Anda di halaman 1dari 14

IV 

PROGRAM 
NASIONAL 
PROGRAM NASIONAL 
GAMBARAN UMUM 
Untuk  meningkatkan  derajat  kesehatan  masyarakat  Indonesia,  Pemerintah  menetapkan beberapa 
program nasional yang menjadi prioritas. Program prioritas tersebut meliputi: 
a) menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka 
kesehatan ibu dan bayi b) menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS c) menurunkan angka 
kesakitan tuberkulosis d) pengendalian resistensi antimikroba e) pelayanan geriatri Implementasi 
program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila mendapat dukungan penuh dari 
pimpinan/direktur rumah sakit berupa penetapan regulasi, pembentukan organisasi pengelola, 
penyediaan fasilitas, sarana dan dukungan finansial untuk mendukung pelaksanaan program. 
SASARAN, STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, SERTA ELEMEN PENILAIAN 
SASARAN I: PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI SERTA 
PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN BAYI 
Standar 1 Rumah sakit melaksanakan program PONEK 24 jam di rumah sakit beserta monitoring 
dan evaluasinya. 
Standar 1.1 Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan PONEK. 
Standar 1.2 
369 
 
Rumah  sakit  melaksanakan  pelayanan  rawat  gabung,  mendorong  pemberian  ASI  ekslusif, 
melaksanakan  edukasi  dan  perawatan  metode  kangguru  pada  bayi  berat  badan  lahir  rendah 
(BBLR). 
Maksud dan Tujuan Standar 1, Standar 1.1 dan Standar 1.2 
Mengingat kematian bayi mempunyai hubungan erat dengan mutu penanganan ibu hamil dan 
melahirkan, maka proses antenatal care, persalinan dan perawatan bayi harus dilakukan dalam 
sistem terpadu di tingkat nasional dan regional. Pelayanan obstetri dan neonatal regional 
merupakan upaya penyediaan pelayanan bagi ibu dan bayi baru lahir secara terpadu dalam 
bentuk Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di Rumah Sakit dan 
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di tingkat Puskesmas. 
Rumah  Sakit  PONEK  24  Jam  merupakan  bagian  dari  sistem  rujukan  dalam  pelayanan 
kedaruratan  dalam  maternal  dan  neonatal,  yang  sangat  berperan  dalam  menurunkan  angka 
kematian ibu dan bayi baru lahir. 
Kunci keberhasilan PONEK adalah ketersediaan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai 
kompetensi, prasarana, sarana dan manajemen yang handal. 
Rumah sakit dalam melaksanakan program PONEK sesuai dengan pedoman PONEK yang 
berlaku, dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai berikut: 
a) melaksanakan dan menerapkan standar pelayanan perlindungan ibu dan bayi 
secara terpadu dan paripurna. b) mengembangkan kebijakan dan SPO pelayanan sesuai 
dengan standar c) meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi termasuk 
kepedulian terhadap ibu dan bayi. d) meningkatkan kesiapan rumah sakit dalam 
melaksanakan fungsi pelayanan obstetrik dan neonatus termasuk pelayanan kegawat daruratan 
(PONEK 24 jam) e) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai model dan pembina teknis dalam 
pelaksanaan IMD dan pemberian ASI Eksklusif f) meningkatkan fungsi rumah sakit sebagai 
pusat rujukan pelayanan kesehatan 
ibu dan bayi bagi sarana pelayanan kesehatan lainnya. g) meningkatkan fungsi rumah sakit 
dalam Perawatan Metode Kangguru (PMK) 
pada BBLR. h) melaksanakan sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program RSSIB 
10 langkah menyusui dan peningkatan kesehatan ibu i) ada regulasi rumah sakit yang 
menjamin pelaksanaan PONEK 24 jam, meliputi pula pelaksanaan rumah sakit sayang ibu dan 
bayi, pelayanan ASI eksklusif (termasuk IMD), pelayanan metode kangguru, dan SPO Pelayanan 
Kedokteran untuk pelayanan PONEK (lihat juga PAP 3.1) 
370 
 
