Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum mengenai Ayam Petelur

Ayam domestik termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang

ditujukan kepada Galluells domesticus. Ayam diklasifikasikan sebagai berikut

(Scanes et al., 2004) :

Filum : Chordata

Subfilum : vertebrata

Kelas : Aves

Superordo : Carinatae

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus gallus

Asal mula ayam petelur berasal dari ayam liar yang ditangkap dan

dipelihara karena mampu menghasilkan telur yang banyak. Pada awal tahun

1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya, akrab dengan pola kehidupan

masyarakat di pedesaan. Pada tahun 1940-an, orang mulai mengenal ayam yang

saat itu dipelihara oleh penduduk Belanda, sehingga diberi nama ayam Belanda

atau ayam negeri. Pada perkembangan selanjutnya, ayam liar ini disebut ayam

kampung atau ayam buras, sedangkan ayam Belanda disebut ayam ras (Anonim,

2000).

Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah

ayam ras petelur White Leghorn yang kurus dan umumnya telah habis masa

3
produktifnya. Hingga pada akhir periode tahun 1990-an mulai merebak

peternakan ayam pedaging yang memang khusus untuk daging, sementara ayam

petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat

mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan

pedaging yang enak.

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara dengan

tujuan untuk diambil telurnya. Berbagai seleksi telah dilakukan, salah satunya

diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan

ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga

menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali

persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”).

Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul (Anonim, 2000).

Berdasarkan berat badannya, ayam petelur dibagi menjadi dua tipe, yakni

ayam petelur tipe ringan, dan ayam petelur tipe medium. Ayam tipe medium

umumnya berwarna coklat dan lebih diminati oleh peternak ayam petelur. Ayam

petelur medium tergolong ayam dwiguna, sebab selain dapat memproduksi telur,

juga dapat menghasilkan daging yang banyak pula. Bobot ayam ini cukup berat.

Meskipun itu, beratnya masih berada di antara berat ayam petelur ringan dan

ayam pedaging (Anonim, 2000).

Berdasarkan manajemen pemeliharaannya, ayam petelur dikelompokkan

dalam 3 fase pertumbuhan, yakni; fase starter, fase grower, dan fase layer.

Rahmadi (2009) mengungkapkan bahwa ayam petelur fase layer merupakan

ayam yang berumur antara 20 hingga 80 minggu (afkir). Ayam pada akhir masa

4
produksi tergolong dalam fase layer, yakni pada umur 50 minggu ke atas. Ayam

pada akhir masa produksi biasa disebut ayam tua. Boling et al., (2000)

menyatakan bahwa ayam tua adalah ayam yang berumur 70 sampai 76 minggu.

B. Reproduksi Ayam Ras Petelur

Pada ayam yang telah mengalami dewasa kelamin, ovarium kiri adalah

organ kompleks yang terdiri atas jaringan-jaringan yang berbeda, sedangkan

ovarium kanan tidak fungsional, sehingga merupakan struktur rudimentary.

Robinson dan Renema (2008) menyatakan bahwa ayam hanya memiliki satu

ovarium yang fungsional. Ovarium dibentuk oleh stroma, yang merupakan

struktur pendukung dasar.

Ovarium terdiri dari sekelompok folikel kecil dimana folikel ini telah ada

sebelum ayam menetas. Folikel kecil ini berwarna putih, semakin lama semakin

berkembang dan berubah menjadi warna kuning, sehingga termasuk kedalam

kelompok folikel besar, dan akhirnya mengalami ovulasi. Namun, tidak semua

folikel akan berkembang sampai ovulasi. Beberapa folikel mengalami “atresia”

yang berarti bahwa folikel tersebut tidak mengalami perkembangan lanjutan.

Pada dinding folikel terdapat satu lapisan sel yang disebut sel granulosa yang

terletak paling dekat dengan folikel. Di bagian luar lapisan granulosa adalah

jaringan theca. Pada jaringan theca terdapat jaringan saraf, dan pembuluh darah

(Robinson dan Renema, 2008).

