Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia farmasi senantiasa memperbaharui sediaan obat supaya mampu


menjadi suatu produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun
efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya, sebagai seorang farmasis kita harus
selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.

Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama
yang paling kami soroti disini yaitu mengenai difusi suatu zat. Dimana ini
merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan
hasil suatu efek obat dalam tubuh manusia. Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang
penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai
jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi, yakni suatu proses perpindahan
massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan
berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu
batas. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata
atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi
walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Lalu bagaimana jika kesetimbangan
ini tidak tercapai?

Melihat pentingnya difusi dalam suatu sediaan maka dibuatah makalah ini
sebagai suatu manfaat dan pengetahuan bagi para farmasis.

1.2 Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Fisik

2. Untuk mengetahui pengertian dari difusi

3. Untuk memahami difusi dalam dunia farmasi

1
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Difusi

Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu


zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan
adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu
membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses
difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi
molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran). Difusi
molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori bergantung pada
disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan membran. Sedang
proses difusi perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut,
serta dipengaruhi oleh ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter
dari pori tersebut.

Perbedaan konsentrasi (suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi


tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah) yang ada pada dua larutan disebut
gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas
secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan
molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang
sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan
menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara.
Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika
terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid
atau fluida.

Ada dua jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi biasa dan difusi khusus.

a. Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul
yang hydrophobic atau tidak berpolar / berkutub. Molekul dapat langsung
berdifusi ke dalam membran plasma yang terbuat dari phospholipids.
Difusi seperti ini tidak memerlukan energi atau ATP (Adenosine Tri-
Phosphate).
b. Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul
yang hydrophilic atau berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan
protein khusus yang memberikan jalur kepada partikel-partikel tersebut
ataupun membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini dilakukan karena
partikel-partikel tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan
mudah. Protein-protein yang turut campur dalam difusi khusus ini biasanya
berfungsi untuk spesifik partikel.

2
Faktor-faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:

a. Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu
akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
b. Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan
difusi.
c. Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan
difusinya.
d. Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat
kecepatan difusinya.
e. Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak
dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi,


viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi
oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin
cepat difusi obat.

2.2 Jenis metode difusi

a. Metode difusi agar


Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar.
Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada
permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji
pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar
cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap
organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan
kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium
dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat).
Meskipun demikian, standardisasi faktor-faktor tersebut
memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Jawetz et al.,
2005
b. Metode Difusi Cakram
Cara yang mudah untuk menetapkan kerentanan organisme
terhadap antibiotik adalah dengan menginokulasi pelat agar dengan
biakan dan membiarkan antibiotik terdifusi ke media agar. Cakram
yang telah mengandung antibiotik diletakkan di permukaan pelat agar
yang mengandung organisme yang diuji. Pada jarak tertentu pada
masing-masing cakram,antibiotik terdifusi sampai titik antibiotik
tersebut tidak lagi menghambat pertumbuhan mikroba.Efektivitas
antibiotik ditunjukkan oleh zona hambatan. Zona hambatan terlihat
sebagai area jernih atau bersih mengelilingi cakram tempat zat dengan
3
aktivitas antimikroba terdifusi. Diameter zona dapat diukur dengan
penggaris dan hasil dari eksperimen ini merupakan satu antibiogram.
Ukuran zona hambatan dapat dipengaruhi oleh kepadatan media biakan,
kecepatan difusi antibiotik,konsentrasi antibiotik pada cakram
filter,sensitivitas organisme terhadap antibiotik, dan interaksi antibiotik
terhadap media.suatu zat yang mempunyai efek samping signifikan
tidak boleh digunakan (Harmita dkk, 2008).
Kelebihan metode difusi cakram adalah mudah dilakukan, tidak
membutuhkan peralatan khusus dan relative murah. Kekurangannya
yaitu ukuran zona bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi
inkubasi, inoculum, predifusi, preinkubasi dan ketebalan medium.

c. Metode Kirby Bauer (Disk)


Cara Kirby-Bauer merupakan suatu metode uji sensitivitas bakteri
yang dilakukan dengan membuat suspensi bakteri pada media Brain
Heart Infusion (BHI) cair dari koloni pertumbuhan kuman 24 jam,
selanjutnya disuspensikan dalam 0,5 mL BHI cair (diinkubasi 4-8 jam
pada suhu 37°C). Hasil inkubasi bakteri diencerkan sampai mencapai
standar konsentrasi kuman 108 CFU/mL. Suspensi bakteri diuji
sensitivitas dengan meratakan suspensi bakteri tersebut pada
permukaan media agar. Disk antibiotik diletakkan di atas media tersebut
dan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 19-24 jam. Hasilnya
dibaca atau dilihat apakah ada atau tidak zona radikal atau iradikal.