j) dalam rencana strategis (Renstra), rencana kerja anggaran (RKA) rumah 
sakit, termasuk upaya peningkatan pelayanan PONEK 24 jam k) tersedia ruang pelayanan 
yang memenuhi persyaratan untuk PONEK antara 
lain rawat gabung l) pembentukan tim PONEK m) tim PONEK mempunyai program kerja 
dan bukti pelaksanaannya n) terselenggara pelatihan untuk meningkatan kemampuan pelayanan 
PONEK 
24 jam, termasuk stabilisasi sebelum dipindahkan o) pelaksanaan rujukan sesuai peraturan 
perundangan p) pelaporan dan analisis meliputi : 
• angka keterlambatan operasi operasi section caesaria (SC) ( > 30 menit) 
• angka keterlambatan penyediaan darah ( > 60 menit) 
• angka kematian ibu dan bayi 
• kejadian tidak dilakukannya inisiasi menyusui dini (IMD) pada bayi baru lahir 
Elemen Penilaian Standar 1 
1. Ada regulasi rumah sakit tentang pelaksanaan PONEK 24 jam di rumah sakit 
dan ada rencana kegiatan PONEK dalam perencanaan rumah sakit. (R) 2. Ada bukti keterlibatan 
pimpinan rumah sakit di dalam menyusun kegiatan 
PONEK. (D,W) 3. Ada bukti upaya peningkatan kesiapan rumah sakit dalam melaksanakan 
fungsi pelayanan obstetrik dan neonatus termasuk pelayanan kegawat daruratan (PONEK 24 
Jam). (D,W) 4. Ada bukti pelaksanaan rujukan dalam rangka PONEK (lihat juga ARK.5). 
(D,W) 5. Ada bukti pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi program rumah sakit 
sayang ibu dan bayi (RSSIB). (D,W) 6. Ada bukti pelaporan dan analisis yang meliputi 1 
sampai dengan 4 di maksud 
dan tujuan. (D,W) 
Elemen Penilaian Standar 1.1 
1. Ada bukti terbentuknya tim PONEK dan program kerjanya. (R) 2. Ada bukti pelatihan 
pelayanan PONEK. (D,W) 3. Ada bukti pelaksanaan program tim PONEK. (D,W) 4. Tersedia 
ruang pelayanan yang memenuhi persyaratan untuk PONEK. 
(D,O,W) 
Elemen Penilaian Standar 1.2 
1. Terlaksananya rawat gabung. (O,W) 2. Ada bukti RS melaksanakan IMD dan mendorong 
pemberian ASI Ekslusif. 
(O,W) 
371 
 
3. Ada bukti pelaksanaan edukasi dan perawatan metode kangguru (PMK) pada 
bayi berat badan lahir rendah (BBLR). (D,O,W) 
SASARAN II: PENURUNAN ANGKA KESAKITAN HIV/AIDS (Standar 2) 
Standar 2 Rumah sakit melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan. 
Maksud dan Tujuan Standar 2 Dalam waktu yang singkat virus human immunodeficiency virus 
(HIV) telah mengubah keadaan sosial, moral, ekonomi dan kesehatan dunia. Saat ini HIV/AIDS 
merupakan masalah kesehatan terbesar yang dihadapi oleh komunitas global. 
Saat ini, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan melakukan peningkatan fungsi 
pelayanan kesehatan bagi orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Kebijakan ini menekankan 
kemudahan akses bagi orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk mendapatkan layanan 
pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan, sehingga diharapkan lebih banyak orang 
hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memperoleh pelayanan yang berkualitas. Rumah sakit 
dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan standar pelayanan bagi rujukan 
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan satelitnya dengan langkah-langkah pelaksanaan sebagai 
berikut: 
• meningkatkan fungsi pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT); 
• meningkatkan fungsi pelayanan Prevention Mother to Child Transmision (PMTCT); 
• meningkatkan fungsi pelayanan Antiretroviral Therapy (ART) atau bekerjasama dengan RS 
yang ditunjuk; 
• meningkatkan fungsi pelayanan Infeksi Oportunistik (IO); 
• meningkatkan fungsi pelayanan pada ODHA dengan faktor risiko Injection Drug Use (IDU); 
dan 
• meningkatkan fungsi pelayanan penunjang, yang meliputi: pelayanan gizi, laboratorium, dan 
radiologi, pencatatan dan pelaporan. 
Elemen Penilaian Standar 2 
1. Adanya regulasi rumah sakit dan dukungan penuh manajemen dalam 
pelayanan penanggulangan HIV/AIDS. (R) 2. Pimpinan rumah sakit berpartisipasi dalam 
menyusun rencana pelayanan 
penanggulangan HIV/AIDS. (D,W) 
372 
 
