Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang

Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data digital yang merepresentasikan


bentuk topografi suatu wilayah dalam tiga dimensi (3D). Aplikasi Model Elevasi
Digital antara lain adalah dalam geomorfologi seperti pemodelan erosi, hidrologi
misalnya dalam pemodelan banjir, perencanaan tata ruang suatu wilayah, manajemen
penggunaan lahan, pemetaan wilayah rawan bencana, dan berbagai keperluan lainnya
seperti pembuatan peta rupabumi, serta peta ortofoto. Data DEM umumnya dibentuk
dari data pengukuran secara langsung pada objek di lapangan (survei terestris), data
penginderaan jauh, maupun data digitasi peta analog. Data penginderaan jauh yang
digunakan dalam pembentukan DEM antara lain adalah data foto udara, serta
penginderaan jauh dengan sensor aktif seperti LIDAR (Light Detection and Ranging)
dan SAR (Syntethic Aperture Radar). Pembuatan DEM melalui foto udara
membutuhkan data stereo yaitu kondisi dimana citra atau foto satu dengan yang
lainnya memiliki daerah yang saling tumpang tindih (overlap) dengan sudut pandang
yang berbeda. Turunan dari data DEM antara lain dapat berupa perspektif 3 dimensi,
kontur, kelas elevasi, dan kemiringan (slope).

Model tinggi yang tersedia di Indonesia salah satunya berupa data peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI) yang diproduksi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta
RBI merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari berbagai skala.
Ketersediaan peta RBI khususnya pada skala detil 1:25.000 saat ini belum meliputi
seluruh wilayah Indonesia. Peta RBI skala 1:25.000 baru tersedia untuk wilayah Pulau
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Salah satu penyebab sedikitnya ketersediaan peta RBI
skala 1:25.000 adalah dikarenakan minimnya ketersediaan data DEM yang akurat
dengan resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar untuk pemetaan skala
1:25.000 di Indonesia.

Saat ini, data DEM yang banyak digunakan di Indonesia antara lain adalah data
DEM yang bersumber dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), dan ASTER

1
2

GDEM. Masing-masing dari data DEM tersebut masih memiliki kesalahan tinggi,
sehingga belum dapat digunakan secara maksimal untuk keperluan pemetaan.
Julzarika (2015), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa nilai akurasi vertikal
global dari SRTM C adalah sebesar 10-16 m, kemudian jika dilakukan koreksi nilai
kesalahan tinggi pada data tersebut, maka nilai akurasi vertikal dari SRTM C akan
meningkat menjadi 5-8 m. Ketika data SRTM C dilakukan integrasi dengan data
ALOS Palsar ataupun X SAR, maka nilai akurasi vertikal data tinggi tersebut akan
lebih baik lagi, yaitu meningkat menjadi 1-5 m.

Akurasi DEM dapat diketahui melalui perhitungan nilai RMSE (Root Mean
Square Error) dengan menggunakan data acuan nilai ketinggian di lapangan yang
akurat. Akurasi horizontal diperoleh dengan perhitungan RMSE dengan nilai
koordinat x dan y pada data acuan, sedangkan akurasi vertikal diperoleh dari
perhitungan RMSE dengan nilai koordinat z dari ketinggian data acuan.

Penggabungan beberapa DEM dengan kelebihan dan kekurangannya masing-


masing dilakukan untuk mendapatkan data DEM yang memiliki resolusi dan akurasi
tinggi yang lebih baik dan dapat memenuhi standar guna keperluan pemetaan. Standar
pemetaan yang digunakan adalah Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial
Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Penggabungan
beberapa data DEM dari berbagai sumber data yang telah memenuhi standar pemetaan
yang digunakan disebut sebagai desain DEM Nasional.

Desain DEM Nasional merupakan desain DEM yang akan mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Pada penelitian ini akan dibuat beberapa kombinasi penggabungan
dari data DEM yang digunakan pada wilayah Kalimantan Barat untuk menghasilkan
suatu purwarupa desain DEM Nasional. Purwarupa yang dihasilkan diharapkan dapat
menjadi satu model yang digunakan sebagai acuan dalam pembentukan desain DEM
pada wilayah yang berbeda guna keperluan pemetaan.

Pemetaan skala besar sangat diperlukan oleh daerah dalam memetakan


wilayahnya, terutama untuk pemetaan rencana tata ruang. Ketersediaan peta skala
1:25.000 yang belum meliputi seluruh wilayah Indonesia akan menghambat
kepentingan pembuatan peta rencana tata ruang yang digunakan sebagai dasar
3

pembangunan wilayah. Peta dasar skala 1:25.000 salah satunya digunakan untuk
keperluan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRWP). Oleh sebab itu,
ketersediaan skala peta 1:25.000 yang belum merata di seluruh Indonesia tentu akan
menghambat pembuatan RTRW Perkotaan. Terhambatnya pembuatan RTRWP akan
mengakibatkan pembangunan wilayah khususnya wilayah perkotaan yang belum
memiliki peta dasar skala 1:25.000 tersebut tidak dapat dilakukan.

Data DEM yang seragam di wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk
pemetaan dasar skala 1:25.000 sangat diperlukan guna memenuhi kelengkapan data
dan kebutuhan perencanaan tata ruang wilayah. Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Resolusi Dan Akurasi
Vertikal Purwarupa Desain Model Elevasi Digital Nasional untuk Pemetaan Dasar
Skala 1:25.000”.

I.2. Identifikasi Masalah

Ketersediaan data DEM di Indonesia yang memenuhi standar untuk penataan


ruang dan perencanaan pembangunan dalam cakupan nasional guna menunjang
berbagai kebutuhan khususnya pemetaan skala 1:25.000 sangatlah sedikit, sehingga
dibutuhkan suatu data DEM yang memenuhi kriteria untuk menunjang kebutuhan
tersebut. Penggabungan beberapa data DEM merupakan salah satu solusi untuk
mendapatkan data DEM yang memiliki resolusi dan akurasi vertikal yang sesuai untuk
pemetaan tersebut. Data DEM yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ASTER
GDEM, SRTM, IFSAR dan TerraSAR-X. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dibuat
suatu purwarupa desain DEM Nasional. Purwarupa DEM Nasional merupakan DEM
hasil dari integrasi beberapa data DEM di wilayah Kalimantan Barat. Analisis resolusi
dan akurasi vertikal yang memenuhi standar pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai
dengan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar dilakukan pada DEM Nasional yang telah
dibuat guna mengetahui kecocokan data dengan standar pemetaan tersebut.
4

I.3. Pertanyaan Penelitian

Dari identifikasi masalah yang telah dibahas di atas, dapat dibuat pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah semua data dapat dilakukan integrasi DEM menjadi purwarupa desain
DEM Nasional?
2. Berapa nilai resolusi dan akurasi vertikal dari purwarupa desain DEM Nasional?
3. Kombinasi data DEM apakah yang paling baik dan memenuhi standar pemetaan
skala 1:25.000?