Sebagian besar dari komponen yolk diperoleh dari stimulasi estrogen,

sedangkan komponen yang lain dihasilkan oleh hati. Pada ayam yang bertelur

tiap hari, 19 g dari komponen yolk disintesis oleh hati setiap hari yang dialirkan ke

5
folikel melalui pembuluh darah dan dideposisikan ke dalam yolk melalui suatu

sistem yang disebut mekanisme reseptor-mediasi khusus (Etches, 1993).

C. Proses Pembentukan Telur

Folikel yang telah masak akan mengalami ovulasi yang selanjutnya akan

masuk ke dalam oviduk. Pada dasarnya terdapat sepasang oviduk dalam organ

reproduksi betina. Namun, pada ayam petelur oviduk yang berkembang hanya

pada bagian kiri. Bentuknya panjang dan berkelok-kelok, ujungnya melebar

membentuk corong dengan tepi yang berjumbai (Nalbandov, 1990). Pada

dasarnya, oviduk terdiri dari empat bagian yaitu; infundibulum, magnum, isthmus,

dan uterus.

Infundibulum adalah bagian teratas dari oviduk dengan panjang 9 cm dan

merupakan tempat terjadinya fertilisasi. Selama di infundibulum, yolk mengalami

pematangan selama 15 menit, kemudian masuk ke magnum. Magnum merupakan

organ terpanjang dari oviduk (33 cm), dan merupakan tempat dibentuknya

albumen selama kurang lebih 3 jam. Selanjutnya, telur menuju isthmus yang

merupakan tempat pembentukan membran sel dalam dan luar selama 1,25 jam,

hingga akhirnya telur menuju uterus untuk pembentukan kerabang.

Perkembangan telur paling lama terjadi di uterus, sekitar 18 sampai 20 jam

(Nalbandov, 1990).

Formasi terbentuknya kerabang telur dengan adanya ketersediaan ion

kalsium dan ion carbonat di dalam cairan uterus yang akan membentuk kalsium

karbonat. Sumber utama ion karbonat terbentuk karena adanya CO2 dalam darah

hasil metabolisme dari sel yang terdapat pada uterus, dan dengan adanya H2O,

6
keduanya dirombak oleh enzim carbonic anhydrase (dihasilkan pada sel mukosa

uterus) menjadi ion bikarbonat yang akhirnya menjadi ion karbonat setelah ion

hidrogen terlepas. Beberapa hubungan antara kalsium dalam darah, CO2 dan ion

bikarbonat di dalam uterus dalam peristiwa pembentukan kerabang telur dapat

dilihat pada Gambar 1. Untuk itu, pada ayam petelur perlu diperhatikan bahwa

kebutuhan kalsium terutama harus disediakan pada pakan, karena jika kekurangan

kalsium akan mengambil dari cadangan kalsium pada tulang (Nesheim et al.,

1979).

Gambar 1. Pembentukan kerabang telur dalam uterus (Nesheim et al., 1979).

Pada dasarnya, darah sangat penting dalam mengangkut komponen-

komponen yang dibutuhkan dalam pembentukan yolk, maupun pembentukan

7
kerabang telur, sehingga perubahan kondisi hematologis dari ayam petelur akan

sangat mempengaruhi produksi telurnya.

D. Profil Hematologis pada Ayam Petelur

Hematologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang darah dan salah satu

bagian penting dalam proses diagnosa suatu penyakit serta berperan dalam ilmu

patologi klinis. Ilmu ini tidak hanya mencakup pemeriksaan susunan sel darah,

tetapi juga mencakup studi mengenai jaringan yang membentuk, menyimpan dan

mensirkulasikan sel-sel darah (Anonim, 2012). Jain (1993) mengemukakan

bahwa pemeriksaan hematologis pada hewan berfungsi sebagai screening test

untuk menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk

evaluasi status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa.