3. Pimpinan rumah sakit berpartisipasi dalam menetapkan keseluruhan proses/mekanisme dalam 
pelayanan penanggulangan HIV/AIDS termasuk pelaporannya. (D,W) 4. Terbentuk dan 
berfungsinya Tim HIV/AIDS rumah sakit ( D,W ) 5. Terlaksananya pelatihan untuk 
meningkatkan kemampuan teknis Tim 
HIV/AIDS sesuai standar. (D,W) 6. Terlaksananya fungsi rujukan HIV/AIDS pada rumah 
sakit sesuai dengan 
kebijakan yang berlaku. (D) 7. Terlaksananya pelayanan VCT, ART, PMTCT, IO, ODHA 
dengan faktor risiko 
IDU, penunjang sesuai dengan kebijakan. (D) 
SASARAN III: PENURUNAN ANGKA KESAKITAN TUBERKULOSIS 
Standar 3 Rumah sakit melaksanakan program penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit 
beserta monitoring dan evaluasinya melalui kegiatan: 
a) promosi kesehatan; b) surveilans tuberkulosis; c) pengendalian faktor risiko; d) penemuan dan 
penanganan kasus tuberkulosis; e) pemberian kekebalan; dan f) pemberian obat pencegahan. 
Standar 3.1 
Rumah sakit menyiapkan sumber daya untuk penyelenggaraan pelayanan dan penanggulangan 
tuberkulosis. 
Standar 3.2 
Rumah sakit menyediakan sarana dan prasarana pelayanan tuberkulosis sesuai peraturan 
perundang-undangan. 
Standar 3.3 
Rumah sakit telah melaksanakan pelayanan tuberkulosis dan upaya pengendalian faktor risiko 
tuberkulosis sesuai peraturan perundang-undangan. 
Maksud dan Tujuan Standar 3 sampai dengan Standar 3.3 
373 
 
Pemerintah  telah  mengeluarkan  kebijakan  penanggulangan  tuberkolosis  berupa  upaya kesehatan 
yang mengutamakan aspek promotif, preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif 
yang  ditujukan  untuk  melindungi  kesehatan  masyarakat  ,  menurunkan  angka  kesakitan  , 
kecatatan  atau  kematian,  memutuskan  penularan  mencegah  resistensi  obat  dan  mengurangi 
dampak negatif yang ditimbulkan akibat tubekulosis. 
Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan tubekulosis melalui kegiatan yang meliputi: 
a) Promosi kesehatan yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan 
komprehensif mengenai pencegahan penularan, penobatan , pola hidup bersih dan sehat (PHBS) 
sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran yaitu pasien dan keluarga, pengunjung 
serta staf rumah sakit b) Surveilans tuberkulosis, merupakan kegiatan memperoleh data 
epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program penanggulangan tuberkulosis, 
seperti pencatatan dan pelaporan tuberkulosis sensitif obat, pencatatan dan pelaporan 
tuberkulosis resistensi obat. c) Pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk 
mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya 
sesuai dengan pedoman pengendalian pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit 
pengendalian faktor risiko tuberkulosis, ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan 
kejadian penyakit tuberkulosis, yang pelaksanaannya sesuai dengan pedoman pengendalian 
pencegahan infeksi tuberkulosis di rumah sakit d) Penemuan dan penanganan kasus tuberkulosis. 
Penemuan kasus tuberkulosis dilakukan melalui pasienyang datang kerumah sakit, setelah 
pemeriksaan, penegakan diagnosis, penetapan klarifikasi dan tipe pasien tuberkulosis. Sedangkan 
untuk penanganan kasus dilaksanakan sesuai tata laksana pada pedoman nasional pelayanan 
kedokteran tuberkulosis dan standar lainnya sesuai dengan peraturanperundang- undangan. e) 
Pemberian kekebalan 
Pemberian kekebalan dilakukan melalui pemberian imunisasi BCG terhadap bayi dalam upaya 
penurunan risiko tingkat pemahaman tuberkulosis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
f) Pemberian obat pencegahan. 
Pemberian  obat  pencegahan  selama  6  (enam)  bulan  yang  ditujukan  pada  anak  usia  dibawah  5 
(lima)  tahun  yang  kontak  erat  dengan  pasien  tuberkulosisi  aktif;  orang  dengan  HIV  dan  AIDS 
(ODHA)  yang  tidak  terdiagnosa  tuberkulosis;  pupulasi  tertentu  lainnya  sesuai  peraturan 
perundang-undangan. 
374 
 
