Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

1. Trend dan Issue Keperawatan komunitas


A. Pengertian
Pembangunan Kesehatan Adalah suatu sistem pelayanan
kesehatan yang penting dalam meningkatkan derajat kesehatan.
Kebijakan sistem pelayanan kesehatan tergantung dari berbagai
komponen yang masuk dalam pelayanan kesehatan diantara perawat
dokter atau tim kesehatan lain yang satu dengan yang lain saling
menunjang.

B. Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan meningkatkan kesadaran,
kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang.

C. Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Adalah perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat
dengan dukungan peran serta aktif masyarakat, mengutamakan
pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyuluh dan
terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara
optimal, sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya masyarakat,
terpadu, individu, keluarga.

D. Tingkat Pelayanan Kesehatan


1. Health promotion ( promosi kesehatan )
Tingkat pelayanan kesehatan ini merupakan tingkat pertama
dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan kesehatan.
Pelaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan status
kesehatan agar masyarakat atau sasarannya tidak terjadi
gangguan kesehatan. Tingkat pelayanan ini dapat meliputi,
kebersihan perseorangan, perbaikan sanitasi lingkungan,
pemeriksaan kesehatan berkala, penigkatan status gizi,
kebiasaan hidup sehat, layanan prenatal, layanan lansia, dan
semua kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan status
kesehatan.
2. Specific protection ( perlindungan khusus )
Perlindungan khusus ini dilakukan dalam melindungi
masyarakat dari bahaya yang akan menyebabkan penurunan
status kesehatan, atau bentuk perlindungan terhadap penyakit-
penyakit tertentu, ancaman kesehatan, yang termasuk dalam
tingkat pelayanan kesehatan ini adalah pemberian imunisasi
yang digunakan untuk perlindungan pada penyakit tertentu
seperti imunisasi BCG, DPT, Hepatitis, campak dan lain-lain.
Pelayanan perlindungan keselamatan kerja dimana pelayanan
kesehatan yang diberikan pada seseorang yang bekerja di
tempat risiko kecelakaan tinggi seperti kerja di bagian produksi
bahan kimia, bentuk perlindungan khusus berupa pelayanan
pemakaian alat pelindung diri dan lain sebagainya.
3. Early diagnosis and prompt treatment ( diagnosis dini dan
pengobatan segera )
Tingkat pelayanan kesehatan ini sudah masuk ke dalam tingkat
dimulainya atau timbulnya gejala dari suatu penyakit. Tingkat
pelayanan ini dilaksanakan dalam mencegah meluasnya
penyakit yang lebih lanjut serta dampak dari timbulnya penyakit
sehingga tidak terjadi penyebaran. Bentuk tingkat pelayanan
kesehatan ini dapat berupa kegiatan dalam rangka survei
pencarian kasus baik secara individu maupun masyarakat,
survei penyaringan kasus serta pencegahan terhadap
meluasnya kasus.
4. Disability limitation ( pembatasan cacat )
Pembatasan kecacatan ini dilakukan untuk mencegah agar
pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak kecacatan
akibat penyakit yang ditimbulkan. Tingkat ini dilaksanakan pada
kasus atau penyakit yang memiliki potensi kecacatan. Bentuk
kegiatan yang dapat dilakukan dapat berupa perawatan untuk
menghentikan penyakit, mencegah komplikasi lebih lanjut,
pemberian segala fasilitas untuk mengatasi kecacatan dan
mencegah kematian.
5. Rehabilitation ( rehabilitasi )
Tingkat pelayanan ini dilaksanakan setelah pasien didiagnosis
sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai pada fase pemulihan
terhadap kecacatan sebagaimana program latihan-latihan yang
diberikan pada pasien, kemudian memberikan fasilitas agar
pasien memiliki keyakinan kembali atau gairah hidup kembali
ke masyarakat dan masyarakat mau menerima dengan senang
hati karena kesadaran yang dimilikinya.

