Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring belia adalah sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung

menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja.

Umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahundengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun

dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05%

dari seluruh tumor kepala dan leher.

Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT di RSUP H. Adam Malik dari

Januari 2001 – Nopember 2002 dijumpai 11 kasus angiofibroma nasofaring.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan diantaranya teori

jaringan asal dan faktor ketidakseimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak

tetapi secara klinis ganas karena bersifatekspansif dan mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang.

Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri

maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau

bagian dalam dari fossa pterigoid setelah mengisi nasofaring. Tumor ini meluas ke dalam sinus

paranasal, rahang atas, pipi, dan orbita, serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar

tengkorak.

Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80 -90%)’ merupakan gejala paling sering, diikuti

epistaksis (45 – 60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah

meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10 – 18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia,

deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, sehingga
harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan

yang ekstensif.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos,

CT scan, angiografi dan MRI.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FARING

Rongga faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,

merupakan bagian atas dari saluran napas dan saluran cerna. Pada orang dewasa panjangnya ±

10 cm. Rongga faring dimulai dari basis occiput dan basis sphenoid sampai ke vertebra servikal

VI pada batas bawah dari kartilago krikoid. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung

melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium,

sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dank e bawah

berhubungan esophagus. Faring terdiri atas:

Nasofaring

Nasofaring merupakan saluran yang berfungsi untuk respirasi, berupa rongga dengan

dinding kaku di atas, belakang dan lateral, tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian

bawah.nasofaring berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid,

jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantung Rathke, Choanae, foramen

jugulare, dan muara tuba Eustachius. Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana.

Orofaring

Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fossa

tonsilaris, arcus faring, tonsil lingual, uvula, dan foramen caecum.

Laringofaring

Struktur yang terdapat disini adalah vallecula epiglotica, epiglottis, serta fossa piriformis.
B. DEFINISI

Angiofibroma nasofaring belia adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang

secara histologic jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata

dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,

juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal

tumor, tumor hidung, atau angiofibroma nasofaring belia.

C. INSIDEN

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000 dari pasien THT.

Diperkirakan hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala. Tumor ini umumnya terjadi

pada laki laki decade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang terjado pada usia di atas 25 tahun.

D. ETIOLOGI

Penyebab dari angiofibroma nasofaring belia belum dapat diketahui secara pasti.

Beberapa teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada

dasarnya teori-teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan

teori ketidakseimbangan hormonal.

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi karena

pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis

os sphenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari

angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epithelial yang mendasari ruang

vascular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.
Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral atap rongga hidung.

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitary. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormone androgen dan atau kelebihan

hormone estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis

kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita

angiofibroma nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak

adanya kesamaan pertumbuhan pembentukan tulang tengkorak menyebabkan terjadinya

hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.

E. PATOFISIOLOGI

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah.

Tumor ini diperkirakan berasal dari tempat perlekatan spesifik angiofibroma yang terletak di

dinding posterolateral atas rongga hidung. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi

sebelah posterior dan lateral di atas nasofaring, dekat dengan margin utama foramen

sphenopalatina. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang tepi atas

nasofaring, mencapai tepi posterios septum dan meluas kea rah bawah membentuk tonjolan

massa di atas rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari bagian bawah

selaput lender nasofaring, selanjutnya ke anterior dan inferior ruang postnasal. Akhirnya rongga

hidung akan terisi pada satu sisi, dan septum akan menyimpang ke sisi lain. Pertumbuhan

superior diarahkan melalui sinus sphenoid, yang mungkin juga akan terkikis. Sinus cavernosus

dapat diserang jika terjadi penyebaran tumor yang lebih lanjut.


Pada perluasan kea rah lateral, tumor melebar kea rah foramen sfenopalatina, masuk ke

fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus

akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas bagian belakang masuk ke

jaringan lunak antara otot maseter dan businator yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan

“rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan

mendorong salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya proptosis

(tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka kodok”) dan atrofi N. optikus.

Perluasan ke intracranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila

masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus

sfenoid ke sinus cavernosus dan fossa hipofise.

Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat menimbulkan otitis media. Bila

tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan penyumbatan pada ostium sinus sehingga

terjadi sinusitis. Peruasan tumor ke arahorofaring dapat menekan palatum molle sehingga

menimbulkan disfagia yang lambat laun juga akan menyebabkan sumbatan jalan napas.

F. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma nasofaring sangat bervariasi

tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya. Pada permulaan penyakit gejala yang paling

sering ditemukan (>80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya

epistaksis massif yang berulang. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan

secret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius

akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Penderita yang lanjut datang dengan keadaan umum

lemah, anemia, gangguan menelan, sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah

meluas ke intracranial, dan gangguan pernapasan karena tersumbatnya hidung dan nasofaring.
Tumor juga dapat mengakibatkan deformitas wajah bila mendesak bola mata, menyebabkan

proptosis sehingga wajah penderita tampak seperti kodok, ini dikenal dengan “wajah kodok”.