BAB III
4
PEMBAHASAN

3.1 UJI EFEKTIVITAS LARUTAN MADU SEBAGAI ANTIBAKTERI TERHADAP


PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosae DENGAN
METODE DISK DIFFUSION

Uji efektivitas madu sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus


aureus diuji secara in vitro dengan mengukur zona hambat pada media agar
yang dibuat sumur diisi madu dan pengukurannya menggunakan satuan
millimeter.

Uji efektivitas larutan madu terhadap S. aureus pada konsentrasi 106


ppm, 5x106 ppm, 107 ppm, dan 108 ppm didapatkan zona hambat dengan
rata-rata diameter hambatan sebesar 6,5 mm, 10,5 mm, 12 mm, dan 14,7 mm.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan konsentrasi larutan madu telah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan kategori hambatan lemah.
Uji efektivitas larutan madu terhadap P. aeruginosae pada konsentrasi
106 ppm, 5x106 ppm, dan 107 ppm didapatkan zona hambat dengan rata-rata
sebesar 6 mm, 8,5 mm, dan 9,5 mm, diameter zona hambat tersebut tidak
termasuk dalam kategori (rendah). Sedangkan konsentrasi 108 ppm
didapatkan zona hambat 10.5 mm, berdasarkan hasil dari zona hambat tersebut
maka uji efektivitas termasuk dalam kategori lemah.

3.2 PENGARUH EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle L.) TERHADAP


PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli
DENGAN METODE DIFUSI DISK

Pembuatan beberapa stok konsentrasi ekstrak daun sirih dan


pengisian kertas disk. Konsentrasi ekstrak daun sirih yang akan
divariasikan adalah mulai dari 2,5., 5 dan 10% dengan cara:
1. Konsentrasi 10 % : 0,5 ml ekstrak daun sirih + 4,5 ml DMSO 10 %
2. Konsentrasi 5 % : 0,25 ml ekstrak daun sirih + 4,75 ml DMSO 10%
3. Konsentrasi 2,5 % : 0,125 ml ekstrak daun sirih + 4,875ml DMSO 10%
4. Kontrol pelarut : 0 ml ekstrak daun sirih + 5 ml DMSO 10 %
Hasil penelitian tentang pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle L.)
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
dengan metode difusi disk diperoleh kesimpulan bahwa ekstrak daun sirih
(Piper betle L.) berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli yang ditunjukkan dengan
adanya daerah jernih (clear zona) yang terbentuk pada media uji.

5
3.3EFEKTIFITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOLIK DAUN CABE
RAWIT (Capsicum frutescens L. ) TERHADAP BAKTERI
STAPHYLOCOCCUS AUREUS DENGAN METODE DIFUSI: UJI
PENDAHULUAN POTENSI TANAMAN OBAT TRADISIONAL
SEBAGAI ALTERNATIF PENGOBATAN INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN

Peningkatan zona hambat pertumbuhan bakteri S. aures seiring


dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun cabe rawit. Hal ini
disebabkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun cabe rawit maka
semakin tinggi kandungan flavanoid dalam ekstrak daun cabe rawit
tersebut.
Pada konsentrasi 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60% ekstrak daun
cabe rawit terbukti tidak memiliki daya hambat bakteri Staphylococcus
aureus. Pada konsentrasi 70%, 80%, 90% , 100% ekstrak daun cabe rawit
terbukti memberikan daya hambat bakteri Staphylococcus aureus. Pada
konsentrasi 100% merupakan dosis yang memberikan daya hambat
terhadap pertumbuhan S.aureus sama dengan kelompok kontrol positif
(Amoxicillin). Hal tersebut menunjukkan ekstrak daun cabe rawit
konsentrasi 100% memiliki potensi yang sama dalam menghambat
pertumbhan bakteri S. aureus sehingga dapat dijadikan sebagai acuan
bahan alam untuk terapi infeksi saluran pernapasan dan dapat
dikembangkan dalam bentuk sediaan farmasi karena memiliki potensi yang
sama dengan amoxicillin dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.
Aureus.

3.4 FABRIKASI NANOPARTIKEL HERBAL DALAM TABLET


EFFERVESCENT MENGGUNAKAN METODE SOLVENT
EMULSIFICASSION DIFFUSION KOMBINASI HIGH SPEED
HOMOGENIZER

Untuk meningkatkan penyerapan dan bioavailabilitas dilakukan


peningkatan kelarutan dan permeabilitas dengan cara memperkecil ukuran
partikel. Bahan nanopartikel herbal berukuran antara 1 – 100 nm memiliki
luas permukaan lebih besaryang memungkinkan keaktifan lebih besar
dibandingkan partikel yang lebih besar. Fabrikasi nano partikel herbal ini
dilakukan dengan metode emulsificassion diffusion solvent kombinasi
dengan High Speed Homogenizer yakni salah satu contoh metode top down
dalam nanoteknologi. Metode ini dilakukan dengan preparasi emulsioil in

6
water (o/w) dimana fase minyak yang mengandung polimer dan minyak
dalam pelarut organik yang diemulsikan dalam fase air yang mengandung
stabilizer dilanjutkan dengan homogenasi berkecepatan tinggi sehingga
mengakibatkan pembentukan nano partikel. Menurut hasil di atas dari uji
menggunakan difusi cakram, difusi agar dan difusi disk dari jurnal tersebut
peningkatan jumlah konsentrasi dapat berpengaruh pada zona hambat atau
daerah jernih yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasinya maka hasil
dari zona hambat tersebut akan semakin baik.

Formula nanoemulsi sudah dicapai dalam F10 dengan ukuran


partikel 57,9 nm dan F12 dengan ukuran partikel 29,2 nm selanjutnya
nanoemulsi tersebut disolidifikasi sehingga terbentuknya tablet nanoherbal
effervescent. Dengan tercapainya hasil tersebut, penelitian pembuatan
tablet nanoherbal effervescent dinyatakan berhasil.

3.5 Preliminary phytochemical and antibacterial screening of crude


extract of the leaf of Adhatoda vasica. L
Agar-well Diffusion Method.The antimicrobial activity was carried
out by the agar-well diffusion assay using Muller Hinton agar plates. The plates
were swabbed with S. Aureaus.

7
S. aureus, S. epidermidis, B. subtilis and P. vulgaris is observed at 75
mg/ml. For C. albicans it is observed to be 100 mg/ml. For petroleum ether it is
found at 25 mg/ml [Table 3]. Similar reports have been well documented
earlier, which state that a great number of medicinal plants are less active
against gram negative than gram positive organisms.[2,9] The inhibitory
activities of the extracts live up to their potential in the treatment of microbially
induced ailments or diseased conditions, in line with the traditional use of plant
extracts.

8
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil tersebut dapat disimpullkan bahwa uji difusi dengan peningkatan
konsentrasi akan menghasilkan pengujian zona hambat bakteri yang lebih baik.
Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi juga
kandungan yang dapat digunakan untuk zona hambat itu sehingga dapat
ditunjukkan dengan adanya daerah jernih (clear zona) yang terbentuk pada media
uji tersebut.

9
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Infectious disease are the biggest killer of the young; 1999. Avalaible from
http://www.who.int/infectousdisease-report/index-rpt99.htm[Accessed Juli 12, 2009].

2. Vardi, et.al. Local application of Honey for Treatment of Neonatal Postoperative Wound Infection.;
1998. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9628301, [Accessed Mei 17, 2009].

3. Hotnida CH. Pengaruh metode penurunan kadar air, suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas
madu randu (thesis). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.

4. Aiman BAF. Pengobatan dan Penyembuhan menurut wahyu Nabi, Jakarta: Pustaka As-sabil; 2004.

5. Hendri W, Sani EP & Yani L. Uji Akivitas Antimikroba Madu Terhadap Mikroba Staphylococcus
aureus; 2008. Available from: http://hendriapt. wordpress.com/2008/11/14/uji-aktivitasantibacteri-
madu-terhadap-bakteristaphylococcus-aureus [Accessed Nov 2008].

6. French VM, Cooper RA and Molan PC. The Antibacterial of Honey against coagulae-negative
Staphylococci. Oxforddjournals (serial on the internet). 2005. Available from: http://jac.oxford
djournals.org/cgj/content/full/56/1/228[Accessed March 2005].

7. Lasmayanty. Potensi Antibakteri Propolis Lebah Madu Trigona Terhadap bakteri Kariogenik
(Streptococcus mutans). Program Studi Biokimia MIPA IPB Bogor; 2007.

8. Todar Kenneth.Textbook of bacteriology: Pseudomonas aeruginosa. University of Wisconsin-


Madison Department of Bacteriology; 2004.

9. Dwiprahasto I. Kebijakan untuk meminimlakan Resiko Terjadinya Resistensi Bakteri di Unit


Perawatan Intensif RS.JMPK. 2005:08(4):177-178.

10. Jawetz E, Melnick JL & EA Adelber. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika; 2006.

11. Karchmer, A.W. From theory to practice: resistance in Staphylococcus aureus and new treatments.
Clin. Microbiol. Infect.. 2006. 12 (Suppl. 8): 15-21.12. Jawetz E,.Melnick JL, and Adelber EA
.Mikrobiologi Kedokteran Edisi

20.Penerjemah: Edi Nugroho & RF Maulany, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta; 2006 : 211
21510

10

Anda mungkin juga menyukai