I.4. Cakupan Penelitian

Cakupan penelitian dalam penelitian ini difokuskan pada :

1. Data DEM yang digunakan adalah IFSAR, TerraSAR-X, ASTER GDEM, dan
SRTM berupa DSM (Digital Surface Model),
2. Lokasi penelitian berada di Kalimantan Barat,
3. Sistem referensi horizontal yang digunakan adalah WGS 1984 dan datum vertikal
yang digunakan adalah EGM 2008,
4. Penelitian dibatasi pada penggunaan dan pengolahan data hasil olahan yang sudah
berbentuk DSM, tidak dilakukan pembuatan DSM dari data hasil akuisisi di
lapangan,
5. Metode yang digunakan adalah integrasi DEM,
6. Integrasi dilakukan dengan kombinasi antara data global (SRTM atau ASTER
GDEM) dengan IFSAR maupun TerraSAR-X,

I.5. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai resolusi dan akurasi tinggi dari
masing-masing kombinasi integrasi data DEM, serta untuk mendapatkan purwarupa
DEM Nasional dengan nilai resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar
pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai dengan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun
2014.
5

I.6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah hasil purwarupa DEM Nasional
tersebut dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kurangnya data DEM di
Indonesia yang dapat digunakan sebagai standar untuk pemetaan dasar skala 1:25.000.

I.7. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menerapkan metode integrasi DEM dengan melakukan


kombinasi data IFSAR, TerraSAR-X, SRTM, dan ASTER GDEM pada daerah
Kalimantan Barat. Datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008 dan datum
horizontal yang digunakan adalah WGS 1984. Beberapa penelitian yang pernah ada
sebelumnya, meneliti integrasi DEM menggunakan berbagai macam data tinggi,
metode koreksi kesalahan tinggi, dan berbagai metode integrasi.

Hoja, dkk, (2006) melakukan penelitian tentang perbandingan metode generasi


DEM dan kombinasi menggunakan citra optik stereo resolusi tinggi dan data SAR
interferometric. Metode yang digunakan pada penelitian tersebut adalah integrasi dan
fusi dengan pembobotan. Koreksi kesalahan tinggi menggunakan metode fill sink, dan
cut terrain. Bidang geoid yang digunakan sebagai acuan adalah EGM96. Jenis model
tinggi yang diolah adalah SPOT 5 dan X SAR dengan lokasi penelitian berada di
Catalonia. Penelitian ini menghasilkan akurasi data hasil integrasi sebesar 1-2 meter
untuk dua daerah uji perbukitan di Bavaria dan Catalonia.

Hoja dan d’angelo, (2009) melakukan penelitian tentang tentang analisis


kombinasi DEM menggunakan citra optik stereo resolusi tinggi dan data SAR
interferometric. Metode yang digunakan adalah fusi dengan pembobotan dan integrasi
tanpa bobot. Koreksi kesalahan tinggi dilakukan dengan metode fill sink, dan cut
terrain. Bidang geoid yang digunakan sebagai acuan adalah EGM96. Jenis model
tinggi yang diolah adalah Cartosat dan SRTM C dengan lokasi penelitian berada di
Catalonia. Penelitian ini menghasilkan akurasi data hasil integrasi sebesar 1-2 meter
untuk dataran tinggi di Catalonia.

Julzarika, (2015) melakukan penelitian yang sama tentang integrasi model


tinggi menggunakan SRTM C, X SAR, ASTER GDEM, dan ALOS Palsar dengan
6

daerah kajian berada pada Tabalong, Kalimantan Selatan. Pada penelitiannya, metode
yang digunakan adalah integrasi DEM dan juga fusi DEM, yang sebelumnya telah
dilakukan pembobotan terlebih dahulu. Evaluasi hasil menggunakan standar peta
ASPRS (Accuracy Standard for Digital Geospasial Data). Hasil dari koreksi
kesalahan tinggi dikoreksikan kembali dengan koreksi kesalahan undulasi
menggunakan acuan model geoid EGM2008. Pada penelitian tersebut, dibuat 11
kombinasi model tinggi dari 4 buah jenis data model tinggi. Penelitian ini
menghasilkan kombinasi SRTM C dan ALOS Palsar memiliki akurasi vertikal paling
optimal yaitu sebesar 2,58 m. Kombinasi ini efisien dalam biaya dan waktu
pengerjaan, efektif dalam penggunaan data karena hanya membutuhkan dua model
tinggi akan menghasilkan nilai akurasi vertikal paling optimal. Selain kombinasi
SRTM C dan ALOS Palsar, ada juga kombinasi optimal lainnya yaitu X SAR, SRTM
C, dan ALOS Palsar. Nilai akurasi vertikal yang diperoleh adalah 3,84 m.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. Digital Elevation Model (DEM) Nasional


Model ketinggian didefinisikan menjadi beberapa model antara lain DEM
(Digital Elevation Model), DSM (Digital Surface Model), dan DTM (Digital Terrain
Model). DEM adalah data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk
permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil
sampling dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut
menggunakan himpunan koordinat (Tempfli, 1991). Terdapat dua tipe data DEM yaitu
Digital Terain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM). DEM yang
menyajikan permukaan bumi beserta segala penutup lahan yang ada di atasnya
dinamakan Digital Surface Model (DSM), sedangkan DEM yang hanya
merepresentasikan konfigurasi terain tanpa penutup lahan yang ada di permukaan
tanah dan dilengkapi fitur alami seperti sungai, sering disebut sebagai Digital Terain
Model (DTM). Dengan demikian, DSM dapat dikatakan lebih detil dibandingkan
DTM yang hanya merepresentasikan permukaan bumi berdasarkan konfigurasi terain
tanpa penutup lahan yang ada di atasnya (Puspita, dkk, 2013). Gambar I.1. merupakan
visualisasi dari DTM dan DSM.
7

Gambar I. 1. Model tinggi (DTM dan DSM) (sumber : Aerometrex.com, 2011)


Gambar I.1. merupakan visualisasi dari DSM dan DTM pada wilayah
Adelaide, Australia Selatan. Pada Gambar I.1. terlihat dengan jelas perbedaan antara
DSM dan DTM, dimana DSM dilengkapi dengan ketinggian penutup lahan (tinggi
bangunan, pohon, dan lain sebagainya), sedangkan DTM merupakan representasi
kondisi terrain tanpa penutup lahan pada wilayah Adelaide.