Dalam peternakan ayam petelur, peranan hematologi juga sangat penting dalam

menentukan tingkat produksi telur. Ayam petelur yang memiliki tingkat produksi

telur yang berbeda diindikasikan memiliki profil hematologis yang berbeda pula.

Darah merupakan komponen penting yang berperan dalam proses-proses

fisiologis dalam tubuh yang mengalir melalui pembuluh darah dan sistem

kardiovaskular. Darah memiliki banyak fungsi, antara lain (Sturkie, 1976) ; (1)

penyerapan dan transport zat-zat nutrien dari saluran pencernaan ke seluruh

jaringan, (2) mengangkut gas-gas dalam darah dari dan menuju jaringan-jaringan,

(3) membuang hasil sisa proses metabolisme, (4) mengangkut hormon-hormon

yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, dan (5) mengatur keseimbangan

konsentrasi air pada jaringan tubuh. Darah juga berperan penting dalam proses

regulasi dan pengaturan suhu tubuh.

8
Darah mentransportasikan substrat metabolik yang dibutuhkan oleh seluruh

sel di tubuh, termasuk oksigen, glukosa, asam amino, asam lemak dan beberapa

lipid. Darah juga membawa keluar beberapa produk metabolit yang dikeluarkan

oleh setiap sel seperti karbondioksida, asam laktat, buangan bernitrogen dari

metabolisme protein dan panas (Cunningham, 2002).

Darah memenuhi sekitar 12% dari bobot badan dari anak ayam yang baru

menetas dan sekitar 6-8% pada ayam dewasa (Bell, 2002). Darah tersusun atas

sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit) yang bersirkulasi dalam cairan yang

disebut plasma (Meyer dan Harvey, 2004). Jika darah diberi antikoagulan dan

dilakukan sentrifugasi, maka dapat terlihat darah terdiri dari plasma 55% dan sel

45% yang terdiri dari leukosit, eritrosit dan trombosit. Jumlah leukosit lebih

sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan trombosit.

Sel darah merah (eritrosit) pada unggas berbeda pada mamalia. Selnya

berbentuk oval dan memiliki inti (nucleus) (Sturkie, 1976). Adanya inti yang

dimiliki eritrosit akan memungkinkan sel darah merah memiliki kemampuan

untuk bergerak sendiri, selain mengandalkan pergerakan yang berasal dari jantung

maupun oleh adanya perbedaan tekanan dalam pembuluh darah. Jumanto dkk.

(2009) menyatakan bahwa, salah satu fungsi utama nukleus adalah untuk

mengontrol aktivitas sel dengan mengelola ekspresi gen. Dalam nukleus terdapat

nukleolus (anak inti) yang mensintesis molekul RNA, sehingga peranannya sangat

penting untuk eritrosit unggas yang aktivitas dan sintesis proteinnya tinggi.

Daur hidup dari eritrosit unggas cenderung sangat singkat dibandingkan

mamalia. Rata-rata daur hidup eritrosit manusia sekitar 50 sampai 60 hari,

9
sedangkan pada unggas rata-rata 28 sampai 35 hari (Sturkie, 1976). Tingkat

metabolisme yang tinggi pada unggas mengakibatkan kinerja eritrosit lebih tinggi

pula, sehingga sel darah merah cepat mati dan kembali bersiklus. Pada unggas,

temperatur tubuh yang tinggi menyebabkan tingkat proses metabolisme juga

semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan pengangkutan darah harus lebih

cepat.

Sturkie (1976) melaporkan bahwa eritrosit unggas memiliki daur hidup yang

singkat namun daya tahannya cukup tinggi. Sel darah merah pada mamalia akan

mengalami hemolisa seluruhnya dengan penambahan NaCl sekitar 0,3 – 0,45%.

Sedangkan, pada eritrosit unggas, dengan penambahan NaCl 0,40 - 0,48%, sel

darah merah mulai mengalami hemolisis, dan akan hemolisis seluruhnya pada

konsentrasi NaCl 0,27 – 0,28%.

