Week 3
LO2 : Menjelaskan pengenalan akan Tuhan melalui sesama dan lingkungan hidup
Apakah sesamaku manusia yang lain adalah pribadi yang lain? Iya, karena sebagai
subjek otonom mereka itu unik dan berbeda dengan saya. Mereka adalah aku-ku yang lain
yang berbeda dengan saya dalam penampilan fisik, keahlian profesional, cita-cita, tugas
pekerjaan, bakat, hobi dll. Namun adakah sesamaku yang lain memiliki kualitas kesamaan
dengan diriku? Jawabannya ada! Kesamaan itu terletak pada kenyataan humanis bahwa kita
sama-sama sebagai spesis manusia dan secara religius kita sama-sama adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Jadi, manusia berbeda (disting) namun sekaligus mirip
(identik). Namun secara rohani-spiritual, kita sama sungguh adalah ciptaan Tuhan.
Semua agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu) meyakini satu
kebenaran religius dasar, bahwa setiap subjek manusia merupakan makhluk yang bernilai
luhur dan mulia. Status keluhuran karakter esensial insan manusia seperti ini didasarkan pada
suatu premis keyakinan religius utama bahwa semua manusia sungguh diciptakan oleh Allah
atau Tuhan sendiri. Kendatipun semua manusia lahir di dalam suku, ras, agama, etnis, dan
bangsa yang berbeda-beda namun sejatinya hakikat setiap manusia sama-sama adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu terdapat adanya struktur kesamaan
atau kesederajatan eksistensial semua manusia dari perspektif religius. Kita manusia sungguh
adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Setiap manusia apapun dia: sehat atau sakit, cacat
atau normal, sukses atau gagal, sedih atau senang, kaya atau miskin, hitam atau putih, kurus
atau gemuk, cantik atau tidak, sungguh bernilai intrinsik-ekuivalen di mata Tuhan karena ia
asasinya diciptakan oleh Tuhan itu sendiri sebagai pencipta segala ada di dalam realitas
semesta ini.
Tuhan menciptakan setiap manusia sebagai suatu kebaikan dan keindahan sejak
awalnya. Tuhan memberikan kualitas fisik dan jiwani bagi manusia untuk bisa mengenali
DIA sebagai Tuhan Pencipta melalui sesama yang lain selain alam kosmos. Tuhan
menciptakan manusia dengan kualitas lebih daripada ciptaan yang lain: dianugerahi akal,
perasaan moral, dan aspek religius untuk bisa mengembangkan diri, mengolah alam dan
memuliakan Tuhan.
Tuhan hadir di dalam diri sesama memberikan motivasi atau inspirasi kepada setiap
kita manusia untuk berbuat baik, berlaku sopan, bertindak tulus dan penuh cinta untuk
mengasihi sesama yang lain sebagai mana kita dikasihi oleh Allah sendiri. Tuhan terlalu luar
biasa mencintai setiap kita, sehingga kita pun layak membagikan cinta itu kepada sesama kita
yang lain yang belum beruntung nasibnya.
B. DIMENSI-DIMENSI MANUSIA1
1. Tubuh
Tubuh manusia merupakan dimensi yang dapat dilihat dan disentuh secara langsung
dengan hampir 100 miliar sel yang secara aktif bersama-sama dengan organ tubuh melakukan
fungsi kehidupan. Masing-masing sel bekerja secara aktif untuk melangsungkan kehidupan
yang terkonstruksi dalam sistem kerangka, otot, peredaran darah, indera, pernafasan,
pencernaan, reproduksi, eksresi, kekebalan tubuh, endoktrin dan sistem saraf. Setiap sistem
organik tubuh bekerja masing-masing dan terkait satu sama lain untuk menjalankan fungsi
kehidupan tubuh secara umum. Jika salah satu bagian sistem tubuh rusak, maka itu berpotensi
merusakkan bagian tubuh yang lain. Idealnya semua sistem tubuh berfungsi normal sehingga
memberikan efek energi kesehatan bagi kondisi tubuh manusia. Tubuh memiliki kaitan juga
dengan dimensi-dimensi manusia yang lain.
Kondisi sehat tergantung bagaimana dimensi pikiran, hati dan jiwa manusia.