Istilah DEM Nasional merupakan istilah yang diajukan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG). Kriteria DEM Nasional yang diajukan oleh BIG adalah sebagai
berikut (File Preliminary Study of National Elevation Dataset BIG, 2014) :

1. Merupakan data mosaik (seamless) ketinggian terbaik dari yang ada yang
didefinisikan dalam datum, unit ketinggian dan proyeksi yang sama serta
mencakup seluruh wilayah Indonesia.
2. Data tinggi merupakan hasil dari perekaman sensor RADAR baik secara
interferometri maupun radargrammetri dengan wahana pesawat maupun
satelit.
3. Format data dalam raster.
4. Data ketinggian nasional merupakan hasil kompilasi beberapa macam data
ketinggian yang didefinisikan dalam suatu sistem referensi horisontal dan
vertikal.
5. Data ketinggian Nasional dikelola dalam sistem koordinat geografis
menggunakan Datum WGS 84.
6. Satuan nilai ketinggian dalam meter menggunakan datum SRGI 2013.
8

7. Data ketinggian Nasional digunakan sebagai informasi ketinggian dasar untuk


keperluan ilmu pengetahuan kebumian, modeling hidrologi, manajemen
bencana, survei dan pemetaan di Indonesia.
8. Data Ketinggian nasional merupakan data berbagi pakai yang disebarluaskan
ke setiap simpul jaringan melalui skema IDSN (Infrastruktur Data Spasial
Nasional).
9. Memiliki metadata yang jelas.
10. Perbaikan dari data tinggi global yang telah tersedia (seperti SRTM, dan
ASTER GDEM).

Spesifikasi dari DEM Nasional yang disusun oleh BIG ditampilkan dalam
Tabel I.1. Tabel I.1. menjelaskan mengenai jenis data yang digunakan untuk DEM
Nasional, sistem koordinat, datum, resolusi spasial, akurasi, tipe file, format file, dan
tahun akuisisi data DEM Nasional.

Tabel I. 1. Spesifikasi DEM Nasional BIG (sumber : file Preliminary Study of


National Elevation Dataset BIG, 2014)

No. Spesifikasi Keterangan


1. Jenis data tinggi DSM (Digital Surface Model)
2. Sistem koordinat UTM (Universal Transverse Mercator)
4. Datum horizontal SRGI 2013
5. Datum vertikal SRGI 2013
6. Unit Meter
7. Spacing grid 5-10 meter
8. Akurasi horizontal 2-10 meter
9. Akurasi vertikal 2-6 meter
10. Tipe file 32 bit
11. Format RASTER Geotiff
12. Layer format Seamless
13. Tahun akuisisi 2005-2014
9

Dari spesifikasi DEM Nasional yang dijelaskan pada Tabel I.1. tersebut,
terdapat beberapa hal yang disesuaikan dengan penelitian ini. Spesifikasi DEM
Nasional yang disesuaikan dengan penelitian ini antara lain datum horizontal yang
digunakan pada penelitian ini adalah WGS 1984, tidak dilakukan transformasi ke
SRGI 2013 karena tidak tersedianya titik ikat untuk melakukan transformasi koordinat.
Datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008, karena datum vertikal SRGI 2013
pada wilayah penelitian masih menggunakan EGM 2008. Akurasi yang diteliti hanya
sebatas akurasi vertikal, sehingga akurasi horizontal tidak dihitung.

I.8.2. Status Ketersediaan Data Tinggi


Ketersediaan model data tinggi dalam bentuk DSM di Indonesia baik yang
diakuisisi menggunakan pesawat udara maupun satelit yaitu IFSAR, TerraSAR-X, dan
Radarsat2 disajikan dalam bentuk peta pada Gambar I.2 dan I.3. Gambar I.2.
merupakan pengadaan model tinggi yang dilakukan oleh Badan Geologi, sedangkan
Gambar I.3. merupakan pengadaan model tinggi oleh Badan Informasi Geospasial.

Gambar I. 2. Pengadaan data RADAR yang telah dilakukan oleh Badan Geologi
(sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)

Gambar I.2. menjelaskan pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan
Geologi meliputi data airborne IFSAR, Radarsat, dan TerraSAR-X. Warna kuning
menunjukkan ketersediaan data citra airborne IFSAR sebanyak 364 NLP 1:50.000,
warna biru menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 622 NLP 1:50.000,
warna ungu menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 497 NLP 1:50.000,
10

warna merah menunjukkan ketersediaan citra TerraSAR-X sebanyak 906 NLP


1:50.000, dan warna hijau menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 285
NLP 1:50.000. Spesifikasi dari data DEM hasil pengadaan data RADAR yang
dilakukan oleh Badan Geologi disebutkan dalam Tabel I.2.

Tabel I. 2. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Geologi (sumber : Kajian
Data Tinggi Nasional, BIG)
Jenis Data Cakupan Panjang Resolusi Ketelitian Kesesuaian Tahun
Wilayah Gelombang Horizontal Vertikal Skala Akuisisi
(meter) (meter) Pemetaan
Airborne Sulawesi X Band 5 1,8 – 3 1:25.000 2003
IfSAR
Data Aceh, X Band 5 – 7,5 4–7 1:25.000 2011 dan
TerraSAR-X Lampung, 2012
Bangka-
Belitung, Jawa,
Bali, Nusa
Tenggara,
Maluku,
Maluku Utara
Data Sebagian C Band 10 5 – 10 1:50.000 2009-
Radarsat Kalimantan 2010
dan sebagian
Papua

Tabel I.2. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan
Geologi, yaitu data airborbe IFSAR, TerraSAR-X, dan Radarsat. Spesifikasi yang
dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian
vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi.

Gambar I. 3. Pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Informasi


Geospasial (sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)
11

Gambar I.3. menunjukkan pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh


Badan Informasi Geospasial berupa data IFSAR dan data TerraSAR-X. Spesifikasi
dari data DEM hasil pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan Informasi
Geospasial disebutkan dalam Tabel I.3.

Tabel I. 3. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial
(sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)
Jenis Data Wilayah Panjang Resolusi Ketelitian Kesesuaian Tahun
Cakupan Gelombang Horizontal Vertikal Skala Akuisisi
(meter) (meter) Pemetaan
Airborne Sebagian X Band 5 1,8 – 3 1:25.000 2003 - 2007
IfSAR Sumatera,
sebagian kecil
Kalimantan,
sebagian kecil
Papua
Data Sebagian kecil X Band 5 4–7 1:25.000 2012-2013
TerraSAR-X Kalimantan
Data Sebagian kecil X Band 5 4–7 1:50.000 2011
TerraSAR-X Kalimantan,
sebagian kecil
Papua
Tabel I.3. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan
Informasi Geospasial, yaitu data airborbe IFSAR, dan TerraSAR-X. Spesifikasi yang
dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian
vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi. Gambar I.4. menunjukkan
wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG Ttahun 2014.

Gambar I. 4. Wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber :
Kerangka Acuan Kerja Pengadaan Data RADAR Tahun 2014, BIG)
12

Gambar I.4. menjelaskan pelaksanaan pengadaan data dasar RADAR untuk


keperluan proses orthorektifikasi sebagai implementasi Inpres No.6 Tahun 2012 untuk
menghasilkan citra tegak dengan ketelitian horizontal yang memenuhi spesifikasi peta
1:5.000 oleh Badan Informasi Geospasial pada Tahun 2014. Pengadaan DEM RADAR
tahun 2014 tersebut digunakan untuk melengkapi ketersediaan data RADAR di
Indonesia yang sudah dilakukan oleh Badan Geologi maupun BIG. Tabel I.4.
menunjukkan spesifikasi pengadaan data RADAR tahun 2014 yang dilakukan oleh
BIG.

