PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Model tinggi yang tersedia di Indonesia salah satunya berupa data peta Rupa
Bumi Indonesia (RBI) yang diproduksi oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta
RBI merupakan produk yang umum digunakan karena terdiri dari berbagai skala.
Ketersediaan peta RBI khususnya pada skala detil 1:25.000 saat ini belum meliputi
seluruh wilayah Indonesia. Peta RBI skala 1:25.000 baru tersedia untuk wilayah Pulau
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Salah satu penyebab sedikitnya ketersediaan peta RBI
skala 1:25.000 adalah dikarenakan minimnya ketersediaan data DEM yang akurat
dengan resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar untuk pemetaan skala
1:25.000 di Indonesia.
Saat ini, data DEM yang banyak digunakan di Indonesia antara lain adalah data
DEM yang bersumber dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), dan ASTER
1
2
GDEM. Masing-masing dari data DEM tersebut masih memiliki kesalahan tinggi,
sehingga belum dapat digunakan secara maksimal untuk keperluan pemetaan.
Julzarika (2015), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa nilai akurasi vertikal
global dari SRTM C adalah sebesar 10-16 m, kemudian jika dilakukan koreksi nilai
kesalahan tinggi pada data tersebut, maka nilai akurasi vertikal dari SRTM C akan
meningkat menjadi 5-8 m. Ketika data SRTM C dilakukan integrasi dengan data
ALOS Palsar ataupun X SAR, maka nilai akurasi vertikal data tinggi tersebut akan
lebih baik lagi, yaitu meningkat menjadi 1-5 m.
Akurasi DEM dapat diketahui melalui perhitungan nilai RMSE (Root Mean
Square Error) dengan menggunakan data acuan nilai ketinggian di lapangan yang
akurat. Akurasi horizontal diperoleh dengan perhitungan RMSE dengan nilai
koordinat x dan y pada data acuan, sedangkan akurasi vertikal diperoleh dari
perhitungan RMSE dengan nilai koordinat z dari ketinggian data acuan.
Desain DEM Nasional merupakan desain DEM yang akan mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Pada penelitian ini akan dibuat beberapa kombinasi penggabungan
dari data DEM yang digunakan pada wilayah Kalimantan Barat untuk menghasilkan
suatu purwarupa desain DEM Nasional. Purwarupa yang dihasilkan diharapkan dapat
menjadi satu model yang digunakan sebagai acuan dalam pembentukan desain DEM
pada wilayah yang berbeda guna keperluan pemetaan.
pembangunan wilayah. Peta dasar skala 1:25.000 salah satunya digunakan untuk
keperluan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan (RTRWP). Oleh sebab itu,
ketersediaan skala peta 1:25.000 yang belum merata di seluruh Indonesia tentu akan
menghambat pembuatan RTRW Perkotaan. Terhambatnya pembuatan RTRWP akan
mengakibatkan pembangunan wilayah khususnya wilayah perkotaan yang belum
memiliki peta dasar skala 1:25.000 tersebut tidak dapat dilakukan.
Data DEM yang seragam di wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk
pemetaan dasar skala 1:25.000 sangat diperlukan guna memenuhi kelengkapan data
dan kebutuhan perencanaan tata ruang wilayah. Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Resolusi Dan Akurasi
Vertikal Purwarupa Desain Model Elevasi Digital Nasional untuk Pemetaan Dasar
Skala 1:25.000”.
Dari identifikasi masalah yang telah dibahas di atas, dapat dibuat pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Apakah semua data dapat dilakukan integrasi DEM menjadi purwarupa desain
DEM Nasional?
2. Berapa nilai resolusi dan akurasi vertikal dari purwarupa desain DEM Nasional?
3. Kombinasi data DEM apakah yang paling baik dan memenuhi standar pemetaan
skala 1:25.000?
