Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai akibat
pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat metabolisme sel darah merah. Kata
ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang artinya kuning. Ikterus
sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata.
Derajat peningkatan bilirubin dapat diperkirakan melalui pemeriksaan fisik. Ikterus
yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan jika ini terjadi konsentrasi
bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat
dengan nyata maka bilirubin mungkin telah mencapai angka 7 mg/dl.1,2

Ikterus sering terjadi akibat penyakit hati akut maupun kronis, atau penyakit
traktus bilier, dan lebih jarang akibat penyakit hemolitik. Penyebab tersering ikterus
pada dewasa adalah dekompensasi dari penyakit hati kronis yang sudah ada
sebelumnya, hepatitis alkoholik, sepsis dan gangguan hemodinamik serta penyakit
batu empedu. Ikterus pada pasien dewasa dapat disebabkan oleh variasi luas
penyakit-penyakit mulai dari yang ringan hingga mengancam nyawa. Pembagian
diagnosis banding menjadi pre hepatik, hepatik, dan post hepatik dapat membantu
tatalaksana yang lebih baik.3,4

Sebelum tahun 2000, hepatitis virus merupakan penyebab ikterus pada 85-
90% pasien usia lebih kecil dari 30 tahun. Setelah meningkatnya imunisasi hepatitis A
dan B, hepatitis virus lebih sedikit menyebabkan ikterus hingga 8,8%. Pada pasien
ikterus dengan usia antara 40-60 tahun, penyakit hati alkoholik adalah diagnosis yang
umum, yaitu pada 50-70%. Pada pasien usia 60-80 tahun tanpa riwayat transfusi
darah, penyalahgunaan alkohol, kontak dengan pasien ikterik, atau kecurigaan obat

1
tertentu, diagnosis pada lebih dari 80% adalah batu empedu dan komplikasinya atau
keganasan pada pankreas. Hepatitis kronis adalah penyebab ikterus pada 5% pasien di
luar batas usia tersebut. Ikterus diinduksi obat terjadi pada kurang dari 5% individu.5

Penyebab pre hepatik pada ikterus meliputi hemolisis dan penyerapan


hematom, yang meningkatkan konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi. Kelainan
hepatik menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi ataupun terkonjugasi.
Kadar bilirubin terkonjugasi sering meningkat akibat alkohol, infeksi hepatitis, reaksi
obat, atau kelainan autoimun. Kelainan post hepatik juga menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Pembentukan batu empedu adalah yang paling sering
dan merupakan proses post hepatik yang ringan, namun diagnosis bandingnya
meliputi juga keadaan yang serius seperti infeksi traktus biliaris, pankreatitis dan
keganasan. Pemeriksaan laboratorium dimulai dengan memeriksa bilirubin dalam
urin, untuk melihat adanya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Apabila pemeriksaan
darah lengkap dan tes fungsi hati tidak mengarahkan diagnosis, diperlukan pencitraan
abdomen dengan ultrasonografi atau computed tomographic scanning. Prosedur yang
lebih invasif seperti kolangiografi dan biopsi hati mungkin dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis.5,6

Banyaknya jenis penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan ikterus


memberikan tantangan tersendiri dalam melakukan evaluasi dan diagnosis yang tepat
pada pasien. Anamnesis pasien secara rinci dan teliti, pemeriksaan fisik yang hati-
hati, diiringi pemeriksaan fungsi hati, dapat membantu pemeriksa untuk menentukan
diagnosis yang tepat pada 85% pasien dengan ikterus dan bukti akan adanya penyakit
hepatobilier. Melalui tinjauan kepustakaan ini, penulis mencoba mengulas tentang
pendekatan diagnosis ikterus sehingga dapat membantu tenaga medis dalam praktek
sehari-hari untuk mengevaluasi dan mendiagnosis pasien ikterus dengan tepat.

2
BAB 2

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM BILIER

2.1 Anatomi Sistem Bilier

Sistem bilier terdiri atas organ-organ dan duktus atau saluran (duktus bilier,
kandung empedu, dan struktur yang berhubungan) yang terlibat dalam produksi dan
transporasi empedu. Empedu yang dihasilkan hepatosit akan disekresikan ke dalam
kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak
di hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi. Saluran
kecil ini memiliki epitel kubis yang bisa mengembang secara bertahap bila saluran
empedu membesar. Saluran empedu intrahepatik secara perlahan menyatu
membentuk saluran yang lebih besar yang dapat menyalurkan empedu ke delapan
segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk
sebuah saluran di anterior dan posterior yang bergabung membentuk duktus hepatikus
kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada ± 1 cm di luar hati.
Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus
hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis. Duktus sistikus dan kandung
empedu, bergabung dengan duktus hepatikus membentuk duktus koledokus yang
mengalirkan empedu ke dalam duodenum. Ini merupakan sistem bilier ekstrahepatik.
Biasanya panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dengan diameter sekitar 4-12 mm.1,5

Kandung empedu adalah penampung empedu berbentuk pir yang sebagian


berada di fosa permukaan inferior lobus hati kanan. Panjangnya 7 hingga 10 cm
dengan lebar 3 hingga 4 cm dan dapat menampung 30 hingga 50 ml. Kandung
empedu dibagi atas fundus, korpus, infundibulum dan leher. Fundus memanjang
hingga 1 cm di bawah tepi hati. Korpus adalah bagian terbesar. Infundibulum adalah
daerah transisi antara korpus dan leher. Kantong Hartmann adalah lengkungan di
bagian inferior infundibulum. Batu empedu dapat berkumpul di sini dan

