Anda di halaman 1dari 137

Perpustakaan Unika

KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT


DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

TESIS
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat sarjana S- 2

Program Studi Magister Ilmu Hukum


Konsentrasi Hukum Kesehatan

Oleh:
Susana Agustina
NIM: 08.93.0042

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2010
Perpustakaan Unika

KATA MUTIARA

Manusia berencana, dan Tuhanlah yang memutuskan bagi kehidupannya


Mengapa harus kuatir tentang kehidupan kita
Dia selalu tahu tentang kita dan memutuskan yang terbaik bagi hidup kita.
Meskipun kadang apa yang direncanakanNYA
belum dapat dimengerti saat ini
Dia tidak pernah merancangkan kecelakaan bagi hidup kita
Kemanapun kaki ini melangkah
Apapun rencana hati kita
Baik atau buruk, Tuhan mengetahuinya
Sehingga untuk apa takut
Meskipun niat baik kadang tidak dapat ditangkap orang lain
Tetapi sekuat apapun tirai menutupi cahaya
Ia akan tetap bersinar pada akhirnya

( Penulis )

ii
Perpustakaan Unika

KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT


DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

oleh:
Susana Agustina
NIM: 08.93.0042

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama

Dr. Endang Wahyati, S.H., M.H tanggal,

Pembimbing Pendamping

Dr. P. Lindawaty S. Sewu,S.H., M.Hum tanggal,

iii
Perpustakaan Unika

HALAMAN PENGESAHAN

iv
Perpustakaan Unika

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Susana Agustina, Peserta Program
Studi Magister Hukum Kesehatan, Nim 08.93.0042,
Menyatakan :
1. Bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi.
2. Bahwa sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini dibuat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Semarang, Juni 2010

Susana Agustina

xi
Perpustakaan Unika

ABSTRAK
KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT
DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

Rumah Sakit merupakan suatu institusi pelayanan kesehatan yang


menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna,
menyediakan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat, seperti yang
tertuang di dalam Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit pada Bab I Pasal 1 ayat (1). Sedangkan akreditasi adalah
pengakuan formal terhadap unit/ lembaga untuk melakukan kegiatan
standarisasi tertentu, sesuai dengan persyaratan dan kriteria yang telah
ditetapkan oleh dewan. Dimana akreditasi Rumah Sakit merupakan
sebuah penilaian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan apa yang
dimiliki oleh Rumah Sakit tersebut, dan apa yang telah dilakukan serta
konsistensi antara pelaksana dengan unit manajemen Rumah Sakit.
Perlindungan hukum sendiri adalah suatu jaminan yang diberikan oleh
negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan
kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek
hukum Tujuan utama dari perlindungan hukum bagi pasien adalah
memberikan jaminan kepada pasien/masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang akan diterimanya. Pelayanan medis yang bermutu, yaitu
pelayanan medis yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa medis,
sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, begitu juga yang
penyelenggaraannya sesuai dengan standard yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai ketentuan
akreditasi dan perlindungan hukum bagi pasien.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif. Sehubungan dengan cara ilmiah, maka metode menyangkut
dengan cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan. Dengan demikian, pengertian dari kata
“metode” berarti suatu penyelidikan atau penelitian yang berlangsung
menurut suatu rencana atau cara tertentu.
Ketentuan akreditasi Rumah Sakit yang membawa standar minimal
terhadap pelayanan kesehatan yang mengedepankan kepentingan pasien
baik itu keselamatan dan keamanan pasien. Bentuk perlindungan hukum
bagi pasien ini tertuang dalam UU Rumah Sakit, dimana di dalam Undang-
Undang ini seluruh ketentuan-ketentuan bagi Rumah Sakit berkaitan
dengan Rumah Sakit itu sendiri maupun penggunanya yaitu masyarakat
telah disepakati dilindungi oleh negara sehingga kekuatan perlindungan
hukum bagi pasien ini sifatnya mengikat. Ketentuan akreditasi bagi
Rumah Sakit adalah melaksanakan Pemenuhan keselamatan pasien yang
dilindungi oleh Undang-Undang, dilihat dari pokok-pokok ketentuan
akreditasi Rumah Sakit mengharuskan Rumah Sakit tersebut
melaksanakan jaminan keselamatan pasien melalui kegiatan yang
berkaitan dengan keselamatan pasien. Sarana dan prasarana yang
menunjang keselamatan pasien ini harus dimiliki oleh Rumah Sakit yang
ingin mendapatkan penilaian akreditasi baik.
(Kata kunci : Rumah Sakit, Akreditasi, Akreditasi Rumah Sakit,
Perlindungan Hukum, Pasien, Keselamatan Pasien.)

xii
Perpustakaan Unika

ABSTRACT

PROVISION OF HOSPITAL ACCREDITATION


AND LEGAL PROTECTION FOR PATIENTS

Hospital is a health care institution that organizes a plenary individual


health services, providing inpatient, outpatient and emergency
department, as stipulated in Law No. 44 Year 2009 concerning Hospital in
Chapter I, Article 1 paragraph (1). While accreditation is a formal
recognition of the units / agencies to conduct certain standardization
activities, in accordance with the requirements and criteria established by
the board. Where Hospital accreditation is an assessment of matters
relating to what is owned by the Hospital, and what has been done and the
consistency between the executive with the Hospital management unit.
Protection of the law itself is a guarantee given by the State to all parties to
be able to exercise their rights and legal interests he has in his capacity as
the main objective of the legal subject of legal protection for patients is to
provide assurance to patients / communities to health services that will be
received. Quality medical services, i.e. medical services that can satisfy
every user of medical services, according to the average level of
satisfaction of residents, as well as which operate in accordance with a
predetermined standard. Based on that research must be done about the
rules of accreditation and legal protection for patients.
This research was conducted using a normative juridical approach. In a
very real sense, the word "method" is a way or road. In connection with a
scientific way, the method involves a way of working, i.e. to understand the
workings of a target object that the relevant science. Thus the sense of the
word "method" means any investigation or research that took place
according to a plan or certain way.
Hospital accreditation provisions that bring minimum standards for the
health services that promote the interests of both patient safety and
patient safety. Form of legal protection for these patients contained in the
Hospital Act, which in this Act all the provisions for Hospitals associated
with itself or its users that the community has agreed so that power is
protected by state law protection for these patients binding.
Terms of accreditation for hospitals is to carry out the fulfillment of patient
safety is protected by the Act, viewed from the principal-principal
provisions require that the Hospital accreditation Hospital is implementing
a patient safety program through activities related to patient safety.
Facilities and infrastructure that support patient safety must be owned by
the hospital who wants to get good accreditation assessment.
(Keywords: Hospitals, Accreditation, Hospital Accreditation, Legal
Protection, Patient, Patient Safety)

xiii
Perpustakaan Unika

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Esa sehingga diperkenankan-Nya

kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis dalam memenuhi syarat

memperoleh derajat sarjana strata dua program studi hukum konsentrasi hukum

kesehatan yang berjudul : ’’Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit dan

Perlindungan Hukum Bagi Pasien ’’

Secara umum tesis ini membahas hubungan ketentuan akreditasi Rumah

Sakit dan perlindungan hukum bagi pasien, dimana penilaian dari akreditasi

Rumah Sakit mengacu kepada suatu pelayanan medis yang bermutu,

memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu

pengetahuan dan tehnologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini serta

masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, ucapan terima kasih disampaikan kepada yang

terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Widianarko,Msi., selaku Rektor Unika

Soegijapranata Semarang, atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh

studi pada Program Pascasarjana Universitas Soegijapranata.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada

Bapak Dr. A. Rudyanto Soesilo, MSA., selaku Direktur Program Pascasarjana

Unika Soegijapranata Semarang, serta kepada Dekan Fakultas Hukum Unika

Soegijapranata Semarang.

Kepada Prof. Dr. Agnes Widanti, S.H.,CN., sebagai Ketua Program

Pascasarjana Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum

Unika Soegijapranata Semarang yang telah memberikan peluang kepada penulis

guna mengikuti perkuliahan di Pascasarjana Hukum Kesehatan Unika

Soegijapranata Semarang.

v
Perpustakaan Unika

Kepada Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi, S.H, selaku Koordinator

Program Pascasarjana Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas

Hukum Unika Soegijapranata lokasi Bandung, yang telah memberikan motivasi

kepada penulis untuk melihat ke depan bahwa ketekunan dan kedisiplinan

penting guna meraih tujuan ke depan.

Kepada Yovita Indrayati, S.H., M.Hum selaku sekretaris Program

Pascasarjana Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum

Unika Soegijapranata Semarang, yang telah memberikan kesempatan dan

kepercayaan kepada penulis untuk mengikuti sidang tesis ini.

Kepada Dr. Endang Wahyati Yustina, SH., MH., yang telah membimbing

penulis dengan tekun dan sabar, serta senantiasa memberikan kesempatan

kepada penulis untuk banyak belajar dalam mendapatkan pengetahuan yang

seluas-luasnya, dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk hadir pada

sidang disertasi beliau sehingga terbukalah wawasan penulis untuk dapat lebih

memahami makna dari tesis ini.

Kepada Dr. Pan Lindawaty S Sewu, S.H., M.Hum. selaku pembimbing

yang senantiasa menyediakan waktu bagi penulis untuk mendapatkan bimbingan

di tengah kesibukan yang padat, serta dengan ketenangan dan keterbukaan

telah menjalin komunikasi yang hangat sehingga penulis merasa nyaman

berdiskusi.

Kepada Handy Sobandi, S.H., MKn., MHum yang telah memberikan

materi-materi serta bimbingan selama menyusun proposal tesis ini sehingga

penulis dapat memulai kegiatan penyusunan tesis dengan semangat.

Kepada para pengajar yang telah membantu penulis untuk mendapatkan

ilmu pengetahuan yang diperlukan bagi penulisan tesis ini maupun bagi

penugasan di dalam kehidupan sehari-hari penulis saat ini dan untuk masa yang

akan datang.

vi
Perpustakaan Unika

Kepada mba Shinta dan mba Emilia yang telah menemani penulis untuk

berdiskusi dan membantu senantiasa kepada kesulitan penulis sehingga semua

kembali dapat berjalan dengan lancar.

Kepada Bapak Saeful, Bapak Asep, dr Ade, Ibu Elly, Anggi dan Andriani

selaku teman-teman seperjuangan, didalam penyusunan tesis ini, terima kasih

atas semangat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis senantiasa

mendapatkan cahaya keinginan untuk tidak berhenti tetapi tetap bersemangat

menyelesaikan tesis ini.

Kepada teman-teman seperjuangan di Program Pascasarjana Magister

Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

Semarang yang lucu, meriah, penuh semangat dan senantiasa penulis rindukan,

terima kasih atas kebersamaan selama ini yang telah membuat penulis

senantiasa merasa selalu remaja di tengah teman-teman yang oke habis.

Kepada Karumkit Tk II Dustira Cimahi yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk melanjutkan pendidikan dan memberikan kelonggaran-kelonggaran

selama penulis menyelesaikan tesis ini sehingga dapat selesai ditengah tugas-

tugas harian sebagai tanggungjawab kepada kesatuan, serta bersemangat

mendorong penulis untuk tetap eksis di kampus maupun di Rumah Sakit secara

bersama-sama.

Kepada suamiku tercinta Benny Roland Longdong yang dengan setia

menemani penulis melaksanakan kegiatan perkuliahan, tugas-tugas maupun

penyusunan tesis ini. Terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan

sehingga hari-hari terasa cepat berlalu dan atas cinta yang senantiasa

beralaskan iman kepada Tuhan telah membuat penulis memahami bahwa

kehidupan ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sebagai wujud ungkapan

syukur kepada Tuhan.

vii
Perpustakaan Unika

Kepada anak-anakku Bayu Anugerah Longdong dan Wisnu Rahmat

Longdong yang senantiasa mengerti akan kesibukan-kesibukan di tengah

harapan mereka untuk senantiasa mendapatkan perhatian, mengajari penulis

memahami bahwa kalian sedang belajar dengan melihat contoh yang paling

dekat, dan atas cinta kalian yang seperti cahaya pelangi dan kekuatan yang luar

biasa.

Kepada orang tuaku Bapak Imam Muchyi dan Liesbeth Albertine yang selalu

mendukung untuk tidak diam serta tak putus-putusnya berdoa bagi kami dan

kelancaran tugas pembelajaran ini, serta harapan-harapan yang membuat

penulis terpacu, begitu juga dengan mertua Bapak Lepold L. Longdong dan ibu

Theresia Gimon yang selalu berkata lembut dan mengasihi penulis sehingga

penulis tidak ragu untuk menyelesaikan tesis ini.

Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima

kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis

akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga

Tuhan Yang Maha Esa memberikan hikmat dan anugerah-Nya kepada semua

pihak yang telah membantu dalam penulisan tesis ini, amin.

Bandung, Juli 2010

Penulis

viii
Perpustakaan Unika

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

KATA MUTIARA ....................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR ISI .............................................................................................. ix

HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... xi

ABSTRAK ................................................................................................. xii

ABSTRACT ............................................................................................. xiii

BAB I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ..................................................... 1

B. PERUMUSAN MASALAH ................................................................. 6

C. TUJUAN PENELITIAN ...................................................................... 6

D. METODE PENELITIAN ..................................................................... 6

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ..................................................... 8

E. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................. 10

BAB II. KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

A. PENGANTAR .................................................................................... 13

B. TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT ................................. 14

C. LATAR BELAKANG DAN PERANAN AKREDITASI RUMAH SAKIT 21

D. KONSEP DASAR KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT ........ 28

E. PENYELENGGARAAN AKREDITASI RUMAH SAKIT ..................... 44

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

A. PENGANTAR .................................................................................... 64

B. PENGENRTIAN PERLINDUNGAN HUKUM ..................................... 65

C. TUJUAN HUKUM BAGI MANUSIA .................................................. 69

ix
Perpustakaan Unika

D. HAKEKAT PERLINDUNGAN HUKUM .............................................. 73

E. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM ................................................ 74

F. MACAM-MACAM PERLINDUNGAN HUKUM ................................... 76

G. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT SEBAGAI BADAN HUKUM


DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN .......................................... 81

H. ASAS PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN ....................................... 82

I. UNSUR-UNSUR PERLINDUNGAN HUKUM .................................... 85

J. HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN YANG SETINGGI-TINGGINYA 87

K. PENUTUP ........................................................................................ 89

BAB IV KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT DAN


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

A. PENGANTAR ................................................................................... 92

B. KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT ..................................... 94

C. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN ........................................ 96

D. KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN


HUKUM BAGI PASIEN ..................................................................... 104

E. PENUTUP ........................................................................................ 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ................................................................................... 113

B. SARAN ............................................................................................. 118

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 121

LAMPIRAN

x
Perpustakaan Unika

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit selama ini telah dilaksanakan

dengan segenap upaya guna mencapai tujuan dan misinya untuk meningkatkan

derajat kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu

kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang, oleh karena itu dalam rangka

meningkatkan dirinya baik secara institusi, profesionalitasnya Rumah Sakit

senantiasa berusaha meningkatkan diri. Hal tersebut dapat terlihat dari upaya

meningkatkan manajerial kesehatan, profesinya, peralatan kesehatan serta

sarana dan prasarana Rumah Sakit. Organisasi pelayanan kesehatan seperti

Rumah Sakit yang merupakan organisasi jasa pelayanan oleh karena itu sebagai

pelayan masyarakat perlu memiliki karakter mutu pelayanan prima yang sesuai

dengan harapan pasien. Selain itu, Rumah Sakit diharapkan dapat memberikan

pelayanan yang bermutu dan profesional, juga dapat memberikan perlindungan

hukum kepada pasien dalam menerima pelayanan kesehatan .

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dan

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan serta gawat darurat seperti yang

tercantum di dalam Undang–Undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, ( Untuk selanjutnya disingkat UU Rumah Sakit ).

Pada Bab I Pasal I Ayat (1) dan Ayat (2) menyatakan bahwa “ Pelayanan

kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi upaya: promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif.” Pelayanan kesehatan merupakan hak warga

negara, namun bukan berarti harus didapatkan dengan cuma–cuma, tetapi dapat

diartikan bahwa seyogyanya setiap warga negara dapat menikmati haknya

1
Perpustakaan Unika

mendapatkan pelayanan kesehatannya, dimana pelayanan tersebut selalu

tersedia, mudah dijangkau, bermutu baik, dengan harga terjangkau, serta

memberikan perlindungan secara hukum, sehingga warga tidak merasakan

cemas dan was–was terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.

Oleh karena itulah Rumah Sakit harus dilibatkan dalam memberikan

konstribusi pemenuhan hak warga negara, untuk mendapatkan pelayanan

kesehatannya. Rumah Sakit perlu memberikan keamanan dan kenyamanan

kepada masyarakat, yaitu dengan upaya terus meningkatkan mutu pelayanan

kesehatannya, tanpa melupakan faktor hukum yang menyatakan atas hak–hak

pasien dan kewajiban Rumah Sakit, dalam memberikan pelayanan

kesehatannya, dilandasi oleh hukum yang berlaku di Indonesia, terutama

mengenai hubungan pasien dengan Rumah Sakit beserta unsur–unsur yang

terdapat di dalamnya.

Upaya memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dapat dinilai

berbeda-beda, tergantung dari sudut mana memandang hal tersebut. Oleh

karena itu, perlu standarisasi agar terdapat persamaan penilaian terhadap

kegiatan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dan memenuhi harapan dari

masyarakat pengguna maupun penyelenggara Rumah Sakit itu sendiri.

Pengakuan bahwa Rumah Sakit telah memenuhi standar minimal yang telah

ditentukan melalui akreditasi Rumah Sakit. Akreditasi yang dilakukan dapat

meliputi fisik bangunan, pelayanan kesehatan, perlengkapan, obat–obatan,

ketenagaan dan administrasi, dimana secara keseluruhan berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada pasien.

Tata kelola Rumah Sakit yang baik memberikan penerapan fungsi–fungsi

manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip–prinsip transparansi,

akuntabilitas, independensi dan renponsibilitas, kesetaraan serta kewajaran. Tata

kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis meliputi

2
Perpustakaan Unika

kemampuan klinik, audit klinik, data klinis, resiko klinis berbasis bukti,

peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan,

pengembangan profesional, dan akreditasi Rumah Sakit.

Akreditasi Rumah Sakit ini memiliki asas manfaat, untuk menjadi forum

komunikasi dan konsultasi antara Rumah Sakit, dan badan akreditasi agar dapat

mengadakan perbaikan ke depan. Manfaat lainnya diantaranya pemberian ijin

bagi pendirian Rumah Sakit, status untuk memasarkan Rumah Sakit dan alat

negosiasi dengan perusahaan terkait.

Di Indonesia terdapat berbagai ketentuan yang diberlakukan guna untuk

kesejahteraan masyarakat, termasuk memberikan perlindungan hukum kepada

pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatannya di Rumah Sakit. Hak pasien

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Perlindungan hukum kepada pasien ini adalah perlindungan yang diberikan

terhadap hak–hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai

dengan standar minimal. Hal itu akan didapatkan jika Rumah Sakit memenuhi

kewajibannya sebagai pelaku pemenuhan hak pasien di Rumah Sakit

sebagaimana tercantum didalam syarat akreditasi Rumah Sakit. UU RI Nomor 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan ( selanjutnya disebut UU Kesehatan ).

Pasal 179 Ayat (1) yang menyatakan pembinaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 178 diarahkan untuk: (f). Melindungi masyarakat terhadap segala

kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya kesehatan“. Oleh karena itu

dengan adanya standar Rumah Sakit, melalui penilaian yang diharapkan akan

memberikan perlindungan kepada masyarakat, dapat terpenuhi sesuai dengan

penjelasaan UU Kesehatan. Pada Bab II Pasal 2 Ayat (8) “Asas perlindungan

berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan

dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.”