Secara umum gejala-gejala yang tampak antara lain:

 Obstruksi nasal (80-90%) dan ingusan (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang

paling sering, terutama pada permulaan penyakit. Adanya obstruksi hidung oleh

tumor memudahkan terjadinya penimbunan secret, sehingga timbul rinorea

kronis.

 Sering mimisan (epistaxis) atau keluar darah dari hidunh. Ini berkisar 45-60%,

biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).

 Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang. Sefalgia hebat

biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah bermetastase ke intracranial.

 Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

 Tuli konduktif (conductive hearing loss) bila ada obstruksi tuba eustachius.

 Penglihatan ganda (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optic.

 Gangguan penciuman berupa anosmia atau hiposmia akibat penimbunan secret

saat rinorea yang menghalangi mukosa olfaktorius pada sepertiga atas septum

nasi.

 Recurrent otitis media, nyeri maya (eye pain).

 Nyeri telinga (otalgia).

 Pembengkakan langit langit mulut (swelling of the palate).

 Kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek) akibat tumor yang meluas ke

lateral.

G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang berupa radiologis serta pemeriksaan jaringan tumor setelah tindakan operasi. Biopsy

merupakan kontraindikasi sebab dapat mengakibatkan perdarahan yang massif. Biopsy

sebaiknya tidak dilakukan, atau dapat dilakukan di atas meja operasi dengan perisapan untuk

operasi pengangkatan tumor.

Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis massif yang

berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada wajah. Selain itu perlu dinyatakan

tanda-tanda umum dari tumor seperti adanya penurunan berat badan dan kelelahan.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang

konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan

konsistensi kenyal dan permukaan licin. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya

diliputi oleh selaput lender berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar

nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, sedangkan

pada penderita yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen finromanya.

Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Foto Polos

Pada pemeriksaan radiologis konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral

dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller”

yaitu pendorongan prosesus pterigodeus ke belakang sehingga fisura pterigo-palatina

melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat

mengenai dinding orbita, arcus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.


Foto polos sinus paranasal 3 posisi menggambarkan adanya massa jaringan lunak pada

daerah hidung dan nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arcus zigoma dan tulang

di sekitar nasofaring, akan tetapi kurang menunjukkan gambaran yang khas untuk

angiofibroma nasofaring belia.

 CT scan

Pemeriksaan CT scan didasarkan menurut letak lesi pada fossa pterigopalatina. Pemeriksaan

ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah posterior rongga hidung dan fossa

pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang foramen spenopalatina. Pada CT scan

dengan zat kontra akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta dekstruksi tulang

ke jaringan sekitarnya.

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis

angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah menginfiltrasi ke

intracranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih baik untuk jaringan lunak

karena mampu membedakan suatu massa tumor dengan struktur penting di sekitarnya

(orbita, duramater, arteri karotis interna, dan sinus cavernosus).

Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan

menentukan hanya tumor, terutama dalam kasus keterlibatan intracranial. MRI dapat

menggambarkan tingkat kelainan jaringan lunak lebih baik dibandingkan CT scan dan sangat

membantu dalam mendeteksi kekambuhan setelah operasi. Kekambuhan diperkirakan

terjadi karena reseksi lengkap dari tumor dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Karena

kekambuhan mungkin terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah reseksi, dianjurkan

tindak lanjut awal dengan menggunakan MRI yang ditingkatkan dengan kontras dengan
pemeriksaan serial yang diindikasikan pada pasien dengan kelainan radiologis sisa tetapi

tidak aa gejala atau massa klinis jelas.

 Angiografi

Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah pemasok utama

(feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan tumor. Pada

pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi tumor yang

biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral. Arteri maksilaris interna

terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan

dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila.

Seiring dengan pembesaran tumor, tumor akan mendapatkan suplai darah dari arteri

bilateral yang berdekatan. Oleh Karen itu, arteriografi bilateral arteri karotis interna dan

externa diindikasikan pada kebanyakan pasien.

Kadang dapat dilakukan embolisasi agar terjadi thrombosis intravascular sehingga

vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor. Embolisasi pre-

operatif bukan saja memfasilitasi operasi pengangkatan tumor, tapi mengurangi terjadinya

komplikasi perdarahan massif. Seringkali angiografi dan embolisasi dilakukan bersamaan

kurang dari 24 jam sebelum operasi karena pada angiofibroma nasofaring dapat terjadi

revaskularisasi.