3
menyebabkan penyumbatan pada duktus sistikus. Leher adalah segmen runcing dari
infundibulum yang sempit dan bergabung dengan duktus sistikus untuk kemudian
bergabung dengan duktus hepatikus membentuk duktus koledokus. Susunan anatomi
sistem bilier ini dapat dilihat pada gambar 1.4

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Bilier4

2.2. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen tetrapirol yang merupakan produk penghancuran


heme (ferroprotoporphyrin IX). Sekitar 70-80% dari 250-300 mg bilirubin yang
diproduksi setiap hari merupakan turunan dari hasil penghancuran sel darah merah.
Sisanya berasal dari sel eritroid yang dihancurkan lebih awal di sumsum tulang dan

4
dari pergantian hemoprotein seperti mioglobin dan sitokrom yang ditemukan pada
jaringan di seluruh tubuh. Rata-rata usia sel darah merah adalah 120 hari, setelahnya
sel darah merah difagosit oleh makrofag dalam sistem retikuloendotelial. Selama
proses tersebut, hemoglobin dipecah menjadi globin dan hem, sebuah tetrapirol
siklik.1,2

Hem kemudian didegradasi melalui proses enzimatik bertahap. Proses


pertama meliputi sistem heme oxygenase, yang membelah cincin tetrapirol hem untuk
membentuk biliverdin IX alpha, karbon monoksida, dan besi. Biliverdin IX alpha
kemudian dikurangi menjadi bilirubin IX alpha oleh cytosolic biliverdin reductase.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dilepaskan ke dalam plasma di mana ia akan berikatan
secara reversibel dengan albumin. Hal ini muncul pada keadaan fisiologi normal dan
memfasilitasi transporasi ke hati. Setelah masuk ke hati, bilirubin berikatan dengan
glutathione-S-transferase dan dikirim ke retikulum endoplasmik, yang merupakan
tempat terjadinya konjugasi. Isoform Uridine diphosphate glucuronosyl transferase
1A1 (UGT1A1) adalah enzim yang terlibat dalam penambahan glukuronid tunggal ke
bilirubin tak terkonjugasi, untuk membentuk monoglukuronid kemudian diglukuronid
setelah reaksi berikutnya.2

Bilirubin terkonjugasi tidak direabsorbsi dari duktus biliaris dan usus


melainkan pada kolon. Kolon dapat mengkonjugasi bilirubin dan mengkonversi
menjadi tetrapirol larut air yang dikenal sebagai urobilinogen. Setengah dari
urobilinogen akan direabsorbsi dan diekskresi oleh ginjal dan dikeluarkan bersama
feses sebagai sterkobilin.1,7

Rangkaian proses tersebut sangat efektif pada keadaan normal, sehingga


konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma tetap rendah. Kadar normal
bilirubin total adalah 0,2 sampai 1,0 mg/dL, bilirubin terkonjugasi 0,1 sampai 0,3
mg/dL, dan bilirubin tidak terkonjugasi 0,2 sampai 0,8 mg/dL.2,3

5
Gambar 2.2. Metabolisme bilirubin3

Dalam gambar 2.2 dijabarkan perjalanan metabolisme bilirubin. Sel darah


merah bersirkulasi dalam tubuh selama lebih kurang 120 hari. Setelah itu, sel darah
merah akan dikenali dan dicerna oleh makrofag fagositik di dalam sistem
retikuloendotelial (terutama di limpa dan kelenjar limfe serta sel Kupffer dalam hati),
di mana hemoglobin didegradasi menjadi globin dan hem. Globin diubah menjadi
asam amino, dan hem dioksidasi lalu diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi
melalui dua langkah yang melibatkan heme oxygenase dan biliverdin reductase secara
berurutan. Bilirubin tidak terkonjugasi kemudian memasuki aliran darah dan
berikatan dengan albumin, untuk ditransportasikan ke dalam hati.3

Di dalam hati, hepatosit mengambil bilirubin tidak terkonjugasi melalui


mekanisme yang belum dipahami. Setelah pengambilan oleh hepatosit, konjugasi
terjadi melalui dua reaksi enzimatik identik dengan uridine diphosphate-
glucuronosyl-transferase (UDPGT), menghasilkan bilirubin terkonjugasi. Bilirubin

6
terkonjugasi lalu dikirim melewati membran plasma apikal ke kanalikulus bilier
melalui ATP-dependent multidrug resistant-associated protein 2 (MRP2). Bilirubin
terkonjugasi tetap tidak berubah dalam sistem bilier dan usus halus (sebagian kecil
bilirubin tidak terkonjugasi dapat diserap kembali dan memasuki sirkulasi
enterohepatik) hingga mencapai kolon di mana bakteri menghidrolisis dan mereduksi
bilirubin menjadi urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan dalam feses. Dalam
kolon, sejumlah urobilinogen dan derivatnya diserap kembali, diambil oleh hati dan
diekskresikan kembali atau masuk ke sirkulasi sistemik serta difiltrasi di ginjal.
Ginjal juga dapat mengekskresikan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi.3

7
BAB 3

PATOFISIOLOGI IKTERUS

Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam


3 fase; pre hepatik, intrahepatik, dan post hepatik masih relevan, walaupun diperlukan
penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin.
Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme
bilirubin menjadi 5 fase yaitu 1) Pembentukan bilirubin; 2) Transpor plasma; 3) Liver
uptake; 4) Konjugasi; dan 5) Eksresi bilier.1 Patofisiologi ikterus berdasarkan fasenya
diperlihatkan pada gambar 3.1.