3
Perpustakaan Unika

Hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien, merupakan

tantangan karena pasien yang awam terhadap pelaksanaan pelayanan

kesehatan tidak tahu apakah pelayanan kesehatan yang diterimanya adalah

pelayanan kesehatan bermutu, sehingga perlu sebuah perlindungan hukum bagi

pasien untuk menerima pelayanan kesehatan yang bermutu yang dapat

menjadikan tanggung gugat terhadap pelayanan kesehatan yang menyimpang

dari pelayanan kesehatan bermutu tersebut. Adanya tanggung gugat perdata

yang dimaksud adalah karena beberapa hal meliputi: wanprestasi, perbuatan

melanggar hukum dan yang mengakibatkan mati/cacat tubuh karena kurang

hati–hati dan kurang cermat yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

Kita ketahui bersama bahwa belum semua Rumah Sakit telah

mendapatkan penilaian akreditasi karena beberapa alasan. Namun hal ini tidak

mengurangi jumlah pasien yang menggunakan Rumah Sakit tersebut, meskipun

Rumah Sakit itu belum terakreditasi. Akreditasi itu sendiri wajib untuk dilakukan

di Rumah Sakit karena dengan diberlakukannya standar pelayanan Rumah Sakit

dan standar pelayanan medis, maka seluruh Rumah Sakit wajib menerapkan

standar tersebut, tanpa memandang kelas dan status kepemilikannya, yang

dilaksanakan dengan cara bertahap berdasarkan kemampuan dan kesiapan

Rumah Sakit tersebut.

Hal yang melatarbelakangi pemberian pelayanan kesehatan kepada

pasien salah satunya adalah hak asasi manusia untuk mendapatkan kondisi

kesehatan yang baik, dan pelayanan kesehatan yang layak selaku manusia yang

membutuhkan keadaan diri, lingkungan yang sehat dan aman. Oleh karena, itu

hak-hak asasi manusia terhadap kesehatannya dapat diperoleh melalui

pelayanan kesehatan yang baik dan terstandar, di samping itu pasien juga

membutuhkan perlindungan hukum terhadap pelayanan kesehatan yang

diperolehnya dari organisasi Rumah Sakit secara menyeluruh. Untuk itu perlu

4
Perpustakaan Unika

adanya akreditasi di Rumah Sakit sebagai suatu sistem penilaian apakah Rumah

Sakit ini telah melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai dengan standart yang

diberikan oleh pihak–pihak yang berkompeten di bidang kesehatan yaitu Komisi

Gabungan Akreditasi Rumah Sakit.

Dengan adanya akreditasi di Rumah Sakit sebagai suatu sistem penilaian

apakah Rumah Sakit ini telah melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai

dengan standart yang diberikan oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidang

kesehatan, yaitu oleh Komisi Gabungan Akreditasi Rumah Sakit. Dengan

demikian diharapkan masyarakat akhirnya dapat menilai dan melihat kondisi

Rumah Sakit yang sebenarnya, dengan standarisasi yang diberlakukan secara

merata kepada setiap Rumah Sakit tersebut.

Menyadari betapa pentingnya menyelenggarakan pelayanan kesehatan di

Rumah Sakit guna memberikan hak–hak pasien dalam mendapatkan

keselamatannya, dan perlindungan hukumnya dikaitkan dengan ketentuan

akreditasi Rumah Sakit, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai hubungan

ketentuan akreditasi Rumah Sakit dengan perlindungan hukum pasien. Sehingga

masyarakat mendapatkan suatu gambaran bahwa Rumah Sakit yang telah

terakreditasi tersebut, apakah dapat menjamin keamanannya terhadap

perlindungan hukum bagi pasien itu sendiri. Sehingga kenyataan Rumah Sakit di

Indonesia yang banyak memutuskan untuk tidak mengakreditasikan institusinya.

Kemudian diterbitkan UU Rumah Sakit yang mewajibkan semua Rumah Sakit

untuk melakukan akreditasi, Hal tersebut apakah dapat menjawab pertanyaan

mengenai: dapatkah akreditasi dapat menjamin perlindungan hukum bagi

pasien?

5
Perpustakaan Unika

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang tersebut di atas, maka

dalam penelitian tesis ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu

sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit ?

2. Apakah yang dimaksud dengan Perlindungan Hukum Bagi Pasien ?

3. Apakah dengan tidak dilaksanakannya Akreditasi Rumah Sakit

MenyeBabkan Dilanggarnya Perlindungan Hukum Bagi Pasien ?

C. TUJUAN PENELITIAN.

Dari perumusan masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa

tujuan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan gambaran mengenai ketentuan akreditasi Rumah Sakit

2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai unsur-unsur perlindungan hukum

bagi pasien

3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan pelaksanaan akreditasi

Rumah Sakit dan perlindungan hukum bagi pasien.

D. METODE PENELITIAN.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis

normatif. Kata atau istilah metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “metodhos”,

yang terdiri dari kata “meta” yang berarti sesudah atau di atas, dan kata “hodos”

yang berarti jalan atau cara.1 Dalam arti sesungguhnya, kata “metode” adalah

cara atau jalan. Sehubungan dengan cara ilmiah, maka metode menyangkut

dengan cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi

1
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Surabaya, 2006, hlm. 25-26

6
Perpustakaan Unika

sasaran ilmu yang bersangkutan.2 Dengan demikian, pengertian dari kata

“metode” berarti suatu penyelidikan atau penelitian yang berlangsung menurut

suatu rencana atau cara tertentu.3

Selanjutnya, kata atau istilah “pendekatan/approach” adalah sesuatu hal

(perbuatan atau usaha), mendekati atau mendekatkan.4 Dalam konteks

penelitian, kata atau istilah “pendekatan/approach” merupakan bentuk sistematis

yang khusus dari seluruh pemikiran dan telaah reflektif.5

1. Spesifikasi Penelitian.

Dalam penelitian ini, spesifikasi penelitian yang digunakan adalah

deskriptif analitis. Yang dimaksud dengan deskriptif analitis, yaitu membuat

deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta,

sifat dan hubungan antar fenomena atau gejala yang diteliti sambil

menganalisisnya, yaitu mencari seBab akibat dari suatu hal dan menguraikannya

secara konsisten dan sistematis serta logis.6

Selanjutnya, spesifikasi penelitian deskriptif analitis ini digunakan untuk

menganalisis, yaitu mencari seBab akibat dari permasalahan yang terdapat pada

perumusan masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis

sesuai dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini,

yaitu hubungan antara ketentuan akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan

hukum bagi pasien.

2
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1977,
hlm. 16
3
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Jilid 1: Asas-asas), disunting oleh:
M. Hisyam, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 1996,
hlm. 85-86; C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu), diterjemahkan oleh: J. Drost, Gramedia, Jakarta, 1993, hlm. 16
4
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar maju, Bandung, 1995, hlm. 58-61
5
Fred N.Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, diterjemahkan oleh: Landung R.
Simatupang, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992, hlm.18.
6
Lihat Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 63, 72,
405, 406 & 427.

7
Perpustakaan Unika

2. Metode Pendekatan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini, yaitu

yuridis normatif. Yang dimaksud dengan metode pendekatan yuridis normatif,

yaitu suatu cara meneliti dalam penelitian hukum yang dilakukan terhadap bahan

pustaka atau data sekunder belaka dan dengan menggunakan metode berpikir

deduktif serta kriterium kebenaran koheren.7

Selanjutnya yang dimaksud dengan metode berpikir deduktif adalah cara

berpikir dalam penarikan kekesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya

umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kekesimpulan itu ditujukan

untuk sesuatu yang sifatnya khusus.

Sedangkan yang dimaksud dengan kebenaran koheren (the coherence

theory of truth), adalah suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi, atau

hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, pernyataan,

proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu meneguhkan dan

konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA.

Pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mengumpulkan

informasi/data/bahan adalah dari materi kuliah di kampus, internet, buku-buku

referansi kepustakaan sebagai landasan pemikiran untuk menjawab masalah

yang menjadi fokus kajian, sehingga tercapainya tujuan dari penelitian tesis ini.

1. Jenis Data.

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu data sekunder.

Yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti dari

penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan

pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau

7
Wila Chandrawila Supriadi, Metode Penelitian (tidak dipublikasikan) dalam Materi
Kuliah “Metode Penelitian Hukum” Program Pascasarjana Program Studi Magister
Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang, 2006, hlm. 8.

8
Perpustakaan Unika

dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan umum atau

perpustakaan milik pribadi.8

Di dalam penelitian hukum, data sekunder tersebut meliputi bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer

adalah bahan hukum yang terdapat dalam suatu aturan hukum atau teks otoritatif

seperti peraturan Perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak,

keputusan tata usaha negara. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam

penelitian ini terdiri dari peraturan Perundang-undangan, misalnya UU Kesehatan

dan UU Rumah Sakit.

Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,

serta simposium yang dilakukan para pakar hukum mengenai ketentuan

akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum bagi pasien.

Selain itu, dalam penelitian ini dipergunakan pula bahan hukum tersier.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti

kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Baik bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder diinventarisasi berdasarkan fokus permasalahan yang

telah dirumuskan dalam perumusan masalah dan diklasifikasi menurut bidang

kajiannya, agar memudahkan untuk menganalisisnya.

2. Metode Pengumpulan Data.

Oleh karena data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang bersifat kualitatif, maka metode pengumpulan data yang

dipergunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah suatu

kegiatan (praktis dan teoritis) untuk mengumpulkan (inventarisasi), dan

8
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 65.

9
Perpustakaan Unika

mempelajari (learning), serta memahami (reflektif, kritis dan sistematis serta

logis) data yang berupa hasil pengolahan orang lain, dalam bentuk teks otoritatif

(peraturan perundang-undangan, putusan hakim, traktat, kontrak, keputusan tata

usaha negara, kebijakan publik, dan lainnya), literatur atau buku teks, jurnal,

artikel, arsip atau dokumen, kamus, ensiklopedi dan lainnya yang bersifat publik

maupun privat.

3. Metode Analisis Data.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif normatif. Metode kualitatif normatif ini digunakan karena penelitian ini

tidak menggunakan konsep-konsep yang diukur/dinyatakan dengan angka atau

rumusan statistik. Dalam menganalisis data sekunder tersebut, penguraian data

disajikan dalam bentuk kalimat yang konsisten, logis dan efektif serta sistematis

sehingga memudahkan untuk interpretasi data dan konstruksi data serta

pemahaman akan analisis yang dihasilkan, yaitu mencari seBab akibat dari suatu

masalah dan menguraikannya secara konsisten, sistematis dan logis sesuai

dengan perumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu

hubungan antara ketentuan akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum

bagi pasien.

F. SISTEMATIKA PENULISAN.

Penelitian tesis ini diawali dengan lembaran judul penelitian dan lembar

persetujuan sebagai lembaran paling depan, adapun isi dari penelitian tesis ini

terbagi dalam 5 (lima) Bab dan masing-masing Bab terdiri dari sub-subBab guna

memperjelas ruang lingkup dan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan

masing-masing Bab serta pokok bahasannya adalah sebagai berikut:

Pada awal tesis ini uraian dimulai dari Bab I, yang berisi tentang

Pendahuluan yang akan menguraikan mengenai gambaran secara umum materi

10
Perpustakaan Unika

yang akan dibahas, yaitu meliputi latar belakang penelitian, perumusan masalah,

tujuan penelitian dan metode penelitian yang terbagi dalam 2 hal yaitu spesifikasi

penelitan dan metode pendekatan, selanjutnya adalah teknik pengumpulan data

didalamnya terdapat: jenis data, metode pengumpulan data, metode analisis

data, serta sistematika penulisan.

Selanjutnya pada Bab II, yang berisi uraian tentang kerangka pemikiran

dari tesis ini. Dalam Bab ini akan dibahas : tinjauan umum tentang Rumah Sakit

yang didalamnya terbagi dalam pengertian dan karakteristik Rumah Sakit, tugas

dan fungsi serta klasifikasi Rumah Sakit Indonesia, serta kerangka hukum yang

mengatur penyelenggaraan Rumah Sakit. Selanjutnya konsep dasar akreditasi

Rumah Sakit meliputi: peristilahan dan pengertian akreditasi Rumah Sakit, tujuan

dan manfaat serta fungsi akreditasi, karakteristik dan ruang lingkup akreditasi.

Berikutnya adalah peraturan internal akreditasi Rumah Sakit yang meliputi:

pengertian dan dasar hukum peraturan akreditasi Rumah Sakit, urgensi dan

fungsi peraturan akreditasi Rumah Sakit, serta materi muatan ketentuan

akreditasi Rumah Sakit.

Kemudian pada Bab III, diuraikan mengenai kepastian hukum dimana hal

ini diuraikan tentang manusia, masyarakat dan pasien, hak-hak pasien serta

kewajiban Rumah Sakit. Dimana kaedah hukum dan ketertibannya diuraikan

termasuk tujuan dan fungsi hukum, kemudian dibahas mengenai asas hukum

meliputi: hakekat dan karakteristik asas hukum, peranan asas hukum serta

penggolongannya. Berikutnya adalah asas perlindungan hukum dimana

pengertian dan hakekat asas perlindungan hukum dikupas, diikuti karakteristik

asas hukumnya serta unsur-unsur perlindungan hukum.

Pada Bab IV dibahas mengenai hubungan ketentuan akreditasi Rumah

Sakit dan perlindungan hukum bagi pasien, dimana didalamnya ketentuan

Rumah Sakit, unsur–unsur asas perlindungan hukum, dan analisis hubungan

11
Perpustakaan Unika

antara penerapan akreditasi Rumah Sakit dengan perlindungan hukum bagi

pasien menjadi hal yang difokuskan dalam pembahasan Bab ini.

Akhirnya di dalam Bab V akan dituliskan mengenai beberapa

kekesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tesis ini dan saran-saran yang

ditujukan untuk berbagai pihak, serta dilengkapi dengan mencantumkan daftar

pustaka yang dipergunakan dalam penelitian ini.

12
Perpustakaan Unika

BAB II

KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

A. PENGANTAR.

Akreditasi Rumah Sakit merupakan sebuah penilaian terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan apa yang dimiliki oleh Rumah Sakit tersebut, dan apa

yang telah dilakukan serta konsistensi antara pelaksana dengan unit manajemen

Rumah Sakit. Di dalam akreditasi Rumah Sakit ini, suatu institusi Rumah Sakit

harus dapat menyuguhkan baik secara formal, verbal maupun secara visual

terhadap aktualisasi visi dan misi Rumah Sakit yang dimaksudkan.

Di dalam ketentuan akreditasi Rumah Sakit ini, menyiratkan bahwa

sebuah lembaga Rumah Sakit perlu memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah

disepakati di Indonesia, oleh lembaga yang berwenang memberikan akreditasi

kepada lembaga sertifikasi yaitu KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit), KARS

ini merupakan lembaga sertifikasi khusus untuk Rumah Sakit, dimana badan

sertifikasi ditetapkan atas pertimbangan antara lain : lingkup akreditasi dari

badan sertifikasi sistem mutu yang sesuai dengan organisasi atau perusahaan

yang sesuai, termasuk dalam kemampuan komunikasi dengan para auditor.

Untuk lebih memahami tentang akreditasi dan sertifikasi, beberapa

ketentuan umum tentang standarisasi, akreditasi dan sertifikasi Menteri

Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 108/PP/Kep/5/1996 adalah antara

lain:

1. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun

berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan

syarat–syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan

dan tehnologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang

akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya;

13
Perpustakaan Unika

2. Standarisasi adalah proses merumuskan, merevisi, menetapkan dan

menerapkan standar, dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan

semua pihak;

3. Sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat

4. Sertifikat adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian hasil kegiatan

sertifikasi terhadap persyaratan yang ditentukan;

5. Akreditasi adalah pengakuan formal terhadap unit/ lembaga untuk

melakukan kegiatan standarisasi tertentu, sesuai dengan persyaratan dan

kriteria yang telah ditetapkan oleh dewan.9

Jadi setelah uraian tersebut di atas, penulis memiliki pengertian bahwa

yang dimaksud akreditasi adalah pengakuan formal terhadap Rumah Sakit yang

telah melakukan kegiatan pelayanan kesehatan, dengan standarisasi tertentu,

sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang

terhadap ketentuan akreditasi tersebut.

Agar lebih jelasnya, setelah uraian singkat dalam SubBab Pengantar ini,

maka di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai akreditasi, yang berisi

uraian mengenai maksud dan tujuan akreditasi, manfaat akreditasi, keputusan

akreditasi, karakteristik, serta standar untuk akreditasi. Kemudian akan diuraikan

pula mengenai peraturan akreditasi Rumah Sakit, yang berisi uraian tentang

pengertian dan sifat akreditasi Rumah Sakit, fungsi akreditasi Rumah Sakit, dan

metodenya. Akhirnya uraian dalam Bab ini akan ditutup dengan uraian yang

berisi mengenai ke kesimpulan dalam Bab ini.

B. TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT.

1. Pengertian dan Klasifikasi Rumah Sakit.


Pengertian Rumah Sakit menurut WHO (World Health Organization)

adalah:

9
Ibid, hlm.773,774,775

14
Perpustakaan Unika

"Suatu usaha yang menyediakan pemondokan yang memberikan jasa


pelayanan medik jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas
tindakan observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif untuk orang-
orang yang menderita sakit, terluka dan untuk mereka yang akan
melahirkan. Bisa juga disamping itu menyediakan atau tidak menyediakan
pelayanan atas dasar berobat jalan kepada pasien-pasien yang langsung
pulang"

Pada UU Rumah Sakit pada Bab I Pasal I Ayat (1) dikatakan bahwa:

“Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat “.

Selanjutnya Pasal 1 Ayat (2) UU Rumah Sakit menyatakan bahwa:

“Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif “.

Bab II Pasal 2 UU Rumah Sakit menyatakan bahwa: “Rumah Sakit

diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai

kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan

anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta

mempunyai fungsi sosial”.

Pada hakekatnya Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang sifatnya

memang sudah kompleks, kini dengan perkembangan jaman dan teknologi

makin lama makin bertambah kompleks pula bertambah padat modal, padat

tenaga, padat teknologi dan pada persoalan dalam berbagai bidang (ekonomi,

hukum, etik, HAM, teknologi, dll).

UU Kesehatan, meskipun secara eksplisit tidak menyebutkannya namun

pengertian Rumah Sakit dapat disimpulkan sebagai salah satu bentuk fasilitas

pelayanan kesehatan, seperti dirumuskan pada Pasal 1 butir 7 bahwa : “Fasilitas

pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk

menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, prefentif, kuratif

15
Perpustakaan Unika

maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,

dan/atau masyarakat“.