1. Data DEM yang digunakan adalah IFSAR, TerraSAR-X, ASTER GDEM, dan
SRTM berupa DSM (Digital Surface Model),
2. Lokasi penelitian berada di Kalimantan Barat,
3. Sistem referensi horizontal yang digunakan adalah WGS 1984 dan datum vertikal
yang digunakan adalah EGM 2008,
4. Penelitian dibatasi pada penggunaan dan pengolahan data hasil olahan yang sudah
berbentuk DSM, tidak dilakukan pembuatan DSM dari data hasil akuisisi di
lapangan,
5. Metode yang digunakan adalah integrasi DEM,
6. Integrasi dilakukan dengan kombinasi antara data global (SRTM atau ASTER
GDEM) dengan IFSAR maupun TerraSAR-X,
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai resolusi dan akurasi tinggi dari
masing-masing kombinasi integrasi data DEM, serta untuk mendapatkan purwarupa
DEM Nasional dengan nilai resolusi dan akurasi vertikal yang memenuhi standar
pemetaan dasar skala 1:25.000 sesuai dengan Peraturan Kepala BIG Nomor 15 Tahun
2014.
5
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah hasil purwarupa DEM Nasional
tersebut dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan kurangnya data DEM di
Indonesia yang dapat digunakan sebagai standar untuk pemetaan dasar skala 1:25.000.
daerah kajian berada pada Tabalong, Kalimantan Selatan. Pada penelitiannya, metode
yang digunakan adalah integrasi DEM dan juga fusi DEM, yang sebelumnya telah
dilakukan pembobotan terlebih dahulu. Evaluasi hasil menggunakan standar peta
ASPRS (Accuracy Standard for Digital Geospasial Data). Hasil dari koreksi
kesalahan tinggi dikoreksikan kembali dengan koreksi kesalahan undulasi
menggunakan acuan model geoid EGM2008. Pada penelitian tersebut, dibuat 11
kombinasi model tinggi dari 4 buah jenis data model tinggi. Penelitian ini
menghasilkan kombinasi SRTM C dan ALOS Palsar memiliki akurasi vertikal paling
optimal yaitu sebesar 2,58 m. Kombinasi ini efisien dalam biaya dan waktu
pengerjaan, efektif dalam penggunaan data karena hanya membutuhkan dua model
tinggi akan menghasilkan nilai akurasi vertikal paling optimal. Selain kombinasi
SRTM C dan ALOS Palsar, ada juga kombinasi optimal lainnya yaitu X SAR, SRTM
C, dan ALOS Palsar. Nilai akurasi vertikal yang diperoleh adalah 3,84 m.
Istilah DEM Nasional merupakan istilah yang diajukan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG). Kriteria DEM Nasional yang diajukan oleh BIG adalah sebagai
berikut (File Preliminary Study of National Elevation Dataset BIG, 2014) :
1. Merupakan data mosaik (seamless) ketinggian terbaik dari yang ada yang
didefinisikan dalam datum, unit ketinggian dan proyeksi yang sama serta
mencakup seluruh wilayah Indonesia.
2. Data tinggi merupakan hasil dari perekaman sensor RADAR baik secara
interferometri maupun radargrammetri dengan wahana pesawat maupun
satelit.
3. Format data dalam raster.
4. Data ketinggian nasional merupakan hasil kompilasi beberapa macam data
ketinggian yang didefinisikan dalam suatu sistem referensi horisontal dan
vertikal.
5. Data ketinggian Nasional dikelola dalam sistem koordinat geografis
menggunakan Datum WGS 84.
6. Satuan nilai ketinggian dalam meter menggunakan datum SRGI 2013.
8
Spesifikasi dari DEM Nasional yang disusun oleh BIG ditampilkan dalam
Tabel I.1. Tabel I.1. menjelaskan mengenai jenis data yang digunakan untuk DEM
Nasional, sistem koordinat, datum, resolusi spasial, akurasi, tipe file, format file, dan
tahun akuisisi data DEM Nasional.
Dari spesifikasi DEM Nasional yang dijelaskan pada Tabel I.1. tersebut,
terdapat beberapa hal yang disesuaikan dengan penelitian ini. Spesifikasi DEM
Nasional yang disesuaikan dengan penelitian ini antara lain datum horizontal yang
digunakan pada penelitian ini adalah WGS 1984, tidak dilakukan transformasi ke
SRGI 2013 karena tidak tersedianya titik ikat untuk melakukan transformasi koordinat.
