PENDAHULUAN
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat
pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Kata
ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang artinya kuning. Ikterus
sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata.
Derajat peningkatan bilirubin dapat diperkirakan melalui pemeriksaan fisik. Ikterus
yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan jika ini terjadi konsentrasi
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mungkin telah mencapai angka 7 mg/dl.1,2
Ikterus sering terjadi akibat penyakit hati akut maupun kronis, atau penyakit
traktus bilier, dan lebih jarang akibat penyakit hemolitik. Penyebab tersering ikterus
pada dewasa adalah dekompensasi dari penyakit hati kronis yang sudah ada
sebelumnya, hepatitis alkoholik, sepsis dan gangguan hemodinamik serta penyakit
batu empedu. Ikterus pada pasien dewasa dapat disebabkan oleh variasi luas
penyakit-penyakit mulai dari yang ringan hingga mengancam nyawa. Pembagian
diagnosis banding menjadi pre hepatik, hepatik, dan post hepatik dapat membantu
tatalaksana yang lebih baik.3,4
Sebelum tahun 2000, hepatitis virus merupakan penyebab ikterus pada 85-
90% pasien usia lebih kecil dari 30 tahun. Setelah meningkatnya imunisasi hepatitis A
dan B, hepatitis virus lebih sedikit menyebabkan ikterus hingga 8,8%. Pada pasien
ikterus dengan usia antara 40-60 tahun, penyakit hati alkoholik adalah diagnosis yang
umum, yaitu pada 50-70%. Pada pasien usia 60-80 tahun tanpa riwayat transfusi
darah, penyalahgunaan alkohol, kontak dengan pasien ikterik, atau kecurigaan obat
1
tertentu, diagnosis pada lebih dari 80% adalah batu empedu dan komplikasinya atau
keganasan pada pankreas. Hepatitis kronis adalah penyebab ikterus pada 5% pasien di
luar batas usia tersebut. Ikterus diinduksi obat terjadi pada kurang dari 5% individu.5
2
BAB 2
Sistem bilier terdiri atas organ-organ dan duktus atau saluran (duktus bilier,
kandung empedu, dan struktur yang berhubungan) yang terlibat dalam produksi dan
transporasi empedu. Empedu yang dihasilkan hepatosit akan disekresikan ke dalam
kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak
di hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi. Saluran
kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang secara bertahap bila saluran
empedu membesar. Saluran empedu intrahepatik secara perlahan menyatu
membentuk saluran yang lebih besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan
segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk
sebuah saluran di anterior dan posterior yang bergabung membentuk duktus hepatikus
kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1 cm di luar hati.
Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus
hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus sistikus dan kandung
empedu, bergabung dengan duktus hepatikus membentuk duktus koledokus yang
mengalirkan empedu ke dalam duodenum. Ini merupakan sistem bilier ekstrahepatik.
Biasanya panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dengan diameter sekitar 4-12 mm.1,5
3
menyebabkan penyumbatan pada duktus sistikus. Leher adalah segmen runcing dari
infundibulum yang sempit dan bergabung dengan duktus sistikus untuk kemudian
bergabung dengan duktus hepatikus membentuk duktus koledokus. Susunan anatomi
sistem bilier ini dapat dilihat pada gambar 1.4
4
dari pergantian hemoprotein seperti mioglobin dan sitokrom yang ditemukan pada
jaringan di seluruh tubuh. Rata-rata usia sel darah merah adalah 120 hari, setelahnya
sel darah merah difagosit oleh makrofag dalam sistem retikuloendotelial. Selama
proses tersebut, hemoglobin dipecah menjadi globin dan hem, sebuah tetrapirol
siklik.1,2
5
Gambar 2.2. Metabolisme bilirubin3
6
terkonjugasi lalu dikirim melewati membran plasma apikal ke kanalikulus bilier
melalui ATP-dependent multidrug resistant-associated protein 2 (MRP2). Bilirubin
terkonjugasi tetap tidak berubah dalam sistem bilier dan usus halus (sebagian kecil
bilirubin tidak terkonjugasi dapat diserap kembali dan memasuki sirkulasi
enterohepatik) hingga mencapai kolon di mana bakteri menghidrolisis dan mereduksi
bilirubin menjadi urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan dalam feses. Dalam
kolon, sejumlah urobilinogen dan derivatnya diserap kembali, diambil oleh hati dan
diekskresikan kembali atau masuk ke sirkulasi sistemik serta difiltrasi di ginjal.
