Ensefalitis
Ensefalitis
2) NURHASMA DEWI
Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
Rahmat dan Karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul “ Asuhan
Keperawatan pada Pasien denganTrauma Kepala” ini dengan tepat waktu.
Dari penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa tiada gading yang tak retak.
Begitupulah kami, manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Untuk itu, saran dan kritik
yang membangun daripada semua pihak sangatlah kami perlukan agar penyusunan
makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi daripada makalah yang sekarang ini.
Penyusun
Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Medis
1) Definisi dari Trauma Kepala
2) Etiologi dari Trauma Kepala
3) Klasifikasi dari Trauma Kepala
4) Tipe dari Trauma Kepala
5) Patofisiologi dari Trauma Kepala
6) Manifestasi Klinik dari Trauma Kepala
7) Komplikasi dari Trauma Kepala
8) Penatalaksanaan dari Trauma Kepala
9) Pemeriksaan Diagnostik dari Trauma Kepala
B. Konsep Keperawatan
1) Pengkajian
2) Diagnosa Keperawatan
3) Intervensi
4) Implementasi
5) Evaluasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Trauma kepala meliputi Trauma Kepala, Tengkorak dan Otak. Trauma kepala paling
sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurologis
lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari
setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala
biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya. Resiko utama pasien yang
mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan
otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial
(PTIK).
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. Cedera dibagi menjadi
2 yaitu cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer merupakan kerusakan yang
terjadi pada otak segera setelah trauma. Cedera otak sekunder meerupakan kerusakan
yang berkembang kemudian sebagai komplikasi (Pierce dan Neil 2006).
B. ETIOLOGI
Brain Injury Association of America memperkirakan setiap 21 detik terdapat orang yang
mengalami cedera kepala (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Penyebab utama dari
trauma kepala yang serius adalah kecelakaan lalu lintas (60% kematian yang disebabkan
kecelakaan lalu lintas merupakan akibat cedera kepala). Namun ada penyebab lain dari
trauma kepala, antara lain: (Hernanta, 2013).
1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
Cedera kepala juga disebabkan oleh deselerasi, akselerasi atau efek rotasi akibat
pukulan pada kepala. Mekanisme ini dapat menimbulkan hilangnya kesadaran yang disertai
oleh kerusakan otak ataupun tanpa disertai kerusakan otak.
Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita dan
paling tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas 75
tahun (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17 tahun mempunyai
angka tabrakan lebih dari dua kali per 1.000 pengemudi yang terjadi 4 jam sebelum atau
sesudah tengah malam dengan penyebab utama penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman,
& Alvin, 2000). Lansia beresiko tinggi untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya: atrofi kortikal pada lansia yang memungkinkan otak memiliki
ruang yang lebih luas dalam rongga kranial, lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia
jantung, sering berkemih pada malam hari yang menyebabkan lansia sering bolak-balik ke
kamar mandi, riwayat stroke, serta penggunaan antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn, &
Barbara, 2008).
C. KLASIFIKASI
Trauma kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek, antara lain (Hernanta, 2013):
1. Mekanisme trauma kepala
Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus. Trauma
kepala tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil –motor, jatuh, atau pukulan benda
tumpul. Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput durameter menjadi indikasi apakah suatu trauma termasuk trauma tembus atau
tumpul (Hernanta, 2013).
2. Beratnya trauma
Untuk menilai beratnya trauma dilakukan pemeriksaan Glaslow Coma Scale (GCS).
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai
secara umum dalam deskripsi beratnya penderita trauma kepala (Hernanta, 2013).
a. Cedera Kepala Ringan (CKR)
Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau
mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral
maupun hematoma.
Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
3. Morfologi trauma
Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial (Hernanta, 2013).
a. Fraktur kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang, serta
dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya diperlukan pemeriksaan
CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadi petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih rinci .
tanda dan gejalanya yaitu:
1) Ekimosis periorbital (racoon eye sign)
2) Ekimosis retro aurikuler (battle sign)
b. Lesi intrakranial
Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering terjadi
bersamaan.