Datum vertikal yang digunakan adalah EGM 2008, karena datum vertikal SRGI 2013
pada wilayah penelitian masih menggunakan EGM 2008. Akurasi yang diteliti hanya
sebatas akurasi vertikal, sehingga akurasi horizontal tidak dihitung.
Gambar I. 2. Pengadaan data RADAR yang telah dilakukan oleh Badan Geologi
(sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)
Gambar I.2. menjelaskan pengadaan data RADAR yang dilakukan oleh Badan
Geologi meliputi data airborne IFSAR, Radarsat, dan TerraSAR-X. Warna kuning
menunjukkan ketersediaan data citra airborne IFSAR sebanyak 364 NLP 1:50.000,
warna biru menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 622 NLP 1:50.000,
warna ungu menunjukkan ketersediaan citra Radarsat sebanyak 497 NLP 1:50.000,
10
Tabel I. 2. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Geologi (sumber : Kajian
Data Tinggi Nasional, BIG)
Jenis Data Cakupan Panjang Resolusi Ketelitian Kesesuaian Tahun
Wilayah Gelombang Horizontal Vertikal Skala Akuisisi
(meter) (meter) Pemetaan
Airborne Sulawesi X Band 5 1,8 – 3 1:25.000 2003
IfSAR
Data Aceh, X Band 5 – 7,5 4–7 1:25.000 2011 dan
TerraSAR-X Lampung, 2012
Bangka-
Belitung, Jawa,
Bali, Nusa
Tenggara,
Maluku,
Maluku Utara
Data Sebagian C Band 10 5 – 10 1:50.000 2009-
Radarsat Kalimantan 2010
dan sebagian
Papua
Tabel I.2. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan
Geologi, yaitu data airborbe IFSAR, TerraSAR-X, dan Radarsat. Spesifikasi yang
dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian
vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi.
Tabel I. 3. Spesifikasi data DEM yang dimiliki oleh Badan Informasi Geospasial
(sumber : Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)
Jenis Data Wilayah Panjang Resolusi Ketelitian Kesesuaian Tahun
Cakupan Gelombang Horizontal Vertikal Skala Akuisisi
(meter) (meter) Pemetaan
Airborne Sebagian X Band 5 1,8 – 3 1:25.000 2003 - 2007
IfSAR Sumatera,
sebagian kecil
Kalimantan,
sebagian kecil
Papua
Data Sebagian kecil X Band 5 4–7 1:25.000 2012-2013
TerraSAR-X Kalimantan
Data Sebagian kecil X Band 5 4–7 1:50.000 2011
TerraSAR-X Kalimantan,
sebagian kecil
Papua
Tabel I.3. menjelaskan spesifikasi dari data DEM yang dimiliki oleh Badan
Informasi Geospasial, yaitu data airborbe IFSAR, dan TerraSAR-X. Spesifikasi yang
dijelaskan berupa cakupan wilayah, panjang gelombang, resolusi horizontal, ketelitian
vertikal, kesesuaian skala pemetaan, dan tahun akuisisi. Gambar I.4. menunjukkan
wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG Ttahun 2014.
Gambar I. 4. Wilayah pengadaan data RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber :
Kerangka Acuan Kerja Pengadaan Data RADAR Tahun 2014, BIG)
12
Tabel I. 4. Spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG tahun 2014 (sumber :
Kajian Data Tinggi Nasional, BIG)
Tabel I.4. menjelaskan spesifikasi pengadaan data dasar RADAR oleh BIG
tahun 2014 yang berada pada wilayah Kalimantan, Papua, dan kepulauan/pulau-pulau
kecil. Tabel I.4. juga menjelaskan mengenai spesifikasi panjang gelombang, resolusi
horizontal, ketelitian vertikal, dan kesesuaian skala pemetaan. Suatu wilayah di
Indonesia dengan wilayah yang lainnya memiliki data RADAR yang berbeda-beda
dengan resolusi horizontal dan akurasi vertikal yang berbeda-beda juga. Pembuatan
DEM Nasional yang diajukan oleh BIG bertujuan untuk menyeragamkan resolusi
horizontal dan akurasi vertikal dari seluruh data RADAR yang tersedia di Indonesia.
