dan
Qyu.
Kata Kunci : Litologi, Morfotektonik, Smf, Vf

1. Pendahuuan
1.1 Latar Belakang
Studi morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan antara struktur
geologi dengan bentukan lahan (Stewart and Hancock, 1994 dalam Hidayat, 2010). Salah satu metode
yang dapat digunakan dalam analisis morfotektonik yaitu dengan perhitungan morfometri, berupa
perhitungan kelokan muka pegunungan (Smf) dan perbandingan lebar-tinggi lembah (Vf). Namun
kedua perhitungan tersebut selain dapat digunakan untuk mengetahui indikasi adanya pengaruh
tektonik aktif juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh litologi.
Cekungan Bandung merupakan cekungan (basin) yang dikelilingi oleh gunung api dengan
ketinggian 650 m sampai lebih dari 2000 meter. Sub DAS Cikapundung merupakan salahsatu sub
DAS yang masih termasuk dalam cekungan Bandung yang bermuara di sungai Citarum. Berdasarkan
ciri-ciri litologi, Cekungan Bandung terbagi atas 4 bagian berdasarkan batuan penyusunnya yaitu:
endapan tersier, hasil gunung api tua, hasil gunung api muda dan endapan danau (Narulita et al., 2008).
Oleh karena itu, parameter Smf dan Vf dapat digunakan sebagai kajian morfotektonik serta
keterkaitannya terhadap respon litologi di daerah penelitian tepatnya di Sub DAS Cikapundung
Bagian Hulu Kecamatan Lembang yang notabene didominasi oleh litologi gunungapi kuarter.

1414
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

1.2 Lokasi Penelitian


Lokasi daerah penelitian secara administratif berada di Kecamatan Lembang Kabupaten
Bandung Barat , Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada koordinat 107°35'40"- 107°44'40"
BT dan -6° 46'00"- 6°53'20" LS dengan luas daerah penelitian sebesar 103,1 km2. Daerah penelitian
termasuk kedalam Lembar Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Lembang ( Lembar 1209 – 314 ),
Lembar Cimahi ( Lembar 1209 – 313 ) dan Lembar Bandung ( Lembar 1209 – 311).
1.3 Geologi Regional
Menurut Silitonga (1973), endapan tertua pada wilayah daerah penelitian secara
regional merupakan endapan hasil vulkanik tua tak teruraikan (Qvu) dengan litologi breksi gunungapi,
lahar, dan lava berselang-seling. Satuan ini berumur Pleistosen Atas dan satuan ini pula disamakan
kepada Formasi Cikapundung oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) dan merupakan bagian dari
Zona Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi oleh Bemmelen(1949).
Selanjutnya, Silitonga (1973) mengatakan bahwa endapan tersebut diikuti oleh Endapan Hasil
Vulkanik Muda Tak Teruraikan (Qyu) dengan litologi pasir tufaan (Qyd) , lapili, breksi, lava, dan
agglomerat, dan tuffa berbatuapung (Qyt). Satuan ini berumur Holosen dan satuan ini disamakan
dengan Formasi Cibeureum dan Formasi Kosambi pada Koesoemadinata dan Hartono (1981) serta
merupakan bagian muda dari Zona Pegunungan Kompleks Sunda Yang Telah Padam pada stratigrafi
oleh Bemmelen (1949). Endapan setelahnya diikuti oleh Endapan Kolovium yang terdiri dari
reruntuhan hasil volkanik tua, endapan ini disamakan dengan Formasi Cikadang pada Koesoemadinata
dan Hartono (1981) Endapan Kolovium dan Endapan Aluvium merupakan satuan yang berumur
Holosen, dimana Endapan Kolovium relatif lebih tua daripada Endapan Aluvium.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis studio yang
menggunakan software Mapinfo dan Global Mapper untuk mengolah data parameter morfometri DAS.
Morfometri DAS dapat diartikan sebagai nilai kuantitatif pada jaringan sungai (Van Zuidam, 1985).
Perhitungan morfometri DAS yang digunakan dalam penelitian ini berupa sinusitas muka gunung
(Smf), dan rasio perbandingan lebar dasar lembah dengan tinggi lembah (Vf) pada sub DAS
Cikapundung.

2.1 Sinusitas muka pegunungan (mountain front sinuosity)


Sinusitas muka pegunungan (mountain front sinuosity) atau Smf merupakan rangkaian
pegunungan yang terdapat pada bagian depan/muka. Sinusitas muka gunung (Smf) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan yaitu, Smf = Lmf/Ls
Keterangan :

Lmf = panjang pegunungan muka sepanjang bagian bawah/lembah.