Tabel I. 4. Spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber :
Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)

Wilayah Cakupan Panjang Resolusi Ketelitian Kesesuaian


Gelombang Horizontal Vertikal Skala
(meter) (meter) Pemetaan
Kalimantan, Papua dan X Band 5 4 -7 1:25.000
Kepulauan/Pulau-Pulau
Kecil

Tabel I.4. menjelaskan spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG
tahun 2014 yang berada pada wilayah Kalimantan, Papua, dan kepulauan/pulau-pulau
kecil. Tabel I.4. juga menjelaskan mengenai spesifikasi panjang gelombang, resolusi
horizontal, ketelitian vertikal, dan kesesuaian skala pemetaan. Suatu wilayah di
Indonesia dengan wilayah yang lainnya memiliki data RADAR yang berbeda-beda
dengan resolusi horizontal dan akurasi vertikal yang berbeda-beda juga. Pembuatan
DEM Nasional yang diajukan oleh BIG bertujuan untuk menyeragamkan resolusi
horizontal dan akurasi vertikal dari seluruh data RADAR yang tersedia di Indonesia.

I.8.3. Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR)


Salah satu metode SAR (Synthetic Aperture Radar) yang saat ini sedang
berkembang adalah IFSAR. IFSAR merupakan teknik penginderaan jauh yang
menggunakan citra hasil satelit RADAR, untuk mengekstraksi informasi tiga dimensi
dari permukaan bumi dengan pengamatan fasa gelombang RADAR. Gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan RADAR berupa gelombang radio dan gelombang
mikro. Pantulan dari gelombang tersebut digunakan untuk mendeteksi objek (Haniah,
dkk, 2011).
13

Citra RADAR yang diperoleh dari satelit maupun pesawat udara berisi dua
informasi penting yaitu informasi mengenai daya sinar pancar berupa fase dan
amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang dipancarkan serta
dipantulkan kembali. Citra IFSAR memiliki resolusi citra yang tinggi dan mampu
merepresentasikan objek di permukaan bumi dengan jelas sehingga dapat dilakukan
interpretasi dan identifikasi yang sesuai, kemudian citra tersebut memiliki posisi tiga
dimensi yang cukup sehingga daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya.
Teknik interferometri mencitrakan suatu objek di permukaan bumi dengan cara
melakukan pengamatan terhadap beda fasa dua gelombang pendar yang berasal dari
suatu objek (Julzarika, dkk, 2009). Penerapan RADAR aperture sintetik
interferometris dengan pesawat udara maupun satelit menggunakan dua buah antena
yang berkerja pada waktu yang sama disebut dengan lintasan tunggal/single pass,
sedangkan penerapan RADAR aperture sintetik interferometri dengan pesawat udara
atau satelit menggunakan satu antena yang berkerja tidak pada saat yang sama disebut
dengan pengulangan lintasan/repeat pass.

Pada lintasan tunggal (single pass), kedua antena dapat dipasang melintang
pesawat terbang (across track), ataupun memanjang pesawat terbang (along track).
Pada posisi across track, kedua antenna dipasang di kiri dan di kanan sayap pesawat
terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedangkan antena lainnya hanya
berfungsi sebagai penerima. Penerapan prinsip RADAR apertur sintetik interferometri
lintasan tunggal sistem melintang pesawat pada tahun 2000 diterapkan di pesawat
ulang-alik SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission). Gambar 1.5. menjelaskan
tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada lintasan tunggal
sistem melintang pesawat.

Gambar I. 5. Penerapan RADAR apertur sintetik interferometris lintasan tunggal


(single pass) – Sistem melintang pesawat (across track) (Ismullah, 2011)
14

Berdasarkan Gambar I.5. informasi ketinggian diperoleh dengan menggunakan


konsep beda fasa dari dua antena melalui perhitungan beda fasa berikut :

………………………………………. (I.1)

…….....………….……………………………………………. (I.2)
Keterangan :
B = jarak antara antena kiri dan antena kanan (baseline)
By, Bz = komponen basis dalam arah mendatar dan tegak
θ = sudut masuk
r1, r2 = jarak miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke objek dan
dari antena kedua ke objek yang sama di permukaan bumi
∆φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari
antena kedua
λ = panjang gelombang mikro yang digunakan

Pada posisi along track, kedua antena dipasang di muka dan di belakang
pesawat terbang, sejajar dengan arah terbang pesawat. Kedua antena berfungsi sebagai
pemancar dan penerima gelombang RADAR dengan panjang gelombang λ. Gambar
I.6. menunjukkan tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada
lintasan tunggal sistem memanjang pesawat.

Gambar I. 6. Penerapan RADAR apertur sintetik interferometris lintasan tunggal


(single pass) – Sistem memanjang pesawat (along track) (Ismullah, 2011)

Terjadi perbedaan waktu sebesar ∆t dalam perekaman, karena pengaruh letak


antena pertama dan antena kedua. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan fasa sebesar
∆φ yang dirumuskan dalam persamaan berikut :
15

………………………………………………….....(I.3.)

Keterangan :
∆φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari
antena kedua
U = kecepatan radiasi sinyal balik dari objek
∆t = beda waktu perekaman antara antena pertama dan antena kedua
B = jarak antara antena di muka dan di belakang pesawat
V = kecepatan pesawat terbang

Penerapan RADAR aperture sintetik interferometri dengan satelit


menggunakan satu antena yang berkerja tidak pada saat yang sama (pengulangan
lintasan/repeat pass). Sistem repeat pass hanya diterapkan di satelit ERS-1, ERS-2,
Radarsat, EnviSAT, maupun JERS. Gambar I.7. menunjukkan tentang penerapan
RADAR aperture sintetik interferometri pada sistem pengulangan lintasan (repeat
pass).

Gambar I. 7. RADAR Aperture Sintetik Interferometris – Sistem pengulangan


lintasan (repeat pass) (Ismullah, 2011)

Perhitungan beda fasa pada sistem pengulangan lintasan dilakukan dengan


rumus perhitungan berikut :

………………………………………...……………………….(I.4.)

Keterangan :
S1, S2 = sensor pertama membawa satu antena dan sensor kedua juga membawa satu
antena
16

B = jarak antar lintasan (baseline)


θ = sudut masuk
r1, r2 = jarak miring (slant range) dari sensor pertama dan kedua ke objek yang sama
di permukan bumi
∆φ = beda fasa antara dua sinyal balik yang diterima dari objek di permukaan bumi
pada kedua posisi antena

I.8.4. TerraSAR-X
TerraSAR-X adalah satelit observasi bumi merupakan sebuah kolaborasi
antara Jerman Aerospace Center (DLR) dan EADS Astrium. Diluncurkan pada 15
Juni 2007 dan telah beroperasi secara resmi sejak Januari 2008. Pada 21 Juni 2010
Jerman kembali meluncurkan satelit kembaran TerraSAR-X bernama TanDEM-X,
dua satelit ini bekerja secara berpasangan. TerraSAR-X merupakan teknologi RADAR
terbaru untuk pemetaan dengan panjang gelombang aktif X-band (panjang gelombang
31 mm, frekuensi 9,6 GHz) yang mampu mengatasi tutupan awan (LAPAN, 2010).
Tabel I.5. merupakan keterangan fisik dari TerraSAR-X.