Kunci  keberhasilan  penanggulangan  tuberkulosis  di  rumah  sakit  adalah  ketersediaan 
tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai kompetensi, prasarana, sarana dan manajemen yang handal. 
Elemen Penilaian Standar 3 
1. Ada regulasi rumah sakit tentang pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di rumah sakit dan 
ada rencana kegiatan penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS dalam perencanaan 
rumah sakit. (R) 2. Pimpinan rumah sakit berpartisipasi dalam menetapkan keseluruhan 
proses/mekanisme dalam program pelayanan tuberkulosis termasuk pelaporannya. (D,W) 3. Ada 
bukti upaya pelaksanaan promosi kesehatan tentang tuberkulosis. (D,W) 4. Ada bukti 
pelaksanaan surveilans tuberkulosis dan pelaporannya. (D,W) 5. Ada bukti pelaksanaan upaya 
pencegahan tuberkulosis melalui pemberian 
kekebalan dengan vaksinasi atau obat pencegahan. (D,W) 
Elemen Penilaian Standar 3.1 
1. Ada bukti terbentuknya tim DOTS dan program kerjanya. (R) 2. Ada bukti pelatihan 
pelayanan dan upaya penanggulangan tuberkulosis. (D,W) 3. Ada bukti pelaksanaan program tim 
DOTS. (D,W) 4. Ada bukti pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi program 
penanggulangan tuberkulosis. (D,W) 5. Ada bukti pelaporan dan analisis yang meliputi a) 
sampai dengan f) di maksud 
dan tujuan. (D,W) 
Elemen Penilaian Standar 3.2 
1. Tersedia ruang pelayanan rawat jalan yang memenuhi pedoman pencegahan 
dan pengendalian infeksi tuberkulosis. (O,W) 2. Bila rumah sakit memberikan pelayanan 
rawat inap bagi pasien tuberkulosis paru dewasa maka rumah sakit harus memiliki ruang rawat 
inap yang memenuhi pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis. (O,W) 3. 
Tersedia ruang pengambilan specimen sputum yang memenuhi pedoman 
pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis. (O,W) 4. Tersedia ruang laboratorarium 
tuberkulosis yang memenuhi pedoman 
pencegahan dan pengendalian infeksi tuberkulosis. (O,W) 
Elemen Penilaian Standar 3.3 
1. Rumah sakit memiliki panduan praktek klinis tuberkulosis. (R) 
375 
 
2. Ada bukti kepatuhan staf medis terhadap panduan praktek klinis tuberkulosis. 
(D,O,W) 3. Terlaksana proses skrining pasien tuberkulosis saat pendaftaran. (D,O,W) 4. Ada 
bukti staf mematuhi penggunaan alat pelindung diri (APD) saat kontak 
dengan pasien atau specimen. (O,W) 5. Ada bukti pengunjung mematuhi penggunaan alat 
pelindung diri (APD) saat 
kontak dengan pasien. (O,W) 
SASARAN IV: PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA 
Gambaran Umum 
Resistensi  terhadap  antimikroba  (disingkat:  resistensi  antimikroba,  dalam  bahasa  Inggris 
antimicrobial  resistance,  AMR)  telah  menjadi  masalah  kesehatan  yang  mendunia,  dengan 
berbagai  dampak  merugikan  yang  dapat  menurunkan  mutu  dan  meningkatkan  risiko  pelayanan 
kesehatan  khususnya  biaya  dan  keselamatan  pasien.  Yang  dimaksud  dengan  resistensi 
antimikroba  adalah  ketidak  mampuan  antimikroba  membunuh  atau  menghambat  pertumbuhan 
mikroba sehingga penggunaannya sebagai terapi penyakit infeksi menjadi tidak efektif lagi. 
Meningkatnya  masalah  resistensi  antimikroba  terjadi  akibat  penggunaan  antimikroba  yang tidak 
bijak  dan  bertanggung  jawab  dan  penyebaran  mikroba  resisten  dari  pasien  ke  lingkungannya 
karena tidak dilaksanakannya praktik pengendalian dan pencegahan infeksi dengan baik. 
Dalam  rangka  mengendalikan  mikroba  resisten  di  rumah  sakit,  perlu  dikembangkan  program 
pengendalian  resistensi  antimikroba  di  rumah  sakit.  Pengendalian  resistensi  antimikroba  adalah 
aktivitas  yang  ditujukan  untuk  mencegah  dan/atau  menurunkan  adanya  kejadian  mikroba 
resisten. 
Dalam  rangka  pengendalian  resistensi  antimikroba  secara  luas  baik  di  fasilitas  pelayanan 
kesehatan  maupun  di  komunitas  di  tingkat  nasional  telah  dibentuk  Komite  Pengendalian 
Antimikroba  yang  selanjutnya  disingkat  KPRA  oleh  Kementerian  Kesehatan.  Disamping  itu 
telah  ditetapkan  program  aksi  nasional  /  national  action  plans  on  antimicrobial  resistance  (NAP 
AMR)  yang  didukung  oleh  WHO.  Program  pengendalian  resistensi  antimikroba  (PPRA) 
merupakan  upaya  pengendalian  resistensi  antimikroba  secara  terpadu  dan  paripurna  di  fasilitas 
pelayanan kesehatan. 
Implementasi program ini di rumah sakit dapat berjalan baik apabila mendapat dukungan penuh 
dari pimpinan/direktur rumah sakit berupa penetapan regulasi 
376 
 
pengendalian resistensi antimikroba, pembentukan organisasi pengelola, penyediaan fasilitas, 
sarana dan dukungan finansial untuk mendukung pelaksanaan PPRA. 
Penggunaan  antimikroba  secara  bijak  ialah  penggunaan  antimikroba  yang  sesuai  dengan 
penyakit  infeksi  dan  penyebabnya  dengan  rejimen dosis optimal, durasi pemberian optimal, efek 
samping  dan  dampak  munculnya  mikroba  resisten  yang  minimal  pada  pasien.  Oleh  sebab  itu 
diagnosis  dan  pemberian  antimikroba  harus  disertai  dengan upaya menemukan penyebab infeksi 
dan kepekaan mikroba patogen terhadap antimikroba. 
Penggunaan  antimikroba  secara  bijak  memerlukan  regulasi  dalam  penerapan  dan 
pengendaliannya.  Pimpinan  rumah  sakit  harus  membentuk  komite  atau  tim  PPRA  sesuai 
peraturan perundang-undangan sehingga PPRA dapat dilakukan dengan baik. 
Standar 4 Rumah sakit menyelenggarakan pengendalian resistensi antimikroba sesuai peraturan 
perundang-undangan. 
Maksud dan Tujuan Standar 4 
Tersedia regulasi pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit yang meliputi: 
a. Pengendalian resistensi antimikroba. b. Panduan penggunaan antibiotik untuk terapi dan 
profilaksis pembedahan. c. Organisasi pelaksana, Tim/ Komite PPRA terdiri dari tenaga 
kesehatan yang 
kompeten dari unsur: 
• Staf Medis 
• Staf Keperawatan 
• Staf Instalasi Farmasi 
• Staf Laboratorium yang melaksanakan pelayanan mikrobiologi klinik 
• Komite Farmasi dan Terapi 
• Komite PPIT 
• Komite Farmasi dan Terapi 
• Komite PPI Organisasi PRA dipimpin oleh staf medis yang sudah mendapat 
sertifikat pelatihan PPRA. Rumah sakit menyusun program pengendalian resistensi antimikroba 
di rumah sakit terdiri dari: 
a) peningkatan pemahaman dan kesadaran seluruh staf,pasien dan keluarga 
tentang masalah resistensi anti mikroba; b) pengendalian penggunaan antibiotik di rumah 
sakit; c) surveilans pola penggunaan antibiotik di rumah sakit; d) surveilans pola resistensi 
antimikroba di rumah sakit e) forum kajian penyakit infeksi terintegrasi 
377 
 