1) Lesi lokal
a) Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur bagian dalam
otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural (Morton, Dorrie, Carolyn, &
Barbara, 2008). Ciri dari perdarahan epidural adalah berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung (Hernanta, 2013). Klien dengan perdarahan epidural awalnya dapat
mengalami kehilangan kesadaran, kembali sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami
perburukan hingga menjadi tidak sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi unilateral pupil
menunjukkan tanda lanjut herniasi serebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
b) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas arakhnoid yang
menutupi otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Perdarahan subdural sering
terjadi akibat robeknya jembatan vena yang terletak antara korteks serebri dan sinus venous
tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri
permukaan otak. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat. Prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural (Hernanta, 2013).
c) Kontusio dan perdarahan intra serebral
Kontusio serebral sering terjadi di frontal dan lobus temporal, namun bisa juga terjadi
pada setiap bagian otak seperti batang otak dan cerebellum. Kontusio serebral dapat terjadi
dalam beberapa hari atau jam yang kemudian mengalami evolusi membentuk perdarahan
intraserebral apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangna neurologis (Hernanta, 2013).
A B C
Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma intraserebral
(Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
2) Lesi difus
Cedera difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi.
Pada pemeriksaan CT scan menunjukkan hasil normal, namun keadaan klinis neurologis
sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalam dan lamanya
koma dikelompokkan menjadi kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus
(CAD). Keadaan koma yang dalam dan tetap selama beberapa waktu biasanya penderita
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi. Bila pulih, penderita sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala
disfungsi otonom, seperti: hipotensi, hiperhidrosis, hiperpireksia, dan dulu diduga akibat
cedera batang otak primer (Hernanta, 2013).
4. Kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013)
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontunuitas otak
masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.
Trauma kepala jenis ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak, laserasi
duramater ataupun kerusakan otak. Kerusakan otak dapat terjadi akibat patah tulang
tengkorak yang menusuk otak, akibat pukulan benda tajam atau benda tumpul atau
tembakan. Macam cedera kepala terbuka diantaranya adalah :
1. Fraktur linear didaerah temporal; dimana arteri meningeal media berada dalam jalur
tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural.
2. Fraktur linear melintang garis tengah; sering menyebabkan perdarahan sinus dan
robeknya sinus sagitalis superior.
3. Fraktur didaerah basis; disebabkan oleh trauma dari atas atau kepala bagian atas yang
membentur jalan atau benda diam.
4. Fraktur didaerah fossa crani anterior; sering menyebabkan keluarnya liquor melalui
hidung ( Rhinorhoe ) dan adanya brill hematoma ( Raccon Eye ).
Merupakan perdarahan kecil atau pethechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kecil diotak . Hal ini bersamaan dengan rusaknya jaringan saraf ( otak )
yang akan menimbulkan edema jaringan otak sekitarnya. Bila daerah yang mengalami
edema cukup luas akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial ( TIK ). Tekanan intrakranial
yang meningkat dapat menimbulkan herniasi cerebri yang dapat mengakibatkan penekanan
batang otak yang dapat berakibat fatal. Adapun hal – hal yang menyertai adalah perdarahan
intrakranial yang merupakan perdarahan vaskuler yang utama dari trauma meliputi
a). Perdarahan epidural atau Epidural hematoma; adalah perdarahan yang terjadi antara
tabula interna dan duramater, lokasi tersering pada daerah temporal dan frontal.
c). Perdarahan intra cerebral; merupakan penumpukkan darah pada jaringan otak.
Kebanyakan dihubungkan dengan kontusio dan terjadi dalam area frontal dan temporal.
Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak.
E. PATOFISIOLGI
Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008):
1. Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada kasus
jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-deselerasi sering kali
dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan fisik.
3. Coup-contre coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan
dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera translasional karena benturan
dapat berpindah ke area otak yang berlawanan. Misalnya ketika pasien dipukul dengan
objek tumpul pada bagian kepala.
4. Cedera rotasional
Terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba seta robeknya
pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam otak tengkorak.
Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses primer
dan proses sekunder (Tarwoto, 2013).
1. Proses primer
Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma. Trauma
ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pembentuknya (Tarwoto, 2013).
2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan suplai oksigen
ke otak. Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan
intrakranial yang ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla
edema, nyeri kepala. Peningkatan tekanan intrakranial harus segera ditangani karena dapat
menimbulkan gangguan perfusi jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam
kehidupan. Prinsip dari penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral
blood flow (CBF) untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF
ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic rate, dan
PCO2. CBF yang adekuat akan berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak (CPP), sehingga
kebutuhan metabolisme otak terjaga (Tarwoto, 2013).
F. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki beberapa
tanda dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
c. Somnolen
d. Gelisah
e. Iritabilitas
f. Pucat
2. Tanda-tanda progresitivitas
b. Agitasi memuncak
c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-tanda vital yang
tampak jelas
3. Cedera berat
d. Hemiparesis
e. Kuadriplegia
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atau tidaknya
fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan kerusakan
jaringan otak (Tarwoto, 2013).
1. Fraktur tengkorak, ada laserasi, memar
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di otak,
merobek durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal. Kemungkinan
tanda dan gejala yang muncul, antara lain:
a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung (rhinorrhoe) dan telinga
(otorrhoe).
b. Kerusakan saraf kranial
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan
kerusakan pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara
lain:
a. Perubahan tajam penglihatan karena terjadi kerusakan pada nervus optikus
b. Kehilangan pendengaran karena terjadi kerusakan pada nervus auditorius
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot mata karena
kerusakan nervus okulomotorius
g. Warna kebiruan atau hematoma pada periorbital, dan di belakang telinga di atas
mastoid (battle sign)
3. Tingkat kesadaran
Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrogat, mual, dan muntah.
4. Kerusakan jaringan otak
Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau
MRI.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)
1. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
2. Hematoma subdural kronik yang dapat terjadi pada trauma kepala ringan, dan
epilepsi pasca trauma terjadi terutama pada pasien yang mengalami kejang awal
(dalam minggu pertama setelah cidera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari
24 jam), fraktur depresi kranium, atau hematoma intrakranial
3. Pasien dengan fraktur basis cranii beresiko mengalami kebocoran CSF dari hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) yang dapat memberikan kemungkinan terjadinya
meningitis. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk
robekan dura. Bedah eksplorasi juga diperlukan apabila terjadi kebocoran CSF
persisten
4. Sindrom pascakonkusi yaitu sindrom dengan beberapa gejala: nyeri kepala, vertigo,
depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah trauma kepala
ringan. Vertigo dapat terjadi akibat terdapat trauma pada vestibular.
H. PENATALAKSANAAN
Terdapat bebeapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam trauma kepala juga,
yaitu: (Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012)
1. Mempertahan fungsi ABC (airway, breathing, circulation)
2. Menilai status neurologis (disabilitas dan pajanan)
3. Penurunan resiko iskemi serebri, dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan
glukosa meskipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen
dan glukosa yang lebih rendah
Diagnosa dan terapi sangat penting dan perlu dengan segara penanganan Tindakan
stabilisasi kardiopulmoner pada penderita Trauma Kepala Berat harus dilakukan
secepatnya.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik dan penunjang pada trauma kepala, yaitu (Baughman &
Hackley 2000; Grace & Borley 2007; Muttaqin 2012) :
1. Rontgen tengkorak: AP, lateral, dan posisi Towne
2. CT scan/ MRI: menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, dan edema serabral
3. Cerebral Angiography: menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat dilakukan
primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE (airway, breathing,
circulation, disability, exposure), dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting
pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
a. Survei Primer
1. Airway
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck
collar, head block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2. Breathing
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau Normal Salin
(20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan.
4. Disability
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS ≤ 8, harus
diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan
intracranial.
5. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering
datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.
Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun
pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et al.2009).
b. Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dalami akibat
cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga
leher diindikasikan jika :
5) Kelemahan umum.
A. PENGKAJIAN
1. Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan kegawat daruratan
meliputi :
a. Airway
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea, bradipnea,
ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti snoring, gargling, rhonki
atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya takikardi,
bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil. Kaji juga kondisi akral dan nadi
pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil anisokor
dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang
cukup jelas dan cepat dengan metode AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan,
pastikan terlebih dahulu 3A yaitu aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh
pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka
pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat keparahan
cidera:
1. Cidera kepala ringan atau minor (kelompok resiko rendah) Ciri-cirinya :
b. Konkusi
d. Muntah
e. Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.
2. Secondary Survey
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah
mulai membaik.
a. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan
bagian penting dari pengkajian pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat
masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau
kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat,
atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
1. Provokes atau palliates : apa yang menyebabkan nyeri ?, apa yang membuat
nyerinya lebih baik ? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk ? apa yang anda
lakukan saat nyeri ? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur ?
2. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya ?, apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas ? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri)
3. Radiates: apakah nyerinya menyebar ? menyebar kemana ? apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak ?
4. Severity : seberapa parah nyerinya ? dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
5. Time : kapan nyeri itu timbul ?, apakah onsetnya cepat atau lambat ? berapa lama
nyeri itu timbul ? apakah terus menerus atau hilang timbul ?, apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya ? apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya
atau berbeda ?
b. Pemeriksaan fisik
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala
penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri
tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
2. Wajah
4. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka, frekuensi
dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam atau tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung
(murmur, gallop, friction rub)
5. Neurologis
c. Pemeriksaan Penunjang
3. MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
6. CSF, Lumbal Punksi: dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
7. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas bd akumulasi secret, sisa muntahan
2. Ketidakefektifan pola nafas bd spinal cord injury, trauma kepala
C. INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan bersihan Setelah diberikan e. Auskultasi suara napas,
jalan napas bd akumulasi asuhan keperawatan catat adanya suara napas
secret, sisa muntahan selama 24 jam jalan tambahan (ronchi,
napas klien bebas wheezing,gurgling)
dengan KH:
f. Lakukan fiksasi pada
a. RR normal (12-
daerah kepala leher untuk
24x/menit)
meminimalkan terjadinya
b. Ritme
gerakan
pernapasan
reguler g. Lakukan pembebasan jalan
napas secara manual
c. Klien mampu
dengan teknik jaw thrust
untuk
maneuver secara hati-hati
mengeluarkan
untuk mencegah terjadinya
secret, sisa
gerakan leher
muntahan
h. Lakukan pembebasan jalan
d. Tidak terdengar
napas dengan alat
suara napas
(nasophaaryngeal
tambahan (ronchi,
airway/oropharyngeal
wheezing,
airway) jika dibutuhkan
gurgling)
i. Monitoring pernapasan dan
status oksigenasi klien
k. Kolaborasi untuk
pemberian analgetik
l. Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol
nyeri.
4. Resiko ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Kaji, observasi, evaluasi
perfusi jaringan cerebral bd asuhan keperawatan tanda-tanda penurunan
edema cerebral, selama 24 jam klien perfusi serebral:
peningkatan TIK menunjukan status gangguan mental,
sirkulasi dan perfusi pingsan, reaksi pupil,
jaringan serebral yang penglihatan kabur, nyeri
membaik dengan KH: kepala, gerakan bola
a. TD dalam mata.
rentang normal
2. Hindari tindakan valsava
(120/80 mmHg)
manufer (suction lama,
b. Tidak ada tanda
mengedan, batuk terus
peningkatan TIK
menerus).
c. Klien mampu
3. Berikan oksigen sesuai
bicara dengan
instruksi dokter
jelas,
menunjukkan 4. Lakukan tindakan
konsentrasi, bedrest total
perhatian dan
orientasi baik 5. Minimalkan stimulasi dari
luar.
Fungsi sensori motorik
cranial utuh : 6. Monitor Vital Sign serta
9. Kolaborasi pemberian
obat-obatan untuk
meningkatkan volume
intravaskuler sesuai
perintah dokter.
5. Resiko kekurangan volume Setelah diberikan 1. Kaji intake dan out put.
cairan bd mual muntah dan asuhan keperawatan
2. Kaji tanda-tanda
perdarahan selama 24 jam tidak
dehidrasi: turgor kulit,
ditemukan tanda-tanda
membran mukosa, dan
kekurangan volume
ubun-ubun atau mata
cairan atau dehidrasi
cekung dan out put urine.
dengan KH:
a. membran 3. Berikan cairan intra vena
mukosa lembab sesuai program.
b. integritas kulit
baik
c. nilai elektrolit
dalam batas
normal.
6. Resiko infeksi bd tempat Selama dilakukan 1. Kaji adanya drainage
masuknya organisme perawatan di Rumah pada area luka.
sekunder akibat trauma Sakit klien tidak
2. Monitor tanda-tanda vital:
mengalami infeksi yang
suhu tubuh.
ditandai dengan KH:
a. Tidak ada 3. Lakukan perawatan luka
tanda-tanda dengan steril dan hati-
infeksi (rubor,
kalor, dolor, hati.
hilangnya
fungsio laesa) 4. Kaji tanda dan gejala
d. leukosit dalam
batas normal.
D. IMPLEMENTASI
E. EVALUASI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi
cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan
oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan
(deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi
atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan
berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya
hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan
terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak
menyeluruh.
B. SARAN
Semoga makalah kami ini dapat membantu para mahasiswa dan mahasiswi dalam
proses pemebelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: Erlangga,
p.91
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika, p.161.