Tabel I. 5. Keterangan fisik dari TerraSAR-X (sumber : DLR, 2010)

Keterangan Fisik Keterangan


Tanggal peluncuran 15 Juni 2007
Roket pembawa Dnepr rocket
Tempat peluncuran Baikonur Cosmodrome, Kazakhstan
Berat satelit 1.230 kg
Ukuran satelit Tinggi 5 meter, diameter 2,4 meter
Tipe Low earth orbit
Ketinggian orbit 514 km (319 mi)
Inklinasi 97,44o
Frekuensi RADAR 9,65 GHz
Panjang antena 4,8 meter
Lebar antena 0,7 meter
Satu kali memutari bumi 94,92 menit
17

Keterangan fisik dari TerraSAR-X yang dijelaskan pada Tabel I.5. terdiri atas
tanggal peluncuran, roket pembawa, tempat peluncuran, berat satelit, ukuran satelit,
tipe, ketinggian orbit, inklinasi, frekuensi RADAR, panjang antena, lebar antena, dan
waktu yang dibutuhkan untuk satu kali memutari bumi. TerraSAR-X dapat diperoleh
5 mode citra utama yaitu Staring Spotlight, High Resolution Spotlight, Stripmap,
ScanSAR, dan Wide ScanSAR. Tabel I.6. menunjukkan spesifikasi dari masing-masing
mode tersebut.

Tabel I. 6. Spesifikasi mode TerraSAR-X (sumber : LAPAN, 2010)


Staring Spotlight High Resolution Stripmap ScanSAR Wide ScanSAR
Spotlight

1. Resolusi 1. Resolusi hingga 1. Resolusi 1. Resolusi hingga 1. Resolusi hingga


hingga 25 cm 1m hingga 3 m 18,5 m 40 m
2. Ukuran scene 2. Ukuran scene 2. Ukuran scene 2. Ukuran scene 2. Ukuran scene
tergantung dari 5-10 km (lebar) 30 km (lebar) x 100 km (lebar) 270 km (lebar) x
sudut x 5 km 50 km x 150 km 200 km
pengambilan (panjang) (panjang*) (panjang*) (panjang**)
3. Aplikasi : 3. Aplikasi : 3. Aplikasi : 3. Aplikasi : 3. Aplikasi :
untuk sebagai deteksi, pemantauan dan pemantauan
identifikasi petunjuk suatu klasifikasi dan deteksi rinci kemaritiman
objek. objek (pesawat, pemantauan kemaritiman skala luas
hangar kapal). kapal serta serta pemetaan seperti lalu
pemetaan skala kecil. lintas kapal,
infrastruktur tumpahan
skala besar. minyak, dan es
di laut.
*) StripMap dan ScanSAR : panjang akuisisi dapat diperpanjang hingga 1.650 km
**)Wide ScanSAR : panjang akuisisi dapat diperpanjang hingga 1.500 km

Tabel I.6. menjelaskan mengenai 5 mode citra utama dari TerraSAR-X.


Resolusi paling baik dihasilkan oleh mode Staring Spotlight yaitu sebesar 25 cm.
18

I.8.5. SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)


Data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan suatu bentuk data
yang menyediakan informasi tentang tinggi tempat atau biasa disebut DSM (Digital
Surface Model). SRTM merupakan hasil kerjasama antara NASA (National
Aeronautics and Space Administration) dan NGA (National Geospatial-Intelligence
Agency) untuk membuat peta Digital Elevation Model (DEM) secara global
menggunakan interferometri. SRTM diterbangkan kapal pesawat ulang-alik
Endeavour 11-22 Februari 2000 dengan ketinggian 233 km, kemiringan 57 derajat,
dan misi selama 11 hari. Endeavour mengorbit bumi 16 kali setiap hari selama misi 11
hari, menyelesaikan 176 orbit. SRTM berhasil mengumpulkan data radar lebih dari
80% dari permukaan daratan bumi antara 60 ° Lintang Utara dan 56 ° Lintang Selatan
dengan titik data diposting setiap 1 arc-second (sekitar 30 meter). Akurasi vertikal
dari SRTM mencapai 16 meter dengan tingkat kepercayaan 90% (USGS, 2015).

SRTM memanfaatkan teknik yang disebut interferometri RADAR untuk


memperoleh informasi topografi. Ada dua jenis panel antena pada SRTM yaitu C-
Band dan X-Band. Data RADAR C-band diproses di Jet Propulsion Laboratory (JPL)
yang menyediakan Digital Elevation Model (DEM) global. DEM resolusi yang lebih
tinggi (tapi tidak dengan cakupan global) yang dihasilkan dari data RADAR X-Band,
diolah dan didistribusikan oleh German Aerospace Center, DLR (Rodriguez, 2006).
Spesifikasi produk SRTM dapat dilihat pada Tabel I.7.

Tabel I. 7. Spesifikasi produk SRTM (sumber : USGS, 2015)


Spesifikasi Keterangan
Misi perekaman data 11 Februari 2000 – 22 Februari 2000
Lama misi 11 hari
Ketinggian orbit Endeavour 233 km
Inklinasi orbit Endeavour 57o
Petak data yang diperoleh 1000 (80% keseluruhan daratan bumi)
Akuisisi data >80 jam
Sistem proyeksi Geografis
Datum horizontal WGS 1984
19

Spesifikasi Keterangan
Datum vertikal EGM (Earth Gravitational Model) 1996
Unit vertikal Meter
Resolusi spasial 1 arc-second untuk cakupan global (~30 meter)
3 arc-second untuk cakupan global (~90 meter)
Ukuran raster 1 degree tiles
Panjang gelombang C-band 5,6 cm

Spesifikasi produk SRTM yang dijelaskan pada Tabel I.7. adalah misi
perekaman data, lama misi, ketinggian orbit satelit pembawa (Endeavour), Inklinasi
orbit, petak yang diperoleh, lama waktu akuisisi data. Tabel I.7. juga menjelaskan
mengenai sistem proyeksi, datum horizontal, datum vertikal, unit vertikal, resolusi
spasial, ukuran raster, dan panjang gelombang C-band yang digunakan.