Kesehatan tubuh tergantung pola makan, waktu istirahat, jenis aktivitas kerja, dll. Tubuh
1
Bagian ini diadaptasi dari Materi CB : Self Development yang diterbitkan oleh CBDC Bina Nusantara
University: Jakarta
Ada asumsi bahwa tubuh adalah pelayan yang baik bagi manusia, tetapi merupakan
tuan yang buruk. Ketidakmampuan manusia untuk mengatur diri secara efektif akan
menimbulkan penuaan diri, penurunan kecerdasan, dan menghalangi perkembangan potensi
diri. Sebaliknya jika tubuh dikendalikan dengan baik oleh pikiran, hati dan jiwa maka sistem
fisiologis manusia akan semakin baik dan memberi dampak positif bagi kesehatan tubuh:
segar, gembira, damai, tenang dll.
Steven Covey (2005:496) menganjurkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk
mengolah tubuh agar menjadi pelayan yang baik bagi kita manusia yakni:
2. Pikiran
Realitas dunia kita adalah dunia yang terus dinamis, mengalir dan berubah. Demikian
keyakinan filosofis filsuf Heraklitus. Hal ini meneguhkan prinsip filsafat panta rhei, yang
artinya segala sesuatu ada senantiasa mengalir dan berproses menjadi (becoming).
Sebagaimana air sungai yang terus mengalir, demikian juga realitas dunia ini tidak pernah
ada satu pun yang tetap, semuanya berubah terus menerus (Bdk. Bertens: 1975, hal. 9-10).
Perubahan itu terjadi dalam hal apa saja di dalam alam ini yakni ledakan populasi makhluk
hidup, ledakan hasil-hasil ilmu dan teknologi, arus informasi, dll. Semua fenomena ini
menantang pikiran kita untuk terus belajar, berpikir kreatif dan berpikir analitis sehingga bisa
menyesuaikan diri dengan gejala kehidupan yang terjadi. Tanpa belajar terus menerus,
manusia akan tergerus oleh berbagai perubahan yang ada. Kita manusia suka atau tidak, perlu
terbuka untuk belajar agar tidak menjadi korban (the victim) dari berbagai perubahan itu.
Collin Rose dalam bukunya Accelerated Learning for the 21st Century,
memperkenalkan 6 langkah rencana mengembangkan pikiran dengan rumus M-A-S-T-E-R,
yakni:
Memotivasi pikiran artinya membuat pikiran selalu dalam keadaan siap untuk belajar,
yakni keadaan yang rileks, percaya diri, dan selalu termotivasi. Untuk ini, kita perlu
menyelidiki apa manfaat dan dampak yang bermakna dari belajar (pembelajaran) bagi
kita. Apa manfaatnya belajar bagi saya untuk masa kini dan masa depan.
Perasaan adalah kekayaan estetis kita manusia untuk merasakan keindahan dan cinta
kasih. Kita bisa merasakan keindahan alam, atau lagu yang indah atau mengagumi
kecantaikan wanita atau kegantengan pria ketika perasaan kita disentuh. Perasaan dapat
menjadi tuan yang baik atau pun tuan yang buruk. Perasaan tidak boleh dikendalikan oleh
perasaan semata-mata, tetapi juga tubuh, pikiran dan jiwa. Bayangkan kalau kita merasa
sedih dan larut dalam perasaan sedih itu berkepanjangan, maka kita pasti merana dan tersiksa
sekali.
Tentang pentingnya kita mengelola perasaan dianjurkan pertama kali oleh Leuner
(1966) bahwa pengelolaan emosi ini tergantung pada kemampuan yang disebut emotional
intelligence (EI). EI ini lalu dikembangkan atau dipublikasikan secara meluas oleh Wayne
Payne’s (1985), lalu Greenspan (1989) yang diperbarui oleh Salovey dan Meyer (1990) lalu
Daniel Goleman (1995). Mengelola perasaan itu artinya kita juga mengembangkan dan
meningkatkan emosi. Ada 5 cara untuk mengembangkan emosi atau EI ini, yakni:
meningkatkan kesadaran diri, memotivasi pribadi, mengatur diri sendiri, berempati,
bersosialisasi dll.
Steven Covey berpandangan bahwa jiwa merupakan inti dari ketiga dimensi lain dari
manusia. Jiwalah yang menggerakkan pikiran, mengembangkan perasaan, menggerakkan
tubuh dll. Tanpa jiwa, manusia lenyap dan musnah. Jiwa membuat sel-sel tubuh membelah
diri, sistem organ bekerja, pikiran bergerak dan perasaan berkembang. Kendatipun demikian
relasi timbal balik antara ketiga dimensi itu dengan jiwa tidak dapat dihindarkan. Tanpa
tubuh yang sehat, pikiran yang selalu belajar, perasaan yang terkontrol, jiwa tidak mungkin
dapat berekspresi menjadi manusia yang ideal.
Jiwa dapat dikembangkan sehingga bisa menjadi tuan yang baik bagi manusia. Covey
memperkenalkan tiga hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan jiwa, yakni:
Melatih integritas artinya mensintesiskan perbuatan dengan nilai, keyakinan, dan hati
nurani. Seseorang disebut memiliki integritas yang baik jika sikap atau perbuatannya sesuai
dengan nilai, keyakinan dan hati nuraninya. Integritas itu konsistensi antara pikiran, tindakan
dan nilai etis-moral yang dianut.
b). Makna
Apa yang membuat manusia ada adalah pada saat manusia merasa bermakna dalam
setiap detik-detik pengalaman dan perjalanan hidupnya. Makna artinya menyadari nilai dan
tujuan hidup manusia pada masa kini dan nanti. Kesadaran ini membuat manusia menghargai
hidup, menghargai waktu dan merefleksikan pengalamannya.
Melalui suara hati, jiwa dapat berekspresi melebih dimensi rasionalitas. Seorang filsuf
bernama Thomas Aquinas (1225-1274) bahkan mengatakan bahwa jiwa mampu melakukan
aktivitas-aktivitas yang melebih badani belaka, yakni berpikir dan berkehendak. Itulah
aktivitas-aktivitas rohani. Karena aktivitas jiwa itu bersifat rohani, maka jiwa itu bersifat
rohani-spiritual pula (agere sequitur esse). Makanya setelah manusia mati, jiwa manusia
hidup terus dalam keabadian.
Penjelasan mengenai tubuh, pikiran, hati dan jiwa memberikan kepada kita wawasan
atau orientasi bahwa dimensi-dimensi manusia atau Sang Aku adalah satu walaupun mereka
ada masing-masing secara terpisah. Pemahaman ini menuntut kita untuk memperlakukan
dimensi-dimensi manusia Sang Aku secara integratif-holistik. Kita menerima keempat
dimensi ini dengan penuh kesadaran dan memperlakukan keempatnya secara adil di dalam
realitas kemanusiaan kita.
Setiap penganut agama yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu memberkati umatNya
dan menyertai umatNya di mana saja mereka berada. Entah susah atau senang, sedih atau
gembira, sukses ataupun gagal Tuhan tetap hadir menyertai kita umatNya. Tuhan selalu ada
dan selalu setia untuk kita umatNya.
Semua agama percaya bahwa Tuhan memberikan perintah kepada manusia untuk
saling membantu, menolong dan mencintai satu sama lain dalam kehidupan ini. Kendatipun
agama yang kita anuti itu berbeda (ada yang menganut iman keagamaan Kristiani, Muslim,
Hindu, Budha dan Konghucu) namun kita diminta oleh Tuhan untuk saling memperhatikan
dan saling peduli. Perbedaan agama yang kita anuti seharusnya tidak membatasi atau tidak
menghalangi kita untuk saling menolong dan saling mencintai satu sama lain dengan tulus-
ikhlas.
Cinta yang tulus terhadap sesama harus kita pahami dan terlebih kita wujudkan dalam
tindakan nyata sehari-hari untuk menolong dan membantu satu sama lain. Ketika ada umat
beragama lain yang tertimpa musibah (bencana alam dll), kita seyogyanya menolong tanpa
melihat latar belakang perbedaan keyakinan agama yang dianut oleh mereka yang mengalami
musibah itu. Doktrin agama mengajarkan kita umatNya untuk mencintai sesama secara
universal, yakni mencintai sesama melampaui batas-batas(frontiers) primordial: suku, agama,
ras, dan golongan sosial apapun. Cinta terhadap sesama berkarakter umum, publik dan
universal untuk semua orang dari golongan agama apapun itu. Itulah makna sejati mencintai
sesama dengan tulus tanpa batasan apapun.