Gambar 3.1. Patofisiologi Berdasarkan Fase Terjadinya Ikterus9

8
3.1 Fase Pre Hepatik
3.1.1 Pembentukan Bilirubin

Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan
terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein hem
lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein
hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim heme
oxygenase. Enzim lain, biliverdin redutakse, mengubah biliverdin menjadi bilirubin.
Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir
fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama
peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled bilirubin meningkat
pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis
kurang penting.1,8

3.1.2. Transpor plasma

Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transpornya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa
keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotik tertentu, salisilat
berlomba pada tempat ikatan dengan albumin.1

Gangguan pada fase pre hepatik mengakibatkan peningkatan konsentrasi


bilirubin tidak terkonjugasi, sedangkan transferase serum dan alkaline phosphatase
normal. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia terisolasi. Hiperbilirubinemia
terisolasi juga dapat terjadi akibat gangguan pada fase hepatik dan post hepatik.
Berbagai penyakit yang menyebabkan hiperbilirubinemia terisolasi diperlihatkan
dalam tabel 3.1.

9
Tabel 3.1. Penyebab hiperbilirubinemia terisolasi7

Patofisiologi Penyakit
Peningkatan produksi Hemolitik
1. Kongenital
a. Kerusakan membran : sferositosis,
eliptositosis
b. Kerusakan enzim : defisiensi glucose 6
phosphate dehydrogenase dan pyruvate
kinase
c. Hemoglobinopati : anemia sel sabit
2. Didapat
a. Hemolisis imun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
Eritropoiesis tidak efektif
1. Defisiensi B12, asam folat, thalassemia , anemia
defisiensi besi berat

Gangguan uptake Obat-obatan : inhibitor protease


Penyakit keturunan :
1. Crigler-Najjar tipe I
2. Crigler-Najjar tipe II
3. Sindrom Gilbert

Gangguan ekskresi Penyakit keturunan :


1. Sindrom Dubin-Johnson
2. Sindrom Rotor

3.2. Fase Hepatik


3.2.1. Liver Uptake

10
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan
bilirubin melalui transpor yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
pengambilan albumin.1

3.2.2. Konjugasi

Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi


dengan asam glukuronik membentuk bilirubin konjugasi. Reaksi ini dikatalisasi oleh
enzim mikrosomal glukuronil-transferase menghasilkan bilirubin yang larut air.
Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida,
dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui
sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik.1

Kerusakan hepatosit menyebabkan penurunan efisiensi ekskresi bilirubin ke


empedu, konjugasi seringkali dipertahankan. Bilirubin terkonjugasi yang larut air
kembali ke dalam sirkulasi dan diekskresikan dalam urin. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan peningkatan enzim hati sesuai dengan penyakit yang mendasari.7

Penyakit hepatoseluler yang dapat menyebabkan ikterus diperlihatkan dalam


tabel 3.2.

11
Tabel 3.2. Penyakit hepatoseluler yang menyebabkan ikterus7

Penyebab
1. Hepatitis virus a. Hepatitis A, B, C dan E
b. Virus Epstein-Barr
c. Cytomegalovirus
d. Herpes simpleks
2. Alkohol
3. Hepatitis
autoimun/overlap
syndrome
4. Obat-obatan a. Tergantung dosis : overdosis parasetamol
b. Idiosinkratik : isoniazid
5. Toksin lingkungan Vinyl chloride, carbon tetrachloride, bush tea, kava
kava, jamur
6. Penyebab metabolik a. Penyakit Wilson
b. Hemokromatosis
c. Non-Alcoholic Fatty Liver Disease
d. Defisiensi α1 antitripsin
7. Penyebab vaskuler a. Sindrom Budd-Chiari
b. Hepatitis iskemik

3.3. Fase Post Hepatik

Fase post hepatik berkaitan dengan ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi


dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau
obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri
mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat.
Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin
terkonjugasi tetapi tidak mengeluarkan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular atau
kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun
larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barrier darah-
otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi

12
mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan
larut dalam empedu cair.1,7

Ikterus post hepatik terjadi akibat gagalnya jumlah yang adekuat dari empedu
sampai ke duodenum, akibat gangguan sekresi kanalikuler atau akibat obstruksi aliran
empedu pada level mana pun. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin terkonjugasi
meningkat dalam serum, dan keadaan terhambatnya aliran empedu tersebut disebut
dengan kolestasis.7

Berbagai penyebab terjadinya kolestasis dapat dilihat dalam tabel 3.3.