Penyesuaian bentuk sel darah merah terhadap proses fisiologis tubuh unggas

antara lain, dengan tingkat fleksibilitas sel darah untuk mampu bergerak bebas

dengan kecepatan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan panas tubuh dari

unggas. Eritrosit pada unggas memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan

eritrosit pada mamalia. Ukurannya bervariasi tergantung dari spesiesnya

(Gunnarson, 2012). Ukuran yang lebih besar terkait dengan jumlah molekul

globin yang mampu dibawa dalam satu sel darah merah. Meskipun ukuran sel

darah merah unggas lebih besar, namun bentuknya lebih datar, sehingga

pergerakan sel darah merah lebih cepat.

Persentase dari jumlah sel darah dapat dihitung melalui penentuan nilai

hematokrit. Nilai hematokrit merupakan persentase sel darah merah yang terdapat

10
dalam darah. Nilai hematokrit atau Packed Cell Volume adalah suatu istilah yang

artinya persentase (berdasar volume) dari darah yang terdiri dari sel darah merah

(Frandson, 1996). Mary (2009) menyatakan bahwa nilai hematokrit adalah

volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut dengan % dari volume

darah itu. Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena / kapiler.

Nilai viskositas pada darah bervariasi, seperti halnya nilai hematokrit.

Plasma, tanpa sel-sel, dan partikel-partikel lainnya memiliki nilai viskositas 1,3

(air murni memiliki nilai viskositas 1). Menurut Cunningham (2002), hematokrit

mempengaruhi viskositas darah. Semakin besar persentase sel dalam darah

(hematokrit) akan semakin besar gesekan yang terjadi antara berbagai lapisan

darah, dan gesekan ini membentuk viskositas (Guyton dan Hall, 1997). Darah

mamalia dengan nilai hematokrit normal 45% memiliki nilai viskositas 2,4 kali

dari nilai viskositas plasma (Berne dan Levy, 1992).

Sel darah padat dipisahkan dari plasma menggunakan sentrifuge dengan

kecepatan 3000 rpm. Sturkie (1976) melakukan sentrifugasi terhadap darah ayam,

angsa, dan kalkun pada 3215 X g selama 30 menit dalam tabung kecil dan

ditentukan nilai hematokrit, dan jumlah plasma yang terbentuk.

Komponen darah yang lain adalah plasma. Plasma darah adalah

komponen darah berbentuk cairan berwarna kuning yang menjadi medium sel-sel

darah, dan penutup sel darah, yang berbentuk butiran-butiran darah. Di dalamnya

terkandung benang-benang fibrin/fibrinogen yang berguna untuk menutup luka

yang terbuka. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah, dengan

besar volume 55% dari volume darah yang terdiri dari 90% berupa air dan 10%

11
berupa larutan protein, glukosa, faktor koagulasi, ion mineral, hormon dan

karbondioksida, karena dinding kapiler permiabel bagi air dan elektrolit maka

plasma darah selalu ada dalam pertukaran zat dengan cairan interstisial. Dalam

waktu 1 menit sekitar 70% cairan plasma bertukaran dengan cairan interstisial.

Fungsi plasma darah adalah mengangkut sari makanan ke sel-sel serta

membawa sisa pembakaran dari sel ke tempat pembuangan serta menghasilkan zat

kekebalan tubuh terhadap penyakit atau zat antibodi (Subekti, 2010). Plasma

darah banyak membawa zat-zat makanan, misalnya: protein, glukosa, lemak , dan

kalsium, kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuh.

Kadar glukosa dalam darah relatif terkendali karena dipertahankan oleh

proses homeostatis dalam tubuh. Tingkat perubahan glycaemia dalam proses

pertumbuhan dan pematangan tergantung dari asupan nutrisi, performans

produksi, serta perubahan lingkungan (Nasreldin et al., 1988).