E. Lembaga Pelayanan Kesehatan


1. Rawat Jalan
Lembaga pelayanan kesehatan ini bertujuan memberikan
pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan diagnosis dan
pengobatan pada penyakit yang akut atau mendadak dan
kronis yang dimungkinkan tidak terjadi rawat inap. Lembaga ini
dapat dilaksanakan pada klinik-klinik kesehatan, seperti klinik
dokter spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain-lain.
2. Institusi
Institusi merupakan lembaga pelayanan kesehatan yang
fasilitasnya cukup dalam memberikan berbagai tingkat
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, pusat rehabilitasi
dan lain-lain.
3. Hospice
Lembaga ini bertujuan memberikan pelayanan kesehatan yang
difokuskan pada klien yang sakit terminal agar lebih tenang dan
dapat melewati masa-masa terminalnya dengan tenang.
Lembaga ini biasanya digunakan dalam home care.
4. Community Based Agency
Merupakan bagian dari lembaga pelayanan kesehatan yang
dilakukan pada klien pada keluarganya sebagaimana
pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawat
keluarga dan lain-lain.

F. Lingkup Sistem Pelayanan Kesehatan


1. Primary health care ( pelayanan kesehatan tingkat pertama )
Pelayanan kesehatan ini dibutuhkan atau dilaksanakan pada
masyarakat yang memiliki masalah kesehatan yang ringan atau
masyarakat sehat tetapi ingin mendapatkan peningkatan
kesehatan agar menjadi optimal dan sejahtera sehingga sifat
pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan dasar.
Pelayanan kesehatan ini dapat dilaksanakan oleh puskesmas
atau balai kesehatan masyarakat dan lain – lain.
2. Secondary health care ( pelayanan kesehatan tingkat kedua )
Bentuk pelayanan kesehatan ini diperlukan bagi masyarakat
atau klien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit atau
rawat inap dan tidak dilaksanakan di pelayanan kesehatan
utama. Pelayanan kesehatan ini dilaksanakan di rumah sakit
yang tersedia tenaga spesialis atau sejenisnya.
3. Tertiary health services ( pelayanan kesehatan tingkat ketiga )
Pelayanan kesehatan ini merupakan tingkat pelayanan yang
tertinggi di mana tingkat pelayanan ini apabila tidak lagi
dibutuhkan pelayanan pada tingkat pertama dan kedua.
Biasanya pelayanan ini membutuhkan tenaga-tenaga yang ahli
atau subspesialis dan sebagai rujukan utuma seperti rumah
sakit yang tipe A atau B.

G. Pelayanan Keperawatan Dalam Pelayanan Kesehatan


Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan dasar dan pelayanan rujukan.
Semuanya dapat dilaksanakan oleh tenaga keperawatan dalam
meningkatkan derajat kesehatan. Sebagai bagian dari pelayanan
kesehatan, maka pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh
tenaga perawat dalam pelayanannya memiliki tugas, di antaranya
memberikan asuhan keperawatan keluarga, komunitas dalam
pelayanan kesehatan dasar dan akan memberikan asuhan
keperawatan secara umum pada pelayanan rujukan.

H. Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Keperawatan Komunitas


1. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru
Pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi baru, mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka akan
diikuti oleh perkembangan pelayanan kesehatan atau juga
sebagai dampaknya pelayanan kesehatan jelas lebih mengikuti
perkembangan dan teknologi seperti dalam pelayanan
kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit-penyakit yang
sulit dapat digunakan penggunaan alat seperti laser, terapi
perubahan gen dan lain-lain. Berdasarkan itu maka pelayanan
kesehatan membutuhkan biaya yang cukup mahal dan
pelayanan akan lebih professional dan butuh tenaga-tenaga
yang ahli dalam bidang tertentu.
2. Pergeseran nilai masyarakat
Berlangsungnya sistem pelayanan kesehatan juga dapat
dipengaruhi oleh nilai yang ada di masyarakat sebagai
pengguna jasa pelayanan, dimana dengan beragamnya
masyarakat, maka dapat menimbulkan pemanfaatan jasa
pelayanan kesehatan yang berbeda. Masyarakat yang sudah
maju dengan pengetahuan yang tinggi, maka akan memiliki
kesadaran yang lebih dalam penggunaan atau pemanfaatan
pelayanan kesehatan, demikian juga sebaliknya pada
masyarakat yang memiliki pengetahuan yang kurang akan
memiliki kesadaran yang rendah terhadap pelayanan
kesehatan, sehingga kondisi demikian akan sangat
mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan.
3. Aspek legal dan etik
Dengan tingginya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan
atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, maka akan
semakin tinggi pula tuntutan hukum dan etik dalam pelayanan
kesehatan, sehingga pelaku pemberi pelayanan kesehatan
harus dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan secara
profesional dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dan etika
yang ada di masyarakat.
4. Ekonomi
Pelaksanaan pelayanan kesehatan akan dipengaruhi oleh
tingkat ekonomi di masyarakat. Semakin tinggi ekonomi
seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih diperhatikan dan
mudah dijangkau, demikian juga sebaliknya apabila tingkat
ekonomi seseorang rendah, maka sangat sulit menjangkau
pelayanan kesehatan mengingat biaya dalam jasa pelayanan
kesehatan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Keadaan
ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi dalam sistem
pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah melalui sistem politik yang ada akan
sangat berpengaruh sekali dalam sistem pemberian pelayanan
kesehatan. Kebijakan-kebijakan yang ada dapat memberikan
pola dalam sistem pelayanan.
I. Memanfaatkan Hasil Penelitian Dalam Pelayanan Kesehatan
Ilmu pengetahuan di bidang kesehatan pada beberapa
dekade terakhir telah mengalami kemajuan yang sangat pesat
melampaui perkembangan sebelumnya. Derivasi ilmu-ilmu
kesehatan dan pengembangannya melalui riset merupakan
dinamika proses yang sangat penting dalam pertumbuhan masing-
masing profesi kesehatan. Tujuan dilakukannya riset kesehatan
adalah untuk memperkuat dasar-dasar keilmuan yang nantinya
akan menjadi landasan dalam kegiatan praktik klinik, pendidikan,
dan menejemen pelayanan kesehatan. (Ross, Mackenzie, & Smith,
2003)
Sedangkan praktik pelayanan kesehatan yang berdasarkan
fakta empiris (evidence based practice) bertujuan untuk
memberikan cara menurut fakta terbaik dari riset yang diaplikasikan
secara hati-hati dan bijaksana dalam tindakan preventif,
pendeteksian, maupun pelayanan kesehatan.(Cullum, 2001)
Menerapkan hasil penelitian dalam pelayanan kesehatan
adalah upaya signifikan dalam memperbaiki pelayanan kesehatan
yang berorientasi pada efektifitas biaya dan manfaat (costbenefit
effectiveness). Meningkatkan kegiatan riset kesehatan dan
menerapkan hasilnya dalam praktik pelayanan kesehatan
merupakan kebutuhan mendesak untuk membangun pelayanan
kesehatan yang lebih efektif dan efisien.
Menurut sebuah studi meta-analysis terhadap berbagai
laporan penelitian keperawatan yang dilakukan oleh Heater,
Beckker, dan Olson (1988), menjumpai bahwa pasien yang
mendapatkan intervensi keperawatan bersumber dari riset memiliki
luaran yang lebih baik bila dibandingkan dengan pasien yang
hanya mendapatkan intervensi standar.
Sudah saatnya kini, praktisi kesehatan di tingkat pelayanan
primer maupun dunia pendidikan kesehatan perlu segera
mendorong pertumbuhan budaya ilmiah di lingkungannya agar
mereka dapat mempraktikan hasil berbagai penelitian.
Kegiatan yang dilakukan untuk memberdayakan organisasi
keperawatan, yaitu :
a) Membentuk komite riset;
b) Menciptakan lingkungan kerja yang ilmiah;
c) Kebijakan kegiatan riset dan pemanfaatan hasilnya;
d) Pendidikan berkelanjutan.
Budaya ilmiah juga dapat dimanfaatkan sebagai strategi
akuntabilitas publik, justifikasi tindakan keperawatan, dan bahan
pengambilan keputusan. Kesadaran terhadap nilai riset yang
potensial akan memberikan dampak yang menguntungkan bagi
organisasi, misalnya kinerja keperawatan yang meningkat dan out
come klien yang optimal. (Titler, Kleiber & Steelman,1994)