Pengertian Rumah Sakit dirumuskan pada Pasal 1 butir 1 UU Rumah

Sakit bahwa: “Rumah Sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat” Selanjutnya

pada Pasal 1 butir 3 disebutkan bahwa : “Pelayanan kesehatan paripurna adalah

pelayanan kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.“

Pengertian Rumah Sakit yang dikemukakan dalam beberapa referensi

umumnya menyebutkan bahwa disebut Rumah Sakit jika mengandung unsur

antara lain: adanya tempat (bangunan fisik) dan sarana prasarana lainnya;

adanya pasien dan dokter; adanya bentuk–bentuk pelayanan; adanya keadaan

orang sakit; adanya tindakan keperawatan dan tindakan medik dalam bentuk

praktik profesional.10

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) memberikan pengertian yang sangat

singkat, yaitu: “Sarana pelayanan kesehatan yang memiliki sarana rawat inap“11

Sementara Picard, mendefinisikan Rumah Sakit adalah :

“The hospital, in former times a place where the impoverished ill were
deposited or medical attendence has evolved to an intitution where the
doctor can trat his patient with the assistence of highly skilled and well-
organized medical and nonmedical personnel with sophisticated
equipments in modern facilities. Just as the function of the hospital has
expended, so is its responsibility to the patient. These responsibilities may
be characterized as non-delegable duties owed to the patient and failure
to discharge them properly may reult in an action against the hospital for
breach to cantrack or negligence “12

10
Endang Wahyati Yustina, Ringkasan disertasi akreditasai Rumah Sakit sebagai
unsur pengawasan dan asas pelayanan kesehatan yang optimal, Unpar,
Bandung, 2010, Hlm 6
11
Konsil Kedokteran Indonesia, Kemitraan dalam hubungan dokter – pasien, KKI,
Jakarta, 2006, hlm 41
12
Ellen Piccard, Legal liability of doctor and hospital in Canada, Carswell legal
publication, Toronto, 1984, hlm 151

16
Perpustakaan Unika

Definisi yang dikemukakan Picard tersebut sedikit berbeda, meskipun

unsur-unsur yang dikemukakan sama, yakni pengertiannya didasarkan pada

sejarah penyelenggaraan Rumah Sakit.

Sedangkan Hematram Yadavdalam bukunya “Hospital management“

memberikan pengertian tentang Rumah Sakit sebagai berikut:

“Hospital means different things to different people. To the patient it is


place to receive medical care, to the physician it may be workplace to
practice the proffesion, and to the medical or nursing student it may seem
to be an aducational institution“13

Rumah Sakit sebagai salah satu sarana kesehatan dapat diklasifikasikan

dalam beberapa jenis.

a. Berdasarkan pada Pemilik dan Penyelenggara.

Menurut ketentuan Pasal 3 Permenkes 159b/1988, adalah:

“Berdasarkan pemilik dan penyelenggaranya, Rumah Sakit dibedakan


menjadi Rumah Sakit pemerintah dan Rumah Sakit swasta. Rumah Sakit
pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan,
Pemerintah Daerah, ABRI, dan BUMN. Rumah Sakit swasra dimiliki dan
diselenggarakan oleh yayasan yang sudah disahkan sebagai badan hukum
dan badan lain yang bersifat sosial.”

b. Berdasarkan pada Jenis Pelayanan.

Menurut ketentuan Pasal 4 Permenkes 159b/1988, adalah:

“Berdasarkan bentuk pelayanannya Rumah Sakit dibedakan menjadi Rumah


Sakit umum dan Rumah Sakit khusus. Rumah Sakit umum adalah Rumah
Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan untuk semua jenis penyakit
dari yang bersifat dasar sampai dengan subspesialistik. Rumah Sakit khusus
adalah Rumah Sakit yang menyeleng-garakan pelayanan kesehatan
berdasarkan jenis penyakit tertentu misalnya Rumah Sakit Paru-Paru,
Rumah Sakit Jantung dan sebagainya.”

c. Berdasarkan pada Klasifikasi.

Berdasarkan pada kemampuan pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan

yang dapat tersedia, Rumah Sakit umum pemerintah dan daerah diklasifikasikan

sebagai berikut.

13
Hematram Yadav, Hospital management, University Malaya Press, Kuala lumpur,
2006, hlm 24

17
Perpustakaan Unika

1) RSU Kelas A mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis

spesialistik luas dan subspesialistik luas.

2) RSU Kelas B mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis

sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik

terbatas.

3) RSU Kelas C mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis

spesialistik dasar.

4) RSU Kelas D mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis

dasar.14

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 340/ Menkes /

Per/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit Pasal 4 dikatakan :

”Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit umum


diklasifikasikan menjadi :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
d. Rumah Sakit Umum Kelas D”

Pada Pasal 5 dikatakan :

”Klasifikasi Rumah Sakit umum ditetapkan berdasarkan:


a. Pelayanan;
b. Sumber Daya manusia;
c. Peralatan;
d. Sarana dan Prasarana; dan
e. Administrasi dan Manjemen.”

Setelah pemaparan mengenai klasifikasi Rumah Sakit, penulis

mengambil kekesimpulan bahwa Rumah Sakit diklasifikasikan berdasarkan pada

pemilik atau penyelenggaranya, dimana kemampuan pelayanan kesehatan,

ketenagaan, fisik dan peralatannya serta kemampuannya dalam melakukan

bidang pelayanannya menjadi dasar klasifikasi sebuah Rumah Sakit.

14
Ibid , hlm.791

18
Perpustakaan Unika

2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Indonesia,

Tugas dan fungsi Rumah Sakit seperti yang tercantum di dalam UU

Rumah Sakit pada Pasal 4 “Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.”

Pada Pasal 5 UU Rumah Sakit dikatakan:

“Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,


Rumah Sakit mempunyai fungsi :
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat ke dua dan ke tiga sesuai
kebutuhan medis;
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia
dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan
kesehatan; dan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan
kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang
kesehatan; “

3. Ketentuan Hukum yang Mengatur Penyelenggaraan Rumah Sakit

Pada UU Rumah Sakit pada Bab IX Pasal 33 dikatakan : “

(1) Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien,
dan akuntabel.
(2) Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri dari atas kepala Rumah
Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan
pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan.“

Pada Pasal 34 UU Rumah Sakit dikatakan : “

(1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai
kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
(2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus
berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah
Sakit.“

Pada Pasal 35 UU Rumah Sakit dikatakan : “Pedoman organisasi Rumah

Sakit ditetapkan dengan peraturan Presiden“

Di Indonesia dewasa ini dalam Rumah Sakit secara yuridis yang

bertanggung jawab dapat dikelompokkan dalam:

19
Perpustakaan Unika

a. Manajemen Rumah Sakit sebagai organisasi yang dimiliki badan

hukum (Pemerintah, Yayasan, PT, Perkumpulan) yang pada instansi

pertama diwakili oleh kepala RS/Direktur/CEO.

b. Para dokter yang bekerja di Rumah Sakit/

c. Para perawat/

d. Para tenaga kesehatan lainnya dan tenaga administratif.

Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh suatu badan

hukum (Pemerintah, Yayasan, Perkumpulan, PT atau badan hukum lainya).

Rumah Sakit mempunyai tanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi

di dalam Rumah Sakit. Bentuk badan hukum pemilik Rumah Sakit akan

mempengaruhi organisasi pemilik atau yang mewakili. Oleh karena itu peraturan

yang mengatur bentuk badan hukum dan akte badan hukum dari pemilik Rumah

Sakit menjadi acuan utama dalam menyusun peraturan internal korporate.

Untuk mengetahui bentuk badan hukum pemilik Rumah Sakit maka perlu

mengetahui macam kepemilikan Rumah Sakit di Indonesia:

a. Rumah Sakit Milik Pemerintah.

Beberapa jenis Rumah Sakit pemerintah, dapat kita bedakan

dengan dasar kemana mereka berinduk, dengan adanya beberapa

perundang-undangan yang disahkan seperti UU no 22 dan no 25

tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah

serta UU BUMN; maka ketentuan kepemilikan jadi berubah yang

nantinya mengubah Hospital By laws-nya. Adapun jenis pemilk Rumah

Sakit pemerintah antara lain: Departemen Kesehatan, Perusahaan

Jawatan dan Pemerintah Daerah Propinsi.

b. Rumah Sakit milik swasta, yang dikelola oleh :

1) Yayasan

2) Perseroan Terbatas (PT)

20
Perpustakaan Unika

3) Badan Hukum lainnya.

Perbedaan kepemilikan tersebut di atas, akan mempengaruhi organisasi

badan hukum pemilik, siapa yang dimaksud yang mewakili serta peran dan

tugasnya.

C. LATAR BELAKANG DAN PERANAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

1. Perkembangan Akreditasi Rumah Sakit di Luar Indonesia

Perkembangan akreditasi Rumah Sakit di manca negara perlu diketahui,

agar dapat dijadikan acuan dan bahan perbandingan dalam melaksanakan

akreditasi Rumah Sakit di Indonesia. Era Asia Pasifik adalah era pertumbuhan

ekonomi yang menanjak tajam sejak beberapa dekade terakhir di wilayah ini,

sampai jauh melampaui pertumbuhan di Eropa dan wilayah perekonomian lain.

Sebagian penting dari wilayah Asia–Pasifik ini adalah Asia.

Pertumbuhan Rumah Sakit pertama dengan adanya stage one dengan

jiwa wirausaha memulai dengan Rumah Sakit taraf perorangan dimana pemilik

adalah perorangan, namun pada tahap ke dua di dalam Rumah Sakit terdapat

perkembangan perencanaan strategis dengan melihat peluang peluang,

ancaman, kelemahan dan kekuatannya, dan selanjutnya pada taraf ke tiga

Rumah Sakit menjadi multi divisi dan multi nasional.

Ada networking dengan Rumah Sakit lain baik di dalam maupun luar

negri. Rumah Sakit lulus akreditasi atau sertifikasi pada Tahun era 2000

membuktikan jaminan mutu pelayanannya berdasarkan sertifikasi akreditasi

internasional. Rumah Sakit ini umumnya sudah go public. Rumah Sakit

perkembangan ke tiga ini dinamakan Rumah Sakit taraf global, dan di Asia-

Pasifik Rumah Sakit ini sudah bertaraf perkembangan ke tiga dimana kita

dinamakan Rumah Sakit taraf Asia atau Asia-Pasifik.

21
Perpustakaan Unika

Dan akreditasi menjadi bukti Rumah Sakit di Asia dalam melaksanakan

pelayanan kesehatannya bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan

kesehatan tersebut.15

Adapun perkembangan di manca negara lainnya meliputi :

a. Amerika Serikat

Pada Tahun 1910 Dr. Codman, seorang ahli bedah merintis dan

mendorong disusunnya Hospital Standarization Program, yang

kemudia diberlakukan sebagai minimum standar for hospital oleh the

American College Of Surgeon pada Tahun 1917. Pada Tahun 1926

disusun standar manual yang pertama. Pada Tahun 1951 dibentuk

badan akreditasi Rumah Sakit dengan nama Joint Commision On

Accreditation Of Hospital ( JCAH). Pada Tahun 1987 (setelah 36

Tahun) cakupan tugas pekerjaan berkembang dan bertambah luas

sehingga badan tersebut berubah nama menjadi Joint Commision

On Accreditation Of Health Care Organization ( JCAHO ) dengan misi

meningkatkan kualitas pelayanan melalui penyelenggaraan akreditasi

sarana pelayanan kesehatan.16

Mulai Tahun 1987/1988 akreditasi yang sebelumnya ditekankan

pada penilaian unsur struktur dan proses, mulai dikembangkan lebih

mendalam dengan melakukan penilaian terhadap unsur outcome dari

pelayanan. Program ORYX ( The Next Evolution In Accreditation )

adalah salah satu program pengembangan akreditasi sarana

kesehatan ini. Proses akreditasi dijadikan proses “data Driven“,

dengan melakukan survey yang kontinyu dengan perkembangan

15
Samsi Jakobalis, Kumpulan tulisan terpilih tentang Rumah Sakit Indonesia dalam
sejarah, transformasi, globalisasi dan krisi nasional, yayasan penerbitan IDI ,
2000, hlm. 345
16
Depkes RI Direktorat Pelayanan Medik, Pedoman Akreditasi Rumah Sakit Di
Indonesia , Komisi Akreditasi RS dan Sarana Kesehatan lainnya, 2004, hlm3

22
Perpustakaan Unika

bahwa pengunaan data yang terkait dengan outcome akan memacu

Rumah Sakit menilai sendiri (self assessment) proses pelayanan dan

mengambil tindakan memperbaiki outcome dari pelayanan.17

Penyusunan standar difokuskan kepada :

1) Fungsi dan kualitas pelayanan dan keamanan lingkungan

2) Kinerja dapat diterapkan pada organisasi ( RS ) besar ataupun

kecil

3) Tujuan dan prinsip pelayanan ketimbang proses yang spesifik

4) Hal-hal yang masuk akal dan terjangkau

5) Kegiatan yang dapat disurvey

Keputusan dengan hasil penilaian akreditasi dapat berbentuk :

1) Akreditasi dengan penghargaan, berlaku 3 Tahun

2) Akreditasi bila ada rekomendasi tipe I diharuskan memenuhi

rekomendasi tersebut dalam waktu yang ditentukan

3) Akreditasi bersyarat, hasilnya marginal. Akan dilakukan survey

follow up

4) Akreditasi seementara, untuk RS yang belum beroperasi.

Keputusan ini untuk survey 2 bulan sebelum RS beroperasi dan

6 bulan kemudian dilakukan survey yang ke 2 yang dapat

menghasilkan keputusan 1),2),3), atau 5)

5) Tidak terakreditasi18

b. Australia

Pada mulanya Australia dibimbing oleh Amerika, yaitu pada

Tahun 1958 JCAHO memaparkan sistem akreditasi yang

diberlakukan di Indonesia. Pada Tahun 1974 Australian Medical

17
Ibid, hlm 3
18
Ibid, hlm 3,4

23
Perpustakaan Unika

Assosiation dan Australian Hospital Assosiation membentuk badan

akredittasi dengan nama Australian Council on Hospital Standar yang

kemudia berubah menjadi Australian Council on Health Care Standar

(ACHS) . walaupun begitu program akreditasi baru dimulai dan

dilaksanakan pada Tahun 1978 dengan tujuan utama meningkatkan

kualitas pelayanan pasien dan tercapainya efisensi dalam proses

pelayanan.19

c. Kanada

Pada Tahun 1951 Canadian medical Assosiation ikut berperan

mendirikan JCAH di Amerika. Sebaliknya pada Tahun 1958 JCAH

dari Amerika membantu mendirikan The Canadian Council On

Hospital Accreditation yang kemudian nama ini diubah menjadi The

Canadian Council On Health Services Accreditation (CCHSA) dengan

cakupan tugas meliputi 1350 sarana pelayanan kesehatan, termasuk

Rumah Sakit. Suveior berjumlah 285 orang terdiri dari dokter,

perawat, administrator.

Pada Tahun 1995 program baru yaitu Client-Centered

Accreditation Program (CCAP) dimasukkan ke dalam akreditasi.

CCAP lebih mementingkan bagaimana suatu organisasi dapat

memberikan pelayanannya (proses) dan bagaimana organisasi

ddapat menjalankan tugasnya dengan baik (outcome). Salah satu

yang dipersyaratkan CCAP adalah agar organisasi senantiasa

mengidentifikasi dan memonitor “Performance Indicators “ sebagai

bagian dari upaya mereka untuk memperbaiki kualitas pelayanan

mereka20

19
Ibid, hlm 4
20
Ibid, hlm 6

24
Perpustakaan Unika

d. Jepang

Pada Tahun 1990 dibentuk JHQAS (Japan Hospital Quality

Assurance Society ) kemudian pada Tahun 1995 namanya berubah

menjadi JSQUHC (Japan Society For Quality Health care) .

kemudian dibentuk Japan council For Quality Health care (JCQHC)

dengan kegiatan utama pada upaya peningkatan mutu. Pada Tahun

1996 JCQHC menyusun 150 standar untuk RS tipe A dan 450

standar untuk RS Tipe B, dan sudah melatih 170 surverior. Pada

Tahun 1996/1997 dimulai kegiatan survei terhadap 40 Rumah Sakit.

JCQHC belum menamakan kegiatan ini sebagai salah satu proses

akreditasi, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya peningkatan

mutu21

e. Afrika Selatan

Tahun 1995 dibentuk Council For Health Service Accreditation Of

Southen Afrika (COHSASA) Tujuan COHSASA adalah melalui

standar dan proses quality assurance ditingkatkan kualitas

pelayanan sarana kesehatan. Survey dilakukan 2-4 hari dan

keputusan akreditasinya adalah akreditasi 3 Tahun (lulus) , akreditasi

2 Tahun (hampir memenuhi standar) dan tidak terakreditasi.22

f. Inggris

Pada Tahun 1990 setelah dilakukan reformasi pelayanan yang

pada intinya membedakan “Purcasher“ dan “Proveder“. Departemen

Kesehatan mendorong dikembangkannya sistem akreditasi yang

independen. Sistem akreditasi Rumah Sakit dijalankan oleh 3

organisasi yaitu: Kings Fund Organizational Audit (KFOA) untuk

21
Ibid, hlm 6
22
Ibid, hlm 6

25
Perpustakaan Unika

Acute Hospitals, Hospital Accreditation Program ( HAP ) untuk Small

Community Non Acute Hospitals dan Health Services Accreditation

untuk sarana pelayanan kesehatan lainnya. Masih menjadi

perdebatan apakah sistem akreditasi yang bervariasi ini perlu lebih

disederhanakan dan dibuat lebih rasional. KFOA telahh melakukan

survei terhadap sekitar 200 Rumah Sakit.23

2. Perkembangan Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia

Rumah Sakit adalah terjemahan dari “hospital”. Sejak dahulu kala ada

Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah, ada pula yang didirikan pihak

swasta. Jika dilihat sejarah perkembangan Rumah Sakit, maka secara umum

dapat dibagi dalam 3 (tiga) periode, yaitu :

Periode I, adalah zaman dahulu sampai sekitar Tahun 1960, dimana

Rumah Sakit bersifat murni untuk amal (charity). Pada zaman ini Rumah Sakit

bebas dari tuntutan hukum, dapat dikatakan kebal hukum. Karena uang yang

diperoleh dari sumbangan-sumbangan tujuannya khusus untuk menolong

penderitaan manusia sakit tanpa mengharapkan akan menerima imbalan apa-

apa. Masa periode ini akreditasi tidak dikenal.

Periode II, di Indonesia mulai berubah sekitar Tahun 1965, dimana

Rumah Sakit swasta sudah mulai sukar untuk memperoleh sumbangan-

sumbangan dari para dermawan. Rumah Sakit mulai mengalami ketekoran untuk

dapat menutupi pengeluaran-pengeluarannya, sehingga harus mencari jalan

keluar untuk dapat membiayainya. Mau tak mau segi ekonomis finansial harus

diperhitungkan juga, sehingga sifat Rumah Sakit yang adinya bersifat sosial kini

mulai bergerak ke arah sosial ekonomis. Hal ini menyeBabkan status hukum

terhadap keabsahan akreditasi mulai dilirik dan dipikirkan tetapi belum tersentuh.

23
Ibid, hlm 6

26
Perpustakaan Unika

Periode III dimulai sejak Tahun 1990 dengan diterbitkannya Permenkes

No. 84 Tahun 1990 yang membuka peluang untuk mendirikan Rumah Sakit oleh

sebuah P.T. dengan demikian maka terdapatlah 2 kelompok Rumah Sakit, yaitu

Rumah Sakit yang non-profit dan Rumah Sakit yang for profit. Hal ini menjadikan

Rumah Sakit perlu mendapat pengakuan keabsahannya dalam menjalankan

roda pelayanan kesehatan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Akreditasi sudah mulai diberlakukan, dan pada Tahun 2009 keluarlah Undang-

Undang Rumah Sakit yang mengatur tentang akreditasi yang harus dilakukan

oleh Rumah Sakit.

Akreditasi Rumah Sakit dahulu tidak dilakukan, tetapi bergantung dari

peran serta masyarakat dalam memberikan kkepercayaan kepada Rumah Sakit

yang dimaksudkan, kemudian akreditasi dilakukan oleh lembaga yang

membawahi bidang kesehatan yaitu Depkes. Karena tidak ada ketentuan yang

mengikat secara hukum maka akreditasi hanya dilakukan sebagai wacana saja,

Pembinaan pelayanan medik dari Depkes mencoba melakukannya dengan

mengeluarkan ketentuan untuk akreditasi ini namun perkembangan kemudian

pada Tahun 2009 dikeluarkanlah UU Rumah Sakit yang menyatakan Akreditasi

wajib dilakukan oleh Rumah Sakit di Indonesia.