Setiap ajaran agama melalui kitab suci masing-masing telah menggariskan kepada
kita suatu imperatif (perintah) untuk saling mencintai satu sama lain. Di dalam agama Hindu,
Budha, Islam, Kristiani (Katolik & Protestan) serta Konghucu diajarkan kepada kita nilai-
nilai luhur yang perlu kita terapkan dalam hubungan dengan sesama manusia yang lain. Ini
berarti mencintai sesama atau saling mencintai adalah suatu etika religius. Lebih tepatnya
suatu etika kewajiban religius yang radikal dan mendasar dalam hubungan kita dengan
sesama. Artinya mencintai sesama bukan bersifat aksidental atau tambahan saja, melainkan
unsur yang mendasar atau substansial di dalam relasi kita dengan sesama manusia.
Alkitab Kristiani menunjukkan bahwa cinta kasih merupakan hukum tertinggi dan
terutama. Di dalam Injil Matius 22:37-40 tertulis: Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.Itulah hukum yang
terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yaitu Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah terdapat seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi”. Ini artinya isi kitab suci bahkan hukum terutama yang terdapat di dalam seluruh
Alkitab (Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama) berintikan perintah untuk mengasihi:
baik mengasihi Tuhan maupun mengasihi sesama. Dalam konteks ini mengasihi sesama
Di dalam Budhisme, aspek cinta kasih merupakan hukum utama dalam relasi
antarmanusia. Menurut Buddha, ketidakpedulian khususnya kepada orang miskin membuat
kemelaratan bertambah, pencurian meningkat, tindak kekerasan dan berbagai bentuk
kejahatan berkembang cepat, pembunuhan menjadi biasa, sehingga usia harapan hidup dari
waktu ke waktu semakin pendek (D. III, 65-73). Kalau manusia peduli pada sesamanya,
hidup akan menjadi semakin indah, bermakna, penuh cinta dan damai. Peduli pada sesama
adalah suatu panggilan untuk mencintai sesama manusia.
Budhisme mengakui pentingnya cinta dalam kehidupan. Nikaya Pali memuat satu
kata cinta yang berbeda dengan cinta yang lain yakni cinta kasih yang dipancarkan secara
universal (tak terbatas) kepada semua makhluk dan cinta kasih yang tanpa pamrih, yaitu:
Metta.
Metta adalah rasa persaudaraan, persahabatan, pengorbanan, yang mendorong kemauan baik,
memandang makhluk lain sama dengan dirinya sendiri. Metta juga suatu keinginan untuk
membahagiakan makhluk lain dan menyingkirkan kebencian (dosa) serta keinginan jahat
(byapada). Pengembangan Metta dapat mengantarkan manusia pada pencapaian kedamaian
Nibbana (Mettacetto vimutti), seperti yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada
368:
"Apabila seorang bhikkhu hidup dalam cinta kasih dan memiliki keyakinan terhadap Ajaran
Sang Buddha, maka ia akan sampai pada Keadaan Damai (Nibbana), berhentinya hal-hal
yang berkondisi(sankhara)". Namun harus diwaspadai bahwa Metta yang dipancarkan secara
berlebihan kepada lawan jenis dapat mengalami penyimpangan menjadi cinta nafsu atau cinta
egois. Untuk itu manusia harus mengolah batinnya untuk tidak egois.
Salah satu kisah tentang keutamaan cinta kasih dalam muslim (Islam) muncul dari
sosok Nabi Muhammad SAW yang mengubah benci jadi cinta. Dikatakan Nabi Muhammad
SAW sering diperlakukan secara sangat tidak manusiawi di zamannya, seperti dilempari
kotoran oleh orang-orang Quraisy Mekkah, namun yang menariknya sang nabi selalu
memaafkannya. Sewaktu ada yang hendak membantunya untuk membalas, Nabi Muhammad
Dalam Islam, mencintai sesama manusia dikenal dengan istilah hablun min annas.
Cinta terhadap sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan dari rasa cinta terhadap
Penciptanya. Karena dalam ajaran Islam, cinta terhadap Allah SWT, juga berarti cinta
terhadap sesama insan manusia yang lain juga sebagai ciptaan-Nya. Rasa cinta terhadap
sesama manusia tidak bisa terlepaskan dari sifat kemanusiaan. Pandangan Islam menyatakan,
kemanusiaan merupakan satu kesatuan, berbeda-beda bagiannya untuk membentuk satu
masyarakat, berjenis-jenis dalam keserasian, dan berlainan pendapat untuk saling melengkapi
satu sama lain dalam mencapai tujuan, supaya dengan begitu ia cocok pula untuk saling
melengkapi dengan alam, untuk membentuk wujud yang satu pula. Sebagaimana Allah
berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang paling
mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah ialah orang-orang yang paling takwa di antara
kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S.Al-
Hujurat:13).Pada prinsipnya, cinta terhadap sesama manusia adalah dengan tolong-menolong,
saling mengenal dan keserasian. Menurut pandangan Islam, rasa cinta terhadap sesama
manusia bisa diwujudkan, salah satunya dengan keadilan dan persamaan derajat di antara
manusia.
