Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah


yang mengenai parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang,
dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan
kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan lain-lain. Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedang
keradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia,
radiasi, obat-obatan dan lain- lain) lazimnya disebut pneumonitis.
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan
tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini bersifat
sekunder yang biasanya menyertai penyakit ISPA (Infeksi Salurann
Pernapasan Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan
daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada
anak-anak dan orang tua.
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu :
a. pneumonia lobaris
b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)
c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :


1. Usia kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat
- Chest indrawing (subcostal retraction)
- Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)
b. Pneumonia sangat berat
- tidak bisa minum
- kejang
- kesadaran menurun
- hipertermi / hipotermi
- napas lambat / tidak teratur
2. Usia 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia
bila ada napas cepat
b. Pneumonia Berat
- Chest indrawing
- Napas cepat dengan laju napas
> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
c. Pneumonia sangat berat
- tidak dapat minum
- kejang
- kesadaran menurun
- malnutrisi.

B. ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan
sampai 2 tahun, . Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai
dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan
penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman
atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.
Umur Bakteri Patogen
Neonatus E. Coli, Streptococcus group B, Listeria
Monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae
1-3 bulan Chlamydia trachomatis
Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
Prasekolah Pneumoniae
Haemophillus influenzae B, Streptococcus
Pneumoniae
Staphylococcus aureus
Usia sekolah Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
Pneumoniae
Streptococcus pneumoniae9

C. PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi,
aspirasi, hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga
terjadi infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami peradangan dan
berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah
putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian alveoli
yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan
infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat
(consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing
dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya
infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan
dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae
sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya
Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan
invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan
menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang
masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari
seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.2,14 Proses radang
dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil


4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman
atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian
kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau
penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari
sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak
terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
 Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis
bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala
dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam,
menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-
tanda itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas
cuping hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas
interkosta dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai
pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia
berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat
bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup,
fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi.
Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam
keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik
karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada perkusi
biasanya karena adanya efusi pleura.
Kriteria takipneu berdasarkan usia, menurut WHO sebagai berikut :
·
- usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit
- usia 2 bulan -1 tahun : ≥ 50 kali per menit

· - usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali per menit.

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.


Ronkhi basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak
terdengar pada bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume
thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.
E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diperhatikan keluhan utama. Pasien
bronkopneumonia biasanya datang dengan keluhan batuk atau sesak napas.
Maka perlu ditelusuri batuk dan kesulitan bernapas telah dialami berapa
lama (hari), sesak napas dengan pola seperti apa (apakah saat aktivitas berat,
setelah terpapar debu, mengikuti batuk, lebih sering malam hari atau siang
hari, disertai bunyi tiap bernapas), dan pencetus sesak napas (aktivitas,
makanan, batuk) serta apakah disertai dengan whoops atau muntah atau
sianosis sentral.
Riwayat dari pasien juga perlu diketahui, seperti:
* Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam keluarga
* Gejala lain (demam, pilek, wheezing, dll)
* Riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba
* Riwayat infeksi HIV
* Riwayat imunisasi: BCG, DPT, campak, Hib
* Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll) pada pasien atau keluarga.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak
perkusi, suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan
bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak jelas
terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan
kelainan.
Pemeriksaan fisik pada akan diperoleh temuan klinis khususnya
pada pemeriksaan thorax.
a. Inspeksi
Pada pemeriksaan pandang atau inspeksi pasien bronkopneumonia,
terutama yang sedang mengalami sesak akan ditemukan pernapasan
cuping hidung, retraksi otot epigastrik, intercostal dan suprasternal.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distress pernapasan
adalah retraksi dinding dada; seperti yang disebutkan sebelumnya
merupakan tanda adanya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan,
orthopnea; dan pergerakan pernapasan yang berlawanan. Retraksi lebih
mudah dilihat pada bayi baru lahir yang jaringan ikat intercostalnya
lebih tipis dan lebih lemas dibandingkan anak yang lebih besar.
Kontraksi yang terlihat dari otot pernapasan tambahan lainnya
adalah otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraclavicular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat
dipercaya akan adanya sumbatan jalan napas. Pada bayi-bayi muda,
kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbling”, yang dapat diamatai
dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegak
lurus dengan area suboccipital. Yang perlu diperhatikan adalah apabila
tidak ada ada tanda distress pernapasan yang lain pada “head
bobbling”, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.
Sedangkan pengembangan cuping hidung merupakan tanda
yang sensitif terhadap adanya distress pernapasan dan dapat terjadi
apabila inspirasi memendek secara abnormal. Pengembangan hidung
memperbesar jalan napas/ pasase nares anterior dan menurunkan
resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring
selama inspirasi.
b. Palpasi
Dari pemeriksaan palpasi biadanya ditemukan fremitus vokal yang
simetris. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi parenkim paru.
Meskipun terdapat konsolidasi kecil pada paru yang terkena, hal
tersebut tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas
masih terbuka. Namun bila terjadi perluasan infeksi paru (misalnya
kolaps paru atau atelektasis) maka transmisi energi vibrasi pada
pemeriksaan fremitus akan menurun.
c. Perkusi
Perkusi paru pada bronkopneumonia tidak ditemukan kelainan apa
pun.
d. Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi pada bronkopneumonia ditemukan ronkhi.
Ronkhi nyaring khas ditemukan pada bronkopneumonia.
Ronkhi terjadi akibat gelembung-gelembung udara melewati
sekret pada jalan napas atau jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Ronkhi dideskripsikan sebagai bunyi non-musikal, tidak kontinyu,
interupsi pendek dan berulang. Ronkhi kasar maupun halus terjadi
tergantung dari mekanisme terjadinya. Dapat ditemukan pula suara
grunting (merintih) pada bayi muda, suara napas menurun, dan suara
napas bronkial.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan lekositosis
hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil
pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil
mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas
untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada
infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun
hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-anak kecil.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral
dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru.
Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien
bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan
pada satu atau beberapa lobus disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial. Jika difus (merata) biasanya disebabkan
oleh Staphylokokus pneumonia.

Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak


infiltrat pada paru kanan

b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan
tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan
sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan
non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis
dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi
respon terapi antibiotik.
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi
pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi
nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya
pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab
spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri
dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus.
1) Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum ditujukan untuk memperbaiki keadaan umum
pasien, yang biasanya datang dengan keadaan sesak napas dan lemah.
 Pemberian oksigen
Pemberian oksigen ini ditujukan untuk semua anak dengan pneumonia
berat. Bila perlu gunakan pulse oxymetri sebagai panduan terapi
oksigen. Oksigen diberikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%.
Oksigen yang diberikan sebanyak 2 – 4 liter per menit, berlangsung
dengan pemantauan saturasi oksigen, hingga sesak napas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah (AGD) > 60 torr.
Oksigen dapat diberikan menggunakan nasal prongs, kateter
nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal prongs adalah
metode terbaik untuk mengantarkan oksigen pada bayi muda. Masker
wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus
terus-menerus tersedia setiap saat.
Bila telah dilakukan prosedur tersebut selama beberapa hari,
perlu juga untuk melakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila
saturasi tetap stabil > 90%, sebab pemberian oksigen setelah saat ini
tidak berguna.
 Rehidrasi
Pasien dengan sesak napas biasanya akan mengalami hipoksemia,
hipokarbia, hingga asidosis. Untuk itu perlu pemasangan akses
intravena atau infus guna rehidrasi keadaan umum yang lemah dan
mengkoreksi ketidakseimbangan elektrolit. Sedangkan asidosis dapat
diberikan bikarbonat.

2) Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus ditujukan untuk masing-masing pneumonia,
tergantung berat-ringannya kondisi klinis/ diagnosis.
a. Pneumonia ringan
 Rawat jalan
 Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (100 mg/kg BB/kali) 3 kali
sehari selama 3 hari.
b. Pneumonia berat
o Terapi oksigen
Sesuai penatalaksanaan umum di atas.
o Terapi antibiotik
 Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan
selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di
rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga
kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
 Pada kepustakaan lainnya penggunaan Ampisilin secara umum
dengan dosis sebagai berikut:
o 100-400 mg/Kg/hari I.M atau I.V dosis terbagi per 6-8 jam
o 50-100 mg/Kg/hari per oral dosis terbagi per 6-8 jam
o Infeksi berat: 200-400 mg/Kg/hari I.M atau I.V terbagi
dalam 6-8 jam.
 Sedangkan adapun penggunaan Ampisilin untuk neonatus
dengan menurut usia dan berat badan:
o < 7 hari
* < 2 kg: 50-100 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam
secara I.M atau I.V
* >2 kg: 75-150 mg/Kg/hari terbagi dosis per 8 jam
secara I.M atau I.V
o > 7 hari
* < 1,2 kg: 50-100 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8
jam secara I.M atau I.V
* 1,2 – 2 kg: 75-150 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8
jam secara I.M atau I.V
* >2 kg: 100-200 mg/Kg/hari terbagi dosis per 6-8 jam
secara I.M atau I.V
 Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan,
atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
 Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol
atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson
(80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
 Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila
memungkinkan buat foto dada.
 Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah
untuk pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan
gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15
mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu.
o Terapi simptomatik
 Bronkodilator
Bila ditemukan adanya wheeze, dapat diberikan bronkhodilator
kerja cepat.
 Obat batuk
Keluhan batuk yang menyertai sesak napas saat pasien datang
dapat diberikan obat batuk dari golongan mukolitik, dan
ekspektoran.
Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat
dikeluarkan oleh anak, dapat dibantu dikeluarkan dengan alat
pengisap secara perlahan.
 Antipiretik
Pilihan obat:
- Parasetamol
Pemberian parasetamol oral harus dibatasi pada anak umur
≥ 2 bulan yang menderita demam ≥ 39° C dan gelisah atau
rewel karena demam tinggi tersebut. Anak yang sadar dan
aktif kemungkinan tidak akan mendapatkan manfaat
dengan parasetamol. Dosis parasetamol 15 mg/kgBB per 6
jam.
 Cairan
Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai
umur anak, tetapi perlu berhati-hati terhadap kelebihan
cairan/overhidrasi.
Kebutuhan total cairan per hari seorang anak dihitung dengan
formula berikut:
100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, lalu 50 ml/kgBB untuk 10
kg berikutnya, selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan
kg BB-nya. Sebagai contoh, seorang bayi dengan berat 8 kg
mendapatkan 8 x 100 ml = 800 ml setiap harinya, dan bayi
dengan berat 15 kg (10 x 100) + (5 x 50) = 1250 ml per hari.
Berikan anak sakit cairan dalam jumlah yang lebih banyak
daripada jumlah di atas jika terdapat demam (tambahkan cairan
sebanyak 10% setiap 1°C demam).

Tabel 5. Kebutuhan cairan rumatan. [Sumber:16]

Selain pemberian cairan intravena, intake oral juga perlu


terjamin. Menganjurkan untuk pemberian ASI dan cairan oral
lainnya serta makanan padat.
- Jika anak tidak bisa minum, maka pemasangan pipa
nasogastrik (NGT) dapat dipertimbangan dan diberikan
cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika
asupan cairan oral tercukupi, tidak dianjurkan memberikan
makanan lewat NGT karena akan meningkatkan risiko
pneumonia aspirasi.
- Jika anak sudah makan makanan padat, anak perlu dibujuk
untuk makan segera setalah anak bisa menelan makanan.
Makanan diberikan sesuai kebutuhannya dan sesuai
kemampuan anak dalam menerimanya.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi.

H. DIAGNOSA BANDING
Berikut ini merupakan diagnosa banding anak umur 2 bulan-5 tahun yang
datang dengan batuk dan atau kesulitan bernapas:
DIAGNOSIS GEJALA YANG DITEMUKAN
Pneumonia - Demam
- Batuk dengan napas cepat
- Crackles (ronki) pada auskultasi
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Merintih (grunting)
- Sianosis
Bronkiolitis - Episode pertama wheezing pada anak umur < 2
tahun
- Hiperinflasi dinding dada
- Ekspirasi memanjang
- Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
- Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator
Asma - Riwayat mengi (wheezing) berulang
- Ekspirasi memanjang
- Terdengar mengi atau suara napas menurun
- Membaik dengan pemberian bronkodilator
Gagal Jantung - Peningkatan tekanan vena jugularis
- Denyut apeks bergeser ke kiri
- Irama derap
- Bising jantung
- Crackles /ronki di daerah basal paru
- Pembesaran hati
Penyakit jantung - Sulit makan atau menyusu
bawaan - Sianosis
- Bising jantung
- Pembesaran hati
Efusi/empiema - Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intra
toraks
- Pekak pada perkusi
Tuberkulosis (TB) - Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
- Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm, pada keadaan
imunosupresi ≥ 5 mm)
- Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan
menurun
- Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- Batuk kronis (≥ 3 minggu)
- Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik. Pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang
Pertusis - Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah,
- sianosis atau apnu
- Bisa tanpa demam
- Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
- Klinis baik di antara episode batuk
Benda asing - Riwayat tiba-tiba tersedak
- Stridor atau distres pernapasan tiba-tiba
- Wheeze atau suara pernapasan menurun yang
bersifat fokal
Pneumotoraks - Awitan tiba-tiba
- Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
- Pergeseran mediastinum

I. PROGNOSIS
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak
kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3%
sampai 5%. Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang
lebih tinggi.

J. PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap
kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT
(Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4
bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada
balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak
juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan
polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,
menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan
sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat
mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau
amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi
antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada
anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang
diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan
dipantau selama 10 hari ke depan.
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita,
mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini
dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti
perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa :
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik
selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat
agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.

PATHWAY

Anda mungkin juga menyukai