2. Masalah pembiayaan kesehatan di Indonesia


Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen
konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan,
tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam
kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya
bernilai sangat investatif. Nilai investasinya terletak pada tersedianya
sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap terhindar dari
serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang
menyepelekan hal ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Di Indonesia, tak bisa dipungkiri, trend pembangunan
kesehatan bergulir mengikuti pola rezim penguasa. Pada zaman
ketika penguasa negeri ini hanya memandang sebelah mata kepada
pembangunan kesehatan, kualitas hidup dan derajat kesehatan rakyat
kita juga sangat memprihatinkan. Angka Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index) negara kita selalu stagnan
pada kisaran 117-115 dari sekitar 175 negara Sebagai catatan, HDI
adalah ukuran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa
yang dilihat dari parameter pembangunan ekonomi, kesehatan dan
pendidikan. Ironisnya, rentetan pergantian tampuk kekuasaan selama
beberapa dekade terakhir, pun tak kunjung membawa angin
perubahan. Apa pasal?
Belum terbitnya kesadaran betapa tercapainya derajat
kesehatan optimal sebagai syarat mutlak terwujudnya tatanan
masyarakat bangsa yang berkeadaban, serta di pihak lain masih
lekatnya anggapan bahwa pembangunan bidang kesehatan semata
terkait dengan penanganan sejumlah penyakit tertentu dan
penyediaan obat-obatan.
Sudut pandang yang teramat sempit memang, ditambah dengan
kecenderungan untuk mendahulukan hal lain yang sesungguhnya
masih bisa ditunda. Variabel tadi menemukan titik singgung dengan
belum adanya keinginan politik dari pemerintah, rezim boleh berganti
namun modus operandi dan motifnya masih serupa; bahwa isu-isu
kesehatan hanya didendangkan sekedar menyemarakkan janji dan
program-program politik tertentu dalam tujuan jangka pendek.
Untuk kasus Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah
dalam peningkatan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, yang
dengan tegas tercermin dari minimnya pos anggaran kesehatan
dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin bertutur tentang
program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi
keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan.
Pelayanan kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari
memuaskan.
Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor
kesehatan, dapat dipandang sebagai rendahnya apresiasi kita akan
pentingnya bidang ini sebagai elemen penyangga, yang bila
terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru
akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis
pemborosan baru yang muncul karena kesalahan kita sendiri.
Kabar menarik sesungguhnya mulai terangkat ketika Departemen
Kesehatan pada beberapa waktu lalu, mengelurkan konsep
pembangunan kesehatan berkelanjutan, dikenal sebagai Visi
Indonesia Sehat 2010. Berbagai langkah telah ditempuh untuk
mensosialisasikan keberadaan VIS 2010 tersebut, tetapi kemudian
menjadi lemah akibat kebijakan desentralisasi dan akhirnya “terpental”
dengan diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah.

A. Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010


Pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma
yang nyatanya cukup bertentangan dengan anutan desentralisasi,
dimana kewenangan daerah menjadi otonom untuk menentukan
arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat
jauh dari pusat.

B. Sistem Kesehatan Nasional


Kebijakan desentralisasi, pada beberapa sisi, telah ikut
menggerus pola lama pembangunan, termasuk di bidang
kesehatan. Relatif “berkuasanya” kembali daerah-daerah dalam
menentukan kebijakan pembangunannya, membuat konsepsi Visi
Indonesia Sehat seakan tidak menemukan relung untuk dapat
diwujudkan. Impian untuk mewujudkan tangga-tangga pencapaian
“sehat”, mulai dari Indonesia sehat 2010, Provinsi Sehat 2008,
Kabupaten Sehat 2006 dan Kecamatan Sehat 2004, menjadi
miskin makna.
Pada kenyataannya, masih sangat banyak wilayah-wilayah
di negeri ini yang sangat jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan
berkualitas. Padahal pada saat yang sama, kecenderungan
epidemiologi penyakit tak kunjung berubah yang diperparah
lemahnya infrastruktur promotif dan preventif di bidang kesehatan.
Kali terakhir, ini juga dapat dipandang sebagai sebuah
“terobosan” baru, pemerintah menerbitkan dokumen panduan
pembangunan kesehatan yang dikenal sebagai “Sistem Kesehatan
Nasional”. Dokumen ini antara lain disusun berdasarkan pada
asumsi bahwa pembangunan kesehatan merupakan pembangunan
manusia seutuhnya untuk mencapai derajat kesehatan yang
tertinggi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak bisa
menafikkan peran dan kontribusi sektor lainnya. Singkatnya,
pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari
pembangunan bangsa.
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :
1. Upaya kesehatan
2. Pembiayaan kesehatan
3. Sumber daya manusia kesehatan
4. Sumber daya obat dan perbekalan kesehatan
5. Pemberdayaan masyarakat
6. Manajemen kesehatan
Jika kita nurut, maka subsistem yang cukup fundamental
adalah pembiayaan kesehatan. Ketiadaan atau tidak optimalnya
pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan
program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak
tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang kita inginkan.
Betapa tidak, hampir semua aktivitas dalam pembangunan tak
dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.

