Bab Ii
Bab Ii
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung
menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahundengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun
dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05%
Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT di RSUP H. Adam Malik dari
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan diantaranya teori
jaringan asal dan faktor ketidakseimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak
tetapi secara klinis ganas karena bersifatekspansif dan mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang.
Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri
maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau
bagian dalam dari fossa pterigoid setelah mengisi nasofaring. Tumor ini meluas ke dalam sinus
paranasal, rahang atas, pipi, dan orbita, serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar
tengkorak.
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80 -90%)’ merupakan gejala paling sering, diikuti
epistaksis (45 – 60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah
meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10 – 18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,
deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, sehingga
harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan
yang ekstensif.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos,
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FARING
Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang dewasa panjangnya ±
10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis sphenoid sampai ke vertebra servikal
VI pada batas bawah dari kartilago krikoid. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dank e bawah
Nasofaring
Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan
dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian
jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantung Rathke, Choanae, foramen
jugulare, dan muara tuba Eustachius. Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana.
Orofaring
Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fossa
Laringofaring
Struktur yang terdapat disini adalah vallecula epiglotica, epiglottis, serta fossa piriformis.
B. DEFINISI
Angiofibroma nasofaring belia adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang
secara histologic jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal
C. INSIDEN
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000 dari pasien THT.
Diperkirakan hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi
pada laki laki decade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjado pada usia di atas 25 tahun.
D. ETIOLOGI
Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.
Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada
dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena
os sphenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari
angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epithelial yang mendasari ruang
vascular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.
Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitary. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormone androgen dan atau kelebihan
hormone estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis
kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita
angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak
E. PATOFISIOLOGI
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah.
Tumor ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik angiofibroma yang terletak di
dinding posterolateral atas rongga hidung. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi
sebelah posterior dan lateral di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen
sphenopalatina. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas
nasofaring, mencapai tepi posterios septum dan meluas kea rah bawah membentuk tonjolan
massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari bagian bawah
selaput lender nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang postnasal. Akhirnya rongga
hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan
superior diarahkan melalui sinus sphenoid, yang mungkin juga akan terkikis. Sinus cavernosus
fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus
akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke
jaringan lunak antara otot maseter dan businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan
“rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan
mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya proptosis
(tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”) dan atrofi N. optikus.
masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus
Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media. Bila
tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan pada ostium sinus sehingga
terjadi sinusitis. Peruasan tumor ke arahorofaring dapat menekan palatum molle sehingga
menimbulkan disfagia yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi
tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang paling
sering ditemukan (>80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya
epistaksis massif yang berulang. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan
secret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius
akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut datang dengan keadaan umum
lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah
meluas ke intracranial, dan gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring.
Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan
proptosis sehingga wajah penderita tampak seperti kodok, ini dikenal dengan “wajah kodok”.
Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh
kronis.
Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidunh. Ini berkisar 45-60%,
Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat
Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.
saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum
nasi.
Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke
lateral.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi. Biopsy
sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan perisapan untuk
Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis massif yang
berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu dinyatakan
tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan.
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan
konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya
diliputi oleh selaput lender berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan
pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen finromanya.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Polos
dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller”
melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arcus zigoma dan tulang
di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk
CT scan
Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina. Pemeriksaan
ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung dan fossa
pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan
dengan zat kontra akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta dekstruksi tulang
ke jaringan sekitarnya.
intracranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak
karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya
menentukan hanya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intracranial. MRI dapat
menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik dibandingkan CT scan dan sangat
terjadi karena reseksi lengkap dari tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena
kekambuhan mungkin terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan
tindak lanjut awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan
pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa tetapi
Angiografi
(feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada
pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang
biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral. Arteri maksilaris interna
terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan
Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari arteri
bilateral yang berdekatan. Oleh Karen itu, arteriografi bilateral arteri karotis interna dan
operatif bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi mengurangi terjadinya
kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada angiofibroma nasofaring dapat terjadi
revaskularisasi.
I. STADIUM
System staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada dua sistem yang paling
stage IIIA : tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intracranial
stage IIIB : tumor telah meluas ke intracranial dengan atau tanpa meluas ke
sinus kavernosus
tulang.
dekstruksi tulang
Stage III : tumor menginvasi fossa temporal, orbita dengan atau region parasellar
Stage IV : tumor menginvasi sinus kavernosus, region chiasma optic dan atau
fossa pituitari
J. DIAGNOSA BANDING
kordoma (chordoma)
karsinoma nasofaring
K. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien angiofibroma nasofaring dapat berupa tindakan operasi,
1. Operasi
tersebut berlanjut hingga usia 20 tahun. Selain itu, operasi harus dilakukan di
rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena risiko perdarahan yang hebat.
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan
intracranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat
mengurangi perdarahan yang banyak, dapat juga dilakukan ligase arteri karotis
2. Radioterapi
yang rekuren atau ekspansif ke daerah intracranial yang mana sulit dicapai
tumor tidak langsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif
pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat
pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan
tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien
temporalis, katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan
keganasan kepala dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi
terhadap angiofibroma.
3. Hormonal
Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
L. PROGNOSIS
Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan
bervariasi antar 6% hingga 57%. Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-
40 penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai 12
KESIMPULAN
Nagiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologic jinak, secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini sering terjadi pada anak laki-laki
sehingga tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia. Untuk menentukan derajat atau
stadium angiofibroma nasofaring saat ini menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah.
Etiologi dan penyakit ini belum jelas, tapi ada beberapa teori yang diajukan. Teori tersebut
antara lain: teori ketidakseimbangan hormonal, teori genetic ataupun akibat jaringan asal.
Cara pengobatan termasuk radiasi, operasi, dan terapi hormonal. Sekarang ini
pengobatan yang disukai, jika dapat dilakukan, adalah reaksi bedah. Operasi merupakan terapi
utama untuk angiofibroma nasofaring juvenile. Selain tindakan operasi, ada juga pilihan terapi