Ls = panjang secara lurus pegunungan muka.
Sinusitas muka pegunungan merupakan suatu indeks yang mencerminkan keseimbangan
antara gaya/kekuatan erosi yang mempunyai kecendurangan memotong sepanjang lekukan
pegunungan muka dan kekuatan tektonik yang menghasilkan secara langsung pegunungan muka dan
bertepatan dengan zona patahan aktif yang mencerminkan tektonik aktif.
Smf dengan nilai rendah berkaitan dengan tektonik aktif dan pengangkatan secara langsung.
Apabila kecepatan pengangkatan berkurang, maka proses erosi akan memotong pegunungan muka
secara tak beraturan dan nilai Smf akan semakin bertambah. Smf sangat mudah untuk dihitung dari
peta topografi atau foto udara dengan skala besar dan resolusi tinggi. Apabila menggunakan skala
kecil, maka lekukan pegunungan muka yang berbentuk tidak teratur tidak akan tercermin dengan baik.
2.2 Perbandingan Lebar dan Tinggi Lembah
Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height/ Vf)
merupakan nilai perbandingan antara lebar dan tinggi lembah pada suatu daerah.
Nilai Vf tinggi berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan rendah, sehingga sungai akan
memotong secara luas pada dasar lembah dan bentuk lembah akan semakin melebar. Sedangkan nilai

1415
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Vf rendah akan merefleksikan lembah dalam dan mencerminkan penambahan aktivitas sungai, hal ini
berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan (Keller dan Pinter, 1996).

3.Data
Data tertera pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Kelokan Muka Pegunungan (Smf)
Berdasarkan hasil perhitungan nilai kelokan muka pegunungan (Smf) pada daerah penelitian
berkisar antara 1,20–3,60 dengan rata- rata tiap subdas bernilai 1,80 - 3,08 yang menurut El
Hamdouni dkk. (2007) termasuk kedalam kelas 3 yaitu aktifitas tektonik lemah.
Nilai Smf pada sub DAS Ckp6, Ckp9, dan Ckp10 memiliki variasi nilai yang berbeda. Pada
Sub DAS Ckp 6 memiliki nilai Smf terendah yaitu 1,2 dan Smf tertinggi dapat mencapai 3,37.
Sedangkan pada Sub DAS Ckp9 memilki nilai Smf terendah yaitu 2,46 dan Smf tertinggi dapat
mencapai 4,09. Demikian juga pada Sub DAS Ckp10 memilki nilai Smf terendah 2,5 sedangkan Smf
tertingginya dapat mencapai 2,85. Perbedaan nilai Smf yang signifikan tersebut dikarenakan adanya
faktor respon litologi yang mempengaruhi selain dari faktor tektoniknya. Nilai Smf yang kecil lebih
dipengaruhi oleh patahan aktif pada daerah tersebut dengan tingkat erosi yang lebih rendah dengan
bentuk lembah V yang umumnya terjadi pada litologi yang lebih resisten seperti breksi dan lava
(satuan Qvu dan Qyu). Sedangkan nilai Smf yang tinggi lebih dipengaruhi oleh faktor litologi yang
kurang resisten sehingga tingkat erosi lebih tinggi merubah bentuk dari lembah sungai menjadi lebih
U, umumnya Smf yang besar pada daerah penelitian berada pada litologi tuff, tuffan pasiran, dan
kolluvium (satuan Qyt,Qyd,dan Qc).

4.2 Perbandingan Lebar dan Tinggi Lembah (Vf)


Nilai Vf rata- rata dari 10 Sub DAS Cikapundung bernilai 1,19 yang menurut El Hamdouni
dkk. (2007) termasuk kedalam kelas 3 yaitu aktifitas tektonik lemah.
Nilai Vf1 sampai dengan Vf80 umumnya memiliki variasi nilai yang hampir sama atau tidak
banyak selisihnya kecuali pada perhitungan nilai Vf25, Vf26, Vf28, Vf35, Vf36, Vf39, Vf63, Vf71,
dan Vf75 yang memiliki nilai Vf lebih besar. Nilai Vf yang lebih besar tersebut dapat teradi akibat
adanya faktor respon litologi yang kurang resisten sehingga erosi berlangsung sangat tinggi dan
mengubah bentuk lembah sungai menjadi lebih lebar dan berbentuk U.

4.3 Keterjadian Longsor


Gerakan massa tanah/ batuan adalah sebagai perpindahan material pembentuk lereng berupa
batuan, bahan timbunan, tanah, atau materal campuran yang bergerak kearah bawah dan keluar lereng
akibat terganggunya kestabilan material penyusun lereng .Faktor-faktor penyebab lereng rawan
longsor meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng),
antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi
setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture),
adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi
(Sukandar, 1991).
Data Longsor diperoleh dari Pusat Pengembangan Geologi (PSG) Kementrian ESDM dan
survay data lapangan yang kemudian data tersebut diolah menjadi Peta . Berdasarkan titik kejadian
longsor pada daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa dominasi titik longsor berada pada satuan
tuffa pasir (Qyd), satuan tuffa berbatuapung (Qyt), dan endapan kolluvium, hanya beberapa titik saja
yang terjadi pada satuan hasil gunungapi tua tak teruraikan (Qvu) dan satuan hasil gunungapi muda
tak teruraikan (Qvy). Hal ini membuktikan bahwa faktor keterjadian longsor pada daerah penelitian
lebih dipengaruhi oleh litologi. Selain faktor litologi, kemungkinan faktor adanya keberadaan sesar
aktif dan kemiringan lereng juga dapat menimbulkan terjadinya longsor.

1416
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Kesimpulan
Secara umum berdasarkan perhitungan kelokan muka pegunungan (SMF) serta perbandingan
lebar-tinggi lembah (VF) dari 10 Sub DAS Cikapundung menunjukan adanya nilai indikasi patahan
aktif kelas tektonik lemah, namun terdapat perbedaan variasi nilai SMF dan VF yang signifikan
menunjukan adanya pengaruh respon litologi terhadap kajian morfotektonik daerah penelitian. Satuan
litologi pasir tufaan (Qyd), tuffa berbatuapung (Qyt), dan endapan kolluvium (Qc) yang memiliki
resistensi pelapukan dan erosi lebih rendah dicirikan dengan nilai SMF dan VF yang relatif lebih
tinggi dibandingkan satuan litologi hasil vulkanik tua tak teruraikan (Qvu), dan satuan hasil vulkanik
muda tak teruraikan (Qyu) yang didominasi oleh lava dan breksi.

Daftar Pustaka
Anonim. 2001. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Cimahi ( Lembar 1209 – 313 ) Edisi 1 .
Bakosurtanal. Bogor
...............2001. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Bandung ( Lembar 1209 – 311 ). Edisi 1 .
Bakosurtanal. Bogor
..............2011. Peta Rupa Bumi Skala I : 25000 Lembar Lembang ( Lembar 1209 – 314 ) Edisi 1 .
Bakosurtanal. Bogor
Anwar, H.Z., dan Kesumadhama, S., 1991, Konstruksi Jalan di daerah Pegunungan tropis,
Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, PIT ke-20, Desember 1991, hal. 471- 481
El.Hamdouni, R., Irigaray, C., Fernandez, T., Chacón, J., Keller, E. (2007). Assessment of relative
active tectonics, southwest border of Sierra Nevada (southern Spain). Geomorphology 96:
150–173.
Hidayat,Edi.2009. Analisis morfotektonik sesar lembang, Jawa Barat. Master Theses, Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Hirnawan, R. F., 1994, Peran faktor-faktor penentu zona berpotensi longsor di dalam mandala
geologi dan lingkungan fisiknya Jawa Barat, Majalah Ilmiah Universitas Padjadjaran, No.
2, Vol. 12, hal. 32-42.
Keller, E.A., and Pinter, N. 1996. Active Tectonic Earthquake, Uplift and Landscape, Prentice hall,
Upper saddle river, New Jersey

Koesoemadinata, R.P. & Hartono, 1981, Stratigrafi dan Sedimentasi daerah Bandung, Pros. PIT Ke X
IAGI, Jakarta, hal. 318-338.
Narulita, Ida, Arif Rahmat, dan Rizka Maria. 2008. “Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk
Menentukan Daerah Prioritas Rehabilitasi di Cekungan Bandung”. Jurnal Riset Geologi
dan Pertambangan Jilid.18, Nomer.1, Hal 23-35.
Pusat Sumber Daya Geologi.2017. Data Longsor Daerah Lembang dan Sekitarnya. Tidak
dipublikasi
Silitonga. 1973. Peta Lembar Geologi Skala 1:100000 Lembar Bandung. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi : Bandung
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, vol. I A: General Geology of
Indonesia and Adjacement Archipelagoes. Martinus Nijhoff. The Hague.
Van,Zuidam.1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorfologic
Mapping, Smith Publisher, The Haque, Amsterdam