Citra RADAR yang diperoleh dari satelit maupun pesawat udara berisi dua
informasi penting yaitu informasi mengenai daya sinar pancar berupa fase dan
amplitudo yang dipengaruhi oleh banyaknya gelombang yang dipancarkan serta
dipantulkan kembali. Citra IFSAR memiliki resolusi citra yang tinggi dan mampu
merepresentasikan objek di permukaan bumi dengan jelas sehingga dapat dilakukan
interpretasi dan identifikasi yang sesuai, kemudian citra tersebut memiliki posisi tiga
dimensi yang cukup sehingga daerah yang dipetakan dapat diketahui topografinya.
Teknik interferometri mencitrakan suatu objek di permukaan bumi dengan cara
melakukan pengamatan terhadap beda fasa dua gelombang pendar yang berasal dari
suatu objek (Julzarika, dkk, 2009). Penerapan RADAR aperture sintetik
interferometris dengan pesawat udara maupun satelit menggunakan dua buah antena
yang berkerja pada waktu yang sama disebut dengan lintasan tunggal/single pass,
sedangkan penerapan RADAR aperture sintetik interferometri dengan pesawat udara
atau satelit menggunakan satu antena yang berkerja tidak pada saat yang sama disebut
dengan pengulangan lintasan/repeat pass.
Pada lintasan tunggal (single pass), kedua antena dapat dipasang melintang
pesawat terbang (across track), ataupun memanjang pesawat terbang (along track).
Pada posisi across track, kedua antenna dipasang di kiri dan di kanan sayap pesawat
terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedangkan antena lainnya hanya
berfungsi sebagai penerima. Penerapan prinsip RADAR apertur sintetik interferometri
lintasan tunggal sistem melintang pesawat pada tahun 2000 diterapkan di pesawat
ulang-alik SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission). Gambar 1.5. menjelaskan
tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada lintasan tunggal
sistem melintang pesawat.
………………………………………. (I.1)
…….....………….……………………………………………. (I.2)
Keterangan :
B = jarak antara antena kiri dan antena kanan (baseline)
By, Bz = komponen basis dalam arah mendatar dan tegak
θ = sudut masuk
r1, r2 = jarak miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke objek dan
dari antena kedua ke objek yang sama di permukaan bumi
∆φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari
antena kedua
λ = panjang gelombang mikro yang digunakan
Pada posisi along track, kedua antena dipasang di muka dan di belakang
pesawat terbang, sejajar dengan arah terbang pesawat. Kedua antena berfungsi sebagai
pemancar dan penerima gelombang RADAR dengan panjang gelombang λ. Gambar
I.6. menunjukkan tentang penerapan RADAR aperture sintetik interferometri pada
lintasan tunggal sistem memanjang pesawat.
………………………………………………….....(I.3.)
Keterangan :
∆φ = beda fasa yang terjadi antara sinyal RADAR dari antena pertama dan dari
antena kedua
U = kecepatan radiasi sinyal balik dari objek
∆t = beda waktu perekaman antara antena pertama dan antena kedua
B = jarak antara antena di muka dan di belakang pesawat
V = kecepatan pesawat terbang
………………………………………...……………………….(I.4.)
Keterangan :
S1, S2 = sensor pertama membawa satu antena dan sensor kedua juga membawa satu
antena
16
I.8.4. TerraSAR-X
TerraSAR-X adalah satelit observasi bumi merupakan sebuah kolaborasi
antara Jerman Aerospace Center (DLR) dan EADS Astrium. Diluncurkan pada 15
Juni 2007 dan telah beroperasi secara resmi sejak Januari 2008. Pada 21 Juni 2010
Jerman kembali meluncurkan satelit kembaran TerraSAR-X bernama TanDEM-X,
dua satelit ini bekerja secara berpasangan. TerraSAR-X merupakan teknologi RADAR
terbaru untuk pemetaan dengan panjang gelombang aktif X-band (panjang gelombang
31 mm, frekuensi 9,6 GHz) yang mampu mengatasi tutupan awan (LAPAN, 2010).