C. Pembiayaan Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan
pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam
pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan
pemerintah maupun sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat
efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran
yang ada.
Di Negara kita, proporsi anggaran pembangunan kesehatan
tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan total
APBN/APBD.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) jauh-jauh hari
telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu
Negara pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic
Product/Pendapatan Domestik Bruto). Pada tahun 2003,
pertemuan para Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga
menyepakati komitmen besarnya anggaran pembangunan
kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD.
Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran
kesehatan sebesar 2,4% dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari
APBN.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak
pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap sebagai
pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk
menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas,
juga karena kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku
dijual di negeri yang sedang mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan
penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Beberapa tahun
yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga
besar intansi pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu
adalah departemen agama, selanjutnya departemen kesehatan dan
terakhir adalah departemen pendidikan.
Temuan ini semakin menguatkan dugaan adanya tindak
“mafia” anggaran pembangunan kesehatan pada berbagai instansi
kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme – seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat
akar dengan subur di departemen kesehatan.
Akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-
program kesehatan yang hanya dilakukan secara asal-asalan dan
tidak tepat fungsi.
Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan departemen
kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di
wilayah ini. Peran serta masyarakat dalam pembahasan
fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim, jika tak
mau disebut tidak ada sama sekali.
Pada sisi lain, untuk skala Negara sedang berkembang,
Indonesia yang masih berkutat memerangi penyakit-penyakit
infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan,
seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada
aspek promotif dan preventif, bukan semata di bidang kuratif dan
rehabilitatif saja. Sebagai catatan, rasio anggaran antara promotif
dan preventif dengan kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada
1:3, suatu perbandingan yang tidak cukup investatif untuk bangsa
sedang berkembang seperti Indonesia.
Akibatnya, sejumlah program kesehatan di negeri ini masih
berputar-putar pada upaya bagaimana mengobati orang yang sakit
saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi
penyebab mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.

