Dalam teori ilmu ekonomi, produk pertahanan sering juga disebut
sebagai barang publik murni (pure public good). Karena karakternya
tersebut, maka penyelenggaraannya baik mulai dari perencanaan, pengadaan, produksi, pengiriman, hingga layanan purna jual tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Produk industri pertahanan juga merupakan produk yang bersifat non-excludable dan non-rivalry. Non-excludable berarti semua orang dapat menerima manfaatnya tanpa terkecuali, sedangkan non-rivalry berarti tidak ada persaingan dalam penerimaan manfaatnya. Penambahan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat A misalnya, tidak akan berdampak pada pengurangan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat B.
Dalam analisis pasar, kita bisa membagi sektor pertahanan menjadi
dua sisi besar, yakni supply atau penawaran yang diperankan oleh industri pertahanan, dan demand atau permintaan yang diperankan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pertahanan. Hubungan antara pemerintah dan industri pertahanan sesungguhnya sangat krusial, karena terkait barang-barang strategis yang sangat menentukan posisi Indonesia di peta kekuatan internasional. Hubungan tersebut bukan hanya sekedar antara pembeli dan penjual pada umumnya, namun terkait hal ini pemerintah juga memiliki peran ganda lainnya, yakni sebagai sponsor dan regulator industri pertahanan.
Peran pertama pemerintah adalah sebagai pelanggan barang dan
jasa yang diproduksi oleh industri pertahanan. Bagi setiap perusahaan industri pertahanan yang menawarkan barang yang sangat spesifik, tentunya transparansi pemerintah terkait produk apa saja yang hendak dibeli akan sangat dibutuhkan. Industri pertahanan sangat bergantung terhadap hal tersebut, karena pemerintah adalah satu-satunya pembeli di dalam negeri, dengan karakteristik pasar yang monopsoni.1 Transparansi
1 Heidenkamp et al., The Defense Industrial Triptych, hlm. 21-22.
pemerintah dalam perencanaan pengadaan Alpalhankamnya dapat membantu proses konsolidasi industri pertahanan.
Dengan perencanaan pembelian yang transparan dan konsisten
dari pemerintah, industri pertahanan dapat mengusulkan produk yang sesuai, menghitung besar permintaan di masa depan, merampingkan organisasi, atau memfokuskan pendanaan untuk aktivitas riset dan pengembangan produk tertentu. Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) terus mendorong upaya dan proses menuju transparansi pengadaan dan kebutuhan militer. Salah satu tugas dan wewenang KKIP adalah melakukan sinkronisasi penetapan kebutuhan Alpalhankam antara pengguna dan industri pertahanan.2 Biasanya, proses yang ditempuh KKIP adalah dengan mengundang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diwakili oleh panglima TNI sebagai anggota dari KKIP, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mewakili seluruh BUMN terkait, juga perwakilan industri pertahanan untuk duduk bersama. Dalam pertemuan tersebut akan dibahas jenis Alpalhankam seperti apa yang dibutuhkan TNI dan bagaimana industri bisa memenuhinya.
Pemerintah, dalam peran lainnya sebagai sponsor industri
pertahanan, yakni melindungi, memberdayakan, dan mempromosikan industri pertahanan dengan menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsinya sebagai pelindung negara. Hal ini didorong oleh posisi industri pertahanan sebagai industri yang khas, yakni kontribusinya dalam menegakkan keamanan dan kedaulatan negara. Hal ini tentu saja berbeda dari peran pemerintah sebelumnya sebagai pelanggan, yang hanya menyoroti dimensi hubungan komersial dari proses jual-beli produk pertahanan.
Peran ketiga yang dimiliki pemerintah terhadap industri pertahanan
adalah sebagai regulator. Regulasi bermakna mekanisme kontrol yang diterapkan pemerintah terhadap industri. Sebagai sektor yang menyokong
2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, Pasal 21.
pertahanan negara, umumnya industri pertahanan mendapat perlakuan dan aturan khusus yang lebih longgar dibanding industri lain. Walaupun demikian, juga terdapat beberapa aturan yang justru membatasi industri pertahanan, lebih berat dari sektor lain. Terkait regulasi ini, pemerintah memberlakukan berbagai sistem kontrol, yakni kontrol informasi, kontrol ekspor dan impor, kontrol kerjasama dalam dan luar negeri, serta sistem kontrol lainnya yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang no.16 tahun 2012 tentang industri pertahanan.