3. Eksistensi dan Hakekat Akreditasi Rumah Sakit

Eksistensi akreditasi itu sendiri terletak pada upaya untuk memberikan

perlindungan baik hukum maupun kepentingan keselamatan dan keamanan

pasien itu sendiri, dimana pasien yang awam akan kegiatan pelayanan

kesehatan akan memperoleh pelayanan kesehatan yang profesional, prosedural

dan aman. Semua ini harus diatur dan dapat dibaca oleh masyarakat sebelum

menjatuhkan pilihan untuk memperoleh pelayanan kesehatan di sebuah Rumah

Sakit yang dimaksudkan.

27
Perpustakaan Unika

Hakekat akreditasi itu sendiri memberikan perlindungan kepada

masyarakat terutama yang menggunakan fasilitas kesehatan yang dimaksudkan.

Sumberdaya manusia yang bekerja di Rumah Sakit tersebut, serta institusi itu

sendiri dapat memperoleh berbagai keuntungan akibat pemberlakukan akreditasi

yang terstandar secara profesional dalam mengontrol kegiatan para petugas

kesehatannya maupun untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat

terhadap pola pelayanan kesehatan yang diberikan secara terpadu di Rumah

Sakit tersebut.

D. KONSEP DASAR KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

1. Pengertian dan Peristilahan Akreditasi Rumah Sakit.

Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan formal terhadap unit/ lembaga

untuk melakukan kegiatan standarisasi tertentu, sesuai dengan persyaratan dan

kriteria yang ditetapkan oleh dewan. Akreditasi sendiri bersifat suka rela dari

organisasi kesehatan. Lebih dari persyaratan yang ada di lisensi, dengan tujuan

mengarahkan organisasi menuju optimasi daripada hanya sekedar pencapaian

minimum, dan dalam pelaksanaannya mencapai secara maksimal standar

maksimal yang telah ditentukan.24

Namun dengan diundangkannya UU Rumah Sakit maka akreditasi

Rumah Sakit yang semula bersifat sukarela menjadi wajib. Hal ini sesuai dengan

Pasal 40 Ayat (1) yang berbunyi:

“Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan

akreditasi secara berkala minimal 3 ( tiga ) Tahun sekali.”

Akreditasi berdasarkan pada standar yang ada dimana suatu penampilan

diukur. Standar dikembangkan oleh badan akreditasi yang berpartisipasi atau

yang berkaitan. Standar-standar baru dan revisi standar merupakan prioses

24
Ibid, hlm 773

28
Perpustakaan Unika

yang terjadi secara terus menerus. Semuanya memerlukan inovasi teknik,

perkembangan pengetahuan, perubahan peraturan pememrintah, dan

pertanggung jawaban kepada pasien, sehingga diperlukan untuk revisi dan

mengembangkan standar.

Survey terhadap fasilitas kesehatan diperlukan pada jangka waktu

tertentu oleh badan akreditasi untuk menetapkan apakah organisasi pelayanan

kesehatan tersebut dapat diakreditasi atau tidak25

Akreditasi Rumah Sakit berkaitan dengan penilaian kepatuhan terhadap

standar–standar yang mencakup seluruh fungsi dan kegiatan Rumah Sakit.

Sumber daya atau sarana dan prasarana , manajemen, pelayanan medik,

perawatan, fungsi penunjang umum, diagnostik, rekam medis, hak pasien dan

sebagainya. Dengan akreditasi diharapkan hasil pelayanan kesehatan (out put )

yang bermutu.26

2. Tujuan dan Manfaat serta Fungsi Akreditasi Rumah Sakit

a. Tujuan akreditasi Rumah Sakit

1) Tujuan umum.

Mendapatkan gambaran seberapa jauh Rumah Sakit–Rumah

Sakit di Indonesia telah memenuhi standar yang ditentukan. Dengan

demikian mutu pelayanan Rumah Sakit dapat

dipertanggungjawabkan.27

2) Tujuan khusus

a) Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada Rumah Sakit

yang telah mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai

dengan standar yang ditetapkan;

25
Ibid, hlm776
26
Ibid, hlm 776
27
Ibid, hlm 779

29
Perpustakaan Unika

b) Memberikan jaminan kepada petugas Rumah Sakit bahwa

semua fasilitas, tenaga, dan lingkungan yang diperlukan

tersedia, sehingga dapat mendukung upaya penyembuhan dan

pengobatan pasien dengan sebaik-baiknya;

c) Memberikan jaminan dan kepuasan kepada pasien dan

masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit

diselenggarakan sebaik mungkin.28

b. Di bawah ini dikumpulkan tujuan-tujuan akreditasi berbagai negara

yaitu:

1) meningkatkan pelayanan pasien

2) meningkatkan kepercayaan masyarakat

3) memperbaiki manajemen pelayanan kesehatan

4) meningkatkan rekruitmen staf

5) meningkatkan pembayaran untuk pelayanan

6) kepercayaan kepada akreditasi oleh pihak pihak yang

berkepentingan29

c. Manfaat akreditasi Rumah Sakit

1. Bagi Rumah Sakit

a. Akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasi antara

Rumah Sakit dan badan akreditasi yang memberikan saran

perbaikan atau rekomendasi untuk peningkatan mutu

pelayanan Rumah Sakit melalui pencapaian standar yang

ditentukan;

b. Dengan adanya metode self-evaluation, Rumah Sakit dapat

mengetahui pelayanan yang berada di bawah standar atau

28
Ibid, hlm 779
29
Depkes RI Direktorat Pelayanan Medik, Pedoman Akreditasi Rumah Sakit Di
Indonesia, Komisi Akreditasi RS dan Sarana Kesehatan lainnya, 2004, hlm 9

30
Perpustakaan Unika

perlu ditingkatkan. Dengan demikian, hal ini akan

meningkatkan kesadaran Rumah Sakit akan pentingnya

upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit;

c. Penting untuk rekruitmen dan membatasi “ turn–over “ staf

Rumah Sakit (tenaga medis/para medis/non medis), karena

para pegawai akan lebih senang , tenang dan aman bekerja

di Rumah Sakit yang telah diakreditasi;

d. Dengan perkembangan asuransi kesehatan, akan semakin

banyak perusahaan asuransi yang mempersyaratkan

pesertanya untuk berobat ke Rumah Sakit yang memiliki

status akreditasi. Sehingga suatu saat nanti Rumah Sakit

yang telah terakreditasi sajalah yang mendapatkan

penggantian biaya pengobatan/perawatan dari pihak ke tiga

tersebut;

e. Status diakreditasi juga menjadi alat untuk negosiasi dengan

perusahaan asuransi kesehatan;

f. Status akreditasi dapat dijadikan alat untuk membesarkan

(marketing ) pada masyarakat;

g. Akreditasi menjadi salah satu syarat perijinan

penyelenggaraan Rumah Sakit;

h. Status akreditasi merupakan simbol bagi Rumah Sakit dan

dapat meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat atas

Rumah Sakit;

i. Dengan diketahuinya kekurangan dibandingkan dengan

standar yang ada, Rumah Sakit dapat menggunakannya

untuk kepentingan pengajuan anggaran dan perencanaan/

31
Perpustakaan Unika

pengembangan Rumah Sakit kepada pemilik

(pemberibantuan);

2. Bagi pemerintah

a. Akreditasi merupakan salah satu pendekatan untuk

meningkatkan dan membudayakan konsep mutu pelayanan

Rumah Sakit melalui pembinaan terarah dan

berkesinambungan;

b. Akreditasi dapat memberikan gambaran (potret) keadaan

perumahsakitan di Indonesia dalam pemenuhan standar

yang ditentukan sehingga menjadi bahan masukan untuk

rencana pengembangan pembangunan kesehatan pada

masa yang akan datang.

3. Bagi perusahaan asuransi

a. Akreditasi penting untuk negosiasi klaim asuransi kesehatan

dengan Rumah Sakit;

b. Akreditasi memberi gambaran Rumah Sakit mana yang

dapat dijadikan mitra kerja;

4. Bagi masyarakat

a. Masyarakat dapat mengenal (secara formal) dengan melihat

sertifikasi akreditasi yang biasanya dipanjang di rumah sakit-

rumah sakit yang pelayanannya telah memenuhi standar,

sehingga dapat membantu mereka memilih Rumah Sakit

yang dianggap baik pelayanannya;

b. Masyarakat akan merasa lebih aman menadapat pelayanan

di rumah sakit yang sudah diakreditasi daripada yang belum

diakreditasi.

32
Perpustakaan Unika

5. Bagi pemilik

a. Pemilik mempunyai rasa kebanggaan bila Rumah Sakitnya

diakreditasi;

b. Pemilik dapat menilai seberapa baik pengelolaan sumber

daya (efisiensi) rumah sakit ini dapat dilakukan oleh

manajemen dan seluruh tenaga yang ada, sehingga misi

dan program Rumah Sakit dapat lebih mudah tercapai

(efektifitas).

6. Bagi pegawai/ petugas

a. Petugas (medis, para medis, non medis) merasa lebih

senang dan aman serta terjamin bekerja pada Rumah Sakit

yang diakreditasi;

b. Biasanya pegawai pada unit pelayanan yang mendapat nilai

baik sekali akan mendapat imbalan (materi/non material)

dari manajemen atas usahanya selama ini dalam memenuhi

standar;

c. Self-assessment akan menambah kesadaran akan

pentingnya pemenuhan standar dan peningkatan mutu

sehingga dapat memotivasi pegawai tersebut bekerja lebih

baik.30

d. Fungsi akreditasi RumahSakit

1. Memberikan standar–standar opersional rumah sakit dan

fasilitas kesehatan dan pelayanan lain yang berhubungan;

2. Untuk menghubungkan program survey dan akreditasi rumah

sakit yang akan menjadi anggota dari profesi kesehatan, rumah

30
Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Teori, Strategi dan
Aplikasi Vol. 2, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 781

33
Perpustakaan Unika

sakit-rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain yang berhubungan

secara suka rela :

a. Meningkatkan mutu tinggi dari pelayanan dalam semua

aspek dengan maksud untuk memberikan pasien manfaat

yang optimal yang ilmu / kedokteran telah menawarkan;

b. Untuk menggunakan prinsip dasar dari rencana keselamatan

dan pemeliharaan fisik dan organisasi dan administrasi

fungsi dari pelayanan yang efisien pasien;

c. Untuk menjaga pelayanan esensial dalam fasilitas-fasilitas

melalui usaha–usaha koordinasi dari staf yang terorganisir

dan badan-badan pemerintah dari fasilitas-fasilitas.

3. Untuk menghubungkan program–program pendidikan dan riset

dan menerbitkan hasil dari itu, yang akan lebih lanjut dan untuk

menerima bantuan, pemberian dan warisan dan perlengkapan-

perlengkapan, dan mendukung organisasi;

4. Untuk memberikan tanggungjawab dan menghubungkan

kegiatan-kegiatan lain menyesuaikan dengan operasional dari

penyusunan standar, survey dan program akreditasi.

Dari uraian tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa fungsi

akreditasi Rumah Sakit adalah: untuk memberikan prinsip dasar pelayanan

kesehatan yang berorientasi terhadap keselamatan pasien dengan

memberlakukan penilaian melalui standarisasi, sehingga pelayanan Rumah Sakit

dapat dikendalikan sesuai dengan esensi pelayanan kesehatan yang menjamin

mutu, baik mutu pelayanan profesional maupun mutu sarana dan prasarananya

serta sistem organisasi yang terkendali.31

31
Ibid, hlm 775,77

34
Perpustakaan Unika

3. Karakteristik dan Ruang Lingkup serta Klasifikasi Akreditasi Rumah


Sakit

a. Karakteristik akreditasi Rumah Sakit

Akreditasi Rumah Sakit adalah agar ketentuan klinis Rumah

Sakit yang baik dapat dilaksanakan sesuai dengan standar yang

ada dan dapat diterapkan oleh seluruh Rumah Sakit di Indonesia.

Akreditasi akan menyatakan bahwa Rumah Sakit tersebut telah

memenuhi syarat beberapa jenis pelayanan kesehatan di Rumah

Sakit tersebut, diharapkan dapat dinyatakan lulus akreditasi dimana

pelayanan tersebut telah memenuhi standar yang telah ditentukan

oleh Departemen Kesehatan di Indonesia.

Klasifikasi pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit meliputi :

1) Akreditasi Dasar 5 pelayanan Rumah Sakit;

2) Akreditasi 12 pelayanan Rumah Sakit;

3) Akreditasi 16 pelayanan Rumah Sakit;

4) Akreditasi Rumah Sakit pendidikan.

b. Ruang lingkup akreditasi Rumah Sakit

Ruang lingkup Ketentuan akreditasi Rumah Sakit Sesuai

dengan Buku Kerja untuk superveior akreditasi Rumah Sakit

meliputi :

1) Administrasi dan manajemen;

2) Pelayanan Medik;

3) Pelayanan Gawat Darurat;

4) Pelayanan Keperawatan;

5) Pelayanan Rekam Medik;

6) Pelayanan Farmasi;

7) Keselamatan Kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana;

35
Perpustakaan Unika

8) Pelayanan Radiologi;

9) Pelayanan Laboratorium;

10) Pelayanan Kamar Operasi;

11) Pelayanan Pengendalian Infeksi;

12) Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi;

13) Pelayanan Rehabilitasi Medik;

14) Pelayanan Gizi;

15) Pelayanan Intensif;

16) Pelayanan Darah.

Peranan tim survei yaitu mewakili komisi akreditasi RS dan

sarana kesehatan lainnya, sebagai evaluator penerapan standar

pelayanan dan edukator mengenai program akreditasi RS.32

c. Klasifikasi akreditasi Rumah Sakit

Untuk mengarahkan dan mengendalikan perkembangan

Rumah Sakit diperlukan klasifikasi berdasarkan jenis pelayanan

medik, penunjang medik dan perawatan, yang dikemukakan oleh

Depkes sebagai berikut :

a. Pelayanan medik umum

b. Pelayanan medik spesialistik dan subspesialistik

1) Pelayanan medik spesialistik 4 dasar

a) Penyakit dalam;

b) Bedah;

c) Kebidanan dan penyakit kandungan;

d) Kesehatan anak.

2) Pelayanan 6 medik spesialistik

a). Mata;

32
Ibid , hlm 786

36
Perpustakaan Unika

b). THT;

c). Kulit dan kelamin;

d). Kesehatan jiwa;

e). Syaraf;

f). Gigi dan mulut.

3) Pelayanan medik spesialistik lain

a). Jantung;

b). Paru-paru;

c). Bedah syaraf;

d). Orthopedi.

4) Pelayanan medik sub - spesialistik

c. Pelayanan penunjang medik

1) Radiologi;

2) Patologi;

3) Anesthesi;

4) Gizi;

5) Farmasi;

6) Rehabilitsi medik.

d. Pelayanan perawatan

1) Pelayanan perawatan umum dasar;

2) Pelayanan perawatan spesialistik;

3) Pelayanan perawatan subspesialistik.33

4. Predikat Akreditasi

Rumah Sakit yang telah melalui proses akreditasi akan memperoleh

hasil/predikat akreditasi. ada empat kemungkinan predikat yang akan

dikeluarkan, yaitu :

33
Ibid, hlm 788

37
Perpustakaan Unika

a. Tidak diakreditasi

Suatu Rumah Sakit tidak dapat memperoleh status akreditasi

bila Rumah Sakit tersebut dianggap belum mampu memenuhi

standar yang ditetapkan.

b. Akreditasi bersyarat

Status ini diberikan bila Rumah Sakit telah dapat memenuhi

persyaratan minimal tetapi belum cukup untuk mendapatkan

akreditasi penuh karena ada beberapa kriteria / standar yang diberi

rekomendasi khusus

1) Akreditasi bersyarat ini berlaku untuk satu Tahun;

2) Setelah masa satu Tahun Rumah Sakit dapat mengajukan

untuk survey ulang setelah merasa siap;

3) Penilaian ulang dilakukan khusus untuk hal-hal yang

direkomendasikan oleh surveyor untuk mendapatkan akreditai

penuh;

4) Bila Rumah Sakit memenuhi pelayanan tersebut, ia mendapat

tambahan dua Tahun lagi sehingga seluruhnya menjadi tiga

Tahun (akreditasi penuh);

5) Bila tidak berhasil pada akreditasi ulang ini, maka Rumah Sakit

dinyatakan gugur (tidak mendapat status akreditasi).

c. Akreditasi penuh

1) Status akreditasi penuh diberikan untuk jangka waktu tiga

Tahun kepada Rumah Sakit–Rumah Sakit yang telah dapat

memenuhi standar yang ditetapkan oleh komisi gabungan

akreditasi;

38
Perpustakaan Unika

2) Setelah masa tiga Tahun, Rumah Sakit yang bersangkutan

mengajukan permohonan untuk diakreditasi pada periode

berikutnya.

d. Akreditasi istimewa

Untuk rumah sakit–rumah sakit yang menunjukkan kemampuan

pemenuhan standar secara istimewa selama tiga periode berturut-

turut, akan mendapatkan status akreditasi untuk masa lima tahun34

5. Standar Akreditasi

Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan bahwa rumah sakit memenuhi

standar minimal yang ditentukan. Dengan diberlakukannya standar pelayanan

rumah sakit dan standar pelayanan medis melalui Surat Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 436/MENKES/SK/VI/1993, maka seluruh rumah sakit

diwajibkan untuk menerapkan standar tersebut tanpa memandang kelas atau

status kepemilikannya. Tetapi karena kemampuan pelayanan rumah sakit yang

bervariasi, pelaksanaan penerapan standar–standar itu haruslah berlangsung

secara bertahap. Standar yang digunakan untuk akreditasi mengacu pada

standar pelayanan rumah sakit tersebut, tetapi dengan berbagai penyesuaian

berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan saran dari para pemakai agar lebih

dapat diterima dan memenuhi harapan pihak-pihak yang terlibat.

Pada prinsipnya, semua Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta

harus diakreditasi. Karena keterbatasan dari segi tenaga, dana di tingkat pusat

dan daerah serta kesiapan Rumah Sakit sendiri dalam memenuhi standar–

standar pelayanan yang ditentukan maka pelaksanaan penilaian akan dilakukan

secara bertahap. Rumah Sakit yang telah siap memenuhi standar-standar

sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 436/

Menkes/SK/VI/1193 dianggap layak untuk diakreditasi.

34
Ibid, hlm 783,784

39
Perpustakaan Unika

Pada tahap awal Rumah Sakit harus sudah dapat memenuhi standar 5

(lima) kegiatan pelayanan pokok. Diharapkan juga beberapa kegiatan pelayanan

penunjang dapat dipenuhi. Kegiatan pelayanan tersebut adalah sebagai berikut :

a) Administrasi dan manajemen;

b) Pelayanan medis;

c) Pelayanan gawat daruruat;

d) Pelayanan keperawatan;

e) Rekam medis;

f) Kamar operasi;

g) Pelayanan perinatal, resiko tinggi;

h) Pelayanan laboratorium;

i) Pelayanan radiology;

j) Pengendalian infeksi Rumah Sakit;

k) Pelayanan sterilisasi;

l) Keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana.35

6. Ketentuan Akreditasi

Seperti yang sudah dibahas di atas, dikatakan bahwa di dalam peraturan

akreditasi Rumah Sakit ini, menyiratkan bahwa sebuah lembaga Rumah Sakit

perlu memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati di Indonesia oleh

lembaga yang berwenang memberikan akreditasi kepada lembaga sertifikasi

yaitu KARS. Badan sertifikasi ditetapkan atas pertimbangan antara lain: lingkup

akreditasi dari badan sertifikasi sistem mutu yang sesuai dengan organisasi atau

perusahaan yang sesuai, termasuk dalam kemampuan komunikasi dengan para

auditor.