Elemen Penilaian Standar 4 
1. Ada regulasi dan program tentang pengendalian resistensi antimikroba di 
rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan.(R) 2. Ada bukti pimpinan rumah sakit 
terlibat dalam menyusun program. (D,W) 3. Ada bukti dukungan anggaran operasional, 
kesekretariatan, sarana prasarana 
untuk menunjang kegiatan fungsi, dan tugas organisasi PPRA. (D,O,W) 4. Ada bukti 
pelaksanaan pengendalian penggunaan antibiotik terapi dan 
profilaksis pembedahan pada seluruh proses asuhan pasien. (D,O,W) 5. Direktur melaporkan 
kegiatan PPRA secara berkala kepada KPRA. (D,W) 
Standar 4.1 
Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) melaksanakan kegiatan pengendalian resistensi antimikroba. 
Maksud dan Tujuan Standar 4.1 
Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) membuat laporan pelaksanaan program/ kegiatan PRA 
meliputi: 
a) kegiatan sosialisasi dan pelatihan staf tenaga kesehatan tentang pengendalian 
resistensi antimikroba b) surveilans pola penggunaan antibiotik di RS (termasuklaporan 
pelaksanaan 
pengendalian antibiotik) c) surveilans pola resistensi antimikroba d) forum kajian penyakit 
infeksi terintegrasi 
Rumah sakit (Tim/Komite PPRA) menetapkan dan melaksanakan evaluasi dan analisis indikator 
mutu PPRA sesuai peraturan perundang-undangan meliputi: 
a) perbaikan kuantitas penggunaan antibiotik b) perbaikan kualitas penggunaan antibiotik c) 
peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin dan 
terintegrasi d) penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba resisten e) 
indikator mutu PPRA terintegrasi pada indikator mutu PMKP 
Rumah  sakit  melaporkan  perbaikan  pola  sensitivitas  antibiotik  dan  penurunan  mikroba  resisten 
sesuai  indikator  bakteri  multi-drug  resistant  organism  (MDRO),  antara  lain:  bakteri  penghasil 
extended spectrum beta-lactamase (ESBL), Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), 
Carbapenemase  resistant  enterobacteriaceae  (CRE)  dan  bakteri  pan-resisten  lainnyA  (Lihat  juga 
PPI.6). 
378 
 
Elemen Penilaian Standar 4.1 
1. Ada organisasi yang mengelola kegiatan pengendalian resistensi antimikroba dan 
melaksanakan program pengendalian resistensi antimikroba rumah sakit meliputi a) sampai 
dengan d) di maksud dan tujuan. (R) 2. Ada bukti kegiatan organisasi yang meliputi a) sampai 
dengan d) di maksud 
dan tujuan. (D,W) 3. Ada penetapan indikator mutu yang meliputi a) sampai dengan e) di 
maksud 
dan tujuan. (D,W) 4. Ada monitoring dan evaluasi terhadap program pengendalian resistensi 
antimikroba yang mengacu pada indikator pengendalian resistensi antimikroba (D,W) 5. Ada 
bukti pelaporan kegiatan PPRA secara berkala dan meliputi butir a) sampai 
dengan e) di maksud dan tujuan. (D,W) 
SASARAN V: PELAYANAN GERIATRI 
Standar 5 Rumah sakit menyediakan pelayanan geriatri rawat jalan, rawat inap akut dan rawat 
inap kronis sesuai dengan tingkat jenis pelayanan. Standar 5.1 Rumah Sakit melakukan promosi 
dan edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis 
Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service). Maksud dan Tujuan Standar 5 dan 
Standar 5.1 Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi penyakit/gangguan akibat 
penurunan fungsi organ, psikologi, sosial, ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan 
pelayanan kesehatan secara tepadu dengan pendekatan multi disiplin yang bekerja sama secara 
interdisiplin. Dengan meningkatnya sosial ekonomi dan pelayanan kesehatan maka usia harapan 
hidup semakin meningkat, sehingga secara demografi terjadi peningkatan populasi lanjut usia. 
Sehubungan dengan itu rumah sakit perlu menyelenggarakan pelayanan geriatri sesuai dengan 
tingkat jenis pelayanan geriatri: 
a) tingkat sederhana b) tingkat lengkap c) tingkat sempurna d) tingkat paripurna 
Elemen Penilaian Standar 5 
1. Ada regulasi tentang penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit sesuai 
dengan tingkat jenis layanan. (R) 
379 
 
2. Terbentuk dan berfungsinya tim terpadu geriatri sesuai tingkat jenis layanan. 
(R,D,W) 3. Terlaksananya proses pemantauan dan evaluasi kegiatan. (D,O,W) 4. Ada 
pelaporan penyelenggaraan pelayanan geriatri di rumah sakit. (D,W) 
Elemen Penilaian Standar 5.1 
1. Ada regulasi tentang edukasi sebagai bagian dari Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di 
Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service). (R) 2. Ada 
program PPRS terkait Pelayanan Kesehatan Warga Lanjut usia di Masyarakat Berbasis Rumah 
Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service). (D,W) 3. Ada leaflet atau alat bantu 
kegiatan (brosur, leaflet dll). (D,W) 4. Ada bukti pelaksanaan kegiatan. (D,O,W) 5. Ada evaluasi 
dan laporan kegiatan pelayanan. (D,W) 
380 

Anda mungkin juga menyukai