13
Tabel 3.3. Penyebab ikterus kolestatik7

Jenis Kolestasis Jenis Penyakit


Non-obstruktif 1. Hepatitis virus a. Fibrosing cholestatic hepatitis:
hepatitis B dan C
b. Kolestasis dengan hepatitis:
hepatitis A dan E, cytomegalovirus,
virus Epstein-Barr
2. Hepatitis alkoholik
3. Obat-obatan a. Kolestasis murni: steroid anabolik
b. Hepatitis kolestatik: amoksiklav,
eritromisin esteolat
c. Kolestasis kronis: klorpromazin
4. Sirosis bilier primer
5. Primary sclerosing
cholangitis
6. Vanishing bile duct a. Chronic rejection
syndrome b. Obat-obatan : klorpromazin
7. Penyakit turunan a. Progressive familial intrahepatic
cholestasis
8. Lain-lain a. Kolestasis pada kehamilan
b. Sepsis
c. Total Parenteral Nutrition
d. Sindrom paraneoplastik
e. Graft versus host disease (GVHD)
f. Kolestasis ringan post operasi
Obstruktif 1. Maligna a. Kolangiokarsinoma
b. Kanker pankreas
c. Kanker kandung empedu
d. Kanker periampula
e. Keganasan yang melibatkan
kelenjar limfa porta hepatis
2. Benigna a. Koledokolitiasis
b. Primary sclerosing cholangitis
c. Pankreatitis kronis
d. Kolangiopati AIDS

BAB 4

14
PENDEKATAN DIAGNOSIS IKTERUS

Informasi paling penting dalam evaluasi diagnostik datang dari anamnesis.


Pada pasien dengan ikterus, anamnesis harus dilakukan secara teliti dan mencakup
pertanyaan untuk mengidentifikasi penyebab ikterus. Informasi yang spesifik harus
meliputi kapan ikterus dimulai dan apakah onsetnya akut atau bertahap. Adanya
gejala gastrointestinal seperti nyeri abdomen, mual, muntah, diare, perubahan warna
feses dapat signifikan. Gatal umum terjadi pada ikterus dan gejala ini dapat
mengawali onset ikterus.10

Gejala lain yang berhubungan seperti penurunan berat badan atau adenopati
dapat mengarahkan pada diagnosis tertentu termasuk keganasan. Memar atau
perdarahan mungkin merupakan disfungsi hati berat yang telah mengganggu produksi
faktor pembekuan. Pembesaran lingkar perut dapat disebabkan oleh asites dan edema
perifer akibat sumbatan aliran balik vena dari ekstremitas bawah atau
hipoalbuminemia.10,11

Pemeriksaan yang lengkap mengenai riwayat pengobatan lampau juga


diperlukan. Obat-obatan yang dikonsumsi baik sesuai resep atau tidak, atau suplemen
herbal perlu dipertimbangkan. Asetaminofen adalah obat yang sangat luas digunakan
yang dalam jumlah toksik dapat menyebabkan kerusakan hepatoseluler. Sejumlah
agen herbal juga berhubungan dengan kerusakan hati. Riwayat sosial seperti
penyalahgunaan alkohol adalah penyebab yang sering pada sirosis. Hubungan seksual
yang tidak aman atau penggunaan jarum suntik dapat mengarah pada infeksi hepatitis
B atau C. Riwayat perjalanan, terutama lokasi dan waktu perjalanan tersebut dapat
mengarah pada hepatitis A.3,12

Pemeriksaan fisik yang komprehensif juga penting dalam menilai pasien


dengan ikterus. Ikterus dapat pertama kali dilihat sebagai warna kuning pada sklera,
terutama pada pasien dengan kulit gelap. Warna kekuningan juga dapat dilihat di

15
bawah lidah. Pemeriksaan kulit harus mencatat ada tidaknya ikterus dan mencari
petunjuk penyebabnya. Warna kuning seperti jerami tampak pada pasien ikterus
hemolitik dan anemia pernisiosa, kuning kehijauan tampak pada ikterus obstruktif,
kuning keabu-abuan pada sirosis hepatis. Stigmata hati, bekas suntikan jarum perlu
diperhatikan. Hematom yang besar juga dapat menjadi penyebab ikterus saat ia
diserap kembali. Tanda memar atau perdarahan harus dicatat. Pemeriksaan abdomen
meliputi kontur abdomen, adanya asites, organomegali, dan nyeri tekan.
Hepatomegali dapat berkaitan atau tidak berkaitan dengan penyakit hati. Nyeri tekan
kuadran kanan atas berhubungan dengan hepatitis akut atau penyakit batu empedu.
Splenomegali mengarahkan kecurigaan pada hipertensi porta dari sirosis atau akibat
keganasan.13,14

Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah menentukan


apakah hiperbilirubinemia lebih dominan terkonjugasi atau tidak terkonjugasi; apakah
proses penyakit yang menyebabkan ikterus merupakan penyakit hemolitik,
hepatoseluler, atau kolestatik; dan apakah terdapat abnormalitas pemeriksaan fungsi
hati lainnya. Kemungkinan diagnosis dapat sangat dipersempit, dan banyak petunjuk
etiologi hiperbilirubinemia dan adanya patologi pada hati dapat diperoleh dari
anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium dasar,
dan penanda biokimia serta serologi. Oleh karena itu, diagnosis banding ikterus
didasarkan pada apakah penyakit tersebut pre hepatik (didominasi oleh
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi), hepatik (hiperbilirubinemia campuran) atau post
hepatik (hiperbilirubinemia terkonjugasi). Alur evaluasi pasien dengan ikterus
dijabarkan dalam gambar 4.1.3,8

16
Gambar 4.1. Alur Diagnosis Pasien dengan Ikterus8

17
Pada umumnya, pendekatan terbaik untuk menelusuri kemungkinan obstruksi
bilier adalah dengan metode pencitraan. Ultrasonography (USG) abdomen di kuadran
kanan atas sensitif dan spesifik dalam mendeteksi trauma bilier, dan dalam menilai
adanya pembesaran duktus bilier intrahepatik akibat obstruksi di bagian yang lebih
distal. Karena itu, USG abdomen kuadran kanan atas biasanya adalah tes pertama
yang dilakukan. Pencitraan dengan Computed Tomography (CT) Scan atau Magnetic
resonance cholangiopancreatography (MRCP) lebih superior apabila pankreas juga
ingin dinilai. Pada praktiknya, USG baik untuk pasien yang dicurigai batu empedu,
CT dan MRCP baik untuk pasien dengan penyakit pankreatikobilier. Apabila
penunjang diagnostik rutin tidak berhasil membuktikan diagnosis, dan terutama
apabila dicurigai adanya penyakit intrahepatik, disarankan untuk dilakukan biopsi
hati.2,5

4.1. Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi

Pada pasien dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, sebanyak 85%


bilirubin total serum adalah dalam bentuk tidak terkonjugasi. Apabila tidak terdapat
abnormalitas fungsi hati (isolated hyperbilirubinemia), kebanyakan kasus
berhubungan dengan peningkatan produksi bilirubin akibat hemolisis intravaskuler
atau akibat gangguan konjugasi pada sindrom Gilbert atau efek samping pengobatan.
Kadar bilirubin total jarang melebihi 5 mg/dl bahkan dengan adanya hemolisis karena
liver uptake dan konjugasi masih berlangsung dengan baik. Pemeriksaan darah
lengkap, hitung retikulosit dan analisis darah perifer sangat bermanfaat dalam
diagnosis proses hemolitik, dengan pemeriksaan fungsi hati normal pada kasus
hemolitik. Perlu diperhatikan bahwa kadar aspartate aminotransferase (AST) tapi
tidak alanine aminotransferase (ALT) dapat meningkat akibat pelepasan dari sel
darah merah yang rusak, dan kadar lactate dehydrogenase (LDH) dapat meningkat
sangat tinggi apabila terdapat eritropoiesis yang tidak efektif akibat defisiensi vitamin
B12 dan anemia pernisiosa. Penurunan aliran darah hepatik akibat gagal jantung atau

18
akibat pembedahan dapat mengganggu pengambilan bilirubin oleh hepatosit.
Pembentukan hematoma yang besar yang diakibatkan oleh trauma juga dapat
meningkatkan bilirubin tidak terkonjugasi.3,5

Apabila tidak terdapat proses hemolisis, perlu dipikirkan masalah pada liver
uptake atau konjugasi bilirubin. Beberapa obat seperti rifampisin dan probenesid
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dengan mengurangi liver
uptake bilirubin. Gangguan pada konjugasi bilirubin muncul pada tiga penyakit
genetik: Sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II serta sindrom Gilbert.2,15

4.1.1. Hemolisis

Peningkatan destruksi eritrosit menyebabkan peningkatan turnover bilirubin


dan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, dengan peningkatan bilirubin yang ringan
dan fungsi hati normal. Sumsum tulang hanya mampu meningkatkan produksi
eritrosit hingga delapan kali lipat pada keadaan hemolitik. Sehingga hemolisis saja
tidak menyebabkan hiperbilirubinemia yang melebihi 4-5 mg/dl. Adanya konsentrasi
bilirubin yang lebih tinggi menunjukkan adanya disfungsi hepatik. Apabila hemolisis
adalah satu-satunya abnormalitas pada individu yang sehat, didapatkan hanya
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, dengan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
≤15% dari total bilirubin serum. Hemolisis yang berkepanjangan dapat menyebabkan
pengendapan garam empedu di dalam kandung empedu atau saluran bilier, sehingga
terjadi pembentukan batu empedu dengan bilirubin sebagai komponen utamanya.6,16

4.1.2. Eritropoiesis tidak Efektif

Selama pematangan eritroid, sejumlah kecil hemoglobin dapat hilang saat


ekstrusi nuklear, dan pecahan sel eritoid yang berkembang hancur dalam sumsum
tulang. Proses ini memberi bagian dalam sejumlah kecil bilirubin yang diproduksi.
Dalam beberapa kelainan, termasuk thalassemia mayor, anemia megaloblastik akibat
defisiensi folat atau vitamin B12, congenital erythropoietic porphyria, keracunan
timbal, dan berbagai anemia diseritropoietik kongenital dan didapat, sebagian

19
produksi bilirubin dari eritropoiesis yang tidak efektif meningkat jumlahnya,
mencapai hingga 70% dari total. Hal ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi derajat ringan.6

4.1.3. Sindrom Gilbert

Sindrom Gilbert pertama kali ditemukan oleh Gilbert dan Lereboulette pada
tahun 1901 sebagai sebuah kondisi ikterus yang kronis namun jinak, dan tidak
berhubungan dengan keadaan hemolitik. Sindrom Gilbert mengenai 4%-13% pada
populasi, lebih banyak diderita laki-laki, dan dilaporkan 10%-35% aktivitas enzim
UDGPT yang menyebabkan ikterus intermiten dan self-resolving tanpa adanya
hemolisis atau penyakit hati yang mendasari. Sindrom Gilbert didiagnosis dengan
konsentrasi bilirubin total > 1 mg/dl. Hal yang penting dalam mendiagnosis sindrom
Gilbert, sampel darah harus diambil setelah satu malam berpuasa, ditemukan
peningkatan konsentrasi bilirubin dua kali dalam periode 6 bulan, transaminase serum
normal (ALT dan AST) serta penanda kerusakan bilier atau adanya sumbatan
(gammaglutamyl transpeptidase dan alkaline phosphatase) juga normal.15

