Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KONJUNGTIVITIS

Oleh :
Sinta Triagustina
G1A015106

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata adalah salah satu bagian dari panca indera yang berfungsi sebagai organ

penglihatan. Mata merupakan suatu struktur yang sangat kompleks, menerima dan

mengirimnkan data ke korteks serebral. Seluruh lobus otak, lobus oksipital, ditujukan

khusus untuk menerjemahkan citra visual. Selain itu, ada tujuh saraf kranial yang

memiliki hubungan dengan mata dan hubungan batang otak memungkinkan koordinasi

gerakan mata. Salah satu penyakit yang dapat menyerang indra penglihatan yaitu

konjungtivitis (Ilyas, 2015). Sebelumnya, pengertian dari konjungtiva itu sendiri adalah

membrane mukosa yang melapisi bagian kelopak mata (palpebral) dan berlanjut ke batas

korneosklera permukaan anterior bola mata. Sedangkan konjungtivitis dapat diartikan

sebagai suatu inflamasi konjungtiva yang ditandai dengan pembengkakan dan eksudat.

Pada konjungtiva mata akan Nampak merah, sehingga sering disebut mata merah

(Vaughan, 2010).

Konjungtivitis merupakan penyakit mata paling umum didunia. Penyakit

konjungtivitis ini berada pada peringkat no.3 terbesar di dunia setelah penyakit katarak

dan glaukoma, khusus konjungtivitis penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi

mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai berat dengan sekret purulen

kental. Konjungtivitis keberadaannya dirasa cukup mengganggu karena penderita akan

mengalami beberapa gejala umum seperti mata terasa perih, berair, terasa ada yang

mengganjal disertai dengan adanya sekret atau kotoran pada mata (Wijana, 2009).

Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa juga penyebab endogen (Vaughan, 2010).

Penyebab paling umum adalah Streptococcus pneumonia pada iklim sedang dan
Haemophilus aegyptius pada iklim panas. Konjungtivitis yang disebabkan oleh

Streptococcus pneumonia dan Haemophilus Aegyptius disertai juga dengan perdarahan

sub konjungtiva, penyakit ini ditandai dengan timbulnya hiperemi konjungtiva secara

akut, dan jumlah eksudat mukopurulen sedang (Vaughan, 2010). Konjungtivitis atau

mata merah bisa menyerang siapa saja dan sangat mudah menular, penularan terjadi

ketika seorang yang sehat bersentuhan tangan seperti bersalaman dengan seorang

penderita konjungtivitis atau dengan benda yang baru disentuh oleh penderita, lalu orang

yang sehat tersebut menggosok tangannya ke mata dan hal ini bisa menyebabkan

penularan secara cepat sehingga dapat meningkatkan jumlah penderita penyakit

konjungtivitis (Ilyas, 2015).

Penyakit Konjungtivitis semakin meningkat. Berdasarkan data Pusat

Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat menyatakan bahwa pada

tahun 2008, menunjukkan peningkatan penderita yang lebih besar yaitu sekitar 135 per

10.000 penderita baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa dan juga lanjut usia

(Lolowang, 2014). Berdasarkan Bank Data Departemen Kesehatan Indonesia (2013)

jumlah pasien rawat inap konjungtivitis di seluruh rumah sakit pemerintah tercatat

sebesar 12,6% dan pasien rawat jalan konjungtivitis sebesar 28,3%. Di Indonesia pada

tahun 2014 diketahui dari 185.863 kunjungan ke poli mata. Konjungtivitis juga termasuk

dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun 2015 (Kemenkes RI, 2015).

Dampak konjungtivitis apabila tidak diobati dalam 12 sampai 48 jam setelah

infeksi di mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Perawatan mata juga termasuk dalam

personal hygiene yang perlu diperhatikan dalam masyarakat. Jika tidak diobati bisa

terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan dan katarak.
(Ramadhanisa, 2014). Untuk mencegah dan menghindari komplikasi dan dampak dari

konjungtivitis, maka masyarakat perlu mempunyai pengetahuan tentang bagaimana

penatalaksanaan konjungtivitis dengan baik, karena saat ini masih banyak orang yang

mempersepsikan konjungtivitis dengan pemahaman yang kurang tepat terutama dalam

pengobatannya. Pengetahuan tentang bagaimana menjaga kesehatan mata sangat penting

dimiliki masyarakat karena salah satu faktor yang dapat menularkan penyakit mata

seperti konjungtivitis adalah pengetahuan seseorang. Jika seseorang memiliki

pengetahuan yang baik dan benar artinya ia memiliki dasar untuk berperilaku secara

benar pula karena pengetahuan dan sikap sangat mempengaruhi perilaku seseorang.

B. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

a. Tujuan Umum

Memenuhi syarat untuk mengikuti Skill Lab materi “Mata Merah” Blok 6.6

b. Tujuan Khusus

1) Menjelaskan anatomi, histologi, persarafan, serta perdarahan kongjutiva

2) Menjelaskan definisi, etiologi dan faktor risiko, tanda dan gejala, klasifikasi,

patofisiologi konjungtivitis, pemeriksaan penunjang, tata laksana, komplikasi,

serta prognosis konjungtivitis

2. Manfaat

a. Dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai konjungtiva

b. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai konjungtivitis


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konjungtiva

1. Anatomi Konjungtiva

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan

tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)

dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis

melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi

superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior

dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.

Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat

berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

2. Histologi Konjungtiva

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan

sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira et al., 2007). Sel-sel
epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus

yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat

dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2010).

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan

satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan

tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa

tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun

longgar pada mata (Vaughan, 2010).

3. Perdarahan dan Persarafan

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan

banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat

banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan

pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).

B. Konjungtivitis

1. Definisi

Konjungtivitis dapat diartikan sebagai proses inflamasi akibat infeksi atau

non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular, infiltrasi seluler,

dan eksudasi. Penyakit ini merupakan penyakit mata yang paling umum di dunia.

Karena lokasinya, konjungtiva terpapar oleh banyak mikroorganisme dan faktor-

faktor lingugan lain yang menggangu. (Vaughan, 2010).


2. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala umum pada konjungtivitis yaitu mata merah, terdapat

kotoran pada mata, mata terasa panas seperti ada benda asing yang masuk, mata

berair, kelopak mata lengket, penglihatan terganggu, serta mudah menular mengenai

kedua mata (Ilyas, 2008). Sedangkan menurut Tanto et al., 2014 tanda dan gejala

yang dapat timbul dari konjungtivitis adalah mata merah, sensasi seperti adanya

benda asing (berasosiasi dengan edema dan hipertrofi papil), rasa gatal atau terbakar,

fotofobia. Kelopak mata sering menempel pada pagi hari karena peningkatan sekresi

kotoran mata. Pseudoptosis (kelopak mata turun) dapat terjadi karena

pembengkakakn kelopak mata. Nyeri pada maa dan blefarospasme dapat ditemukan

setelah adanya keterlibatan kornea.

3. Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, konjungtivitis dapat dibagi menjadi infeksi dan non-

infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasite, dan jamur sedangkan

non-infeksi disebabkan oleh iritasi atau paparan persisten oleh suatu agen (alergen),

mata yang terlalu kering, gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Toksik, atau

berhubungan dengan penyait penyerta sebelumnya (Tanto et al., 2014).

a. Konjungtivitis Bakteri

1) Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan

oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan

mata merah, sekret pada mata dan iritasi mata (James et al., 2005).

2) Etiologi dan Faktor Risiko


Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu

hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya

disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk

yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan

Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk

konjungtivitis bakteri subakut adalah H. influenza dan Escherichia coli,

sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder

atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Jatla, 2009).

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian

mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang

lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak

dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Marlin, 2009).

3) Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti

Sreptococci, Staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada

mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal

tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat

terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar

ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal

jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada

jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009).

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel

yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya


adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan

imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan

oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada

mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva

(Amadi, 2009).

4) Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya

dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu

sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada

konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema

pada kelopak mata (AOA, 2010). Ketajaman penglihatan biasanya tidak

mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit

kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi

pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling

melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).

5) Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena

mungkin saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh

pada pasien yang lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu

dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat penyakit pada

pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat

penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan,

penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada


hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan,

dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin, 2009).

6) Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri,

kecuali pada pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di

konjungtiva paling sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal

aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat

mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis

dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka

parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan

trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea dan

menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).

7) Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen

mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum

luas. Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh

diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik .

Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus

dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas,

2008).

b. Konjungtivitis Virus

1) Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan

oleh berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat

menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan

dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan,

2010).

2) Etiologi dan Faktor Risiko

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi

adenovirus adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan

herpes simplex virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga

dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70,

Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus (Scott, 2010).

Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita

dan dapat menular melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda

yang menyebarkan virus (fomites) dan berada di kolam renang yang

terkontaminasi (Ilyas, 2008).

3) Gejala Klinis

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan

etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh

adenovirus biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair

berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat

subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan

selama lebih dari 2 bulan. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga
mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum

lainnya seperti sakit kepala dan demam (Vaughan, 2010).

Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes

simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi

unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai

keratitis herpes. Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan

oleh enterovirus dan coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia,

sensasi benda asing, hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan

perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis (Scott,

2010).

4) Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya,

karena itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan

tipetipe menurut penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan

gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala,

faktorfaktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan

diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga

untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata

yang terinfeksi (Gleadle, 2007). Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan

dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan untuk itu harus

dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang dilakukan

karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).

5) Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti

blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya

pseudomembran, dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan

keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

6) Penatalaksanaan

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada

orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi,

namun antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah

terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi

hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

c. Konjungtivitis Alergi

1) Definisi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering

dan disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh

sistem imun (Cuvillo, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering

terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1

(Majmudar, 2010).

2) Etiologi dan Faktor Risiko

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima sub kategori, yaitu

konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan

yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal,

keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan,

2010). Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda


sesuai dengan subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan

tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu

hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul pada waktu-waktu

tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema

dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan

riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna

lensa-kontak atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).

3) Gejala Klinis

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-

kategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan

keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva,

dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis

vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang

berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di

konjungtiva tarsalis inferior.

Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia

merupakan keluhan yang paling sering pada keratokonjungtivitis atopik.

Ditemukan jupa tepian palpebra yang eritematosa dan konjungtiva tampak

putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan menurun, sedangkan

pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang mirip

konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

4) Diagnosa
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien

serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis

alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah

rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan

fotofobia (Weissman, 2010).

5) Komplikasi

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada

kornea dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).

6) Penatalaksanaan

Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin

topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal

jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (Vaughan, 2010).

d. Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan

merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya

bercak putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan

sistem imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat

disebabkan oleh Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides

immitis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

e. Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis,

Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium,

Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).


f. Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh

pemajanan substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-

substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan

konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-

gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme.

Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka

panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan

pengawet yang toksik atau menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi

dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan,

2010).

g. Konjungtivitis lainnya

Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis

juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti

penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan

oleh penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau

penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai

komplikasi dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit

lainnya pada daerah wajah. (AOA, 2008).

Berdasarkan awitannya, konjungtivitis dapat dibedakan menjadi aku dan

kronis. Konjungtivitis akut dapat digolongkan lebih lanjut menjadi acute serous

(gejala paling ringan), acute haemorrhagic (akibat Enterovirus tipe 70 dan

Coxsackievirus A24), dan acute follicular (terbentuk folikel kecil berwarna abu-
abu dengan diameter 1 – 2 mm, yang dihubungkan dengan keratitis, virus herpes).

Konjungtivitis kronis apabila konjungtivitis menetap lebih dari 4 minggu yang

biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Moraxella lacunata.

4. Patofisiologi

Pada konjungtivitis akibat infeksi, pathogen akan memicu reaksi inflamasi

yang jika tidak didukung dengan system imun yang kuat menyebabkan infeksi. Pada

konjungtivitis bakteri terjadi respon vaskular (peningkatan permeabilitas pembuluh

darah), respon selular (pembentukan eksudat yang dihasilkan dari sel-sel inflamasi),

respon jaringan (pada epitel superfisial akan beregenerasi sehingga akan

terdeskuamasi), dan terjadi proliferasi pada lapisan basal epitel yang akan

meningkatkan sekresi musin sel goblet (Tanto et al., 2014).


Gambar 2.2 Pathway Konjungtivitis

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fisik memperlihatkan injeksi pembuluh konjungtival bulbar.

Pada anak-anak, tanda dan gejala sistemik bisa meliputi sakit tenggorokan dan

demam.

b. Monosit merupakan yang utama dalam uji pulasan berwarna pada kerokan

konjungtival jika konjungtivitis disebabkan oleh virus

c. Sel polimomorfonuklear (neutrofil) adalah hal utama jika konjungtivitis

disebabkan oleh bakteri

d. Uji kultur dan sensitivitas membantu mengidentifikasi organisme bakterial

yang menyebabkan dan mengidentifikasi terapi antibiotik yang tepat

6. Tata laksana

Klasifikasi Konjungtivitis Etiologi Terapi

Bakteri Diphteric  Topikal : antibiotik

spectrum luas

 Penisilin atau tetrasiklin

Gonococcal  Topikal : antibiotik

spectrum luas (gentamisin,

kloramfenikol)

 Sistemik seftriakson 1gr

intramuscular (IM) sampai


hasil swab negatif 3 hari

berturut-turut

Haemophilus aegyptius  Topikal : antibiotik

spectrum luas (gentamisin,

kloramfenikol)

Moraxella  Topikal : antibiotik

spectrum luas (gentamisin,

kloramfenikol)

 0,21 – 2,5% zinc sulfate

(spesifik terapi)

Chlamydia Inclusion  Topikal : eritromisin atau

Trakoma tetrasiklin 2 – 3 minggu

Virus Epidermic keratoconjunctivitis Tidak ada terapi spesifik

Herpes simplex atau herpes Topikal asiklovir

zoster

Parasit Onchocerdiasis Sistemik terapi

Loa-loa Bedah untuk menghilangkan

cacing dari konjungtiva

Sumber: (Tanto et al., 2014)

7. Prognosis

Baik, apabila etiologi diketahui secara tepat (Tanto et al., 2014).


