Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu


Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan
apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah
Kabupaten Banyumas berdasarkan daftar tilik pelayanan kefarmasian yang
diteliti oleh Shinta, menunjukan bahwa kinerja pelayanan kefarmasian di
Puskesmas baik Puskesmas yang memiliki apoteker dan Puskesmas yang
tidak memiliki apoteker tidak memiliki pengaruh terhadap mutu pelayanan
kefarmasian berdasarkan daftar tilik pelayanan kefarmasian. Metode yang
digunakan sama dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu dengan metode
cross sectional. Namun untuk variabel terikat dalam penelitian ini berbeda.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Shinta, variabel bebasnya yaitu
keberadaan apoteker sedangkan variabel terikatnya yaitu mutu pelayanan
kefarmasian di Puskesmas berdasarkan daftar tilik pelayanan kefarmasian.
Pada penelitian yang akan saya lakukan untuk variabel bebasnya yaitu
keberadaan apoteker sedangkan variabel terikatnya yaitu mutu pelayanan
kefarmasian di Puskesmas berdasarkan prosedur tetap pelayanan kefarmasian
di Puskesmas. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh Shinta di wilayah
Kabupaten Banyumas sedangkan penelitian yang akan saya lakukan yaitu di
Kabupaten Banjarnegara.

B. Landasan Teori
1. Apoteker
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Karena
pentingnya peran seorang apoteker pada pelayanan kefarmasian khususnya
tingkat pertama dalam meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan terapi
tiap pasien, apoteker dituntut untuk mampu memberikan informasi tentang
pengobatan kepada pasien secara baik dan benar.
5

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


Kompetensi apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian
di Puskesmas menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
yang dikutip dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006)
sebagai berikut:
a. Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang
bermutu
b. Mampu mengambil keputusan secara profesional
c. Mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi
kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal
maupun bahasa lokal
d. Selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun
informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up
to date).

2. Puskesmas
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/
2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
antara lain disebutkan Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas
kesehatan (DINKES) Kabupaten atau kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu

kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu

Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar

Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah yaitu

desa/ kelurahan atau dusun/ rukun warga (RW) (Supardi, 2012).

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh

Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat. Kecamatan

sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat

kesehatan penduduk. Misi pembangunan kesehatan yang

diselenggarakan Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi

pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan

masyarakat mandiri dalam hidup sehat. Untuk mencapai visi

tersebut, Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan

perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Dalam

menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya

kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan

pelayanan kefarmasian yang bermutu.

3. Standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas


Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian (Depkes RI, 2014).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu

kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian pada

saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi obat kepada

pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical

Care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,

apoteker atau asisten apoteker sebagai tenaga farmasi dituntut

untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


dapat berinteraksi langsung dengan pasien. Pelayanan

kefarmasian meliputi pengelolaan sumber daya (SDM, sarana

prasarana, sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan serta

administrasi) dan pelayanan farmasi klinik (penerimaan resep,

peracikan obat, penyerahan obat, informasi obat dan pencatatan

atau penyimpanan resep) dengan memanfaatkan tenaga, dana,

prasarana, sarana dan metode tatalaksana yang sesuai dalam

upaya mencapai tujuan yang ditetapkan (Depkes RI, 2006). Tujuan

dari Pharmaceutical Care adalah untuk mengoptimalkan mutu

kesehatan yang berhubungan dengan hidup pasien dan mencapai terapi


yang tepat (Sreeralitha, 2012).
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas saat ini mempunyai standar
dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas. Tujuan diterbitkannya surat keputusan ini adalah sebagai
pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi
masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi profesi
dalam praktik kefarmasian di Puskesmas sehingga diharapkan pelayanan
kefarmasian yang diselenggarakan dapat meningkatkan mutu hidup pasien
(Depkes RI, 2014).
4. Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian
Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan
untuk mencegah terjadinya masalah terkait obat atau mencegah terjadinya
kesalahan pengobatan atau medikasi (medication error), yang bertujuan
untuk keselamatan pasien (patient safety) (Depkes RI, 2014). Medication
error dapat terjadi pada tahap prescribing (peresepan), dispensing
(penyiapan), dan drug administration (pemberian obat). Kesalahan pada