Ikterus kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom Gilbert dan dapat


menonjol pada keadaan stres, sakit, dan berpuasa. Tampilan ikterus mulai muncul saat
konsentrasi bilirubin mencapai 2,2-2,5 mg/dl dan pada beberapa individu dapat
mencapai 4,7 mg/dl. Apabila konsentrasi bilirubin total melebihi 4,7 mg/dl, perlu
diteliti penyakit yang mendasari hiperbilirubinemia untuk menyingkirkan penyakit
hemolitik dan penyakit langka pada metabolisme bilirubin (seperti sindrom Crigler-
Najjar tipe II). Dalam memastikan penyebab sindrom Gilbert, dapat dilakukan
genotyping satu dari banyak polimorfisme pada gen UGT1A, walau hal ini tidak
diperlukan dalam diagnosis sindrom Gilbert.17

Gen UGT1A yang kemudian diganti nama menjadi UGT1A1 ditemukan oleh
Ritter et al tahun 1991 yang diisolasi dari hati. Gen tersebut mengkode enzim dengan
aktivitas bilirubin glucuronidase. Glukuronidasi bilirubin oleh UDP-
glucuronosyltransferase yang dikode oleh UGT1A1 menghasilkan pembentukan

20
bilirubin terkonjugasi mono- dan di- glucuronide yang diekskresikan ke dalam
empedu. Aktivitas UGT1A1 dibandingkan konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi
dan definisi hiperbilirubinemia dapat dilihat pada gambar 5.15,16

Gambar 4.2. Perbedaan Aktivitas UGT1A115

4.1.4. Sindrom Crigler-Najjar

4.1.4.1.Tipe I

Sindrom Crigler-Najjar tipe I adalah keadaan yang sangat langka yang


ditemukan pada neonatus dan ditandai oleh ikterus yang berat (>20 mg/dl) dan
gangguan neurologis akibat kernikterus, yang seringkali menyebabkan kematian pada
bayi atau anak-anak. Pasien-pasien ini sama sekali kehilangan aktivitas UDPGT
akibat mutasi domain 3’ yang penting pada gen UDPGT, dan sama sekali tidak

21
mampu mengkonjugasi, sehingga tidak bisa mengekskresikan bilirubin. Satu-satunya
tatalaksana yang efektif adalah transplantasi hati orthotopic.15

4.1.4.2.Tipe II

Sindrom Crigler-Najjar tipe II sedikit lebih umum dibandingkan tipe I. Pasien


hidup hingga dewasa dengan kadar bilirubin serum berkisar antara 6-25 mg/dl. Pada
pasien ini, mutasi gen UDPGT bilirubin menyebabkan penurunan tapi bukan
kehilangan aktivitas enzim tersebut. Aktivitas UDPGT bilirubin dapat dipicu oleh
pemberian fenobarbital, yang menurunkan kadar bilirubin serum pada pasien ini.
Walaupun dalam keadaan ikterus yang nyata, pasien biasanya bertahan hingga usia
dewasa, walaupun memiliki risiko untuk terjadinya kernikterus dalam keadaan stres
akibat penyakit lain atau pembedahan.15

4.2. Hiperbilirubinemia Terkonjugasi

Hiperbilirubinemia terkonjugasi tanpa disertai kelainan fungsi hati lainnya


adalah keadaan yang jarang namun dapat sangat jelas. Riwayat yang lengkap
mengenai paparan pengobatan terutama antibiotik, estrogen, dan suplemen diet dapat
mengarahkan kecurigaan pada kolestasis diinduksi obat. Keadaan ini cukup umum
terjadi pada binaragawan di mana suplemen anabolik yang dikonsumsi berlebihan
untuk membantu pertumbuhan otot dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik,
hiperbilirubinemia terkonjugasi dengan total bilirubin kadang di atas 20 mg/dl.
Ikterus dapat bertahan hingga bulanan bahkan setelah penghentian suplemen.
Terkadang peningkatan bilirubin terisolasi adalah satu-satunya gejala gagal jantung
kongestif dengan kerusakan fungsi hepatoseluler di daerah perisentral hati akibat
tingginya tekanan jantung kanan dan hipoksia relatif; atau satu-satunya gejala sirosis
terkompensasi di mana terdapat kerusakan minimal hepatosit tanpa sumbatan
duktus.6,8

22
4.2.1. Hiperbilirubinemia terkonjugasi terisolasi

Hiperbilirubinemia terkonjugasi terisolasi ditemukan pada dua penyakit


turunan yaitu sindrom Dubin-Johnson dan sindrom Rotor.

4.2.1.1.Sindrom Dubin-Johnson

Sindrom Dubin-Johnson pertama kali ditemukan oleh Dubin et al tahun 1954.


