Anda di halaman 1dari 4

PERNYATAAN TENTANG HAKIKAT DAN SYARIAT[1]

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas ‫هللا حفظه‬

Pembagian istilah Thariqat, Syariat, Hakikat dan Ma’rifat adalah istilah yang baru (muhdats) yang diada-
adakan oleh kaum Shufi. Yang dimaksud hakikat menurut mereka adalah kedudukan seseorang yang
telah mencapai maqam (kedudukan) tertentu, sehingga dengan (maqam) itu dapat menggugurkan
kewajiban syariat Islam. Sedangkan syariat adalah istilah untuk (kedudukan) orang awam yang masih
melaksanakan kewajiban syariat Islam. Istilah ini pada hakikatnya dapat membatalkan dan
menggugurkan ajaran agama Islam sehingga dapat mengeluarkan orang itu dari Islam dengan
keyakinannya. Hal itu berarti telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang haq.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫ل َمن‬ َ ‫لا‬


َْ ِ‫عم‬ ْ ‫ع َم‬
َ ‫س‬ َ ‫ردْ فَ ُه َْو أَم ُرنَا‬.
َْ ‫علَي ِْه لَي‬ َ

Barang siapa yang beramal tanpa ada tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[2]

Tidak ada thariqat (jalan) selain jalan yang dilalui Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
ada hakikatselain hakikat yang dibawa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada syariat selain
syariat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu juga tidak ada keyakinan, melainkan keyakinan yang
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakini. Tidak ada seorang pun yang dapat menemui Allâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , mencapai keridhaan-Nya, surga dan kemuliaan dari-Nya, melainkan hanya dengan
mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, secara lahir maupun batin.

Barangsiapa belum membenarkan atau belum mengimani apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kabarkan dan tidak konsekuen dalam mentaati apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan,
baik itu berkaitan dengan amalan batin yang terdapat di hati, ataupun amalan lahir yang dilakukan oleh
tubuh, maka ia belum dapat menjadi Mukmin sejati, apalagi menjadi wali Allâh, meskipun ia memiliki
kemampuan luar biasa bagaimana pun wujudnya![3]

Barangsiapa beranggapan bahwa orang yang berbuat hal-hal aneh dan berlebih-lebihan dalam
beribadah itu wali Allâh , padahal mereka tidak ber-ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, baik dalam ucapan maupun perbuatannya, bahkan menganggap mereka mempunyai kelebihan
dibanding dengan orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia
(orang yang berkeyakinan seperti itu) adalah ahli Bid’ah yang sesat dan menyimpang dalam
keyakinannya. Sesungguhnya orang tadi, kalau bukan syaitan (berwujud manusia), boleh jadi mungkin
seorang gila yang tidak mukallaf.

Bagaimana mungkin orang seperti itu lebih diutamakan daripada wali Allâh yang ber-ittiba’kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Atau disamakan dengannya? Dan tidaklah mungkin untuk
dikatakan bahwa orang itu memang tampak tidak ber-ittiba’ secara lahir, namun sebenarnya dia ber-
ittiba’ secara bathin? (Keyakinan) ini juga sangat keliru. Karena ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam haruslah secara lahir maupun batin. [4]
Yunus bin Abdil A’la ash-Shadafi rahimahullah (wafat th. 264 H) pernah menyatakan, “Aku berkata
kepada al-Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, ‘Aku mendengar Sahabat kita al-Laits bin Sa’ad rahimahullah
menyatakan bahwa apabila kita melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, janganlah kita langsung
menganggapnya sebagai wali Allâh sebelum kita mengukur amalannya dengan al-Qur’an dan as-
Sunnah.’

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah menanggapi, ‘Ucapannya itu kurang.’ (Lalu beliau rahimahullah
menambahkan), ‘Bahkan jika kalian menyaksikan seseorang dapat berjalan di atas air, atau terbang di
udara sekalipun, janganlah kalian menganggapnya sebagai wali, sebelum kalian mengukur amalannya
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.’”

Sungguh benar seseorang yang berkata dalam sya’irnya:

‫صا َرأَيتَْ إِذَا‬


‫يَطِ ي ُْر قَـدْ شَخ ا‬، َْ‫يَسِي ُْر قَدْ البَح ِْر َماءِْ َوفَوق‬.

ْ‫علَى َيقِفْ َولَم‬


َ ‫عِ ُحدُو ِْد‬ َّ ‫ال‬،
ْ ‫شر‬ ُ‫و ِبدعِيْ ُمست َد َرجْ فَإِنَّـ ْه‬.
َ

Jika engkau melihat seseorang dapat terbang melayang,

dan berjalan di lautan dengan mengambang.

Tetapi dilanggarnya batas-batas syariat Allâh,

maka ia adalah orang yang ditunda (siksaannya) oleh Allâh dan ia adalah pelaku bid’ah.[5]

Adapun mereka yang beribadah dengan metode meditasi dan menyepi, bahkan sampai meninggalkan
shalat Jum’at dan shalat berjama’ah, mereka termasuk golongan orang-orang yang tersesat dalam
upayanya itu di dunia, namun mereka beranggapan bahwa mereka telah berbuat baik.

Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman:

ْ‫﴿ أَع َم ا‬١٠٣﴾ َْ‫ل الَّذِين‬


َ ‫ال بِاْلَخ‬
ْ‫س ِرينَْ نُنَبِئ ُ ُكمْ هَلْ قُل‬ َّْ ‫ض‬
َ ْ‫سعيُ ُهم‬ َ ‫صنعاا يُح ِسنُونَْ أَنَّ ُهمْ يَح‬
َ ‫سبُونَْ َوهُمْ الدُّنيَا ال َحيَاةِْ فِي‬ ُ

Katakanlah (Muhammad): ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi
perbuatannya?’ (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka
mengira telah berbuat sebaik-baiknya.’” [Al-Kahfi/18:103-104]

Keyakinan itu sudah terpatri dalam hati mereka.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َْ ‫اوناا ُج َمعْ ث َ َل‬


ْ‫ث ت ََركَْ َمن‬ َ ُ‫هللا‬
ُ ‫طبَ َْع عُذرْ غَي ِْر مِ نْ بِ َها ت َ َه‬ ْ ‫علَى‬
َ ‫قَلبِ ِْه‬

Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at (berjama’ah) sebanyak tiga kali, karena malas dan bukan
karena udzur, maka Allâh akan menutup pintu hatinya.” [6]
Maka, setiap orang yang menyeleweng dari ittiba’kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau
dia seorang berilmu, maka ia akan dimurkai oleh Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan kalau ia tidak
berilmu, maka ia termasuk orang yang sesat.

Adapun orang yang bertumpu kepada kisah Nabi Musa Alaihissallam bersama Nabi Khidhir Alaihissallam
, mengenai dibolehkannya seseorang meninggalkan petunjuk wahyu dengan mengikuti ilmu
ladunni yang diyakini adanya oleh orang yang kehilangan taufiq Ilahi, maka sesungguhnya Nabi Musa
Alaihissallam tidaklah diutus kepada Nabi Khidhir Alaihissallam . Sehingga Nabi Khidhir tidak
diperintahkan untuk ber-ittiba’ kepadanya.

Oleh sebab itu, beliau bertanya kepada Nabi Musa Alaihissallam , “Apakah engkau Musa Bani Israil?”
Nabi Musa menjawab, “Benar.” Sedangkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada
segenap jin dan manusia. Bahkan kalau Nabi Isa Alaihissallam turun ke bumi nanti, beliau juga hanya
berhukum dengan syariat Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi, barangsiapa berkeyakinan bahwa dirinya bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat
disejajarkan dengan posisi Nabi Khidhir Alaihissallam dengan Nabi Musa Alaihissallam, atau ia
berpendapat bahwa hal tersebut mungkin berlaku bagi salah seorang di antara manusia, maka orang itu
harus memperbaharui Islamnya kembali dan mengucapkan syahadat kembali dengan benar. Karena ia
telah keluar dari dienul Islam secara mutlak. Dan tidak mungkin digolongkan menjadi wali-wali Allâh,
tetapi justru ia tergolong wali-wali syaithan. Konteks ini akan membedakan antara siapa yang zindiq dan
siapa yang lurus.[7]

Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab al-Minhatul Ilâhiyyah fî Tahdzîb Syarhith Thahâwiyyah(hlm.
75-76) oleh Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, cet. II/Darush Shahabah, th. 1416 H dan Syarhul ‘Aqîdah
ath-Thahâwiyyah (hlm. 767-774), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Dr. Abdul Muhsin at-Turki.

[2] Shahih: HR. Muslim (no. 1718 (18)), Abu Dawud (no. 4606) dan Ibnu Majah (no. 14), dari Aisyah
Radhiyallahu anhuma.

[3] Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 768).

[4] Lihat Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 769) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Abdullah
bin Abdil Muhsin at-Turki, dan Tafsîr Ibni Katsîr (II/286-287) tahqiq Abu Ishaq al-Huwaini.

[5] Manhajul Imâm asy-Syafi’i fî Itsbâtil ‘Aqîdah (I/140) oleh Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-Aqil.

[6] Hasan shahih: HR. Abu Dawud (no. 1052), at-Tirmidzi (no. 500), Ibnu Majah (no. 1125) dan an-Nasa-i
(III/88), ad-Darimi (I/369), Ibnu Khuzaimah (no.1858), Ibnul Jarud (no. 288), Ibnu Hibban
dalam Mawariduzh Zham’an (no. 554), al-Baihaqi (III/ 147, 172), al-Hakim (I/280) dan Ahmad (III/424),
dari Sahabat Abul Ja’d Amr bin Bakr adh-Dhamri Radhiyallahu anhu, sanadnya hasan shahih.

[7] Lihat Syarhul ‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah (hlm. 774) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan Abdullah
bin Abdil Muhsin at-Turki.

Anda mungkin juga menyukai