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


salah satu tahap dapat terjadi secara berantai dan menimbulkan kesalahan
pada tahap selanjutnya. Kejadian medication error terkait dengan praktisi,
produk obat, prosedur, lingkungan atau sistem yang melibatkan
prescribing, dispensing, dan administration (Rusmi S, 2012).
Unsur-unsur yang mempengaruhi mutu pelayanan, antara lain:
a. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, ketersediaan dana, dan Standar Prosedur Operasional.
b. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja
sama.
c. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manajemen, budaya,
respon dan tingkat pendidikan masyarakat.
Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian terintegrasi dengan
program pengendalian mutu pelayanan kesehatan Puskesmas yang
dilaksanakan secara berkesinambungan. Kegiatan pengendalian
mutupelayanan kefarmasian meliputi:
a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan
evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar.
b. Pelaksanaan, yaitu:
1) Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja).
2) Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
1) Melakukan perbaikan mutu pelayanan sesuai standar.
2) Meningkatkan mutu pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
(Depkes RI, 2006)
5. Monitoring dan evaluasi
a. Monitoring
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan terhadap pelayanan
kefarmasian.
b. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian
itu sendiri.

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


c. Aspek yang di monitor dan dievaluasi
Monitoring dan evaluasi berjalan beriringan sehingga di peroleh
gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan
pelayanan kefarmasian di Puskesmas selanjutnya. Hal-hal yang perlu
dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di
Puskesmas,antara lain:
1) Sumber daya manusia (SDM)
2) Pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan,
pengadaan, penerimaan dan distribusi)
3) Pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining
resep, penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan dan
penyerahan obat yang disertai informasinya serta pemantauan
pemakaian obat bagi penderita penyakit tertentu seperti TB,
malaria dan diare)
4) Mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen).
d. Indikator evaluasi
Untuk mengukur kinerja pelayanan kefarmasian tersebut harus ada
indikator yang digunakan. Indikator yang dapat digunakan dalam
mengukur tingkat keberhasilan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
antara lain:
1) Tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa
angket melalui kotak saran atau wawancara langsung
2) Dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah
ditetapkan)
3) Prosedur tetap (Protap) Pelayanan Kefarmasian: untuk menjamin
mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan
4) Daftar tilik pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
(Depkes RI, 2006)
6. Prosedur tetap pelayanan kefarmasian
a. Prosedur tetap penerimaan resep
1) Menerima resep pasien

10

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


2) Memeriksa kelengkapan resep, yaitu: nama, nomor surat ijin praktek,
alamat dan tanda tangan/ paraf dokter penulis resep, tanggal resep,
nama obat, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian, nama
pasien, umur pasien dan jenis kelamin
3) Memeriksa kesesuaian farmasetik, yaitu: bentuk sediaan, dosis,
potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
4) Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif
seperlunya bila perlu meminta persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Prosedur tetap peracikan obat
1) Membersihkan tempat dan peralatan kerja
2) Mengambil wadah obat dari rak sesuai dengan nama dan jumlah obat
yang diminta dan memeriksa mutu dan tanggal kadaluwarsa obat
yang akan diserahkan pada pasien
3) Mengambil obat/bahan obat dari wadahnya dengan menggunakan
alat yang sesuai misalnya sendok atau spatula
4) Memberikan sediaan sirup kering harus dalam keadaan sudah
dicampur air matang sesuai dengan takarannya pada saat akan
diserahkan kepada pasien
5) Untuk sediaan obat racikan, langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menghitung kesesuaian dosis
b) Menyiapkan pembungkus dan wadah obat racikan sesuai dengan
kebutuhan
c) Menggerus obat yang jumlahnya sedikit terlebih dahulu, lalu
digabungkan dengan obat yang jumlahnya lebih besar, digerus
sampai homogen
d) Membagi dan membungkus obat dengan merata
e) Tidak mencampur antibiotika di dalam sediaan puyer
f) Sebaiknya puyer tidak disediakan dalam jumlah besar sekaligus.
g) Menuliskan nama pasien dan cara penggunaan obat pada etiket
yang sesuai dengan permintaan dalam resep dengan jelas dan
dapat dibaca