Sindrom ini merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi homozigot atau
senyawa heterozigot pada ATP-binding cassette subfamily C member 2
(ABCC2)/MRP2 yang menyebabkan tidak adanya atau menurunnya ekspresi
transporer ini. Sindrom Dubin Johnson biasanya muncul pada dewasa muda dengan
hiperbilirubinemia terkonjugasi dan fungsi hati lainnya normal. Hiperbilirubinemia
terkonjugasi terjadi ringan karena adanya ekskresi urin. Kebanyakan pasien tidak
memiliki gejala kecuali nyeri abdomen yang hilang timbul. Tidak terdapat risiko
fibrosis atau sirosis. Sindrom Dubin Johnson jarang muncul pada masa bayi. Apabila
terjadi pada bayi, terjadi kolestasis berat dan hepatomegali dan kadar bilirubin dapat
mencapai > 20 mg/dl. Hal ini disebabkan oleh belum matangnya fisiologi empedu
bayi ditambah defek pada MRP2.6,12

Dalam mendiagnosis sindrom Dubin-Johnson perlu disingkirkan gangguan


hepatobilier lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan hepatik. Pemeriksaan
corproporphyrin urin dapat dilakukan, di mana pada kerusakan MRP2 dapat
ditemukan peningkatan kadar corproporphyrin I yang merupakan produk sintesis
heme dan juga substrat endogen MRP2. Pemeriksaan histologi hati dapat
menunjukkan deposit pigmen lisosom gelap seperti melanin.3,6

4.2.1.2.Sindrom Rotor

Sindrom Rotor pertama kali ditemukan oleh Rotor et al pada tahun 1948 dan
awalnya diduga merupakan varian sindrom Dubin-Johnson. Setelah beberapa
penelitian ditemukan bahwa pasien dengan sindrom Rotor tidak memiliki gangguan
dalam ekskresi bilier, melainkan gangguan pada liver uptake dan penyimpanannya.

23
Sindrom Rotor merupakan penyakit autosomal resesif akibat mutasi homozigot pada
Solute carrier organic anion transporter family member 1B1 (SLCO1B1)/Organic
anion transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) dan SLCO1B3/OATP1B3 yang
menyebabkan hilangnya transporer OATP1B1 dan OATP1B3. Secara klinis, penyakit
ini sulit dibedakan dengan sindrom Dubin-Johnson dan muncul terutama dengan
hiperbilirubinemia campuran dan terkonjugasi pada individu asimtomatik. Sindrom
Rotor dapat muncul pada masa bayi atau anak-anak, dengan kadar bilirubin total
biasanya antara 2-5 mg/dl atau lebih tinggi. Pemeriksaan corproporphyrin urin dapat
membedakan sindrom Rotor dengan sindrom Dubin-Johnson, di mana pada sindrom
Rotor terdapat peningkatan ekskresi coproporphyrin total hingga 2-5 kali lipat dengan
65% nya coproporphyrin I.6

4.2.2. Kolestasis Intrahepatal


Hiperbilirubinemia terkonjugasi akibat berbagai bentuk penyakit hepatobilier
terjadi akibat gangguan pada pembentukan empedu dan/atau aliran empedu, yang
disebut kolestasis. Ikterus kolestasis seringkali disertai berbagai kelainan pada
laboratorium, klinis, dan histologi. Pada dewasa, terdapat banyak penyebab kerusakan
hepatosit yang dapat mengganggu kemampuan hepatosit untuk mensekresikan
bilirubin. Hepatitis dapat secara langsung menyebabkan kerusakan hepatosit dan
kemudian ikterus. Penyakit lainnya meliputi kerusakan hati yang diinduksi obat dan
toksin, hepatitis autoimun, hepatitis iskemik, penyakit hati pada kehamilan, kelainan
bawaan (penyakit Wilson, hemokromatosis herediter, defisiensi α-1 antitripsin),
berbagai kelainan vaskuler (kongesti pasif, sindrom Budd-Chiari, sindrom obstruksi
sinusoid), berbagai infeksi bakteri atau jamur, penyakit yang mengikuti transplantasi
hati, dan sebagainya. Perlu diperhatikan juga bahwa hati dapat terlibat dalam banyak
kelainan kongenital atau pun penyakit sistemik.18
Sejumlah penyakit sistemik juga dapat menyebabkan ikterus. Keganasan
dapat menyebabkan kolestasis intrahepatal dan ikterus baik dengan infiltrasi ke hati
atau melalui fenomena paraneoplastik. Sirosis dan kegagalan hati yang progresif
adalah penyebab umum terjadinya kolestasis intrahepatal. Sirosis merupakan stadium

24
akhir kerusakan hati kronis yang diakibatkan terjadinya inflamasi kronis dan
fibrogenesis.18

4.2.3. Kolestasis Ekstrahepatal


Setiap penyakit yang menyebabkan obstruksi pada traktus biliaris dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia. Penyakit yang umum adalah koledokolitiasis,
keganasan pada pankreas/duktus bilier/ampula. Secara keseluruhan, batu empedu
adalah penyebab obstruksi ekstrahepatal yang paling sering.2
Pada sebagian besar pasien dengan kanker pankreas terjadi onstruksi bilier,
sekitar 90% adalah adenokarsinoma duktal, dan 70% ditemukan di kaput pankreas,
yang memilki kecenderungan untuk menyumbat duktus bilier distal dan duktus
pankreas. Ikterus pada pasien ini tidak disertai nyeri dan merupakan gejala klasik
psaien dengan karsinoma kaput pankreas serta striktur bilier maligna yang biasanya
akibat adenokarsinoma pankreas, kolangiokarsinoma, atau penyakit metastasis.
Striktur bilier jinak juga dapat terjadi akibat primary sclerosing cholangitis,
pankreatitis, kolangitis autoimun, rejeksi transplan, infeksi (Tuberkulosis, parasit,
HIV) dan sebagainya.19,20