Proses pengadaan Alpalhankam dilakukan secara berjenjang,
dimulai dengan melibatkan end user yaitu Mabes TNI, untuk menentukan spesifikasi teknis alpalhankam yang dibutuhkan, kemudian dikoordinasikan dengan TNI-AD, TNI-AU, dan TNI-AL guna memastikan kemampuan agar dapat dipakai dalam operasi terpadu (interoperatibility). Mekanisme proses pengadaan Alpalhankam berjalan secara bottom-up dengan melibatkan pengguna dan Mabes TNI yang diolah Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) di Kemhan. Hasil TEP kemudian diverifikasi untuk memelihara transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan untuk menghindari penyimpangan dalam pengadaan dengan mekanisme pengawasan dan pengendalian. Pengawasan dan pengendalian dilakukan oleh tim HLC, Tim Pencegahan dan Penyimpangan Pengadaan Barang dan Jasa (TKP3B) yang terdiri dari wakil-wakil dari Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), Lembaga Kebijakan Pembelian dan Pengadaan barang dan jasa (LKPP), Itjen Kemhan, dan Mabes TNI.3
Setelah mencapai proses kontrak pembelian (belum efektif) pada
tingkat Kemhan, hasilnya dikirim ke DPR RI melalui komisi I DPR RI untuk memperoleh persetujuan. Setelah itu, menyelesaikan perjanjian pinjaman antara pemerintah dengan lembaga peminjam lewat Kementerian Keuangan, dilanjutkan pembukaan Letter of Credit (LC) dari Bank Indonesia yang menandakan bahwa kontrak sudah efektif. Proses 3Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Pertahanan: Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 762 – 763. selanjutnya adalah menunggu waktu penyerahan Alpalhankam yang dilakukan oleh produsen.
Gambar 1. Bagan Pengadaan Alpalhankam dan Stakeholder yang Terlibat
Agar dapat bertindak responsif namun tetap efisien, banyak
perusahaan yang mulai menjalin kerjasama dengan perusahaan di luar industrinya secara outsourcing, sehingga interaksi yang terjadi tidak lagi hanya antara perusahaan dan konsumen, namun juga antar sesama perusahaan. Dunia perindustrian yang semakin ramai berimbas pada semakin rumitnya hubungan antar sesama pemasok dan perusahaan industri dalam kegiatan outsourcing ini, sehingga dibutuhkan kemampuan handal dalam mengelolanya. Kondisi hubungan jaringan yang rumit antar pemasok dan perusahaan industri yang saling tumpang tindih itu biasa disebut dengan jaringan pasok, namun lebih umum dikenal sebagai rantai pasok. Strategi tersebut tentunya akan sangat membebani keuangan perusahaan apabila tidak dikelola dengan baik. Sebaliknya, dengan pengelolaan yang baik justru strategi ini akan memberi banyak manfaat bagi perusahaan. Implementasi strategi manajemen rantai pasok yang tepat akan mampu menekan banyak sekali biaya logistik dalam konteks pengeluaran biaya operasional. Dengan mengurangi biaya-biaya seperti gaji karyawan outsourcing, biaya maintenance peralatan di luar tools utama perusahaan, serta biaya penyimpanan material logistik dan sebagainya, akan mengurangi beban finansial dan secara tidak langsung mampu meningkatkan kemampuan daya saing perusahaan. Untuk bisa memenangkan persaingan pasar, atau setidaknya dapat bertahan dalam persaingan, maka suatu perusahaan harus mampu menyediakan produk yang: murah, berkualitas, tepat waktu, dan variatif.
Jika perusahaan lead integrator harus dimiliki oleh negara, lain
halnya dengan industri pendukung yang bertugas sebagai pemasok, baik bahan mentah, bahan setengah jadi, maupun komponen cadangan dan pendukung, kepemilikannya diperbolehkan atas nama swasta. Di Indonesia terdapat banyak Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) yang memiliki kemampuan untuk memproduksi komponen penunjang, pendukung, ataupun bahan baku. Perusahaan-perusahaan seperti CV Sari Bahari, PT Daya Radar Utama, PT Palindo, PT Infoglobal, dan lain- lain diharapkan menjadi bagian dari cluster industri pertahanan di negara kita. Di luar daftar tersebut juga masih banyak perusahaan-perusahaan berjenis UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang juga menjadi pemasok bagi perusahaan-perusahaan lead integrator berupa kiriman bahan baku dan material setengah jadi.
Keberadaan industri-industri tersebut berada pada satu rantai
pasokan raksasa, bersama dengan BUMN khusus industri pertahanan. Oleh karenanya, keberlangsungan mereka memiliki ketergantungan yang besar terhadap kondisi permintaan produk pertahanan khususnya di dalam negeri, karena memiliki target end user yang sama. Setiap aliran informasi, aliran barang, serta aliran uang haruslah mampu berkompromi guna memenuhi setiap kepentingan dari para stakeholder terkait.