Seperti yang telah dibahas bahwa standar adalah spesifikasi teknis atau

sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang

35
Ibid, hlm 781

40
Perpustakaan Unika

terkait dengan memperhatikan syarat–syarat kesehatan, keselamatan,

perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta pengalaman,

perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh

manfaat yang sebesar-besarnya.

Rumah Sakit yang telah melalui proses akreditasi akan memperoleh

hasil/keputusan akreditasi ada empat kemungkinan keputusan yang akan

dikeluarkan, yaitu: tidak diakreditasi dimana suatu Rumah Sakit tidak dapat

memperoleh status akreditasi bila Rumah Sakit tersebut dianggap belum mampu

memenuhi standar yang ditetapkan. Akreditasi bersyarat dimana status ini

diberikan bila Rumah Sakit yang telah dapat memenuhi persyaratan minimal

tetapi belum cukup untuk mendapatkan akreditasi penuh karena ada beberapa

kriteria / standar yang diberi rekomendasi khusus. Akreditasi bersyarat ini

berlaku untuk satu Tahun dengan ketentuan sebagai berikut : setelah masa satu

Tahun Rumah Sakit dapat mengajukan untuk survey ulang setelah merasa siap,

penilaian ulang dilakukan khusus untuk hal-hal yang direkomendasikan oleh

surveyor untuk mendapatkan akreditasi penuh. Bila Rumah Sakit memenuhi

pelayanan tersebut, ia mendapat tambahan dua Tahun lagi sehingga seluruhnya

menjadi tiga Tahun (akreditasi penuh), bila tidak berhasil pada akreditasi ulang

ini, maka Rumah Sakit dinyatakan gugur (tidak mendapat status akreditasi).

Akreditasi penuh yaitu diberikan untuk jangka waktu tiga Tahun kepada rumah

sakit–rumah sakit yang telah dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh

komisi gabungan akreditasi, dimana setelah masa tiga Tahun, Rumah Sakit yang

bersangkutan mengajukan permohonan untuk diakreditasi pada periode

berikutnya. Terakhir adalah akreditasi istimewa yaitu untuk Rumah Sakit–Rumah

Sakit yang menunjukkan kemampuan pemenuhan standar secara istimewa

selama tiga periode berturut–turut, akan mendapatkan status akreditasi untuk

masa lima Tahun.

41
Perpustakaan Unika

Standar akreditasi tersebut tanpa memandang kelas atau status

kepemilikannya. Tetapi karena kemampuan pelayanan Rumah Sakit yang

bervariasi, pelaksanaan penerapan standar–standar itu haruslah berlangsung

secara bertahap. Standar yang digunakan untuk akreditasi mengacu pada

standar pelayanan Rumah Sakit tersebut, tetapi dengan berbagai penyesuaian

berdasarkan hasil uji coba di lapangan dan saran dari para pemakai agar lebih

dapat diterima dan memenuhi harapan pihak-pihak yang terlibat.

Pada prinsipnya, semua Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta

harus diakreditasi. Karena keterbatasan dari segi tenaga, dana di tingkat pusat

dan daerah serta kesiapan Rumah Sakit sendiri dalam memenuhi standar–

standar pelayanan yuang ditentukan maka pelaksanaan penilaian akan dilakukan

secara bertahap. Rumah Sakit yang telah siap memenuhi standar–standar

dianggap layak untuk diakreditasi.

Urgensi akreditasi Rumah Sakit pada pelayanan kesehatan adalah

dimana pelaksanaan pelayanan kesehatan harus sinkron antara visi dan misi

Rumah Sakit dengan pelayanan kesehatan yang dilaksanakannya. Didalam

memberikan pelayanan kesehatan ini terdapat pengelolaan kebijakan dari pihak

pimpinan Rumah Sakit bagi roda pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tersebut.

Pelayanan kesehatan sangat penting dilaksanakan dengan benar secara

profesi maupun hukum dan kepentingan baik pasien maupun pelaku pemberi

pelayanan kesehatan itu sendiri, sehingga dengan diberlakukannya akreditasi

bagi Rumah Sakit itu diharapkan dalam memberikan pelayanan kesehatan ini

paling tidak melakukannya dalam standar minimal yang harus dicapai, tetapi

dengan harapan dapat melakukan pelayanan kesehatan yang maksimal.

Peranan akreditasi Rumah Sakit dalam mewujudkan penjaminan mutu

pelayanan Rumah Sakit terlihat dari standar akreditasi , dimana hal-hal yang

berkaitan dengan pelayanan pokok dan penunjang yang diakreditasi meliputi :

42
Perpustakaan Unika

administrasi atau manajemen, sarana dan prasarana, SDM, kualitas pelayanan

kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan serta adanya tanggungjawab

terhadap mutu pelayanan di Rumah Sakit yang dapat terjamin dan terus

berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi

16 unit yang akan diakreditasi senantiasa dilaksanakan evaluasi dan

pengendalian mutu di Rumah Sakit itu sehingga seluruh milik Rumah Sakit,

prosedur, personil, sistem dan sarana serta prasarananya terjamin kualitas

mutunya sesuai dengan hasil evaluasi dan pengendalian mutu. Jika ternyata hal

ini tidak mencerminkan kegiatan penjaminan mutu, maka nilai dari akreditasi

akan tidak tinggi sehingga jelas sekali terlihat hubungan antara akreditasi dengan

penjaminan mutu Rumah Sakit tersebut

Dasar hukum menurut UU Rumah Sakit Pasal 40 Ayat (1) mengenai

Akreditasi mengatakan bahwa: “Rumah Sakit wajib melakukan akreditasi secara

berkala minimal 3 ( tiga ) Tahun sekali, hal ini mengungkapkan bahwa seluruh

Rumah Sakit di Indonesia harus melakukan akreditasi. Selanjutnya pada Pasal

36 dikatakan bahwa.“

Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit

dan tata kelola klinis yang baik : Untuk mengetahui sejauh mana baik atau

tidaknya tata klinis dan tata kelola yang dimaksudkan perlu ada standarisasi.

Penjelasan Pasal 36 UU Rumah Sakit mengatakan bahwa :

“Tatakelola Rumah Sakit yang baik adalah penerapan fungsi–fungsi


manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip–prinsip transparansi,
akuntabilitas, independensi dan renponsibilitas, kesetaraan dan
kewajaran. Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi
manajemen klinis meliputi kemampuan klinik, audit klinik, data klinis,
resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan,
mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan
akreditasi Rumah Sakit “

Oleh karena itu untuk dapat memberikan tata klinis yang sesuai dengan

UU Rumah Sakit perlu dilaksanakan akreditasi Rumah Sakit.

43
Perpustakaan Unika

Sedangkan menurut UU Kesehatan bahwa : “setiap orang mempunyai

hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan

terjangkau.“ Hal ini harus dipenuhi oleh Rumah Sakit yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan. Pada prinsipnya semua Rumah Sakit negri maupun

swasta harus terakreditasi, karena keterbatasan dari segi tenaga, dana di tingkat

pusat dan daerah serta kesiapan Rumah Sakit sendiri dalam memenuhi standar–

standar pelayanan yang ditentukan maka pelaksanaan penilaian akan dilakukan

secara bertahap. Survei untuk mendapatkan penilaian akreditasi dilakukan di

Rumah Sakit setelah kuesioner pra akreditasi dievaluasi oleh komisi gabungan

akreditasi Rumah Sakit sub komite akreditasi di tingkat Rumah Sakit dibentuk

berdasarkan surat keputusan direktur Rumah Sakit.

Di dalam UU Rumah Sakit pada Bab II Pasal 2 dikatakan

“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan

kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, menafaat, keadilan,

persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan

keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial“

E. PENYELENGGARAAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

1. Dasar Hukum dari Penyelenggaraan Akreditasi Rumah Sakit

Menurut UU Rumah Sakit Pasal 40 Ayat (1) mengenai Akreditasi

mengatakan bahwa: Rumah Sakit wajib melakukan akreditasi secara berkala

minimal 3 (tiga) Tahun sekali, hal ini mengungkapkan bahwa seluruh Rumah

Sakit di Indonesia harus melakukan akreditasi.

Selanjutnya pada Pasal 36 dikatakan bahwa “Setiap Rumah Sakit harus

menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis yang baik “

untuk mengetahui sejauh mana baik atau tidaknya tata klinis dan tata kelola yang

dimaksudkan, perlu ada standarisasi.

44
Perpustakaan Unika

Penjelasan Pasal 36 UU Rumah Sakit mengatakan bahwa :

“Tatakelola Rumah Sakit yang baik adalah penerapan fungsi–fungsi


manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip–prinsip transparansi,
akuntabilitas, independensi dan renponsibilitas, kesetaraan dan
kewajaran. Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi
manajemen klinis meliputi kemampuan klinik, audit klinik, data klinis,
resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan,
mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan
akreditasi Rumah Sakit “

Oleh karena itu untuk dapat memberikan tata klinis yang sesuai dengan

UU Rumah Sakit perlu dilaksanakan akreditasi Rumah Sakit.

Sedangkan menurut UU Kesehatan bahwa: “Setiap orang mempunyai

hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan

terjangkau.“ Hal ini harus dipenuhi oleh Rumah Sakit yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan. Pada prinsipnya semua Rumah Sakit negri maupun

swasta harus terakreditasi, karena keterbatasan dari segi tenaga, dana di tingkat

pusat dan daerah serta kesiapan Rumah Sakit sendiri dalam memenuhi standar–

standar pelayanan yang ditentukan maka pelaksanaan penilaian akan dilakukan

secara bertahap. Survei untuk mendapatkan penilaian akreditasi dilakukan di

Rumah Sakit setelah kuesioner pra akreditasi dievaluasi oleh komisi gabungan

akreditasi Rumah Sakit sub komite akreditasi di tingkat Rumah Sakit dibentuk

berdasarkan surat keputusan direktur Rumah Sakit.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

147/Menkes/PER/I/2010 tentang Perijinan Rumah Sakit pada Bab I ketentuan

Umum Pasal 1 Ayat ( 7 ) dikatakan “Ijin operasional Rumah Sakit adalah ijin yang

diberikan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan setelah memenuhi

persyaratan dan standar“ dan Ayat (9) dikatakan “akreditasi Rumah Sakit adalah

pengakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada manajemen Rumah Sakit

yang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan“. Disini dijelaskan bahwa ijin

diberikan setelah memenuhi persyaratan. Sedangkan akreditasi adalah

45
Perpustakaan Unika

pengakuan pemerintah kepada manajemen Rumah Sakit yang telah memenuhi

standar yang ditetapkan. Jadi bukti apakah Rumah Sakit itu sudah memenuhi

standar adalah akreditasi dan dengan akreditasi tersebut ijin Rumah Sakit

diberikan.

2. Asas-asas Hukum yang Melandasi Akreditasi Rumah Sakit

Di dalam UU Rumah Sakit pada Bab II Pasal 2 dikatakan

“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan

kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, menafaat, keadilan,

persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan

keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial “

Pada Pasal 3b dikatakan: “Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit

bertujuan: memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan Rumah Sakit dan sumber daya manusia di Rumah Sakit“ dan lebih

lanjut pada Pasal 3c dikatakan: ”Meningkatkan mutu dan mempertahankan

standar pelayanan Rumah Sakit … Memberikan kepastian hukum kepada

pasien, masyarakat, sumber daya manusia, dan Rumah Sakit”

Pada UU Kesehatan pada Bab II Pasal 2 dikatakan: “Pembangunan

kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,

keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan

kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.”

3. Hak dan Kewajiban pasien

a. Hak Pasien

Di sini hukum melindungi baik kepentingan dokter maupun

kepentingan pasien. Dalam hal ini bukan berarti kepentingan yang

satu lebih dilindungi dari kepentingan yang lain. Hubungan hukum

yang dilahirkan dari hubungan dokter-pasien dalam upaya

kesehatan telah melahirkan aspek hukum baik di bidang hukum

46
Perpustakaan Unika

administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum pidana. Dalam

bidang hukum perdata, yang hingga kini masih tetap berlaku adalah

ketentuan umum hukum perdata tertulis yang berasal dari zaman

Belanda.36

Di negara berkembang seperti Indonesia ini banyak pasien

yang tidak atau belum mengerti tentang hak-haknya terkait dengan

hubungan dokter-pasien. Hak-hak pasien akan dijelaskan satu

persatu dengan disertai contoh-contoh kejadian yang biasa dan

sering terjadi dalam hubungan dokter-pasien. Apabila hak-hak

pasien ini dipahami betul oleh dokter maupun pasien maka kejadian

salah pengertian yang akhirnya berbuntut dengan tuntutan maupun

gugatan pasien pada dokter dan gugatan balik dari dokter ke pasien

akan dapat dihindari.

1) Hak Pasien menurut UU PK No.29/2004 tentang praktek

kedokteran. Menurut UU PK No. 29 / 2004, Pasal 52 dikatakan:

ada lima hak-hak pasien yang disebutkan. Namun demikian

tidak berarti hanya lima hak ini yang dimiliki oleh pasien, karena

masih banyak hak pasien yang dapat menjadi kewajiban bagi

dokter atau Rumah Sakit yang tidak dibahas di dalam Undang-

Undang ini tetapi seharusnya juga dapat diberikan kepada

pasien.

2) Hak Mendapatkan Penjelasan Secara Lengkap Tentang

Tindakan Medis. Hak ini oleh Ameln37 dan Wila Chandrawila38

disebut juga sebagai hak atas informasi. Hak atas informasi

36
Hermien Hadiati Koeswadji.Hukum Kedokteran. Citra Aditya Bakti, Jakarta,1998,
cet. 1.
37
Alfred A Ameln. Kapita Selekta Kedokteran. Grafikatama Jaya, Jakarta, 1991, hlm.
40-41.
38
Wila Chandrawila S. Loc.cit (1), hlm. 15.

47
Perpustakaan Unika

adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi atau

penjelasan yang lengkap dari dokternya tentang hal-hal yang

berhubungan dengan kesehatannya.

Dalam hal ini pasien berhak mengetahui penyakit apa yang

sedang dideritanya, apa penyebab penyakitnya, dapatkah

disembuhkan, dengan cara apa penyakitnya disembuhkan,

apakah harus dilakukan tindakan pembedahan atau ada

alternatif lain, apa risiko yang melekat dan risiko lain yang

mungkin timbul sebagai akibatnya bila dilakukan pembedahan,

berapa lama harus dirawat setelah dilakukan tindakan

pembedahan, apakah memerlukan ruang perawatan intensif

(Intensive Care Unit), apa risiko bila menolak dilakukan

tindakan pembedahan, berapa perkiraan biaya

pembedahannya, apakah masih memerlukan tindakan

kedokteran yang lain seperti radioterapi dan khemoterapi, dan

apa efek samping serta perkiraan terburuk dari pemberian obat-

obatan, serta lain-lain informasi yang di perlukan, sehingga

pasien diharapkan dapat bekerja sama dalam upaya

penyembuhan penyakitnya.

Dokter dalam hal ini, diminta maupun tidak diminta wajib

memberikan penjelasan kepada pasien karena dalam

hubungan pasien-dokter, hak pasien menjadi kewajiban bagi

dokter. Penting untuk diketahui disini adalah bahwa yang harus

memberikan informasi itu adalah dokter yang akan melakukan

tindakan kedokteran itu sendiri. Informasi harus diberikan dalam

bahasa yang sederhana yang dapat dimengerti oleh pasiennya,

sehingga ia dapat mempunyai gambaran jelas untuk

48
Perpustakaan Unika

mengambil keputusannya. Apabila pasien atau keluarganya

masih ragu dengan informasi dari dokternya, menurut Undang-

Undang pasien mempunyai hak untuk meminta pendapat

dokter lain yang disebut hak atas pendapat kedua (second

opinion).

3) Hak Meminta Pendapat Dokter Lain. Hak meminta pendapat

dokter lain adalah hak setiap pasien, hal ini diatur dalam UU PK

29 / 2004 Pasal 52 butir b dan Permenkes 1419/2005. Apabila

seorang pasien meragukan pendapat dokternya, maka pasien

berhak untuk meminta pendapat dokter lain.

Permintaan pendapat kedua ini secara etika kedokteran

sebaiknya dilakukan melalui dokter yang pertama. Dokter

pertamalah yang membuat surat kepada dokter yang diinginkan

oleh pasien dengan dilampiri hasil-hasil pemeriksaan yang

telah dilakukan oleh dokter pertama. Kemudian dokter kedua

menjawab melalui surat atau secara langsung kepada dokter

pertama dan dokter pertamalah yang menjelaskan hasilnya

kepada pasien. Hal ini bila dilakukan dengan baik tanpa ada

perasaan tersinggung dari dokter pertama dan tidak ada

kecurigaan diantara keduanya maka hubungan baik antara

dokter pasien tetap terjaga.

Dalam penjelasan UU PK No. 29 / 2004 Pasal 52

disebutkan cukup jelas, sehingga diharapkan seluruh

masyarakat Indonesia sudah mengerti betul dengan isi Pasal

ini. Dan apabila pasien setelah memperoleh pendapat kedua

kemudian merasa keberatan dengan rencana tindakan

kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya, maka pasien

49
Perpustakaan Unika

mempunyai hak untuk menolak tindakan kedokteran tersebut,

yang dalam Undang-Undang dikenal dengan hak menolak

tindakan medis.

4) Hak Menolak Tindakan Medis. Hak ini tercantum dalam Pasal

52 butir d dari UU PK No. 29 / 2004 yang dalam penjelasannya

disebutkan cukup jelas. Adalah hak pasien untuk menolak

tindakan medis tertentu terhadapnya. Sebenarnya menolak

tindakan medis ini berarti menolak segala bentuk tindakan yang

berkaitan dengan upaya diagnostik dan terapeutik. Tetapi

secara umum kita juga dapat mengartikan dengan menolak

tindakan pembedahan. Selain itu berdasarkan dengan KUH

Pidana Pasal 351, tentang penganiayaan maka seorang dokter

yang melakukan operasi tanpa ijin pasien–kecuali di dalam

keadaan emergency untuk menolong jiwa atau anggota tubuh

pasien dapat dipersalahkan telah melakukan penganiayaan.

Hal ini disebabkan karena suatu tindakan pembedahan sudah

memenuhi rumusan KUH Pidana Pasal 351 yang mengatur

tentang penganiayaan.

Seorang dokter ahli anestesi yang melakukan pembiusan

secara “strict yuridisch” dapat dianggap melanggar KUH Pidana

Pasal 89, karena memenuhi perumusan Pasal tersebut. Suatu

tindakan yang dilakukan itu membuat seseorang didalam

keadaan tidak sadar disamakan dengan melakukan

kekerasan39. Dengan demikian maka ijin untuk boleh

melakukan tindakan medis (pembiusan, operasi, tindakan

39
Guwandi J. Informed Consent, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2004, hlm. 16.

50
Perpustakaan Unika

invasif lainnya), sejak dahulu sebenarnya juga sudah

diperlukan.

5) Hak Mendapatkan Pelayanan Sesuai Dengan Kebutuhan

Medis. Batasan kebutuhan medis pasien tentu sulit ditentukan.