I.8.6. ASTER GDEM


ASTER merupakan salah satu sensor yang terdapat pada satelit Terra. Satelit
Terra diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dengan misi selama 6 tahun sebagai
platform pertama program pengamatan bumi berskala besar yang dipromosikan oleh
NASA, yang kemudian program satelit ini diberi nama baru sebagai EOS-AM1.
ASTER GDEM merupakan singkatan dari Advanced Spaceborne Thermal Emission
And Reflection Radiometer global DEM. ASTER GDEM adalah salah satu Digital
Surface Model (DSM) yang dapat diunduh gratis melalui situs USGS. ASTER GDEM
memiliki informasi topografi yang dihasilkan dari data ASTER sensor VNIR band 3N
dan 3B dengan resolusi 15 m. Data ini dapat digunakan dalam pemetaan 1:50.000
sampai 1:250.000. Band 3B dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut pandang
sebesar 23,5o relatif terhadap nadir telescope. VNIR merekam gambar stereo dari
nadir teleskop kemudian backward-viewing telescope merekam kembali daerah yang
sama setelah selang waktu 60 detik sehingga terbentuk citra stereo (Kervyn, dkk,
2007).

ASTER GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang dan sudah dilakukan
koreksi geometrik serta koreksi radiometrik. ASTER mencakup data DEM dari
koordinat 83° LU hingga 83° LS. Kemudian data tersebut dibagi atas petak-petak citra
20

dengan luas 1x1 derajat. Jumlah petak untuk DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu
22.600, sedangkan jumlah area untuk DEM ASTER GDEM versi 2 yaitu 22.702.
Setiap petak citra DEM ASTER terdiri atas dua file, yaitu data DEM dan data
informasi kualitas DEM. DEM ASTER GDEM versi 1 yang diluncurkan pada akhir
bulan Juni 2009, dan DEM ASTER GDEM versi 2 yang diluncurkan pada pertengahan
bulan Oktober 2011. ASTER GDEM versi 2 merupakan pengembangan dan perbaikan
dari ASTER GDEM versi 1. Perbaikan dilakukan dengan menambahkan 260.000
scene untuk meningkatkan cakupan wilayah DEM (ERSDAC, 2011). Tabel I.8.
merupakan spesifikasi ASTER GDEM versi 2.

Tabel I. 8. Spesifikasi ASTER GDEM versi 2 (sumber : ERSDAC, 2011)

Spesifikasi Keterangan
Penyedia data METi/NASA
Versi dan tahun akuisisi data Ver.2, 2011
Periode pengumpulan data 2000-2010
Teknik akuisisi Stereo Pairs, visible, and near infrared
Faktor utama distorsi Awan
Datum horizontal WGS 1984
Datum vertikal EGM 1996
Resolusi horizontal 1 arc second
Akurasi horizontal ±30 meter (abs) 95% Circular Error (CE)
Akurasi vertikal ±20 meter (abs) 95% Linear Error (LE)
Format data GeoTIFF

Tabel I.8. menjelaskan mengenai spesifikasi ASTER GDEM yaitu pihak


penyedia data, versi dan tahun akuisisi data, periode pengumpulan data, teknik akuisisi
yang digunakan, faktor utama penyebab distorsi, datum horizontal, datum vertikal,
resolusi horizontal, akurasi horizontal, akurasi vertikal, dan format data. ASTER
memiliki format data yang sama seperti format GRID lainnya, yaitu terdiri atas sel-sel
yang setiap sel memilki nilai ketinggian dalam wujud DN (Digital Number). Khusus
untuk daerah void (kosong) menggunakan kode DN - 9999 dan wilayah perairan
menggunakan DN 0. Datum vertikal ASTER GDEM mengacu pada geoid EGM 1996
21

sehingga ketinggian pada DEM ASTER ini merupakan tinggi orthometrik. Tabel I.9.
berikut menerangkan tentang format data DEM ASTER GDEM.

Tabel I. 9. Format data ASTER GDEM (sumber : ERSDAC, 2011)

Keterangan Versi 1 Versi 2


Jumlah scene DEM 1.264.118 1.514.350
Resolusi horizontal 1 arc second 1 arc second
Ukuran kernel 9 x 9 piksel 5 x 5 piksel
Luas minimum tubuh air yang
12 km2 1 km2
terdeteksi
Water body post processing Tidak diterapkan Diterapkan
Offset -5 meter offset observed
Tanggal peluncuran data 29 Juni 2009 Pertengahan Oktober 2011

Pada Tabel I.9. terdapat perbedaan antara ASTER GDEM versi 1 dengan
ASTER GDEM versi 2, antara lain pada jumlah scene DEM yang digunakan, ukuran
kernel, dan luas minimum tubuh air yang terdeteksi.

I.8.7. Koreksi Undulasi


Koreksi undulasi digunakan untuk menyamakan bidang referensi ketinggian
(datum vertikal) dari data model tinggi yang digunakan dalam penelitian ini. Pada
penelitian ini model geoid yang digunakan adalah Earth Gravitaional Model (EGM)
2008, sehingga data SRTM dan ASTER GDEM yang masih menggunakan model
geoid EGM 1996 memerlukan koreksi undulasi terhadap EGM 2008. EGM 1996
adalah model harmonik bola dari potensial gravitasi yang dibangun bersama-sama
oleh the NASA Goddard Space Flight Center, the National Imagery and Mapping
Agency (NIMA), dan the Ohio State University (NASA/GSFC, 2004). Model ini
disusun oleh koefisien-koefisien harmonik bola yang lengkap sampai derajad dan orde
360. Model ini dibentuk berdasarkan data dari seluruh dunia berupa data gayaberat
permukaan (surface gravity data), data anomali gaya berat yang diturunkan dari data
satelit altimeter ERS-1 dan GEOSAT, data penjejakan satelit (GPS, TDRSS, DORIS,
22

TRANET) yang ekstensif, dan direct altimeter ranges from TOPEX/POSEIDON,


ERS-1, and GEOSAT (Abidin, dkk, 2004).

EGM 2008 adalah model geopotensial global bumi yang dipublikasikan oleh
National Geospatial-Intelligence Agency (NGA). EGM2008 mengandung informasi
mengenai koefisien harmonik bola antara lain orde (L), degree (M), koefisien model
geopotensial yang terasosiasi (C), koefisien model geopotensial yang ternormalisasi
penuh (S), serta standar deviasi dari C dan S (σC dan σS). EGM 2008 dilengkapi
dengan koefisien harmonik hingga derajat dan orde 2159 serta memuat koefisien
tambahan hingga derajat 2190 dan orde 2159 (Pavlis, dkk, 2012).

EGM 1996 merupakan geoid yang digunakan pada data SRTM dan ASTER
GDEM, sedangkan EGM 2008 digunakan pada data IFSAR dan TerraSAR-X. Geoid
(model geopotensial) didefinisikan sebagai salah satu bidang ekuipotensial medan
gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis umumnya geoid dianggap berimpit dengan
muka air laut rata-rata atau Mean Sea Level (MSL). Geoid adalah bidang referensi
untuk menyatakan tinggi orthometrik. Secara matematis, geoid adalah suatu
permukaan yang sangat kompleks yang memerlukan sangat banyak parameter untuk
merepresentasikannya. Oleh karena itu untuk merepresentasikan bumi ini secara
matematis serta untuk perhitungan-perhitungan matematis orang umumnya
menggunakan suatu ellipsoid referensi dan bukan geoid. Ellipsoid referensi dan geoid
umumnya tidak berimpit, dan dalam hal ini ketinggian geoid terhadap ellipsoid
dinamakan undulasi geoid (N) (Abidin, dkk, 2004). Gambar I.8. menampilkan ilustrasi
tinggi ellipsoid, tinggi orthometrik, dan undulasi geoid.