25
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Penyakit yang mendasari terjadinya ikterus bervariasi luas mulai dari yang
ringan hingga mengancam jiwa, sehingga dibutuhkan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan fisik yang hati-hati dan pemeriksaan penunjang yang sesuai
untuk dapat menegakkan diagnosis pasien ikterus dengan tepat.
2. Ikterus terjadi karena adanya gangguan dalam metabolisme bilirubin yang
dibagi dalam fase pre hepatik, hepatik dan post hepatik dalam memudahkan
diagnosis.
3. Dalam menegakkan diagnosis pasien ikterus diawali dengan menentukan jenis
hiperbilirubinemia apakah tidak terkonjugasi atau terkonjugasi sehingga dapat
mempersempit kemungkinan penyakitnya.
4. Pemeriksaan fungsi hati dilakukan untuk mendiagnosis pasien ikterus dan
dapat disertai pemeriksaan penunjang seperti USG, CT Scan, MRCP hingga
biopsi hati sesuai dengan kecurigaan diagnosis pasien.

5.2 Saran

1. Diperlukan pemahaman mendalam mengenai metabolisme bilirubin dalam


mengetahui penyebab terjadinya ikterus pada pasien.
2. Anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik yang komprehensif dan pemeriksaan
penunjang yang tepat harus dilakukan dalam menegakkan diagnosis pada
pasien ikterus.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam: Setiati S, et al.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing,
2015.hal 1935-1940.
2. Pratt DS, Kaplan MM. Jaundice. In: Longo DL, Fauci AS. Harrison’s
Gastroenterology and Hepatology Second Edition. New York: McGraw Hill
Education, 2013.p 62-69.
3. Sullivan JI, Rockey DC. Diagnosis and evaluation of hyperbilirubinemia. Curr
Opin Gastroenterol. 2017;33(3):164-170.
4. Gilmore I, Garvey CJ. Investigation of jaundice. Elsevier Medicine.
2006;35(1):13-16.
5. Greenberger NJ. Approach to the Patient with Jaundice & Abnormal Liver
Tests. In: Greenberger NJ, et al. Current Diagnosis and Treatment
Gastroenterology, Hepatology and Endoscopy Third Edition. New York:
McGraw Hill Education Lange, 2016.p 460-466.
6. Wolkoff AW. The Hyperbilirubinemias. In: Longo DL, Fauci AS. Harrison’s
Gastroenterology and Hepatology Second Edition. New York: McGraw Hill
Education, 2013.p 348-356.
7. Ramappa V, Aithal GP. Jaundice: applying lessons from physiology. Surgery.
2014:1-8.
8. Fitz JG. Approach to the patient with abnormal liver chemistries or jaundice. In:
Podolsky DL, et al. Yamada’s Textbook of Gastroenterology Volume Two.
United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd, 2016.p 1378-1416.Conrad K,
Roggenbuck D, Laass MW. Diagnosis and classification of ulcerative colitis.
Autoimmune Rev. 2014:p 819-831.
9. Jansen PL. Jaundice and Cholestasis. In: Dooley JS, Lok AS. Sherlock’s
Diseases of Liver and Biliary System Thirteenth Edition. Amsterdam: John
Wiley & Sons Ltd., 2018.p 231-251.
10. Kruger D. The assessment of jaundice in adults: tests, imaging, differential
diagnosis. Journal of the American Academy of Physician Assistants.
2011;24(6):44-49.

27
11. Abbas MW, Shamshad T, Ashraf MA, Javaid R. Jaundice : a basic review. Int J
Res Med Sci. 2016;4(5):1313-1319.
12. Roche SP, Kobos R. Jaundice in the adult patient. American Family Physician.
2004;69(2):299-304.
13. Novo C, Welsh F. Jaundice. Surgery. 2017:1-7.
14. Gondal B, Aronsohn A. A systematic approach to patients with jaundice. Semin
Intervent Radiol. 2016;33:253-258.
15. Wagner K, Shiels RG, Lang CA, Khoei NS, Bulmer AC. Diagnostic criteria and
contributors to Gilbert’s syndrome. Critical Reviews In Clinical Laboratory
Sciences. 2018:1-11.
16. Gazzin S, Vitek L, Watchko J, Shapiro SM, Tribelli C. A novel perspective on
the biology of bilirubin in health and disease. Trends in Molecular Medicine.
2016:1-11.
17. Memon N, Weinberger BI, Hegyi T, Aleksunes LM. Inherited disorders of
bilirubin clearance. Pediatric Research. 2016;79(3):378-386.
18. Assy N, Jacob G, Spira G, Edoute Y. Diagnostic approach to patients with
cholestatic jaundice. World Journal of Gastroenterology. 1999; 5(3):252-262.
19. Modha K. Clinical Approach to Patients with Obstructive Jaundice. Tech Vasc
Interventional Rad. 2015:1-12.
20. Kathpalia P, Ahn J. Assessment of jaundice in the hospitalized patient. Clin
Liver Dis. 2014:1-16.

28

Anda mungkin juga menyukai