1417
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Peta Geologi Regional Daerah Penelitian Skala 1: 200.000 (Berdasarkan Sebagian Peta
Geologi Skala 1 : 100.000 Lembar Bandung Oleh Silitonga, 1973)

Gambar 2. Metode perhitungan montain front sinuosity (Keller dan Pinter, 1996)

1418
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Metode Perhitungan Rasio Lebar dan Tinggi Lembah (Keller dan Pinter, 1996)

Gambar 4. Peta kejadian longsor tahun 1952- 2017 yang dikorelasikan dengan peta geologi menurut
Silitonga (1973)

Gambar 5. Keterjadian Longsor Di Daerah Penelitian


1419
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 1. Perhitungan Montain Front Sinuosity (Smf)

Sub Lmf Ls
DAS Kode (Km) (Km) Smf
Smf1_1 3,29 1,25 2,63
Smf1_2 2,47 0,74 3,34
1 Smf1_3 2,56 0,87 2,94
Smf2_1 1,88 0,78 2,41
Smf2_2 1,16 0,50 2,32
2 Smf2_3 1,22 0,40 3,05
Smf3_1 2,20 0,91 2,42
Smf3_2 1,88 0,90 2,08
3 Smf3_3 2,98 1,00 3,00
Smf4_1 0,88 0,45 1,97
4 Smf4_2 0,85 0,45 1,87
Smf4_3 1,10 0,70 1,57
Smf5_1 1,67 0,64 2,60
Smf5_2 1,30 0,48 2,72
5 Smf5_3 1,17 0,56 2,10
Smf6_1 2,16 1,80 1,20
Smf6_2 4,31 1,20 3,60
Smf6_3 2,20 1,50 1,47
Smf6_4 2,52 1,20 2,10
Smf6_5 3,52 1,80 1,96
6 Smf6_6 4,04 1,20 3,37
Smf7_1 1,30 0,78 1,68
Smf7_2 1,70 0,73 2,32
7 Smf7_3 1,60 0,75 2,12
Smf8_1 1,86 1,14 1,63
Smf8_2 2,63 1,14 2,31
8 Smf8_3 2,81 1,16 2,43
Smf9_1 3,32 0,81 4,09
Smf9_2 2,71 1,01 2,68
9 Smf9_3 4,36 1,77 2,46
Smf10_1 1,83 0,73 2,50
Smf10_2 3,13 1,10 2,85
10 Smf10_3 1,62 0,61 2,66
Rata- rata 2,44

Tabel 2. Pehitungan Perbandingan Lebar dan Tinggi Lembah (VF)

Eld Erd Vfw Eld Erd Vfw


Kode (m) (m) Esc(m) (m) Vf Kode (m) (m) Esc(m) (m) Vf
Vf1 1649 1700 1600 5 0,07 Vf42 912 924 874 21 0,48
Vf2 1525 1487 1462 44 1,00 Vf43 1024 1000 937 20 0,27
Vf3 1412 1424 1400 17 0,94 Vf44 1024 1024 987 15 0,41
Vf4 1387 1387 1337 68 1,36 Vf45 1075 1075 1049 40 1,54
Vf5 1287 1224 1211 63 1,42 Vf46 1124 1137 1062 10 0,15
Vf6 1674 1724 1650 44 0,90 Vf47 1149 1187 1124 37 0,84