Gambar I. 8. Transformasi tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik (sumber : Abidin,


dkk, 2004)
23

Berdasarkan Gambar I.8. nilai tinggi orthometrik dapat dihitung dari selisih
tinggi ellipsoid dengan undulasi. Undulasi geoid di suatu titik dapat dihitung dengan
hubungan berikut (Heiskannen dan Moritz, 1967) :
𝑛𝑚𝑎𝑥 𝑛
𝑁𝐺𝑀 = 𝑅 ∑𝑛=2 ∑𝑚=0[𝐶𝑛𝑚 cos 𝑚𝜆 + 𝑆𝑛𝑚 sin 𝑚𝜆]𝑃𝑛𝑚 (𝑠𝑖𝑛𝜑)…………………(I.5.)

Keterangan :
NGM = nilai undulasi pada model geoid global
Cnm, Snm = koefisien geopotensial yang dinormalisasi penuh (fully normalized
geopotential coefficients)
Pnm = fungsi Legendre yang dinormalisasi penuh (fully normalized legendre
function)
nmax = derajat maksimal model geopotensial
n,m = derajat dan orde model geopotensial
R = jari-jari rata-rata bumi
(φ,λ) = lintang dan bujur geosentrik

Pada penelitian ini proses perhitungan nilai undulasi dari masing-masing


model geoid dilakukan oleh software Gravsoft. Koreksi undulasi EGM 1996 terhadap
EGM 2008 dilakukan dengan menghitung selisih undulasi dari EGM 1996 dan EGM
2008, kemudian hasil tersebut dikoreksikan ke data SRTM dan ASTER GDEM.

I.8.8. Koreksi Kesalahan Tinggi


Kesalahan tinggi pada model tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Keberagaman tutupan lahan, faktor internal dari data model tinggi yang diperoleh,
kesalahan saat melakukan interpolasi kontur merupakan beberapa faktor-faktor yang
menyebabkan adanya kesalahan tinggi pada data model tinggi. Kesalahan yang
diakibatkan oleh kesalahan saat melakukan interpolasi kontur, dapat disebabkan
karena penyebaran titik tinggi yang tidak merata atau oleh nilai titik tinggi yang tidak
sesuai dengan sebenarnya.

Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan LAPAN.
Istilah lain height error adalah bull eye’s yang digunakan di Amerika Serikat, Golden
software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di Eropa dan Kanada, sedang istilah pit
24

dan spire digunakan di sebagian Amerika Utara, Amerika Serikat, dan Golden
software (Julzarika, 2015)

Pengecekan kesalahan tinggi dapat dilakukan dengan deteksi pit dan spire. Pit
adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di model tinggi,
sedangkan spire adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi gunung
terjal di model tinggi. Pit dan spire dapat terlihat dari kontur yang sangat rapat yang
menunjukkan pola bull eyes. Tabel I.10. merupakan algoritma deteksi pit dan spire
pada software MicroDEM dengan C dan X dijelaskan dalam Gambar I.9.

X X X

X C X

X X X
Gambar I. 9. Contoh piksel dengan jendela 5x5 untuk deteksi pit dan spire

Gambar I.9. merupakan contoh piksel dengan jendela 5x5 yang digunakan
untuk deteksi pit dan spire, algoritma dari deteksi tersebut dijelaskan pada Tabel I.10.

Tabel I. 10. Algoritma deteksi pit dan spire (sumber : United States Naval Academy
(USNA), 2013)

No. Pit Spire


1. Nilai C harus lebih rendah Nilai C harus lebih tinggi
dibandingkan dengan seluruh piksel di dibandingkan dengan seluruh piksel
dalam jendela. di dalam jendela.
2. Nilai C harus lebih rendah Nilai C harus lebih tinggi
dibandingkan 8 piksel dengan tanda X dibandingkan 8 piksel dengan tanda
dengan kedalaman pit yang X dengan kedalaman spire yang
didefinisikan saat input proses. didefinisikan saat input proses.

Koreksi kesalahan tinggi dilakukan untuk menghilangkan anomali tinggi pada


data model ketinggian. Ada tiga metode untuk koreksi kesalahan tinggi, yaitu FillSink,
Cut Terrain, dan Height Error Maps (HEM). Fill sink adalah metode penghilangan
anomali tinggi terhadap daerah cekungan sedangkan Cut Terrain adalah metode
penghilangan anomali tinggi terhadap daerah cembung/terjal. Metode Height Error
Maps (HEM) menghasilkan data keluaran dengan akurasi dan presisi lebih baik dari
FillSink dan Cut Terrain. HEM dibuat dari nilai standar deviasi atau kesalahan vertikal
pada data model tinggi tersebut.
25

Proses koreksi kesalahan tinggi hanya dilakukan pada SRTM dan ASTER
GDEM karena data IFSAR dan TerraSAR-X sudah terkoreksi tinggi oleh pihak
penyedia data. HEM dari data SRTM disediakan oleh NASA, dan ASTER GDEM
disediakan oleh METi (Julzarika, 2015).

I.8.9. Penggabungan DEM


Mengacu pada penelitian sebelumnya, teknik penggabungan DEM dilakukan
dengan integrasi DEM. Julzarika (2015), menjelaskan konsep integrasi model tinggi
sebagai suatu metode untuk mendapatkan model tinggi berdasarkan integrasi
menggunakan berbagai keunggulan dari setiap model tinggi berdasarkan karakteristik
berupa penetrasi ke obyek, resolusi spasial, dan minimal kesalahan tinggi di dataran
rendah maupun dataran tinggi. Tujuan dari integrasi model tinggi adalah untuk dapat
menghasilkan suatu model tinggi dengan akurasi vertikal dan resolusi yang baik
menggunakan keunggulan dari masing-masing karakteristik model tinggi yang
diintegrasikan.

I.8.10. Interpolasi Kriging dan Triangulated Irregular Network (TIN)


Pada penelitian ini, metode gridding yang dilakukan adalah kriging dan TIN.
Kriging merupakan metode gridding yang bersifat fleksibel dan geostatikal yang
sangat bermanfaat di berbagai bidang dan menyediakan tampilan visual dengan daya
tarik yang kuat bagi data yang tersebar secara tidak teratur. Dengan kemampuannya
menerima berbagai data ini, metode kriging menjadi metode yang sangat efektif. Pada
data yang memiliki kapasitas besar, metode grid ini berjalan agak lambat. Kriging
mempunyai karakteristik, antara lain (Environmental Systems Research Institute
(ESRI), 2016) :

1. Mampu bekerja dengan baik meskipun datanya acak


2. Menghitung nilai suatu titik dari nilai yang diketahui dengan estimasi
3. Menghitung kesalahan dari estimasi yang dilakukan

Kriging menggunakan pembobotan dalam proses interpolasinya. Bobot


tergantung pada jarak antar titik. Titik dengan jarak yang dekat, akan mempunyai
bobot lebih besar dibandingkan dengan jarak yang jauh. Bobot untuk interpolasinya
diturunkan dari semivariogram. Semivariogram menentukan tingkat hubungan spasial
26

(spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah. Semivariogram dihitung
dengan menggunakan rumus berikut ini (ESRI, 2016) :

…………………………………………………………………(I.5)

Keterangan :
Z’o = Nilai estimasi
Wi = Bobot
Zi = Nilai yang diketahui
Model variogram akan menentukan sifat ketetanggaan titik-titik lokal
pengamatan beserta bobotnya yang digunakan ketika interpolasi nilai ketinggian setiap
node grid. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Surfer menyediakan beberapa model
variogram eksponensial, gauss wave (hole effect), linier, kuadratik, kuadrat-rasional,
dan spherical. Pada penelitian ini digunakan model semivariogram linier dan
spherical. Model ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Atriyon
Julzarika (2015) yang telah menghasilkan kesimpulan bahwa metode kriging model
semivariogram linier dan sperichal menghasilkan data yang paling akurat.

Metode kriging model semivariogram linier dan sperichal membutuhkan


waktu yang cukup lama dalam prosesnya, terutama apabila data yang digunakan
memiliki ukuran yang besar, sehingga pada penelitian ini digunakan juga metode
Triangulated Irregular Network (TIN). Model TIN dibangun oleh segitiga-segitiga tak
beraturan. Model TIN menggunakan garis lurus untuk menghubungkan tiga titik
sampel dan membentuk segitiga datar. Segitiga datar ini sangat baik dalam
merepresentasikan permukaan bumi yang bersifat tegas, namun kurang representatif.
TIN akan menghasilkan informasi yang padat pada daerah yang kompleks, dan
informasi yang jarang pada daerah yang homogen (Susilo, 2014).

I.8.11. Standar Pemetaan


Penelitian ini menggunakan standar ketelitian tinggi yang terdapat pada
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang
Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar. Menurut PerKa BIG Nomor 15 Tahun 2014,
ketelitian peta dasar meliputi ketelitian geometri dan ketelitian atribut/semantik.
27

Ketelitian geometri adalah nilai yang menggambarkan ketidakpastian


koordinat posisi suatu objek pada peta dibandingkan dengan koordinat posisi objek
yang dianggap posisi sebenarnya. Komponen ketelitian geometri terdiri atas akurasi
horizontal, dan akurasi vertikal. Ketelitian atribut/semantik adalah nilai yang
menggambarkan tingkat kesesuaian atribut sebuah objek di peta dengan atribut
sebenarnya. Pada penelitian ini ketelitian yang dianalisis dibatasi hanya pada ketelitian
geometri saja. Tabel I.11. menjelaskan mengenai ketelitian geometri peta RBI menurut
PerKa Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014.

Tabel I. 11 Ketelitian Geometri Peta RBI


Ketelitian Peta RBI
Interval Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
No. Skala kontur Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal Horizontal Vertikal
(m) (CE90 (LE90 (CE90 (LE90 (CE90 (LE90
dalam m) dalam m) dalam m) dalam m) dalam m) dalam m)
1. 1:1.000.000 400 200 200 300 300,00 500 500,00
2. 1:500.000 200 100 100 150 150,00 250 250,00
3. 1:250.000 100 50 50 75 75,00 125 125,00
4. 1:100.000 40 20 20 30 30,00 50 50,00
5. 1:50.000 20 10 10 15 15,00 25 25,00
6. 1:25.000 10 5 5 7,5 7,50 12,5 12,50
7. 1:10.000 4 2 2 3 3,00 5 5,00
8. 1:5.000 2 1 1 1,5 1,50 2,5 2,50
9. 1:2.500 1 0,5 0,5 0,75 0,75 1,25 1,25
10. 1:1.000 0,4 0,2 0,2 0,3 0,30 0,5 0,50

Nilai ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan seperti tertera pada
Tabel I.12.

Tabel I. 12 Ketentuan Ketelitian Geometri Peta RBI Berdasarkan Kelas

Ketelitian Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3


Horizontal 0,2 mm x bilangan skala 0,3 mm x bilangan skala 0,5 mm x bilangan skala
Vertikal 0,5 x interval kontur 1,5 x ketelitian kelas 1 2,5 x ketelitian kelas 1

Nilai CE90 untuk ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang
berarti bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut
dengan tingkat kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus
mengacu kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States National Map
Accuracy Standards) sebagai berikut:
28

CE90 = 1,5175 x RMSEr ………………………………………………………(I.14)


LE90 = 1,6499 x RMSEz ……………………………………………………....(I.15)

Keterangan :
RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)

Analisis akurasi posisi menggunakan Root Mean Square Error (RMSE), yang
menggambarkan nilai perbedaan antara titik uji dengan titik sebenarnya. RMSE
digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik.
Pada penelitian ini nilai akurasi yang diuji hanya akurasi vertikal, sehingga nilai
RMSE yang dihitung hanya RMSE untuk akurasi vertikal saja. Nilai RMSE untuk
akurasi ketinggian dirumuskan sebagai berikut:

……………………………………(I.16)
Dengan :
Zdata(i) = koordinat z dari data ke i
Zcheck(i) = koordinat z titik sebenarnya ke i
n = jumlah titik

I.9. Hipotesis

Penelitian yang telah dilakukan oleh Hoja (2009) dan Julzarika (2015)
menunjukkan bahwa integrasi antara model tinggi global (yang digunakan oleh kedua
peneliti tersebut adalah SRTM) dengan model tinggi yang memiliki akurasi lebih
tinggi, mampu memperbaiki akurasi tinggi dari model tinggi global yang digunakan.
Akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan Cartosat adalah
1-2 meter pada wilayah penelitian dataran tinggi di Catalonia (Hoja, 2009), sedangkan
akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan ALOS Palsar
adalah 2,58 meter pada wilayah penelitian Tabalong, Kalimantan Selatan (Julzarika,
2015).

Mengacu dari hasil penelitian tersebut maka setelah dilakukan kombinasi


antara model tinggi global (SRTM atau ASTER GDEM) dengan IFSAR maupun
TerraSAR-X akan diperoleh hasil purwarupa desain DEM Nasional di Kalimantan
29

Barat dengan akurasi vertikal lebih baik dari akurasi vertikal model global SRTM atau
ASTER GDEM. Hasil integrasi akan memenuhi akurasi vertikal berkisar 5 - 12,5
meter sesuai dengan ketentuan akurasi vertikal peta skala 1:25.000 pada Peraturan
Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Ketelitian Peta Dasar

Anda mungkin juga menyukai