Dalam Hinduisme, diyakini bahwa saling mencintai dan mengasihi siapa saja tanpa
memandang perbedaan fisik akan memberikan keseimbangan cinta kasih. Dalam Yajur Weda
32. 8 dinyatakan “Sa’atah protasca wibhuh prajasu” yang artinya Tuhan terjalin dalam
makhluk yang diciptakan. Sangat menonjol bagi manusia modern mengenai konsep cinta
dalam kehidupan berkeluarga dalam Weda adalah keterbukaan. Masalah kehidupan rumah
Dalam Atharwa Weda III.30 dinyatakan perkataan Pendeta kepada kelompok keluarga:
”Aku membuat engkau bersatu dalam hati, bersatu dalam pikiran, tanpa rasa benci,
mempunyai ikatan satu sama lain seperti anak sapi yang baru lahir dari induknya. Agar anak
mengikuti Ayahnya dalam kehidupan yang mulia dan sehaluan dengan Ibunya. Agar si isteri
berbicara yang manis, mengucapkan kata-kata damai kepada suaminya. Agar sesama saudara,
laki atau perempuan tidak saling membenci. Agar semua bersatu dan menyatu dalam tujuan
yang luhur dan berbicara dengan sopan. Semoga minuman yang engkau minum bersama dan
makan makanan bersama.”
Konsep hubungan garis vertikal dan horizontal juga berlaku dalam kehidupan keluarga agar
mencapai satu tujuan luhur yaitu keharmonisan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan
bersama. Kebersamaan yang begitu menonjol dalam kehidupan keluarga inti menjadi
parameter ke tingkat kehidupan keluarga yang lebih besar dan kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Di dalam Konghucu, cinta (Ren) merupakan salah satu ajaran yang pokok. Ren artinya
Cinta Kasih universal, tidak terbatas pada orang tua dan keluarga sedarah belaka, namun juga
meluas kepada sahabat, lingkungan terdekat, masyarakat, bangsa, negara, agama dan umat
manusia. Ren bebas tidak membeda-bedakan manusia dari latar belakang atau ikatan
primordialnya. Ren tidak mengenal segala bentuk diskriminasi atau pertimbangan atas dasar
kelompok. Ren dalam pengertian agama Konghucu selalu didasari pada sikap ketulusan,
berbakti, memberi, bukan meminta atau menuntut balasan dalam bentuk apapun. Namun
perlu diingat bahwa Ren tidak berarti mencinta tanpa dasar pertimbangan baik dan buruk.
Dalam salah satu sabdanya Kongzi mengatakan bahwa “Orang yang berperi-Cintakasih bisa
mencintai dan membenci”. Mencintai Kebaikan dan membenci Keburukan. Balaslah
Kebaikan dengan Kebaikan; Balaslah Kejahatan dengan Kelurusan”. Ini artinya siapa pun
yang bersalah, harus diluruskan, dihukum secara adil dan diberi pendidikan secara optimal
agar dapat kembali ke jalan yang benar. Setelah berada di jalan yang benar, kita tidak boleh
terkena stigma, menilai atas dasar masa lalu seseorang, melaikan mencintai orang itu secara
tulus lagi.
Alquran (Kitab Suci Islam), Alkitab (Kitab Suci Katolik dan Kristen Protestan), Kitab Weda
(Kitab Suci Hindu), Kitab Tripitaka (Kitab Suci Budha), Kitab Wu Jing & Si Shu
(Kitab Suci Konghucu) dan ajaran/diktrin suci agama masing-masing yang relevan.
Elenora Sumual et all (2009). Draf CB: Self Development. Jakarta: CBDC Bina Nusantara
University.
Frederikus Fios et all (2012). CB: Spiritual Development. Jakarta: Bina Nusantara University.
K. Bertens (2001). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Stephen R. Covey (2005). 8 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Diterjemahkan oleh
Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, Jakarta.
http://indonesiaindonesia.com/f/41074-konsep-cinta-agama-buddha/
http://www.mediahindu.net/berita-dan-artikel/artikel-umum/81-cinta-kasih-dalam-perspektif-
hindu.html
https://matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/