D. Beberapa Pemikiran
Pertanyaan yang mengemuka ialah model kebijakan
kesehatan seperti apa yang layak diterapkan di negeri kita, sistem
pembiayaan yang bagaimana yang cocok dengan kehidupan
masyarakat kita. Depkes sebagai pengemban pertama tanggung
jawab konstitusi kita ternyata dalam banyak kasus terbukti tak
dapat/ tak mau berbuat banyak.
Anggaran kesehatan yang teramat minim, terlepas basis
argumentasinya seperti apa; setidaknya menjadi isyarat akan
kenyataan teguh, bahwa memang hal-hal yang berkaitan langsung
dengan hajat hidup orang banyak selalu dianggap sepele.
Hal ini didukung pula oleh sifat apatis sebagian besar rakyat
kita, dalam mengkritisi kebijakan kesehatan. Pun itu diperparah
dengan belum transparannya penggunaan anggaran, dan dana
yang ada lebih dialokasikan pada pos-pos yang bukan menjadi
kebutuhan mendesak masyarakat, sebagai contoh; beberapa
puskesmas di Indonesia memiliki fasilitas mobil ambulans yang
lengkap namun di puskesmas tersebut, tenaga medis yang ada
hanya sebatas paramedis, tanpa tenaga dokter, sarjana kesehatan
masyarakat dan tenaga medis lainnya, jadi proses pemenuhan dan
penyediaan kebutuhan masyarakat akan kesehatan tidak berbasis
pada analisa kebutuhan tetapi lebih sebagai resultan dari tarik-
menarik kepentingan politik nasional maupun lokal.
Dalam lokus kajian spesifik, membengkaknya biaya
kesehatan ternyata secara langsung atau tidak juga disebabkan
oleh tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi atau sekolah-
sekolah yang berlatar belakang kesehatan. Indonesia menjadi
contoh dari mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para
peserta didik dari fakultas kedokteran, akademi maupun sekolah
tenaga kesehatan lainnya. Hal ini sangat kontras jika kita
bandingkan dengan kasus negara tetangga seperti Singapura atau
Malaysia; dimana negara bertanggung jawab mengucurkan dana
besar bagi institusi pendidikan.
Dominasi Negara berlebih-lebihan dalam banyak hal
termasuk mewajibkan pegawai negeri sipil, polisi atau militer untuk
masuk hanya pada perusahaan asuransi tertentu yang dikelola oleh
negara membuka peluang terjadinya praktek korupsi. Model itu
sudah selayaknya ditinjau ulang.
E. Reformasi Kesehatan
Reformasi bidang kesehatan bukan lagi bahasa yang baru.
Hanya saja agendanya perlu dipertegas kembali sebagai landasan
pembangunan selanjutnya. Jika disederhanakan, agenda reformasi
kesehatan akan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat
dalam menyusun dan menyelenggarakan aspek kesehatannya
dengan sesedikit mungkin intervensi pemerintah. Pemberdayaan
masyarakat menjadi tolok ukur keberhasilan dan pemihakan
terhadap kaum miskin menjadi syarat penerimaan universalitasnya.
Gunawan Setiadi, seorang dokter dan master bidang
kesehatan, mengungkapkan beberapa alasan mengapa
masyarakat dapat menyelenggarakan kesehatannya, dan lebih baik
dari pemerintah, antara lain:
1. Komitmen masyarakat lebih besar dibandingkan pegawai
yang digaji
2. Masyarakat lebih paham masalahnya sendiri
3. Masyarakat dapat memecahkan masalah, sedangkan
kalangan profesional/ pemerintah sekadar memberikan
pelayanan
4. Masyarakat lebih fleksibel dan kreatif
5. Masyarakat mampu memberikan pelayanan yang lebih murah
6. Standar perilaku ditegakkan lebih efektif oleh masyarakat
dibandingkan birokrat atau profesional kesehatan
Pandangan-pandangan di atas menjadi cukup beralasan
muncul dengan melihat kecenderungan rendahnya etos kerja
birokrat dan profesional kesehatan selama ini. Sudah saatnya
penyelenggaraan kesehatan diprakarsai oleh masyarakat sendiri,
sehingga pemaknaan atas hidup sehat menjadi sebuah budaya
baru, di mana di dalamnya terbangun kepercayaan, penghargaan
atas hak hidup dan menyuburnya norma-norma kemanusiaan
lainnya. Model penyelenggaraan kesehatan berbasis
pemberdayaan (empowerment) harus disusun secara rasional
dengan sedapat mungkin melibatkan semua stakeholder terkait.
Jadi, prioritas pembangunan kesehatan sedapat mungkin
lebih diarahkan untuk masyarakat miskin – mereka yang jumlahnya
mayoritas dan telah banyak terampas haknya selama ini. Untuk itu,
sasaran dari subsidi pemerintah di bidang kesehatan perlu
dipertajam dengan jalan antara lain :
1. Pertama, meningkatkan anggaran bagi program-program
kesehatan yang banyak berkaitan dengan penduduk miskin.
Misalnya program pemberantasan penyakit menular, pelayanan
kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan gizi masyarakat.
2. Kedua, meningkatkan subsidi bagi sarana pelayanan
kesehatan yang banyak melayani penduduk miskin, yaitu
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu, ruang rawat inap kelas
III di rumah sakit. Untuk itu, subsidi bantuan biaya operasional
rumah sakit perlu ditingkatkan untuk menghindari praktik
eksploitasi dan ‘pemalakan’ pasien miskin atas nama biaya
perawatan.
3. Ketiga, mengurangi anggaran bagi program yang secara tidak
langsung membantu masyarakat miskin mengatasi masalah
kesehatannya. Contohnya adalah pengadaan alat kedokteran
canggih, program kesehatan olahraga dan lain sebagainya.
4. Keempat, mengurangi subsidi pemerintah kepada sarana
pelayanan kesehatan yang jarang dimanfaatkan oleh
masyarakat miskin, misalnya pembangunan rumah sakit-rumah
sakit stroke.

Anda mungkin juga menyukai