Apa saja yang termasuk dalam kebutuhan medis pasien

tersebut?. Apakah makan dan minum termasuk kebutuhan

pasien? Dalam penjelasan UU PK No. 29/2004, Pasal 52

tentang Hak Pasien ditulis ”cukup jelas”. Pelayanan sesuai

dengan kebutuhan medis tentu segala macam pelayanan yang

berkaitan dengan upaya penyembuhan penyakit pasien, seperti

keramah tamahan dokter dan petugas kesehatan lainnya,

makan minum yang bergizi, kebersihan ruang perawatan, cepat

tanggap dengan keluhan pasien dan lain-lain apakah dapat

dimasukkan dalam kebutuhan medis seorang pasien?

Menyikapi pemberlakuan UU PK No. 29/2004 kita ambil

dua macam hak pelayanan yang sesuai kebutuhan medis

pasien tetapi menjadi sulit dipenuhi oleh penyelenggara

pelayanan kesehatan di Indonesia, terutama di kota-kota kecil

dan bagi masyarakat ekonomi lemah. Dimana jumlah dan jenis

dokter spesialis yang ada masih sedikit, yaitu hak memilih

dokter dan hak memilih sarana kesehatan.

6) Hak Memilih Dokter. Pada umumnya di negara berkembang

khususnya di Indonesia, sejak dahulu sampai saat ini, pasien

yang berobat ke Rumah Sakit khususnya Rumah Sakit umum

pemerintah, bahkan setelah pasien itu menjalani tindakan

kedokteran berupa pembedahan. Banyak yang tidak tahu siapa

nama dokter yang melakukan tindakan pembedahan terhadap

51
Perpustakaan Unika

dirinya. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia,

karena jangankan memilih dokter, nama dokternya saja, pasien

banyak tidak tahu sehingga pasien pun tidak tahu siapa dokter

yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap penyembuhan

penyakitnya.

Misalnya di suatu Rumah Sakit pendidikan, pasien akan

diperiksa berkali-kali mulai dari co-asisten, dokter residen,

dokter spesialis konsultan dan mungkin juga dokter spesialis

konsultan dari bagian yang lain. Bagi pasien yang orang awam

maka semua orang yang memeriksanya tadi adalah ”dokter”,

karena mereka semua berpakaian dokter. Dengan

diberlakukannya UU PK No.29 Tahun 2004 dan Permenkes No.

1419 Tahun 2005 yang membatasi seorang dokter hanya boleh

melakukan praktik di tiga tempat, hal ini juga dapat

menyebabkan dilanggarnya hak pasien untuk memilih dokter.

7) Hak Memilih Sarana Kesehatan. Setiap pasien seharusnya

memiliki hak untuk memilih sarana kesehatan yang diinginkan,

apalagi pasien tersebut mampu untuk membayarnya. Disini

pasien mempunyai hak untuk dirawat di Rumah Sakit mana dan

di kelas perawatan yang mana, dan ini berarti juga pasien

memiliki hak untuk menolak sarana kesehatan yang tidak

diinginkan.

Dokter, dalam hal ini wajib menjelaskan keadaan kedua

Rumah Sakit, apa kekurangan dan kelebihan masing-masing

Rumah Sakit, kemudian pasien dibebaskan memilih Rumah

Sakit mana yang di kehendaki, meskipun tak jarang pula pasien

memilih Rumah Sakit swasta yang meskipun mahal, mereka

52
Perpustakaan Unika

anggap wajar karena pelayanannya yang lebih baik kepada

pasien, namun mereka sanggup membayarnya. Dalam hal ini

yang penting adalah informasi yang jelas dan jujur dari

dokternya, sehingga pasien memiliki hak untuk memilih sarana

kesehatan yang diinginkan. Sehingga apabila dikemudian hari

terjadi sesuatu, pasien tidak merasa menyesal dan tidak

merasa dibohongi oleh dokternya.

8) Hak Mendapatkan Isi Rekam Medis. Hak ini termuat dalam butir

e Pasal 52 UU PK No. 29 / 2004 tentang Hak Pasien. Pada

Pasal 47 Ayat (1) disebutkan bahwa :

“Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 46 UU PK No. 29/2004, merupakan milik dokter, atau
sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien dan harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan”.

Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “rekam medis” adalah berkas yang berisikan catatan

dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,

pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan

kepada pasien. Sementara tentang isi rekam medis, dikatakan

bahwa itu milik pasien, dan dalam penjelasan disebutkan cukup

jelas.

9) Hak Pasien menurut Permenkes No.585/1989 tentang

Persetujuan tindakan medis. Disamping hak-hak pasien yang

tetulis pada Pasal 52 UU PK No.29/2004 masih ada hak-hak

pasien lainnya yang tidak termuat didalam Pasal ini. Hak-hak

tersebut adalah hak memberikan persetujuan, hak atas rahasia

53
Perpustakaan Unika

kedokteran, hak menolak pengobatan atau perawatan, hak

untuk menghentikan pengobatan atau perawatan.

a) Hak Memberikan Persetujuan

Dihubungkan dengan tindakan kedokteran, maka hak

memberikan persetujuan merupakan bagian dari hak

menentukan diri sendiri (the right to self determination) yang

terproses sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia.

Sehingga hak menentukan diri sendiri diformulasikan

dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar

informasi (informed consent). Adalah hak pasien untuk

memberikan atau menolak tindakan kedokteran yang akan

dilakukan terhadap dirinya. Di dalam hubungan profesional,

maka terdapat suatu keadaan kedudukan yang tidak sama

atau tidak seimbang.

b) Hak Atas Rahasia Kedokteran

Suatu ”rahasia” baru ada apabila ada dua pihak atau lebih

yang terkait didalamnya. Pada umumnya suatu rahasia awal

mulanya hanya diketahui oleh satu orang, misalnya A.

Kemudian A menceritakan rahasianya kepada B dengan

pesan wanti-wanti agar rahasia itu jangan diceritakan

kepada orang atau pihak lain. Dan B berjanji untuk

mentaatinya, sehingga ia wajib menyimpan rahasia A

tersebut. Apabila nantinya B menceritakan rahasia A kepada

C, maka ini berarti B telah ingkar janji. B telah melanggar

kesepakatan yang diberikan, B telah membocorkan rahasia

kepada orang lain yaitu C.

54
Perpustakaan Unika

Istilah ”rahasia kedokteran” adalah rahasia di bidang

kedokteran (dibidang medis), bukan rahasia dokternya.

Istilah ”kedokteran” adalah kata sifat, bukan kata pemilikan.

Berdasarkan gramatika dan menurut hukum M.D: yang

menerangkan (M = Rahasia) diletakkan didepan dari kata

yang diterangkan (D = Kedokteran). Hal ini berlainan

dengan misalnya bahasa inggris ”medical secrecy”, dimana

kata sifat (medical) ditaruh di depan kata bendanya

(secrecy). Atau bahasa belanda: ”medisch

beroepsgeheim”.40

Pemikiran ini berdasarkan Sumpah Hipokrates (469-399SM)

versi World Medical Association yang berbunyi: ”Saya akan

menghargai rahasia-rahasia yang dipercayakan kepada

saya, bahkan sampai sesudah pasien meninggal” (I will

respect the secrets which are confided in me, even after the

patient has died).

c) Hak Menolak Pengobatan atau Perawatan

Meskipun hak ini masih belum banyak diketahui masyarakat

umum, namun dalam praktik sehari-hari sebenarnya hal ini

sudah banyak dilakukan oleh pasien atau keluarganya. Hal

ini lebih dikenal dengan istilah pulang paksa. Sebagai

contoh, pasien yang berobat ke Rumah Sakit, setelah

diperiksa oleh dokter tidak jarang yang karena penyakitnya

dianjurkan untuk langsung dirawat inap di Rumah Sakit agar

pasien mendapat pengobatan dan perawatan yang teratur,

namun dengan berbagai alasan banyak pasien atau

40
Guwandi, J. Rahasia Medis. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 2005, hlm.11.

55
Perpustakaan Unika

keluarganya menolak dan sedapat mungkin meminta rawat

jalan saja.

d) Hak Untuk Menghentikan Pengobatan atau Perawatan.

Pada prinsipnya hal ini sama dengan uraian pada butir 3.

Pasien yang sedang menjalani pengobatan atau perawatan

apabila merasa tidak ada kemajuan dalam kesembuhan

penyakitnya berhak meminta untuk menghentikan

pengobatan atau perawatan terhadap dirinya. Pasien boleh

saja bila ingin pindah ke Rumah Sakit lain atau mungkin juga

pulang ke rumah karena merasa sudah tidak ada harapan

sembuh.

Sebagai contoh pasien yang sudah berumur lima puluhan

menderita sakit yang mengharuskan dirinya menjalani cuci

darah. Setelah berbulan-bulan menjalani cuci darah merasa

kondisinya tidak juga menjadi lebih baik, sementara biaya

sekali cuci darah mencapai lima jutaan rupiah padahal dia

harus menjalaninya tiga kali seminggu, berarti sebulan harus

mengeluarkan enam puluh juta. Sudah tentu pasien akan

berhitung berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan

dalam satu Tahun, sepuluh Tahun dan seterusnya, padahal

pasien adalah orang yang tingkat ekonominya biasa saja

dan mempunyai empat orang anak yang semuanya belum

bekerja.

Hak – hak pasien menurut UU Kesehatan pada Bab III Pasal

4 adalah : “Setiap orang berhak atas kesehatan“

Pada Pasal 5 dikatakan :

56
Perpustakaan Unika

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh


akses atas sumber daya di bidang kesehatan
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
bagi dirinya

Pada Pasal 6 dikatakan : “Setiap orang berhak mendapatkan

lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.”

Pada Pasal 7 dikatakan: “Setiap orang berhak untuk

mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang

seimbang dan bertanggungjawab.”

Pada Pasal 8 dikatakan: “Setiap orang berhak memperoleh

informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan

dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari

tenaga kesehatan.”

Sedangkan di dalam UU RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit pada bagian keempat Pasal 32 dikatakan bahwa :

… “ Setiap pasien mempunyai hak :

5) Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan


peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
6) Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban
pasien;
7) Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan
tanpa diskriminasi;
8) Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional;
9) Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan meteri;
10) Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang
didapatkan;
11) Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah
Sakit;
12) Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya
kepada dokter lain yang mempunyai Surat Ijin Praktik
(SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
13) Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang
diderita termasuk data–data medisnya;

57
Perpustakaan Unika

14) Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan


tatacara tindakan medis, tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan,risiko, dan komplikasi yang mungkin
terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan;
15) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan
yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap
penyakit yang dideritanya;
16) Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
17) Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan
yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien
lainnya;
18) Memperoleh keamanan dan akeselamatan dirinya
selama dalam perawatan di Rumah Sakit;
19) Mengajukan usul, saran , perbaikan atas perlakuan
Rumah Sakit terhadap dirinya;
20) Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
21) Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila
Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun
pidana; dan
22) Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan melalui media cetak dan
elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan .“

b. Kewajiban Pasien, Tenaga Medis dan Rumah Sakit

Kewajiban pasien pada UU Rumah Sakit pada Pasal 31 Ayat

(1) disebutkan “ Setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap

Rumah Sakit atas pelayanan yang diterimanya.“

Hal ini tertuang dalam bentuk :

1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

2) Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

3) Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana kesehatan;

4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang telah

diterimanya

58
Perpustakaan Unika

Sedangkan kewajiban tenaga medis meliputi :Memberikan

pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional, serta kebutuhan medis pasien

1) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian dan kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu

melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

2) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu telah meninggal dunia;

3) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

kecuali bila ia yakin ada orang yang bertugas dan mampu

melakukannya;

4) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan

ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Kewajiban Rumah Sakit tertuang dalam UU Rumah Sakit pada

Bab VIII Pasal 29 Ayat (1) dikatakan bahwa :

“Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban :

1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah


Sakit kepada masyarakat;
2) Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti
diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan
pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
3) Memberikan pelayana gawat daruruat kepada pasien sesuai
dengan kemampuan pelayanannya;
4) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
5) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak
mampu atau miskin;
6) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan
fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/ miskin, pelayanan
gawat daruruat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan
korban bencana alam dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial
bagi misi kemanusiaan;
7) Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam
melayani pasien;
8) Menyelenggarakan rekam medis;

59
Perpustakaan Unika

9) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara


lain : sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang
cacat, wanita menyusui, anak – anak , lanjut usia;
10) Melaksanakan sistem rujukan;
11) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar
profesi dan etika serta peraturan perundang – undangan;
12) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
hak dan kewajiban pasien;
13) Menghormati dan melindungi hak hak pasien;
14) Melaksanakan etika Rumah Sakit;
15) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan
bencana;
16) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik
secara regional maupun nasional;
17) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek
kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
18) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit
( hospital by laws);
19) Melindungi dan memberikan bentuan hukum bagi semua
petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas dan;
20) Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai
kawasan tanpa rokok. “

5. Persyaratan dan Tata Cara Akreditasi Rumah Sakit

a. Menurut UU Rumah Sakit Pasal 40 dikatakan :

(1) Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib


dilakukan akreditasi berkala minimal 3 ( tiga ) Tahun sekali;
(2) Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilakukan oleh lembaga independen baik dari dalam maupun dari
luar negri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku;
(3) Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)
ditetapkan oleh menteri;
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan
peraturan menteri.

b. Adapun tata cara akreditasi meliputi :

1) Membentuk subkomite akreditasi di tingkat Rumah Sakit;

2) Mengikuti pelatihan-pelatihan tentang akreditasi yang diadakan

baik oleh wilayah maupun pusat;

3) Diseminasi informasi mengenai akreditasi kepada seluruh staf di

Rumah Sakit;

4) Menyiapkan atau memenuhi standar.

60
Perpustakaan Unika

6. Proses atau Mekanisme Penyelenggaraan Akreditasi Rumah Sakit.

Proses dan mekanisme akreditasi meliputi :

a. Penjadwalan Rumah Sakit yang akan diakreditasi

Pada prinsipnya, semua Rumah Sakit akan dilakukan akreditasi,

namun pelaksanaannya akan dilakukan bertahap dengan melihat

kesiapan dan kemampuan Rumah Sakit dalam pemenuhan standar.

Rumah Sakit dapat diakreditasi berdasarkan permohonan dari

Rumah Sakitnya sendiri, usulan dari kantor wilayah atau dijadualkan

dari pusat.

b. Pentahapan kegiatan pelayanan yang akan diakreditasi.

Oleh karena kompleksnya standar pelayanan Rumah Sakit, maka

kegiatan pelayanan yang diakreditasi akan bertahap. Pada tahap

awal, yang diakreditasi adalah pelayanan dasar (dan beberapa

pelayanan penunjang/ pelengkap jika RS sudah siap).

c. Proses/prosedur pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit.

1) Setelah komisi gabungan menerima surat permohonan akreditasi

dari Rumah Sakit yang telah siap untuk diakreditasi, komisi akan

mengirimkan instrumen/kuesioner pra survei yang harus diisi dan

dilengkapi oleh Rumah Sakit. Pada saat awal akan dinilai

terutama 5 kegiatan pelayanan pokok (ditambah 7 kegiatan lain

yang dianggap esensial);

2) Kuesioner dari setiap kegiatan pelayanan tersebut terdiri dari

berbagai kriteria penilaian yang dikelompokkan ke dalam 7

standar;

3) Komisi gabungan akreditasi akan menganalisis hasil self

assesment ini;

61
Perpustakaan Unika

4) Komisi gabungan akreditasi akan menjadualkan kemudian

melakukan survei ke lapangan dengan menunjuk satu team

survei (surveiyor) yang terdiri dari tenaga profesional terlatih di

bidang medis klinis, keperawatan dan administrasi. Tim dari

pusat ini perlu didampingi oleh penanggungjawab di tingkat

wilayah agar proses pembinaan dapat dilaksanakan secara

terarah dan berkesinambungan;

5) Tim survey memeriksa rekaman, dokumen, peralatan dan

prosees pelayanan. Selain itu dilakukan juga wawancara dengan

manajer, staf dan pasien. Lamanya survey tergantung dari

besarnya Rumah Sakit. Untuk mendapatkan kekesimpulan

sementara dari survei, tim mengadakan diskusi dengan para

pejabat di Rumah Sakit setelah selesai penilaian;

6) Surveyor menganalisis, menyusun laporan penilaian dan

membuat rekomendasi untuk perbaikan lebih lanjut;

7) Laporan surveyor bersama-sama dengan usulan untuk status

akreditasi disampaikan kepada komisi gabungan akreditasi.

Komisi mengadakan rapat untuk membahas hasil penilaian

tersebut dan menetapkan keputusan akreditasi Rumah Sakit

yang bersangkutan untuk dibuatkan surat keputusan dan

sertifikatnya yang ditandatangani oleh menteri kesehatan RI atau

pejabat yang ditunjuk.

Penilaian dilakukan dengan memberikan score (nilai angka) atas

pencapaian terhadap standar yang telah ditentukan. Hasil akreditasi Rumah

Sakit ditetapkan dalam bentuk penetapan akreditasi atau predikat akreditasi

62
Perpustakaan Unika

dengan peringkat sebagai berikut: (1) Tidak terakreditasi, (2) Terakreditasi

bersyarat, (3) Terakreditasi penuh, dan (4) Terakreditasi istimewa.41

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akreditasi dilaksanakan melalui

proses dan mekanisme mulai dari penjadwalan, pentahapan kegiatan pelayanan,

prosedur pelaksanaan, yang seluruhnya dilaksanakan secara terintegrasi oleh

Tim Gabungan Akreditasi guna mendapatkan angka/score atas pencapaian

terhadap standar yang telah ditentukan tersebut.

7. Lembaga Independen

Lembaga independen seperti yang tertuang di dalam UU Rumah Sakit

Pasal 40 Ayat (2) adalah yang tertuang pada Ayat (3) yaitu: lembaga yang

ditetapkan oleh Menteri, selama ini yang masih berlaku adalah KARS karena

sejak diundangkannya UU Rumah Sakit belum ada surat Ketetapan Menteri

Kesehatan yang menetapkan lembaga manakah yang berhak melaksanakan

penilaian akreditasi Rumah Sakit, namun masih berlaku lembaga KARS

berdasarkan Kepmenkes Nomor 1165 A Tahun 2004 tentang Komisi Akreditasi

Rumah Sakit (KARS), sedangkan pedoman penyusunan standar pelayanan

minimal Rumah Sakit yang wajib dilaksanakan daerah (terutama untuk indikator

kinerja : Rumah Sakit terakreditasi untuk lima pelayanan dasar) tertuang pada

Kepmenkes Nomor 228 Tahun 2002.

41
Endang Wahyati Yustina, Ringkasan Disertasi Akreditasi Rumah Sakit sebagai
Unsur Pengawasan dan Asas Pelayanan Kesehatan Yang Optimal, Bandung,
2010, hlm..23

63
Perpustakaan Unika

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

A. PENGANTAR

Pasien adalah konsumen yang berhak mendapatkan pelayanan

kesehatan yang diharapkan memberikan kepuasan dan kenyamanan selama dia

berada pada lingkungan institusi yang menyatakan dirinya berkewajiban

memberikan pelayanan kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik

secara medis, maupun secara yuridis. Karena itu perlu sebuah perlindungan

hukum bagi konsumen Rumah Sakit dalam hal ini disebut sebagai pasien.

Agar lebih jelasnya, setelah uraian singkat dalam subbab pengantar ini,

maka akan diuraikan lebih lanjut mengenai perlindungan hukum kepada pasien

yang berisi uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan hak atas derajat

kesehatan yang optimal, dimana didalamnya dibahas mengenai hak asasi

manusia, kesehatan dan hak atas derajat kesehatan yang optimal. Unsur-unsur

kewajiban rumah sakit, kaedah hukum dan ketertiban serta tujuan dan fungsi

hukum yang berlaku terhadap perlindungan bagi pasien.