Kolesterol berhubungan erat dengan metabolisme asam empedu , hormon

steroid, dan zat-zat lainnya (Griffin, 1992). Umur juga berpengaruh terhadap

perubahan kadar kolesterol (Suchẏ et al., 1999). Dalam hal perkembangan sel

telur (ovarium), lemak dan protein yang berasal dari hati dideposisikan ke

ovarium melalui plasma darah. Pada dasarnya, produksi lemak dan protein dalam

hati dipengaruhi oleh hormon estrogen. Setelah diproduksi dalam hati, lemak dan

protein dialirkan dalam plasma darah dalam bentuk vitellogenin dan VLDL (Very

Low Density Lipoprotein). Kemudian dideposisikan ke ovarium dalam bentuk

triglycerides, dan apoprotein yang terdegradasi melalui 95 kDa reseptor (Stevens,

1996). Dalam darah juga terdapat beberapa enzim yang ditransportasikan menuju

12
hati seperti aspartate amino-transfarase (ASTL, yang juga disebut dengan

glutamic oxaloacetic transaminase, SGOT), dan alanine-amino transaminase

(ALTL, atau glutamic pyruvic transaminase) yang secara langsung maupun tidak

langsung mencerminkan kondisi kesehatan hati (Ernadi dan Kermanshahi, 2007).

Kadar asam urat berubah berdasarkan purine dan jumlahnya meningkat

dalam darah. Selain itu, peningkatan konsentrasi asam urat juga dipengaruhi oleh

temperature lingkungan (Koelkebeck dan Odom, 1995).

Beberapa studi yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya

melaporkan hasil dari beberapa parameter hematologis dan biokimia darah ayam

petelur, yang meliputi ; jumlah eritrosit, nilai hematokrit, kadar glukosa,

kolesterol, asam urat, ALTL, dan ASTL. Hasil dari beberapa studi tersebut dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter hematologis dan biokimia darah ayam ras petelur pada peneliti
yang berbeda
Parameter Selama Bertelur
Jumlah eritrosit (T/l)a 2.27 – 2.52
Hematokrit (%)b 28,2 -31,1
Glukosa (mg/dL) c 234 – 243
Kolesterol (mg/dL) c
90 – 99
Asam Urat (mg/dL)c 4.86
d
ALTL (U/l) 1.1
ASTL (U/l)d 170.6
a
Keterangan : = Uko & Ataja (1996)
b
= Lichovníková et al. (2002)
c
= Favlík et al. (2007)
d
= Matur et al. (2010)
Beberapa parameter hematologis darah yang berperan dalam proses

produksi telur adalah jumlah eritrosit dan nilai hematokrit. Jumlah eritrosit darah

yang diperoleh beberapa peneliti menunjukkan nilai yang cukup bervariasi dengan

kisaran antara 2,08 sampai 3,15 T/l. Variasi nilai hematokrit dapat diakibatkan

13
oleh beberapa faktor antara lain strain ayam, perkandangan, pakan, dan lain-lain.

Penelitian yang dilakukan Strakova et al. (2001) melaporkan adanya peningkatan

jumlah eritrosit selama bertelur. Pada saat bertelur, aktivitas metabolisme tubuh

semakin meningkat, sehingga dibutuhkan sel darah dalam jumlah yang lebih

banyak untuk mentransportasikan O2 yang dibutuhkan untuk metabolisme.

Jumlah sel darah yang meningkat selama periode bertelur akan meningkatkan

nilai hematokrit.

Parameter biokimia darah antara lain; kadar glukosa, kolesterol, asam

urat, serta enzim ALTL dan ASTL. Glukosa merupakan parameter yang paling

mudah terpengaruh oleh perubahan fisiologis ayam, misalnya karena pemberian

pakan, temperatur, penyakit, dan lain-lain. Kadar kolesterol serta asam urat sangat

berpengaruh selama fase produksi, terutama dalam proses transpor lipoprotein

yang sebagian besar berasal dari hati.

14

Anda mungkin juga menyukai