I. STADIUM

System staging dibuat untuk menentukan perluasan tumor. Ada dua sistem yang paling

sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut:

 Stage IA : tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult


 Stage IB : tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan

meluas sedikitnya satu sinus paranasal

 Stage IIA : tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

 stageIIB : tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanoa mengerosi tulang orbita

 stage IIIA : tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke

intracranial

 stage IIIB : tumor telah meluas ke intracranial dengan atau tanpa meluas ke

sinus kavernosus

klasifikasi menurut Fisch:

 stage I : tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendekstruksi

tulang.

 Stage II : tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan

dekstruksi tulang

 Stage III : tumor menginvasi fossa temporal, orbita dengan atau region parasellar

 Stage IV : tumor menginvasi sinus kavernosus, region chiasma optic dan atau

fossa pituitari

J. DIAGNOSA BANDING

 polip angiomatosa (angiomatous polyp)

 polip koanal (choanal polyp)

 kordoma (chordoma)

 karsinoma nasofaring

K. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien angiofibroma nasofaring dapat berupa tindakan operasi,

terapi hormonal dan radioterapi.

1. Operasi

Operasi merupakan tindakan utama untuk menentukan secara pasti dimana

lokasi tumor, perluasannya dan cara pembedahannya. Teknik operasi yang

digunakan harus memperhitungkan secara matang efek dari operasi tersebut

terutama pada rangka kraniofasial dewasa muda, dimana pertumbuhan tulang

tersebut berlanjut hingga usia 20 tahun. Selain itu, operasi harus dilakukan di

rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena risiko perdarahan yang hebat.

Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan

perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial

atau kombinasi dengan kraniotomi frontemporal bila sudah meluas ke

intracranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat

dilakukan dengan dipandu CT scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat

dibantu dengan laser.

Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor, selain embolisasi untuk

mengurangi perdarahan yang banyak, dapat juga dilakukan ligase arteri karotis

eksterna dan anastesi dengan teknik hipotensi.

2. Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi angiofibroma nasofaring

yang rekuren atau ekspansif ke daerah intracranial yang mana sulit dicapai

dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap

jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan.


Biasanya dosis sebesar 30-40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk

mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi

tumor tidak langsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif

radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa

institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.

Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan

angiofibroma nasofaring yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27

pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat

pasien akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan

tetapi komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien

(15%) yaitu gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus

temporalis, katarak, dan keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan

keganasan kepala dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi

terhadap angiofibroma.

3. Hormonal

Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat

testosterone reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormone berperan dalam

pertumbuhan angiofibroma nasofaring juvenile. Berdasarkan hasil penelitian

Gates et al anti-androgenik seperti flutamide dapat mengurangi pertumbuhan

angiofibroma nasofaring juvenile dan penyusutan tumor hingga 44%.

Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun

memiliki efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler. Terapi

estrogen diberikan dengan dosis 3 x 5 mg inramuskular perhari selama sebulan,

terbukti dapat mengurangi perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan


membuat konsistensi tumor menjadi lebih padat. Dapat pula diberikan preparat

progesterone yaitu sebanyak 5 mg perhari selama sebulan untuk meningkatkan

maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping pemberian progesterone

adalah menurunnya testosterone plasma dan dapat terjadi atrofi testis.

Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternative dengan

dosisnya 1 mg/hari selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson,

estradiol lebih efektif dibandingkan stibestrol.

L. PROGNOSIS

Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan setelah terapi dilaporkan

bervariasi antar 6% hingga 57%. Salah satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-

40 penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada mengalami kekambuhan sampai 12

kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar 3%.


BAB III

KESIMPULAN

Nagiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara

histologic jinak, secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi

tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak,

serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Tumor ini sering terjadi pada anak laki-laki

sehingga tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia. Untuk menentukan derajat atau

stadium angiofibroma nasofaring saat ini menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang berasal dari pembuluh darah.

Etiologi dan penyakit ini belum jelas, tapi ada beberapa teori yang diajukan. Teori tersebut

antara lain: teori ketidakseimbangan hormonal, teori genetic ataupun akibat jaringan asal.

Pemeriksaan penunjang pada angiofibroma nasofaring dapat dilakukan secara

konvensional, CT scan, MRI, maupun angiografi.

Cara pengobatan termasuk radiasi, operasi, dan terapi hormonal. Sekarang ini

pengobatan yang disukai, jika dapat dilakukan, adalah reaksi bedah. Operasi merupakan terapi

utama untuk angiofibroma nasofaring juvenile. Selain tindakan operasi, ada juga pilihan terapi

lain seperti terapi hormonal dan radioterapi.

Anda mungkin juga menyukai