Selanjutnya pada subBab berikutnya akan dibahas mengenai asas

hukum yang meliputi hakekat, karakteristik, peranan dan penggolongan asas

hukum. Dimana subBab berikutnya membahas mengenai hal-hal yang lebih

terfokus kepada asas perlindungan hukum pasien yaitu: pengertian, hakekat,

karakteristik serta unsur–unsur perlindungan hukum pasien. Uraian dalam Bab ini

akan diakhiri dengan subBab penutup sebagai kesimpulan dari apa yang telah

diuraikan dalam subBab sebelumnya.

64
Perpustakaan Unika

B. PENGERTIAN PERLINDUNGAN HUKUM

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Berdasarkan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, bahwa berdirinya

Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan melindungi dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

Perikemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang

berkeadilan sosial. Maka terselenggaranya perlindungan hukum untuk

tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan kewajiban

negara.

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara

kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum

yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.42 Hal ini selaras

dengan penyataan Koerniatmanto Soetoprawiro bahwa perlindungan hukum

adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan jaminan dan

kemudahan yang sedemikian rupa sehingga setiap warga negara ataupun

segenap warganegara dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka

secara optimal dengan tenang dan tertib.43

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat dirumuskan

unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian Perlindungan Hukum, yaitu :

Suatu jaminan yang diberikan oleh negara; Kepada semua pihak; Untuk dapat

melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum; sebagai subyek hukum. Untuk

42
Junita Eko Setiyowati, Perlindungan Hukum Peserta Bagi Hasil di Suatu
Perusahaan, Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNPAR, Bandung,
2003, hlm. 13.
43
Handy Sobandi, Perlindungan Hukum bagi Kreditor, Debitor dan Pihak Ketiga
Menurut UUHT (tidak dipublikasikan) dalam Materi Kuliah Mata Kuliah Hukum
Jaminan, Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum UNPAR,
Bandung, Semester Ganjil Tahun Akademik 2004 / 2005, hlm. 3.

65
Perpustakaan Unika

lebih jelasnya unsur-unsur yang dimaksud tersebut secara singkat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Suatu jaminan yang diberikan oleh negara;

Jaminan tersebut diberikan oleh negara dalam bentuk produk hukum,

yaitu Peraturan Perundang-undangan, putusan hakim dan bentuk

produk hukum lainnya. Peraturan Perundang-undangan ini perlu

ditegakkan dengan adanya lembaga independen yang disahkan oleh

Menteri Kesehatan sesuai dengan yang tertuang di dalam UU Rumah

Sakit Pasal 40 Ayat (2) dan (3). Karena sejak diundangkannya UU

Rumah Sakit lembaga independen yang dimaksud belum mendapat

pengesahan oleh Menteri Kesehatan, sehingga yang masih

diberlakukan adalah lembaga independen yang disahkan oleh

Menteri kesehatan sebelum diberlakunya UU Rumah Sakit yang

dimaksud yaitu KARS.

b. Kepada semua pihak;

Semua pihak yang dimaksud disini adalah anggota masyarakat yang

berada dalam wilayah hukum dari produk hukum dimaksud.

c. Untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang


dimilikinya;

Yang dimaksud dengan hak adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang dan peraturan

lain44. Pengertian kekuasaan disini diartikan sebagai kewenangan

(bevoegd) untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan yang

dimaksud dengan Kepentingan Hukum adalah keperluan atau

kebutuhan dari Subyek Hukum (pemegang atau pengemban Hak dan

44
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 154.

66
Perpustakaan Unika

Kewajiban) yang diatur oleh hukum (hukum disini diartikan sebagai

Peraturan Perundang-undangan ).45

d. Dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum;

Subyek hukum adalah pemegang atau pengemban dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum yang terdiri dari Manusia

dan Badan Hukum dalam kapasitasnya (daya Tampung) sebagai

Manusia (perseorangan atau lebih) dan Badan Hukum dalam

mengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

2. Pengertian Perlindungan Hukum bagi pasien

Telah dijelaskan di atas tentang apa yang dimaksud dengan perlindungan

hukum, yaitu suatu upaya dari pihak yang berwenang untuk memberikan

jaminan dan kemudahan sedemikian rupa sehingga setiap warganegara

dapat mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan

tenang dan tertib. Permasalahannya, bagaimana implementasi perlindungan

hukum tersebut dalam upaya kesehatan?. Sehubungan dengan permasalahan ini

berikut disajikan uraian implemantasi perlindungan hukum dalam upaya

kesehatan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

berimplikasi pada perubahan dalam pola-pola hubungan (interaksi sosial) antar

anggota masyarakat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merubah

ranah dan tatanan kehidupan serta pola interaksi sosial dalam berbagai sendi

kehidupan masyarakat. Hal inipun dirasakan dalam pola hubungan antar

manusia dalam upaya kesehatan. Konsekuensi dari fenomena ini berimplikasi

pada perubahan tatanan pengaturan interaksi sosial di bidang kesehatan;

Sehingga secara bersamaan para pelaku kesehatan, menghadapi masalah

45
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 851.

67
Perpustakaan Unika

perubahan hukum yang timbul dari kegiatan, perilaku, sikap dan kemampuan

menjalankan profesinya.

Sebagai ilustrasi, hubungan antara dokter dan pasien yang tadinya cukup

diatur dengan kaidah-kaidah moral, yaitu melalui etika profesi atau kode etik,

maka dengan perkembangan yang terjadi, mulai dirasakan perlunya pengaturan

dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara normatif. Bersamaan dengan

perkembangan itu, muncul tuntutan yang semakin mengemuka agar hukum

memainkan perannya guna melindungi pasien dari tindakan-tindakan malpraktek.

Sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan mempertahankan hak

dan pelindungan hukum.46

Perlindungan hukum dalam upaya kesehatan tidak semata-mata untuk

keperluan pasien, namun ditujukan untuk semua pelaku dalam upaya kesehatan.

Pembentukan Undang-Undang didorong oleh baebagai pihak dengan berbagai

motif, antara lain adanya kebutuhan pasien akan perlindungan hukum, adanya

kebutuhan tenaga kesehatan akan perlindungan hukum, adanya kebutuhan

pihak ketiga akan perlindungan hukum dan adanya kebutuhan akan

perlindungan bagi kepentingan umum.47 Maka untuk memenuhi perlindungan

hukum dalam bidang kesehatan disusun berbagai Perundang-undangan yang

dikenal sebagai hukum kesehatan. UU Kesehatan adalah produk hukum yang

mengatur masalah kesehatan yang berlaku sekarang ini di Indonesia. Sebelum

UU Kesehatan tersebut, kita telah mengenal produk hukum yang mendahuluinya.

Namun kerena perkembangan dan tuntutan zaman, perUndang-Undangn yang

dibuat terdahulu menjadi kurang akomodatif terhadap situasi dan kondisi yang

telah berubah.

46
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka
Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 38.
47
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan (Rambu-rambu bagi Profesi Dokter), Badan
Penerbit Undip, Semarang, 2005, hlm. 1.

68
Perpustakaan Unika

C. TUJUAN HUKUM BAGI MANUSIA

Manusia senantiasa berlomba-lomba untuk mencapai kesejahteraannya,

dengan mengerahkan segenap potensi kemanusiaannya, untuk mendukung

daya dan upaya serta cara yang dilakukannya. Kesejahteraan adalah ”relatif”

masing-masing kelompok manusia bahkan individu manusia memiliki kriteria

kesejahteraan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi tentang kesejahteraan hidup,

dipengaruhi oleh idiologi, agama dan kepercayaan yang dianut serta faktor

lingkungan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Terlepas dari

adanya perbedaan persepsi tentang kesejahteraan tersebut, ada kecenderungan

umum bahwa yang dimaksud kesejahteraan tersebut secara lahiriah

mengandung elemen kemampuan ekonomis, tingkat pendidikan dan derajat

kesehatan. Disamping elemen kesejahteraan lahiriah tersebut terdapat

kesejahteraan batiniah, meliputi aspek-aspek imateril yang kadang-kadang

capaiannya sulit terukur.

Sebagai makhluk sosial, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan

kelompok atau dirinya manusia yang satu akan berhubungan dengan manusia

yang lainnya. Manusia akan berhubungan dengan kelompoknya; bahkan

kelompok manusia yang satu akan berhubungan dengan kelompok manusia

yang lainnya. Hubungan antara manusia baik individu maupun kelompok dalam

istilah sosiologi disebut interaksi sosial. Hal tersebut selaras dengan konsepsi

sosiologi yang menyatakan bahwa interaksi sosial terjadi antara individu dengan

individu, contoh antara pegawai dengan pegawai; individu dengan kelompok,

contoh pegawai dengan perusahaan tempat bekerjanya; kelompok dengan

individu, contoh pemerintahan dengan warganya; dan interaksi antara kelompok

dengan kelompok, contoh antara satu organisasi masa dengan organisasi masa

yang liannya, interaksu suatu negara dengan negara lainnya .

69
Perpustakaan Unika

Dalam berinteraksi sosial tidak ada satu pihakpun yang mau dijadikan

obyek atau diperalat oleh pihak lainnya, tidak ada satu kelompok pun mau

dijadikan obyek oleh kelompok yang lainnya. Sementara dalam kenyataannya

lebih banyak memiliki kecenderungan yang sebaliknya. Sering kali salah satu

pihak menjadikan obyek pihak yang lainnya; Satu pihak memanfaatkan pihak

yang lain hanya untuk kepentingan diri atau kelompoknya tanpa menghiraukan

hak atau kepentingan pihak yang lainnya. Kecenderungan yang lainnya, dalam

interaksi sosial, setiap individu atau kelompok lebih mengutamakan hak daripada

kewajibannya. Dengan demikian dalam interaksi sosial diperlukan pengaturan

untuk memenuhi hak seseorang tanpa mengurangi hak yang lainnya. Atau

pengaturan untuk memenuhi hak kelompok yang satu tanpa mengurangi hak

kelompok yang lainnya. Maka untuk mewujudkan bersamaan dalam keragaman

interaksi sosial tersebut timbul pengertian hukum.

Dalam berinteraksi sosial perlu keteraturan dan ketertiban masyarakat.

Hal ini dapat tercipta melalui internalisasi tata nilai atau norma agar menjadi

pedoman dalam sistem sosial budaya masyarakat dimaksud. Sebagai contoh kita

kenal norma susila, norma adat, norma agama. Tata nilai yang terkandung dalam

norma-norma tersebut dapat menjadi pedoman dan dapat mengarahkan

terwujudnya keteraturan masyarakat. Namun demikian dalam kenyataannya

norma susila, norma adat dan norma agama belum cukup menjadi jaminan

terciptanya keteraturan dalam kehidupan masuarakat. Untuk mewujudkan

ketertiban dan keteraturan diperlukan sejumlah penataan yang mengarahkan

perilaku, serta kepatuhannya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada

kemauan setiap individu atau kelompok manusia. Peraturan-peraturan perilaku

yang demikian itu tiada lain adalah hukum.

Dalam pelaksanaannya, hukum harus dapat dipaksakan oleh otoritas

publik. Jadi, dapat kita disimpulkan, bahwa salah satu tujuan dari hukum adalah

70
Perpustakaan Unika

mengatur perilaku manusia di dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Demi

hukum, jika perlu dilakukan dengan paksaan, sehingga terwujud ketertiban dan

keteraturan. Sementara norma-norma yang telah disebutkan di atas

kepatuhannnya diserahkan kepada masyarakat itu sendiri.

Namun demikian perlu dicatat, ketertiban, keteraturan dan ketenteraman

itu bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara. Perlu diwaspadai

bahwa ketertiban, keteraturan dan ketenteraman itu bisa saja terwujud namun

dengan menggunakan pendekatan kekuatan tirani, yang tidak tertutup

kemungkinan harus menindas atau mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.

Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam

masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bilamana setiap warga masyarakat

merasakan ketenteraman dalam batinnya. Para warga masyarakat akan merasa

tenteram, bilamana:48 mereka yakin bahwa kelangsungan hidup dan

pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan haknya tidak tergantung pada

kekuatan.

Kelangsungan keteraturan dalam berinteraksi sosial, sangat tergantung

pada terlaksananya keadilan. Karena itu, keadilan adalah sangat esensial

dalam mewujudkan hukum. Pengertian keadilan meliputi beberapa aspek.

Keadilan adalah memberikan apa yang memang sudah menjadi bagiannya, hak

kepada setiap orang dengan sukarela secara tetap dan mantap terus menerus

(Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere).

Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan dapat dibedakan dalam

beberapa aspek berikut ini:

1. Keadilan Distributif (Iustitia distributive) adalah keadilan pimpinan

masyarakat untuk memberikan kepada setiap warganya beban

48
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hlm. 80.

71
Perpustakaan Unika

sosial, fungsi-fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional

sesuai dengan kontribusi dan jasa masing-masing;

2. Keadilan Komutatif (Iustitia commutativa) adalah keadilan yang

berupa kesenilaian antara prestasi dan kontra-prestasi, antara jasa

dan balas jasa dalam hubungan antar-warga, atau dilihat dari sudut

pemerintah memberikan kepada setiap warga secara sama tanpa

menghiraukan perbedaan-perbedaan keadaan pribadi ataupun

jasanya;

3. Keadilan Vindikatif (Iustitia vindicativa) adalah keadilan dalam

memberikan ganjaran (hukuman) sesuai dengan kesalahan yang

bersangkutan;

4. Keadilan Protektif (Iustitia protectiva) adalah keadilan memberikan

perlindungan kepada setiap warga, sehingga tak seorangpun akan

mendapat perlakuan sewenang-wenang.49

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa tujuan

hukum tiada lain adalah untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian,

serta keadilan dengan kata lain, tujuan hukum adalah pengayoman atau

perlindungan. Jadi, secara singkat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi

manusia. Perlu ditegaskan kembali bahwa perlindungan terhadap manusia tidak

dalam pengertian defensif hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan

pelanggaran hak saja. Mengayomi manusia juga meliputi pengertian melindungi

secara opensif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan

mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri secara terus menerus.

Tujuan hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang kondusif

sedemikian sehingga memungkinkan proses interaksi sosial berlangsung secara

49
B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila (tidak dipublikasikan), Unpar, Bandung,
Tanpa Tahun, hlm. 5-6.

72
Perpustakaan Unika

wajar, sehingga setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya

untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.50

D. HAKEKAT PERLINDUNGAN HUKUM

Hakekat perlindungan hukum sendiri memiliki tujuan hukum tiada lain

adalah untuk mewujudkan ketertiban, keteraturan, kedamaian, serta keadilan

dengan kata lain, tujuan hukum adalah pengayoman atau perlindungan. Jadi,

secara singkat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Perlu

ditegaskan kembali bahwa perlindungan terhadap manusia tidak dalam

pengertian defensif hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan

pelanggaran hak saja. Mengayomi manusia juga meliputi pengertian melindungi

secara opensif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan

mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri secara terus menerus.

Tujuan hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang kondusif

sedemikian sehingga memungkinkan proses interaksi sosial berlangsung secara

wajar, sehingga setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya

untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh.

Tercantumkan pada UU Praktek Kedokteran Bab II Pasal 2 dan 3 yang


mengatakan :
“Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta
perlindungan dan keselamatan pasien. Pengaturan praktik kedokteran
bertujuan untuk :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien;
b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter
gigi.”

50
Ibid., hlm. 6.

73
Perpustakaan Unika

E. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM

Bentuk perlindungan hukum harus berupa suatu wujud yang dapat

dirasakan oleh masyarakat yang terrlibat aktif maupun tidak aktif dalam

perbuatan dan pelayanan kesehatan yang diterimanya dimana setiap perlakukan

yang merugikan dapat dijadikan delik hukum bagi pasien tersebut, sehingga baik

sudah ataupun belum dilakukan tindakan melawan hukum itu, masyarakat sudah

dilindunginya.

Prinsip hukum umum yang berlaku bagi penanggung jawab hak atau

pihak yang berkewajiban adalah memenuhi atau melaksanakan kewajibannya

dengan itikad baik. Dimana hak atas derajat kesehatan yang optimal pada

hakekatnya sama dengan pelanggaran HAM. Secara garis besar, hak atas

derajat kesehatan yang optimal mencakup dua aspek : memberikan layanan

kesehatan serta melindungi kesehatan penyandang hak dari bahaya yang

mengancam.51

Bentuk perlindungan hukum harus mencakup perlindungan yaitu :

1. Memastikan hak mengakses fasilitas-fasilitas, kebutuhan barang dan

jasa/ layanan yang berhubungan dengan kesehatan secara non

diskriminasi, terutama bagi kelompok rentan atau marginal;

2. Memastikan akses kepada pangan essensial minimum yang

kandungan gijinya memadai serta aman, memastikan kebebasan dari

kelaparan bagi setiap orang;

3. Memastikan akses atas tempat tinggal, perumahan dan sanitasi

dasar, serta persediaan memadai atas air yang aman serta dapat

disimpan;

51
Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2007, Hlm 262

74
Perpustakaan Unika

4. Menyediakan obat–obatan essensial, serta berkesinambungan

sebagiamana ditetapkan dalam The WHO Action Programme On

Essential Drugs;

5. Memastikan distribusi secara adil semua fasilitas, kebutuhan barang

dan jasa/layanan di bidang kesehatan;

6. Mengesahkan dan melaksanakan strategi kesehatan masyarakat

nasional dan rencana tindakan, berdasarkan kepada “epidemiological

evidence“, untuk memecahkan masalah kesehatan penduduk secara

keseluruhan; strategi dan rencana tindakan akan dirancang, dan

secara periodis dikaji, berdasarkan proses yang transparan dan

partisipatif; strategi dan rencana tindakan akan meliputi cara–cara,

seperti indikator hak atas kesehatan dan patokan bahwa

perkembangan yang ada dapat diawasi secara ketat, proses strategi

dan rencana tindakan disusun, seperti misalnya materinya,

hendaknya memberikan perhatian khusus kepada semua kelompok

rentan atau termarjinalisasikan.52

Jadi segala sesuatu yang ditetapkan untuk melindungi pasien terhadap

kerugian–kerugian yang dideritanya baik sudah ataupun belum dideritanya dan

berkekuatan hukum, merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum. Konsep

kewajiban inti sangat erat dengan isu “Justiciable“ atau atau hak atas kesehatan.

Pesan yang dibawakan oleh konsep kewajiban inti sangat jelas: hak atas

kesehatan bersifat Justiciable . 53

Bentuk perlindungan hukum ini tertuang dalam UU Rumah Sakit, dimana

di dalam Undang–Undang ini seluruh ketentuan–ketentuan bagi Rumah Sakit

berkaitan dengan Rumah Sakit itu sendiri maupun penggunanya yaitu

52
Ibid, hlm 272
53
Ibid, hlm 273

75
Perpustakaan Unika

masyarakat telah disepakati dilindungi oleh negara sehingga kekuatan

perlindungan ini sifatnya mengikat, karena terdapat ketentuan pidana bagi

Rumah Sakit yang tidak memiliki ijin dalam menyelenggarakan kegiatan ini.

Sedangkan ijin operasional Rumah Sakit itu sendiri harus berdasarkan

ketentuan–ketentuan yang sudah ditetapkan, yang harus dipenuhi oleh Rumah

Sakit tersebut. Ketentuan itu berpihak bagi kepentikan pengguna Rumah Sakit

agar tidak dirugikan, dimana akreditasi Rumah Sakit yang memiliki ketentuan–

ketentuan bagi pelayanan mutu kesehatan kepada pasien wajib diberlakukan

kepada Rumah Sakit - Rumah Sakit di Indonesia. Rumah Sakit juga wajib

menetapkan standar keselamatan pasien dengan memenuhi hak–hak pasien

saat mendapatkan pelayanan kesehatannya terhadap derajat kesehatan yang

optimal.

