EMFIESEMA
1. Pengertian
Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan
pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara
berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus
terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216).
3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli.(Corwin.2000.435).
4. Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding
alveolus atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus,
duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962)1.
2. Etiologi
1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah
atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE)
serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan
defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya
tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru
rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel
skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih
berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale,
dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi
paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi
paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian
emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara
seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi
makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya
tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang
lebih jelek.
7. Pengaruh usia
8. obstruksi jalan nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus , sehingga terjadi
mekanisme ventil . udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak
dapat keluar pada ekspirasi . etiologinya adalah benda asing di dalam lumen dengan reaksi
local , tumor intrabronkial di mediastinum , konginetal . pada jenis yang terakhir , obstruksi
dapat di sebabkan oleh defek tulang rawan bronkus .
3. Manifestasi klinis
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun.
Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.Pada umur 25-35 tahun mulai
timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk
yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan
kegagalan nafas dan meninggal dunia . gejala lain juga timbul yaitu sebagai berikut :
Dispnea
2) Pernafasan dada , pernafasan abnormal tidak efektif , dan penggunaan otot – otot
aksesori pernafasan (sternokleidomastoid )
3) Pada perkusi : hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
4) Pada aukultasi : terdengar bunyi nafas dengan krekels , ronkhi ,dan perpanjangan
ekspirasi
5. Klasifikasi
Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru – paru terdapat 3 jenis emfisema :
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian bawah.
Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk
morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis
mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas
yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil
penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan
bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim
alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan
cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit
penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh
dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok.
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap
baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus,
biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus
respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya
cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar
tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung
sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih
banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia
A. Price 1995).
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli)
sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen
bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit,
sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:
1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini biasanya
terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura
maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.
3. Emfisema parasinar , biasanya terjadi pada seluruh asinus , secara klinis berhubungan
erat dengan :
4. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut. Biasanya
terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema
yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut yang
menyebabkan irregular dan emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa,
histoplasmosis, dan pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk
irregular dan limfangileiomiomatosis.
6. Komplikasi
5. Pneumonia
6. Atelaktasis
7. Pneumothoraks
Protease (enzim paru) mengubah alveoli dan saluran nafas kecil dengan cara merusakka serabut
elastin, sebagai akibatnya adalah kantong alveolar kehilangan elastisnya dan jalan nafas kecil
menjadi kolaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat
menjadi membesar .
Hiperinflasi paru
Perbesaran alveoli mencegah paru – paru kembali kepada posisi istirahat normal selama
ekspirasi .
Terbentuknya bullae
Dnding alveolar membengkak dan sebagi kompensasi membentuk suatu bellae (ruanagan
temapt udar yang dapat di lihat pada pemeriksaan sinar-X .
Kolaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap ketika klien berusaha untuk ekshalasi
secara kuat , tekanan positif intra torak akan menyebabkan kolapsnya jalan nafas
(alveoli)
7. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan
penyakit – penyakit lain . foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan foto dada
pada emfiseama paru , yaitu :
Gambaran defesiensi arteri overinflasi terlihat diafragma yang rendah dan datar ,
kadang – kadang terlihat konkaf . oligoemia penyempitan pembuluh darah pulmonal
dan penambahan corakan kedistal .
Corakan paru yang bertambah , sering terdapat pada kor pulmonal , emfisema
sentrilobular dan bloaters . overinflasi tidak begitu hebat .
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang
.
Ventilasi yang hamper adekuat masih sering dapat di pertahankan oleh pasien emfisema paru .
sehingga PaCO2 rendah atau normal . saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi .
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung . bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada hantaran II , III , dan Avf.
Voltase QRS rendah . V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1 .
2. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer.
8. Penatalaksanaan keperawatan
1. PENYULUHAN
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus
di hindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
1. PENCEGAHAN
a) ROKOK
Merokok harus di hentikan meskipun sukar . penyeluhan dan usaha yang optimal harus di
lakukan .
c) VAKSIN
Di anjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi , terutama terhadap influenza dan infeksi
pneumokukus
1. TERAPI FARMAKOLOGI
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih memepunyai
komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat di lakukan dengan :
a) Pemberian bronkodilator
b) Pemberian kortikoteroid
c) Mengurangi sekresi mucus
d) Pemberian bronkodialtor
Golongan teofilin
Biasanya di beriakan denagn dosis 10-15mg/kgBB per oral dengan memperhatikan kadar
teofilin dalam darah . konsentrasi dalam darah yang baik antara 10 – 15 mg/L .
Golongan agonis B2
Biasanya di berikan secara aerosol /nebuliser . efek samping utama adalah tremor , tetapi
menghilang dengan pemberian agak lama .
Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien , pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran
nafas . Hinsway dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama3-
4 minggu . kalau tidak ada respon baru di hentikan .
Mengurangi sekresi mucus
Minum cukup supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga encer sehingga urine
tetap kuning pucat .
Ekspektoran yang sering di guankan adalah gliseril guaiakoat ,kalium yodida dan ammonium
klorida .
Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum
Mukolitik dapat di gunakan asetilsistein atau bromheksin .
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas
hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social , emosional , dan vokasional . program
fisioterapi yang di laksanakan berguna untuk :
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema di sertai kenaikan toleransi
latihan . biasanya di berikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu
latihan . menurut MAKE , pemberian O2 sealma 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik
dari pada 12 jam/hari .
9. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.
Rencana Tindakan:
a. Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.
b. Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
c. Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan
batuk efektif.
d. Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.
Rasional:
a. Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema
mukosabronchial dan spasme muscular.
b. Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi
biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.
c. Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan
jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.
d. Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.
Evaluasi:
a. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
b. Melaporkan penurunan dispnea
c. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
d. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
Rasional :
a. Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan
yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas.
b. Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak
namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
c. Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.
Evaluasi :
a. Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.
b. Menguraikan strategi penghematan energi.
c. Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.
Rasional:
a. Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.
b. Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan
pasien menjadi terkondisi.
c. Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi
ketidakmampuannya.
Evaluasi :
a. Mengekspresikan minat di masa depan Mendiskusikan aktivitas dan metode yang
dapat dilakukan untuk menghilangkan sesak napas.
b. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.