1420
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Vf7 1662 1649 1625 40 1,31 Vf48 1100 1112 1087 17 0,89
Vf8 1937 1937 1875 72 1,16 Vf49 1237 1224 1199 56 1,78
Vf9 1737 1699 1686 33 1,03 Vf50 1074 1074 1049 18 0,72
Vf10 1662 1612 1599 14 0,37 Vf51 899 937 874 99 2,25
Vf11 1482 1400 1387 42 0,78 Vf52 999 999 974 68 2,72
Vf12 1362 1375 1324 47 1,06 Vf53 1024 1024 999 24 0,96
Vf13 1349 1362 1325 76 2,49 Vf54 1062 1062 1024 38 1,00
Vf14 1649 1662 1637 35 1,89 Vf55 1062 1074 1012 13 0,23
Vf15 1700 1687 1649 9 0,20 Vf56 1137 1124 1087 14 0,32
Vf16 1262 1262 1237 33 1,32 Vf57 1199 1237 1162 46 0,82
Vf17 1274 1248 1237 46 1,92 Vf58 1237 1249 1174 10 0,14
Vf18 1099 1100 1087 20 1,60 Vf59 1149 1187 1124 67 1,52
Vf19 1124 1137 111 181 0,18 Vf60 1274 1300 1250 64 1,73
Vf20 1287 1224 1211 63 1,42 Vf61 862 862 849 7 0,54
Vf21 1224 1224 1187 29 0,78 Vf62 912 862 849 30 0,79
Vf22 1337 1287 1274 64 1,68 Vf63 837 824 799 89 2,83
Vf23 1224 1175 1112 36 0,41 Vf64 986 887 862 95 1,28
Vf24 1162 1198 1137 44 1,02 Vf65 962 987 912 44 0,70
Vf25 1162 1162 1137 96 3,84 Vf66 1062 1062 1024 52 1,37
Vf26 1174 1174 1132 132 3,14 Vf67 1100 1112 912 18 0,09
Vf27 1199 1199 1162 92 2,49 Vf68 1212 1187 1175 44 1,80
Vf28 1225 1187 1174 72 2,25 Vf69 987 999 937 25 0,45
Vf29 1212 1250 1199 64 2,00 Vf70 1250 1224 962 10 0,04
Vf30 1325 1312 1287 28 0,89 Vf71 812 812 787 34 1,36
Vf31 1412 1412 1374 62 1,63 Vf72 912 924 874 21 0,48
Vf32 1387 1362 1337 21 0,56 Vf73 1024 1000 937 20 0,27
Vf33 1287 1312 1262 10 0,27 Vf74 1024 1024 987 15 0,41
Vf34 1424 1449 1387 13 0,26 Vf75 1075 1075 1049 40 1,54
Vf35 1687 1687 1675 54 4,50 Vf76 1124 1137 1062 10 0,15
Vf36 1599 1599 1587 43 3,58 Vf77 1149 1187 1124 37 0,84
Vf37 1487 1500 1467 5 0,19 Vf78 1100 1112 1087 17 0,89
Vf38 1287 1312 1262 10 0,27 Vf79 1237 1224 1199 56 1,78
Vf39 1237 1187 1162 188 3,76 Vf80 1074 1074 1049 18 0,72
Vf40 1462 1400 1346 90 1,06 average 1,19
Vf41 812 812 787 34 1,36

1421
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Tabel 3 Catatan Kejadian Longsor Tahun 1952- 2017 (PSG,ESDM.2017)
Position Position Tahun
Daerah Sumber
No latitude longitude Kejadian
1 06°49'46.95"S 107°41'36.19"T 1.952 Lembang PSG- ESDM
2 06°50'48.91"S 107°38'53.08"T 1.954 Cicadas PSG- ESDM
3 06°49'25.75"S 107°39'25.75"T 1.967 Lembang PSG- ESDM
4 06°49'29.02"S 107°36'49.23"T 1.968 Lembang PSG- ESDM
5 06°48'33.58"S 107°37'18.58"T 1.980 Lembang PSG- ESDM
6 06°48'22.70"S 107°38'06.48"T 1.981 Lembang PSG- ESDM
Gudang
06°49'51.84"S 107°36'05.21"T 1.983 PSG- ESDM
7 Kahuripan
8 06°49'29.02"S 107°36'49.23"T 1.968 Cikahuripan PSG- ESDM
9 06°51'48.78"S 107°37'06.86"T 2.009 Ciumbuleuit PSG- ESDM
10 06°49'46.95"S 107°41'36.19"T 1.952 Lembang PSG- ESDM
11 06°49'21.70"S 107°40'16.14"T 2.011 Cibodas PSG- ESDM
12 06°47'18.10"S 107°38'21.62"T 2.011 Cikole PSG- ESDM
13 06°49'53.10"S 107°42'05.76"T 2.012 Suntenjaya PSG- ESDM
14 06°48'48.5"S 107°42'48.1"T 2.017 Maribaya Survay
15 06°51'09.0"S 107°37'26.4"T 2.016 Ciumbuleuit Survay

1422

Anda mungkin juga menyukai