11

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


h) Memeriksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai permintaan pada
resep, lalu memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai agar
terjaga mutunya.
c. Prosedur tetap penyerahan obat
1) Memeriksa kembali kesesuaian antara jenis, jumlah dan cara
penggunaan obat dengan permintaan pada resep
2) Memanggil dan memastikan nomor urut/ nama pasien
3) Menyerahkan obat disertai pemberian informasi obat
4) Memastikan bahwa pasien telah memahami cara penggunaan obat
5) Meminta pasien untuk menyimpan obat di tempat yang aman dan
jauh dari jangkauan anak-anak.
d. Prosedur tetap pelayanan informasi obat
1) Menyediakan dan memasang spanduk, poster, booklet, leaflet yang
berisi informasi obat pada tempat yang mudah dilihat oleh pasien
2) Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak
langsung, dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan
bijaksana melalui penelusuran literatur secara sistematis untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan
3) Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara
sistematis.

e. Prosedur tetap penanganan obat rusak atau kadaluwarsa


1) Identifikasi obat yang sudah rusak atau kadaluwarsa
2) Memisahkan obat rusak atau kadaluwarsa dari penyimpanan obat
lainnya
3) Membuat catatan jenis dan jumlah obat yang rusak atau kadaluwarsa
untuk dikirim kembali ke instalasi farmasi Kabupaten atau kota.
f. Prosedur tetap pencatatan dan penyimpanan resep
1) Pencatatan jumlah resep harian berdasarkan jenis pelayanan (umum,
gakin atau gratis, asuransi)

12

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


2) Membendel resep yang mempunyai tanggal yang sama berdasarkan
urutan nomor resep dan kelompok pembiayaan pasien
3) Membendel secara terpisah resep yang ada narkotiknya
4) Menyimpan bendel resep pada tempat yang ditentukan secara
berurutan berdasarkan tanggal agar memudahkan dalam penelusuran
resep
5) Memusnahkan resep yang telah tersimpan selama 3 (tiga) tahun
dengan cara dibakar
6) Membuat berita acara pemusnahan resep dan dikirimkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota.
g. Prosedur tetap pemusnahan resep
1) Memusnahkan resep yang telah disimpan tiga tahun atau lebih
2) Tata cara pemusnahan:
a) Resep narkotika dihitung lembarannya
b) Resep lain ditimbang
c) Resep dihancurkan, lalu dikubur atau dibakar
3) Membuat berita acara pemusnahan
(Depkes RI, 2006).

13

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


C. Kerangka Konsep

Variabel bebas
Pengaruh keberadaan
apoteker

Variabel terikat
Mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas
berdasarkan Prosedur tetap :
1. Prosedur tetap penerimaan resep
2. Prosedur tetap peracikan obat
3. Prosedur tetap penyerahan obat
4. Prosedur tetap pelayanan informasi
obat
5. Prosedur tetap penanganan obat
rusak atau kadaluwarsa
6. Prosedur tetap pencatatan dan
penyimpanan resep
7. Prosedur tetap pemusnahan obat

Mutu baik Mutu kurang Baik

Gambar 3.1 Kerangka konsep

D. Hipotesis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2013) tentang


“Pengaruh Keberadaan Apoteker terhadap Tingkat Kepuasan Pasien dalam
Pelayanan Informasi Obat di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara”, dengan
hasil analisis data menggunakan uji Chi Square menunjukan nilai Chi Square
hitung diperoleh hasil 5,794 artinya nilai Chi Square hitung lebih besar dari
nilai Chi Square tabel dan nilai p 0,016 (<0,05) yang artinya bahwa terdapat

14

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017


perbedaan tingkat kepuasan pasien antara Puskesmas yang terdapat apoteker
dengan Puskesmas yang tidak terdapat apoteker. Tingkat kepuasan konsumen
merupakan salah satu indikator untuk mengukur mutu pelayanan kefarmasian
di Puskesmas, jadi dapat dijadikan sebagai hipotesis dalam menentukan mutu
pelayanan kefarmasian di Puskesmas berdasarkan prosedur tetap pelayanan
kefarmasian di Puskesmas. Sehingga hipotesis operasionalnya:
Ha : Berarti ada pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan
kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara berdasarkan
prosedur tetap pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
H0 : Berarti tidak ada pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu
pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Banjarnegara
berdasarkan prosedur tetap pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

15

Pengaruh Keberadaan Apoteker…, Imam Hidayatuloh, Fakultas Farmasi, UMP, 2017

Anda mungkin juga menyukai