Tabel I.5. merupakan keterangan fisik dari TerraSAR-X.
Keterangan fisik dari TerraSAR-X yang dijelaskan pada Tabel I.5. terdiri atas
tanggal peluncuran, roket pembawa, tempat peluncuran, berat satelit, ukuran satelit,
tipe, ketinggian orbit, inklinasi, frekuensi RADAR, panjang antena, lebar antena, dan
waktu yang dibutuhkan untuk satu kali memutari bumi. TerraSAR-X dapat diperoleh
5 mode citra utama yaitu Staring Spotlight, High Resolution Spotlight, Stripmap,
ScanSAR, dan Wide ScanSAR. Tabel I.6. menunjukkan spesifikasi dari masing-masing
mode tersebut.
Spesifikasi Keterangan
Datum vertikal EGM (Earth Gravitational Model) 1996
Unit vertikal Meter
Resolusi spasial 1 arc-second untuk cakupan global (~30 meter)
3 arc-second untuk cakupan global (~90 meter)
Ukuran raster 1 degree tiles
Panjang gelombang C-band 5,6 cm
Spesifikasi produk SRTM yang dijelaskan pada Tabel I.7. adalah misi
perekaman data, lama misi, ketinggian orbit satelit pembawa (Endeavour), Inklinasi
orbit, petak yang diperoleh, lama waktu akuisisi data. Tabel I.7. juga menjelaskan
mengenai sistem proyeksi, datum horizontal, datum vertikal, unit vertikal, resolusi
spasial, ukuran raster, dan panjang gelombang C-band yang digunakan.
ASTER GDEM dibuat oleh METi dan JAXA Jepang dan sudah dilakukan
koreksi geometrik serta koreksi radiometrik. ASTER mencakup data DEM dari
koordinat 83° LU hingga 83° LS. Kemudian data tersebut dibagi atas petak-petak citra
20
dengan luas 1x1 derajat. Jumlah petak untuk DEM ASTER GDEM versi 1 yaitu
22.600, sedangkan jumlah area untuk DEM ASTER GDEM versi 2 yaitu 22.702.
Setiap petak citra DEM ASTER terdiri atas dua file, yaitu data DEM dan data
informasi kualitas DEM. DEM ASTER GDEM versi 1 yang diluncurkan pada akhir
bulan Juni 2009, dan DEM ASTER GDEM versi 2 yang diluncurkan pada pertengahan
bulan Oktober 2011. ASTER GDEM versi 2 merupakan pengembangan dan perbaikan
dari ASTER GDEM versi 1. Perbaikan dilakukan dengan menambahkan 260.000
scene untuk meningkatkan cakupan wilayah DEM (ERSDAC, 2011). Tabel I.8.
merupakan spesifikasi ASTER GDEM versi 2.
Spesifikasi Keterangan
Penyedia data METi/NASA
Versi dan tahun akuisisi data Ver.2, 2011
Periode pengumpulan data 2000-2010
Teknik akuisisi Stereo Pairs, visible, and near infrared
Faktor utama distorsi Awan
Datum horizontal WGS 1984
Datum vertikal EGM 1996
Resolusi horizontal 1 arc second
Akurasi horizontal ±30 meter (abs) 95% Circular Error (CE)
Akurasi vertikal ±20 meter (abs) 95% Linear Error (LE)
Format data GeoTIFF
sehingga ketinggian pada DEM ASTER ini merupakan tinggi orthometrik. Tabel I.9.
berikut menerangkan tentang format data DEM ASTER GDEM.
Pada Tabel I.9. terdapat perbedaan antara ASTER GDEM versi 1 dengan
ASTER GDEM versi 2, antara lain pada jumlah scene DEM yang digunakan, ukuran
kernel, dan luas minimum tubuh air yang terdeteksi.
EGM 2008 adalah model geopotensial global bumi yang dipublikasikan oleh
National Geospatial-Intelligence Agency (NGA). EGM2008 mengandung informasi
mengenai koefisien harmonik bola antara lain orde (L), degree (M), koefisien model
geopotensial yang terasosiasi (C), koefisien model geopotensial yang ternormalisasi
penuh (S), serta standar deviasi dari C dan S (σC dan σS). EGM 2008 dilengkapi
dengan koefisien harmonik hingga derajat dan orde 2159 serta memuat koefisien
tambahan hingga derajat 2190 dan orde 2159 (Pavlis, dkk, 2012).
EGM 1996 merupakan geoid yang digunakan pada data SRTM dan ASTER
GDEM, sedangkan EGM 2008 digunakan pada data IFSAR dan TerraSAR-X. Geoid
(model geopotensial) didefinisikan sebagai salah satu bidang ekuipotensial medan
gaya berat bumi. Untuk keperluan praktis umumnya geoid dianggap berimpit dengan
muka air laut rata-rata atau Mean Sea Level (MSL). Geoid adalah bidang referensi
untuk menyatakan tinggi orthometrik. Secara matematis, geoid adalah suatu
permukaan yang sangat kompleks yang memerlukan sangat banyak parameter untuk
merepresentasikannya. Oleh karena itu untuk merepresentasikan bumi ini secara
matematis serta untuk perhitungan-perhitungan matematis orang umumnya
menggunakan suatu ellipsoid referensi dan bukan geoid. Ellipsoid referensi dan geoid
umumnya tidak berimpit, dan dalam hal ini ketinggian geoid terhadap ellipsoid
dinamakan undulasi geoid (N) (Abidin, dkk, 2004). Gambar I.8. menampilkan ilustrasi
tinggi ellipsoid, tinggi orthometrik, dan undulasi geoid.
Berdasarkan Gambar I.8. nilai tinggi orthometrik dapat dihitung dari selisih
tinggi ellipsoid dengan undulasi. Undulasi geoid di suatu titik dapat dihitung dengan
hubungan berikut (Heiskannen dan Moritz, 1967) :
𝑛𝑚𝑎𝑥 𝑛
𝑁𝐺𝑀 = 𝑅 ∑𝑛=2 ∑𝑚=0[𝐶𝑛𝑚 cos 𝑚𝜆 + 𝑆𝑛𝑚 sin 𝑚𝜆]𝑃𝑛𝑚 (𝑠𝑖𝑛𝜑)…………………(I.5.)
Keterangan :
NGM = nilai undulasi pada model geoid global
Cnm, Snm = koefisien geopotensial yang dinormalisasi penuh (fully normalized
geopotential coefficients)
Pnm = fungsi Legendre yang dinormalisasi penuh (fully normalized legendre
function)
nmax = derajat maksimal model geopotensial
n,m = derajat dan orde model geopotensial
R = jari-jari rata-rata bumi
(φ,λ) = lintang dan bujur geosentrik
Istilah kesalahan tinggi (height error) digunakan di DLR, NASA, dan LAPAN.
Istilah lain height error adalah bull eye’s yang digunakan di Amerika Serikat, Golden
software, dan LAPAN. Istilah noise digunakan di Eropa dan Kanada, sedang istilah pit
24
dan spire digunakan di sebagian Amerika Utara, Amerika Serikat, dan Golden
software (Julzarika, 2015)
Pengecekan kesalahan tinggi dapat dilakukan dengan deteksi pit dan spire. Pit
adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi lembah terjal di model tinggi,
sedangkan spire adalah kondisi anomali tinggi yang menyebabkan terjadi gunung
terjal di model tinggi. Pit dan spire dapat terlihat dari kontur yang sangat rapat yang
menunjukkan pola bull eyes. Tabel I.10. merupakan algoritma deteksi pit dan spire
pada software MicroDEM dengan C dan X dijelaskan dalam Gambar I.9.
X X X
X C X
X X X
Gambar I. 9. Contoh piksel dengan jendela 5x5 untuk deteksi pit dan spire
Gambar I.9. merupakan contoh piksel dengan jendela 5x5 yang digunakan
untuk deteksi pit dan spire, algoritma dari deteksi tersebut dijelaskan pada Tabel I.10.
Tabel I. 10. Algoritma deteksi pit dan spire (sumber : United States Naval Academy
(USNA), 2013)
Proses koreksi kesalahan tinggi hanya dilakukan pada SRTM dan ASTER
GDEM karena data IFSAR dan TerraSAR-X sudah terkoreksi tinggi oleh pihak
penyedia data. HEM dari data SRTM disediakan oleh NASA, dan ASTER GDEM
disediakan oleh METi (Julzarika, 2015).
(spatial correlation) antar data yang diukur di suatu wilayah. Semivariogram dihitung
dengan menggunakan rumus berikut ini (ESRI, 2016) :
…………………………………………………………………(I.5)
Keterangan :
Z’o = Nilai estimasi
Wi = Bobot
Zi = Nilai yang diketahui
Model variogram akan menentukan sifat ketetanggaan titik-titik lokal
pengamatan beserta bobotnya yang digunakan ketika interpolasi nilai ketinggian setiap
node grid. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Surfer menyediakan beberapa model
variogram eksponensial, gauss wave (hole effect), linier, kuadratik, kuadrat-rasional,
dan spherical. Pada penelitian ini digunakan model semivariogram linier dan
spherical. Model ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Atriyon
Julzarika (2015) yang telah menghasilkan kesimpulan bahwa metode kriging model
semivariogram linier dan sperichal menghasilkan data yang paling akurat.
Nilai ketelitian di setiap kelas diperoleh melalui ketentuan seperti tertera pada
Tabel I.12.
Nilai CE90 untuk ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal, yang
berarti bahwa kesalahan posisi peta dasar tidak melebihi nilai ketelitian tersebut
dengan tingkat kepercayaan 90%. Nilai CE90 dan LE90 dapat diperoleh dengan rumus
mengacu kepada standar sebagai-berikut US NMAS (United States National Map
Accuracy Standards) sebagai berikut:
28
Keterangan :
RMSEr : Root Mean Square Error pada posisi x dan y (horizontal)
RMSEz : Root Mean Square Error pada posisi z (vertikal)
Analisis akurasi posisi menggunakan Root Mean Square Error (RMSE), yang
menggambarkan nilai perbedaan antara titik uji dengan titik sebenarnya. RMSE
digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik.
Pada penelitian ini nilai akurasi yang diuji hanya akurasi vertikal, sehingga nilai
RMSE yang dihitung hanya RMSE untuk akurasi vertikal saja. Nilai RMSE untuk
akurasi ketinggian dirumuskan sebagai berikut:
……………………………………(I.16)
Dengan :
Zdata(i) = koordinat z dari data ke i
Zcheck(i) = koordinat z titik sebenarnya ke i
n = jumlah titik
I.9. Hipotesis
Penelitian yang telah dilakukan oleh Hoja (2009) dan Julzarika (2015)
menunjukkan bahwa integrasi antara model tinggi global (yang digunakan oleh kedua
peneliti tersebut adalah SRTM) dengan model tinggi yang memiliki akurasi lebih
tinggi, mampu memperbaiki akurasi tinggi dari model tinggi global yang digunakan.
Akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan Cartosat adalah
1-2 meter pada wilayah penelitian dataran tinggi di Catalonia (Hoja, 2009), sedangkan
akurasi vertikal yang dihasilkan dari integrasi antara SRTM dengan ALOS Palsar
adalah 2,58 meter pada wilayah penelitian Tabalong, Kalimantan Selatan (Julzarika,
2015).
Barat dengan akurasi vertikal lebih baik dari akurasi vertikal model global SRTM atau
ASTER GDEM. Hasil integrasi akan memenuhi akurasi vertikal berkisar 5 - 12,5
meter sesuai dengan ketentuan akurasi vertikal peta skala 1:25.000 pada Peraturan
Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Ketelitian Peta Dasar