III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Konjungtivitis atau mata merah adalah salah satu penyakit mata yang bisa

menganggu penderitanya sekaligus membuat orang lain merasa tidak nyaman ketika

berkomunikasi dengan si penderita. Semua orang dapat tertular konjungtivitis, bahkan

bayi yang baru lahir sekalipun. Yang bisa ditularkan adalah konjungtivitis yang

disebabkan oleh bakteri dan virus. Penularan terjadi ketika seseorang yang sehat

bersentuhan dengan seorang penderita atau dnegan benda yang baru disentuh oleh

penderita tersebut. Oleh karena itu, maka kita harus memahami tentang penyakit

konjungtivitis agar dapat memutus rantai dari penularannya.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga dapat mempermudah dan dapat dimengerti

sehingga penyakit konjungtivitis ini dapat dicegah, jika pun sudah terjadi atau yang sudah

menderita konjungtivitis di dalam makalah ini sudah dijelaksan mengenai pemeriksaan

penunjang beserta penatalaksanaan terkait penyakit konjungtivitis sehingga diharapkan

dapat membantu dan mempermudah pembaca. Besar harapan penulis agar makalah ini

dapat menjadi acuan untuk penulis lain dan dapat dikembangkan kembali kedepannya.
Daftar Pustaka
Amadi, A. 2009. Common Ocular Problem in Aba Metropolis of Albia State. Eastern
Nigeri: Federal Medical Center Owerri.
American Academy of Opthalmology. 2010. Conjunctiva. Diakses pada tanggal 19
Desember 2015, dari http://www.aao.org/preferred-practicepattern/conjunctivitis-
ppp--2013.
Cuvillo, A. 2009. Allergic Conjunctivitis and H1 Antihistamines. J Investing Allergol
Clin Immunol. 19(1) : 11 – 18.
Gleadle, J. 2007. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.
Hurwitz, S. A. 2009. Antibiotics Versus Placebo for Acute Bacterial Conjunctivitis. The
Cochrane Collaboration.
Ilyas, S. 2008. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: FKUI.
Ilyas, S. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
James, B., Chew, C., Bron, A. 2005. Oftalmologi Edisi ke-9. Jakarta : Erlangga.
Jatla, K. K. 2009. Neonatal Conjunctivitis. University of Colorado Denver Health
Science Center.
Junqueira, L.C., J. Carneiro., R, O. K. 2007. Histologi Dasar. Edisi ke-5. Tambayang J.,
penerjemah. Terjemahan dari Basic Histology. Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Jumlah Pasien Rawat Inap dengan Jumlah Penderita
Konjuntivitis. Available from : http://www.depkes.go.id/ . Diakses tanggal 24 Juni
2016.
Lolowang, M. Porotu’o, J. Rares, F. 2014. Pola Bakteri Aerob Penyebab Konjungtivitis
pada Penderita Rawat Jalan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Kota Manado.
Jurnal eBiomedik Ebm. 2 (1): 279-86.
Majmudar, P. A. 2010. Allergic Conjuctivits. Rush-Presbyterian-St Luke’s Medical
Center.
Marlin, D. S. 2009. Bacterial Conjunctivitis. Penn state College of Medicine.
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview. Diakses 6 Januari
2016.
Ramadhanisa A. 2014. Conjungtivitis Bakterial Treatment in Kota Karang Village.
Faculty of Medicine, Universitas Lampung. Available from : http://juke.
kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/446/447. Diakses tanggal :
13 November 2015.
Rapuano, C. J. 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophtalmology. Available
from: http://one.aao.org/asset.axdh. [Accessed: 18th March 2016].
Scott, I. U. 2010. Viral Conjunctivitis. Departement of Ophtalmology and Public Halth
Science.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E. A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed
IV. Jakarta : Media Aeskulapius.
Tortora, G. J. Derrickson, B. 2009. Principles of Anatomy & Physiology. USA: John
Wiley & Sons. Inc.
Vaughan, A. 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
Visscher, K. L. 2009. Evidence-based Treatment of Acute Infective Conjunctivitis.
Canadian Family Physician.
Wijana, S. D. N. 2009. Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai