Bab Ii Pembahasan
Bab Ii Pembahasan
PEMBAHASAN
B. Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan meningkatkan kesadaran,
kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang.
C. Pembiayaan Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan
pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam
pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan
pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat
efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran
yang ada.
Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan
tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan total
APBN/APBD.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari
telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu
Negara pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic
Product/Pendapatan Domestik Bruto). Pada tahun 2003,
pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga
menyepakati komitmen besarnya anggaran pembangunan
kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD.
Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran
kesehatan sebesar 2,4% dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari
APBN.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak
pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai
pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk
menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas,
juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku
dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan
penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Beberapa tahun
yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga
besar intansi pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu
adalah departemen agama, selanjutnya departemen kesehatan dan
terakhir adalah departemen pendidikan.
Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya tindak
“mafia” anggaran pembangunan kesehatan pada berbagai instansi
kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme – seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat
akar dengan subur di departemen kesehatan.
Akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-
program kesehatan yang hanya dilakukan secara asal-asalan dan
tidak tepat fungsi.
Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen
kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di
wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan
fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika tak
mau disebut tidak ada sama sekali.
Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang,
Indonesia yang masih berkutat memerangi penyakit-penyakit
infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan,
seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada
aspek promotif dan preventif, bukan semata di bidang kuratif dan
rehabilitatif saja. Sebagai catatan, rasio anggaran antara promotif
dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada
1:3, suatu perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa
sedang berkembang seperti Indonesia.
Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih
berputar-putar pada upaya bagaimana mengobati orang yang sakit
saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi
penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.
D. Beberapa Pemikiran
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan
kesehatan seperti apa yang layak diterapkan di negeri kita, sistem
pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan
masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung
jawab konstitusi kita ternyata dalam banyak kasus terbukti tak
dapat/ tak mau berbuat banyak.
Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis
argumentasinya seperti apa; setidaknya menjadi isyarat akan
kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan langsung
dengan hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.
Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat
kita, dalam mengkritisi kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah
dengan belum transparannya penggunaan anggaran, dan dana
yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi
kebutuhan mendesak masyarakat, sebagai contoh; beberapa
puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas mobil ambulans yang
lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga medis yang ada
hanya sebatas paramedis, tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan
masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses pemenuhan dan
penyediaan kebutuhan masyarakat akan kesehatan tidak berbasis
pada analisa kebutuhan tetapi lebih sebagai resultan dari tarik-
menarik kepentingan politik nasional maupun lokal.
Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya
kesehatan ternyata secara langsung atau tidak juga disebabkan
oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi atau sekolah-
sekolah yang berlatar belakang kesehatan. Indonesia menjadi
contoh dari mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para
peserta didik dari fakultas kedokteran, akademi maupun sekolah
tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita
bandingkan dengan kasus negara tetangga seperti Singapura atau
Malaysia; dimana negara bertanggung jawab mengucurkan dana
besar bagi institusi pendidikan.
Dominasi Negara berlebih-lebihan dalam banyak hal
termasuk mewajibkan pegawai negeri sipil, polisi atau militer untuk
masuk hanya pada perusahaan asuransi tertentu yang dikelola oleh
negara membuka peluang terjadinya praktek korupsi. Model itu
sudah selayaknya ditinjau ulang.
E. Reformasi Kesehatan
Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru.
Hanya saja agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan
pembangunan selanjutnya. Jika disederhanakan, agenda reformasi
kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat
dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya
dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan
masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan
terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.
Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang
kesehatan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa
masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik
dari pemerintah, antara lain:
1. Komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai
yang digaji
2. Masyarakat lebih paham masalahnya sendiri
3. Masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan
kalangan profesional/ pemerintah sekadar memberikan
pelayanan
4. Masyarakat lebih fleksibel dan kreatif
5. Masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah
6. Standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat
dibandingkan birokrat atau profesional kesehatan
Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan
muncul dengan melihat kecenderungan rendahnya etos kerja
birokrat dan profesional kesehatan selama ini. Sudah saatnya
penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri,
sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya
baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan
atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan
lainnya. Model penyelenggaraan kesehatan berbasis
pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional
dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.
Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin
lebih diarahkan untuk masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya
mayoritas dan telah banyak terampas haknya selama ini. Untuk itu,
sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu
dipertajam dengan jalan antara lain :
1. Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program
kesehatan yang banyak berkaitan dengan penduduk miskin.
Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan
kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.
2. Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan
kesehatan yang banyak melayani penduduk miskin, yaitu
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas
III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional
rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik
eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya
perawatan.
3. Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak
langsung membantu masyarakat miskin mengatasi masalah
kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran
canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
4. Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana
pelayanan kesehatan yang jarang dimanfaatkan oleh
masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah
sakit stroke.