Ginjal juga dapat mengekskresikan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi.3
7
BAB 3
PATOFISIOLOGI IKTERUS
8
3.1 Fase Pre Hepatik
3.1.1 Pembentukan Bilirubin
Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein hem
lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein
hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim heme
oxygenase. Enzim lain, biliverdin redutakse, mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir
fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama
peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat
pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis
kurang penting.1,8
Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transpornya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa
keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotik tertentu, salisilat
berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.1
9
Tabel 3.1. Penyebab hiperbilirubinemia terisolasi7
Patofisiologi Penyakit
Peningkatan produksi Hemolitik
1. Kongenital
a. Kerusakan membran : sferositosis,
eliptositosis
b. Kerusakan enzim : defisiensi glucose 6
phosphate dehydrogenase dan pyruvate
kinase
c. Hemoglobinopati : anemia sel sabit
2. Didapat
a. Hemolisis imun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Eritropoiesis tidak efektif
1. Defisiensi B12, asam folat, thalassemia , anemia
defisiensi besi berat
10
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan
bilirubin melalui transpor yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
pengambilan albumin.1
3.2.2. Konjugasi
11
Tabel 3.2. Penyakit hepatoseluler yang menyebabkan ikterus7
Penyebab
1. Hepatitis virus a. Hepatitis A, B, C dan E
b. Virus Epstein-Barr
c. Cytomegalovirus
d. Herpes simpleks
2. Alkohol
3. Hepatitis
autoimun/overlap
syndrome
4. Obat-obatan a. Tergantung dosis : overdosis parasetamol
b. Idiosinkratik : isoniazid
5. Toksin lingkungan Vinyl chloride, carbon tetrachloride, bush tea, kava
kava, jamur
6. Penyebab metabolik a. Penyakit Wilson
b. Hemokromatosis
c. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
d. Defisiensi α1 antitripsin
7. Penyebab vaskuler a. Sindrom Budd-Chiari
b. Hepatitis iskemik
12
mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan
larut dalam empedu cair.1,7
Ikterus post hepatik terjadi akibat gagalnya jumlah yang adekuat dari empedu
sampai ke duodenum, akibat gangguan sekresi kanalikuler atau akibat obstruksi aliran
empedu pada level mana pun. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin terkonjugasi
meningkat dalam serum, dan keadaan terhambatnya aliran empedu tersebut disebut
dengan kolestasis.7
13
Tabel 3.3. Penyebab ikterus kolestatik7
BAB 4
14
PENDEKATAN DIAGNOSIS IKTERUS
Gejala lain yang berhubungan seperti penurunan berat badan atau adenopati
dapat mengarahkan pada diagnosis tertentu termasuk keganasan. Memar atau
perdarahan mungkin merupakan disfungsi hati berat yang telah mengganggu produksi
faktor pembekuan. Pembesaran lingkar perut dapat disebabkan oleh asites dan edema
perifer akibat sumbatan aliran balik vena dari ekstremitas bawah atau
hipoalbuminemia.10,11
15
bawah lidah. Pemeriksaan kulit harus mencatat ada tidaknya ikterus dan mencari
petunjuk penyebabnya. Warna kuning seperti jerami tampak pada pasien ikterus
hemolitik dan anemia pernisiosa, kuning kehijauan tampak pada ikterus obstruktif,
kuning keabu-abuan pada sirosis hepatis. Stigmata hati, bekas suntikan jarum perlu
diperhatikan. Hematom yang besar juga dapat menjadi penyebab ikterus saat ia
diserap kembali. Tanda memar atau perdarahan harus dicatat. Pemeriksaan abdomen
meliputi kontur abdomen, adanya asites, organomegali, dan nyeri tekan.
Hepatomegali dapat berkaitan atau tidak berkaitan dengan penyakit hati. Nyeri tekan
kuadran kanan atas berhubungan dengan hepatitis akut atau penyakit batu empedu.
Splenomegali mengarahkan kecurigaan pada hipertensi porta dari sirosis atau akibat
keganasan.13,14
16
Gambar 4.1. Alur Diagnosis Pasien dengan Ikterus8
17
Pada umumnya, pendekatan terbaik untuk menelusuri kemungkinan obstruksi
bilier adalah dengan metode pencitraan. Ultrasonography (USG) abdomen di kuadran
kanan atas sensitif dan spesifik dalam mendeteksi trauma bilier, dan dalam menilai
adanya pembesaran duktus bilier intrahepatik akibat obstruksi di bagian yang lebih
distal. Karena itu, USG abdomen kuadran kanan atas biasanya adalah tes pertama
yang dilakukan. Pencitraan dengan Computed Tomography (CT) Scan atau Magnetic
resonance cholangiopancreatography (MRCP) lebih superior apabila pankreas juga
ingin dinilai. Pada praktiknya, USG baik untuk pasien yang dicurigai batu empedu,
CT dan MRCP baik untuk pasien dengan penyakit pankreatikobilier. Apabila
penunjang diagnostik rutin tidak berhasil membuktikan diagnosis, dan terutama
apabila dicurigai adanya penyakit intrahepatik, disarankan untuk dilakukan biopsi
hati.2,5
18
akibat pembedahan dapat mengganggu pengambilan bilirubin oleh hepatosit.
Pembentukan hematoma yang besar yang diakibatkan oleh trauma juga dapat
meningkatkan bilirubin tidak terkonjugasi.3,5
Apabila tidak terdapat proses hemolisis, perlu dipikirkan masalah pada liver
uptake atau konjugasi bilirubin. Beberapa obat seperti rifampisin dan probenesid
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dengan mengurangi liver
uptake bilirubin. Gangguan pada konjugasi bilirubin muncul pada tiga penyakit
genetik: Sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II serta sindrom Gilbert.2,15
4.1.1. Hemolisis
19
produksi bilirubin dari eritropoiesis yang tidak efektif meningkat jumlahnya,
mencapai hingga 70% dari total. Hal ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi derajat ringan.6
Sindrom Gilbert pertama kali ditemukan oleh Gilbert dan Lereboulette pada
tahun 1901 sebagai sebuah kondisi ikterus yang kronis namun jinak, dan tidak
berhubungan dengan keadaan hemolitik. Sindrom Gilbert mengenai 4%-13% pada
populasi, lebih banyak diderita laki-laki, dan dilaporkan 10%-35% aktivitas enzim
UDGPT yang menyebabkan ikterus intermiten dan self-resolving tanpa adanya
hemolisis atau penyakit hati yang mendasari. Sindrom Gilbert didiagnosis dengan
konsentrasi bilirubin total > 1 mg/dl. Hal yang penting dalam mendiagnosis sindrom
Gilbert, sampel darah harus diambil setelah satu malam berpuasa, ditemukan
peningkatan konsentrasi bilirubin dua kali dalam periode 6 bulan, transaminase serum
normal (ALT dan AST) serta penanda kerusakan bilier atau adanya sumbatan
(gammaglutamyl transpeptidase dan alkaline phosphatase) juga normal.15
Gen UGT1A yang kemudian diganti nama menjadi UGT1A1 ditemukan oleh
Ritter et al tahun 1991 yang diisolasi dari hati. Gen tersebut mengkode enzim dengan
aktivitas bilirubin glucuronidase. Glukuronidasi bilirubin oleh UDP-
glucuronosyltransferase yang dikode oleh UGT1A1 menghasilkan pembentukan
20
bilirubin terkonjugasi mono- dan di- glucuronide yang diekskresikan ke dalam
empedu. Aktivitas UGT1A1 dibandingkan konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi
dan definisi hiperbilirubinemia dapat dilihat pada gambar 5.15,16
4.1.4.1.Tipe I
21
mampu mengkonjugasi, sehingga tidak bisa mengekskresikan bilirubin. Satu-satunya
tatalaksana yang efektif adalah transplantasi hati orthotopic.15
4.1.4.2.Tipe II
22
4.2.1. Hiperbilirubinemia terkonjugasi terisolasi
4.2.1.1.Sindrom Dubin-Johnson
4.2.1.2.Sindrom Rotor
Sindrom Rotor pertama kali ditemukan oleh Rotor et al pada tahun 1948 dan
awalnya diduga merupakan varian sindrom Dubin-Johnson. Setelah beberapa
penelitian ditemukan bahwa pasien dengan sindrom Rotor tidak memiliki gangguan
dalam ekskresi bilier, melainkan gangguan pada liver uptake dan penyimpanannya.
23
Sindrom Rotor merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi homozigot pada
Solute carrier organic anion transporter family member 1B1 (SLCO1B1)/Organic
anion transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) dan SLCO1B3/OATP1B3 yang
menyebabkan hilangnya transporer OATP1B1 dan OATP1B3. Secara klinis, penyakit
ini sulit dibedakan dengan sindrom Dubin-Johnson dan muncul terutama dengan
hiperbilirubinemia campuran dan terkonjugasi pada individu asimtomatik. Sindrom
Rotor dapat muncul pada masa bayi atau anak-anak, dengan kadar bilirubin total
biasanya antara 2-5 mg/dl atau lebih tinggi. Pemeriksaan corproporphyrin urin dapat
membedakan sindrom Rotor dengan sindrom Dubin-Johnson, di mana pada sindrom
Rotor terdapat peningkatan ekskresi coproporphyrin total hingga 2-5 kali lipat dengan
65% nya coproporphyrin I.6
24
akhir kerusakan hati kronis yang diakibatkan terjadinya inflamasi kronis dan
fibrogenesis.18
25
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Penyakit yang mendasari terjadinya ikterus bervariasi luas mulai dari yang
ringan hingga mengancam jiwa, sehingga dibutuhkan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan fisik yang hati-hati dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
untuk dapat menegakkan diagnosis pasien ikterus dengan tepat.
2. Ikterus terjadi karena adanya gangguan dalam metabolisme bilirubin yang
dibagi dalam fase pre hepatik, hepatik dan post hepatik dalam memudahkan
diagnosis.
3. Dalam menegakkan diagnosis pasien ikterus diawali dengan menentukan jenis
hiperbilirubinemia apakah tidak terkonjugasi atau terkonjugasi sehingga dapat
mempersempit kemungkinan penyakitnya.
4. Pemeriksaan fungsi hati dilakukan untuk mendiagnosis pasien ikterus dan
dapat disertai pemeriksaan penunjang seperti USG, CT Scan, MRCP hingga
biopsi hati sesuai dengan kecurigaan diagnosis pasien.
5.2 Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
11. Abbas MW, Shamshad T, Ashraf MA, Javaid R. Jaundice : a basic review. Int J
Res Med Sci. 2016;4(5):1313-1319.
12. Roche SP, Kobos R. Jaundice in the adult patient. American Family Physician.
2004;69(2):299-304.
13. Novo C, Welsh F. Jaundice. Surgery. 2017:1-7.
14. Gondal B, Aronsohn A. A systematic approach to patients with jaundice. Semin
Intervent Radiol. 2016;33:253-258.
15. Wagner K, Shiels RG, Lang CA, Khoei NS, Bulmer AC. Diagnostic criteria and
contributors to Gilbert’s syndrome. Critical Reviews In Clinical Laboratory
Sciences. 2018:1-11.
16. Gazzin S, Vitek L, Watchko J, Shapiro SM, Tribelli C. A novel perspective on
the biology of bilirubin in health and disease. Trends in Molecular Medicine.
2016:1-11.
17. Memon N, Weinberger BI, Hegyi T, Aleksunes LM. Inherited disorders of
bilirubin clearance. Pediatric Research. 2016;79(3):378-386.
18. Assy N, Jacob G, Spira G, Edoute Y. Diagnostic approach to patients with
cholestatic jaundice. World Journal of Gastroenterology. 1999; 5(3):252-262.
19. Modha K. Clinical Approach to Patients with Obstructive Jaundice. Tech Vasc
Interventional Rad. 2015:1-12.
20. Kathpalia P, Ahn J. Assessment of jaundice in the hospitalized patient. Clin
Liver Dis. 2014:1-16.
28