F. MACAM-MACAM PERLINDUNGAN HUKUM

1. Perlindungan Hukum Atas Penegakkan Hukum Dan Etik Dalam


Pelayanan Kesehatan

Jika ditinjau dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di bidang

kesehatan saja, berarti sudah diisyaratkan adanya kecermatan yang tinggi.

Berarti dengan tidak memenuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat

kesalahan. Disamping itu dalam melaksanakan tugasnya harus senantiasa

mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pasien, memperhatikan dengan

sungguh-sungguh semua obyek pelayanan kesehatan, serta berusaha menjadi

pengabdi masyarakat yang baik.54

Dalam pelayanan kesehatan, masalah etika profesi telah lama

diupayakan agar benar–benar dapat berkembang dan melekat pada setiap sikap

dan tindakan . Hal ini diseBabkan karena kode etik dalam kehidupan hukum

54
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban dokter, PT.
Rineka Cipta, Jakarta , 2005 , hlm 86

76
Perpustakaan Unika

sangat memegang peranan, dalam banyak hal yang berhubungan dengan

hukum kesehatan, menunjukkan bahwa kode etik memberi makna yang positif

bagi perkembangan hukum. Itikad baik diwujudkan dalam menaati kaedah

kaedah yang termuat dalam kode etiknya. Kerangka pemikiran yang demikian

membawa keadaan pada suatu kenyataan, bahwa hukum dalam

perkembangannya juga mendapat pengaruh dari kode etik.55

2. Perlindungan Hukum Atas Penegakkan Hukum Administrasi

Jika terjadi kesalahan praktek tenaga kesehatan dimana tindakan itu

mengakibatkan kerugian pada pasien, tindakan tersebut mengandung aspek

pertanggungjawaban di bidang hukum administrasi. Aspek hukum administrasi ini

dinilai daari sudut kewenangan, yaitu apakah yang bersangkutan berwenang

atau tidak melakukan perawatan. Berdasarkan pada hal tersebut di atas , suatu

tindakan medis memerlukan ijin dari Menteri Kesehatan, berupa :

a. Surat Ijin Praktik (SIP) yaitu ijin yang dikeluarkan bagi dokter atau

perawat atau tenaga kesehatan lainnya yang menjalankan pekerjaan

sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta perorangan

disamping tugas/ fungsi lain pada pemerintahan atau unit pelayanan

kesehatan swasta56

b. Untuk RS yang telah terakreditasi dapat melaksanakan pelayanannya

dan menjalankan roda perumahsakitan karena dengan adanya bukti

telah diakreditasi telah dinyatakan lulus standar minimal untuk

melaksanakan pelayanan kesehatannya, sehingga dapat dikeluarkan

ijin operasional Rumah Sakit seperti yang tertuang pada UU Rumah

Sakit.

55
Ibid, hlm 61-62
56
Ibid, hlm 86

77
Perpustakaan Unika

Ketentuan hukum administrasi ini tercantum didalam UU Rumah Sakit

pada Pasal 25, 26, 27, dan 28.

3. Perlindungan Hukum Atas Penegakkan Hukum Pidana

Hukum pidana menganut asas: “Tiada pidana tanpa kesalahan.”

selanjutnya pada Pasal 2 KUHP disebutkan: “Ketentuan pidana dalam

Perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan

suatu delik di Indonesia “perumusan Pasal ini menentukan bahwa setiap orang

yang berada dalam wilayah hukum Indonesia, dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dibuatnya. Berdasarkan pada

ketentuan ini, profesi tenaga kesehatan tidak terlepas dari ketentuan ini.

Untuk melihat lebih terang dan jelas tentang kesalahan tenaga kesehatan

adalah hal - hal yang menyangkut tentang atau yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu

pasien dan dokter. Hak dan kewajiban itu meliputi :

a. Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum ia memberikan

persetujuan untuk menerima perawatan;

b. Masalah persetujuan tindak medis yang akan dilakukan oleh dokter

atau tenaga kesehatan;

c. Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang

melaksansakan perawatan. Hal ini banyak sekali hubungannya

dengan masalah kealpaan dan standar pelayanan medis.

Ketiga masalah pokok ini dipandang dalam kerangka hukum kesehatan

yang pada garis besarnya mengatur dua persoalan yang mendasar, yaitu :

standar pelayanan medis dan paramedis, yang pada pokoknya membicarakan

kewajiban–kewajiban tenaga kesehatan.

78
Perpustakaan Unika

Pada dasarnya seorang tenaga kesehatan baru dihadapkan di meja hijau

bila sudah ada kerugian pada pasien. Kerugian itu timbul akibat adanya

pelanggaran kewajiban dimana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan.57

Ketentuan pidana yang tercantum di dalam UU Rumah Sakit pada Pasal

62 dikatakan bahwa: ”Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan

Rumah Sakit tidak memiliki ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat

(1) dipidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun“ dan pada Pasal 63 Ayat (2)

dikatakan bahwa korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :

a. Pencabutan ijin; dan/atau

b. Pencabutan status badan hukum.

Tujuan hukuman disiplin yang dijatuhkan terhadap tenaga kesehatan

yang melakukan kesalahan adalah untuk memperbaiki dan mendidik tenaga

kesehatan yang bersangkutan, dimana sanksi pidana yang dijatuhkan ditambah

denda sebanyak 5.000.000.000 ( lima milyar rupiah ).

4. Perlindungan Hukum Atas Penegakkan Hukum Perdata

Bertitik tolak dari transaksi terapeutik ini, tidaklah mengherankan jika

banyak ditemukan gugatan pasien kepada dokter maupun Rumah Sakit.

Gugatan untuk meminta pertanggungjawab itu bersumber pada dua dasar hukum

yaitu: pertama, berdasarkan pada wanprestasi (Contractual liability)

sebagaimana diatur pada Pasal 1239 KUHPerdata. Kedua, berdasarkan

perbuatan melanggar hukum (Onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan

Pasal 1365 KUHPerdata58

Wan prestasi dalam pelayanan kesehatan, timbul karena tindakan

seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut sesuai

dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut ini dapat berupa

57
Ibid, hlm 73-74
58
Ibid, hlm 63

79
Perpustakaan Unika

tindakan kekurang hati-hatian, atau akibat kelalaian dari dokter yang

bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik, yaitu :

a. Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien terjadi

berdasarkan kontrak terapeutik

b. Tenaga kesehatan telah memberikan pelayan kesehatan yang tidak

patut yang menyalahi tujuan kontrak terpeutik

c. Pasien menderita kerugian akibat tindakan tenaga kesehatan yang

bersangkutan59

Dalam gugatan atas dasar wanprestasi, ketiga unsur tersebut harus

dibuktikan terlebih dahulu adanya kontrak terapeutik antara pasien dengan

tenaga kesehatan. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat

dilakukan pasien dengan mengajukan rekam medik atau dengan persetujuan

tindakan medik yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik

adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui tenaga

kesehatan untuk meminta pertolongan dapat dianggap telah terjadi perjanjian

terapeutik.

Sedangkan untuk unsur yang ke dua, harus dibuktikan dengan adanya

kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Untuk membuktikan hal ini pasien

harus mengajukan fakta bahwa seeorang tenaga kesehatan tidak melakukan apa

yang disanggupi akan dilakukan didalam kontrak terapeutik, atau melakukan apa

yang diperjanjikan tetapi terlambat, atau melakukan tidak seperti apa yang

dijanjikan, atau melakukan sesuatu tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau

yang tidak boleh dilakukan

Agar unsur ke tiga dapat dipenuhi, semua tindakan seperti di atas harus

mempunyai hubungan kausal dengan kerugian yang diderita pasien. Dasar

hukum untuk melakukan gugatan jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu

59
Ibid, hlm 64

80
Perpustakaan Unika

perbuatan melawan hukum, walaupun diantara para pihak tidak terdapat suatu

perjanjian. Untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum,

harus dipenuhi empat syarat sebagaimana diatur di dalam 1365 KUHPerdata

a. Pasien harus mengalami suatu kerugian

b. Ada kesalahan

c. Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian

d. Perbuatan itu melawan hukum60

G. DASAR HUKUM RUMAH SAKIT SEBAGAI BADAN HUKUM DAPAT


DIPERTANGGUNGJAWABKAN

Dalam pergaulan hukum di tengah–tengah masyarakat , ternyata

manusia bukan satu satunya subyek hukum ( pendukung hak dan kewajiban ),

tetapi masih ada subyek hukum lain yang sering diseebut badan hukum

(rechtspersoon)61

Menurut Andi Hamzah makna badan hukum adalah , merupakan

himpunan orang atau organisasi yang diberikan sifat subyek hukum secara

tegas. Untuk mengetahui apakah sebuah Rumah Sakit telah berstatus sebagai

badan hukum atau belum dapat kita lihat dari akta pendiriannya yang dibuat

dengan kata notaris ataupun karena perintah Perundang-undangan (khusus

untuk Rumah Sakit swasta).62

Sebagaimana subyek hukum manusia, badan hukum inipun dapat

mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan

hubungan-hubungan hukum baik antara badan hukum yang satu dengan badan

hukum yang lain maupun antara badan hukum dengan manusia. Karena badan

60
Ibid, hlm 65-66
61
Ridwan Syahrani, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT. Alumni,
Bandung, 2006, hlm. 51.
62
Andi Hamsah, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, 1986, hlm. 58

81
Perpustakaan Unika

hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa

menyewa dan segala macam perbuatan di lapangan.63

Badan hukum atau kata lain dalam bahasa Indonesia adalah Korporasi,

dalam bahasa Inggris disebut “Corporation” atau “Legal Entities”, dalam bahasa

Belanda disebut “Corporatie”, dan dalam bahasa Jerman disebut “korporation”.64

Selanjutnya Hermin Hadiati Koeswadji menyatakan bahwa: Dalam lalu

lintas perhubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat sebagai satu sistem

sosial, dengan demikian Rumah Sakit merupakan organ yang mempunyai

kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Rumah Sakit bukan manusia

dalam arti “persoon” yang dapat berbuat dalam lalu lintas hukum dalam

masyarakat sebagai manusia dan karenanya Rumah Sakit merupakan

rechtspersoon. Hukum yang telah menjadikan Rumah Sakit sebagai

rechtspersoon dan oleh karena itu Rumah Sakit juga dibebani dengan hak dan

kewajiban menurut hukum atas tindakan yang dilakukannya.65

Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk

dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan

badan hukum atau legal person.66

H. ASAS PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN

1. Hakekat, pengertian dan Karakteristik Asas Hukum

a. Hakekat asas perlindungan hukum pasien

Hakekat asas hukum yang berkaitan dengan perlindungan

hukum pasien terdapat 3 pandangan hubungan tersebut yaitu :

paternalistic, individualistic dan reciprocal atau collegial67

63
Ridwan Syahrani, Loc. Cit., hlm. 51
64
Syahrul Machmud, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
yang diduga Melakukan MedikaMalpraktek, Mandar maju, Bandung , 2008, hlm. 94
65
Ibid, hlm. 98
66
Ibid, hlm. 95

82
Perpustakaan Unika

Pada UUPK Pasal 2 yang mengatur tentang asas dimaksud

menyatakan “bahwa penyelenggaraaan praktek kedokteran

dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan pada nilai

ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta

perlindungan hukum dan keselamatan pasien“

b. Pengertian asas perlindungan hukum pasien

Dalam penjelasan UUPK Pasal 2 pengertian asas-asas

tersebut diuraikan sebagai berikut :

1) Nilai ilmiah adalah: harus didasarkan pada ilmu pengetahuan

dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk

pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika

profesi;

2) Manfaat adalah: memberikan manfaat yang sebesar besarnya

bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;

3) Keadilan adalah: mampu memberikan pelayanan yang adil

dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang

terjangkau oleh masyarakat serta pelayan yang bermutu;

4) Kemanusiaan adalah: perlakuan yang sama dengan tidak

membedakan suku, bangsa status sosial dan ras;

5) Kesimbangan adalah : tetap menjaga keserasian serta

keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat;

6) Perlindungan dan keselamatan pasien adalah : tidak hanya

memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus

67
Lumenta, Pasien, Citra, Peran dan Perilaku, kanisius, Yogyakarta, 1989, hal 71

83
Perpustakaan Unika

mempu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan

tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.68

c. Karakteristik asas perlindungan hukum pasien

Karakteristik asas hukum meliputi: 3 hubungan yaitu:

hubungan aktif pasif yaitu: pasien tidak memberikan konstribusi

apapun bagi jasa pelayanan kesehatan yang akanditerimanya.

Dia sepenuhnya menyerahkan kepada dokter, ke dua adalah

hubungan kerjasama terpimpin yaitu: pasien sakit tetapi sadar

sehingga meminta pertolongan dokter serta bersedia untuk

bekerjasama dengan dokter, dan yang teakhir adalah hubungan

partisipasi bersama yaitu : hubungan yang dibangun berdasarkan

perjanjian yang disepakati bersama sehingga menghasil sebuah

keputusan.

2. Peranan Asas Perlindungan Hukum Pasien

Asas–asas hukum sebagaimana diatur dalam UU PK Yaitu pada Bab II

Pasal 2, dengan demikian secara hukum, asas asas tentang praktek kedokteran

atau kedokteran gigi tersebut telah menjadi hukum positif bagi dokter dan dokter

gigi dan pasien.

3. Penggolongan Asas Perlindungan Hukum pasien.

Penggolongan asas hukum meliputi : asas legalitas, asas keseimbangan,

asas tepat waktu, asas itikad baik, asas kejujuran, asas kehati-hatian dan asas

keterbukaan 69.

4. Unsur–Unsur Asas Perlindungan Hukum

Unsur–unsur asas perlindungan hukum pasien meliputi :

68
Syahrul Machmud, Op.Cit.,Hlm 32
69
Ibid, hlm Hlm 32

84
Perpustakaan Unika

a. Asas otonom menghendaki pasien mempunyai kapasitas sebagai

subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk

menentukan pilihannya secara rasional, sebagai wujud

penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya

sendiri.

b. Asas murah hati yaitu : menekankan kepada para pemegang profesi

agar dalam upayanya melakukan pelayanan kesehatan terhadap

pasien atau masyarakat agar mengutakan sikap murah hati ini, asas

tidak menyakiti yaitu: sejauh mana dalam upaya melakukan

pelayanan kesehatan atau tindakan medis kepada pasiennya, sejauh

mungkin menghindarkan rasa sakit dari sang pasien atau

keluarganya.

c. Asas keadilan yaitu: dalam melakukan pelayan kesehatannya tidak

dibenarkan membedakan status ekonomi atau sosial pasien, asas

kesetiaan adalah: dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap

amanah yang diberikan pasien kepadanya.

d. Asas kejujuran yaitu: pasien harus jujur menceritakan riwAyat

sakitnya, demikian juga dokter harus mau menginformasikan hasil

pemerikasaan, penyakit serta langkah-langkah pengobatan yang

akan dilakukan tentu dengan cara yang bijaksana. 70

I. UNSUR – UNSUR PERLINDUNGAN HUKUM

Berdasarkan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, bahwa berdirinya

Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan melindungi dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,

Perikemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

70
Ibid, hlm Hlm 38

85
Perpustakaan Unika

dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang

berkeadilan sosial, maka terselenggaranya perlindungan hukum untuk

tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan kewajiban

negara.

Menurut UU Rumah Sakit Bab II Pasal 2 dikatakan :


“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial “

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara

kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum

yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.71

Hal ini selaras dengan penyataan Koerniatmanto Soetoprawiro bahwa :

“Perlindungan hukum adalah suatu upaya dari pihak yang berwenang


untuk memberikan jaminan dan kemudahan yang sedemikian rupa
sehingga setiap warga negara ataupun segenap warga negara dapat
mengaktualisasikan hak dan kewajiban mereka secara optimal dengan
tenang dan tertib “.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat dirumuskan

unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian Perlindungan Hukum, yaitu :

Suatu jaminan yang diberikan oleh negara; Kepada semua pihak; Untuk dapat

melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum; sebagai subyek hukum.

Untuk lebih jelasnya unsur-unsur yang dimaksud tersebut secara singkat

dijelaskan sebagai berikut:

1) Suatu jaminan yang diberikan oleh negara

Jaminan tersebut diberikan oleh negara dalam bentuk produk

hukum, yaitu Peraturan Perundang-undangan, Putusan Hakim dan

bentuk produk hukum lainnya.

71
Lihat Junita Eko Setiyowati, Perlindungan Hukum Peserta Bagi Hasil di Suatu
Perusahaan, Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UNPAR, Bandung,
2003, hlm. 13.

86
Perpustakaan Unika

2) Kepada semua pihak

Semua pihak yang dimaksud disini adalah anggota masyarakat yang

berada dalam wilayah hukum dari produk hukum dimaksud

3) Untuk dapat melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum yang

dimilikinya; Yang dimaksud dengan Hak adalah kekuasaan untuk

melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang dan

peraturan lain. Pengertian kekuasaan disini diartikan sebagai

kewenangan (bevoegd) untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

Dan yang dimaksud dengan Kepentingan Hukum adalah keperluan

atau kebutuhan dari Subyek Hukum (pemegang atau pengemban Hak

dan Kewajiban) yang diatur oleh hukum (hukum disini diartikan

sebagai Peraturan Perundang-undangan ).72

4) Dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum

Subyek hukum adalah pemegang atau pengemban dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum yang terdiri dari Manusia

dan Badan Hukum dalam kapasitasnya (daya tampung) sebagai

Manusia (perseorangan atau lebih) dan Badan Hukum dalam

mengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

J. HAK ATAS DERAJAT KESEHATAN YANG SETINGGI-TINGGINYA

1. HAM

Konsep HAM sama seperti konsep hak lainnya. HAM dapat dimaknai

sebagai seperangkat hak yang melekat/inheren pada diri manusia semata mata

karena kodrat kemanusiaannya. Secara kodrati setiap manusia terlahir bebas

dan sama. Karena itu dalam diri manusia inheren hak hidup, kebebasan,

72
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 851.

87
Perpustakaan Unika

integritas pribadi dan lain-lain yang niscaya perlu dalam rangka

mengartikulasikan kehidupannya sesuai kodratnya secara bermartabat.

Secara yuridis, konsep HAM harus dimaknai hubungan hukum antara

penyandang hak atau pihak yang berhak (rakyat), penanggung jawab hak atau

pihak yang berwajib karena suatu hak (negara) HAM adalah klaim dari rakyat

atau warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhinya apa yang menjadi

hak–hak asasinya. 73

Teori hukum HAM berdasarkan yurisprudensi mensistematisasi dua

kewajiban hukum utama negara/pemerintah. Kewajiban pertama berkenaan

dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM baik melalui

tindakan maupun pendiaman termasuk menjamin pemenuhan secara aktif hak-

hak tersebut. Kewajiban ke dua berkenaan dengan kewajiban negara untuk

mencegah pelanggaran, menyelidikinya ketika terjadi, melakukan proses hukum

kepada pelaku serta melakukan reparation atas kerugian yang timbul74

2. Hak atas derajat kesehatan yang setinggi-tingginya

Konsep hak atas derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah

konsep undang undang yang tidak jelas (kabur). Pembentuk undang undang

yang kurang tajam mengelaborasi pengertian bahwa setiap orang mempunyai

hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.75

Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang di

Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai

orang atau person. Karena itu, setiap manusia diakui sebagai obyek hukum yaitu

pendukung hak dan kewajiban. 76

73
Lihat Titon Slamet Kurnia , Op. Cit.,hlm 10
74
Ibid, hlm 23
75
Ibid, hlm 14
76
H. Riduan Syahrani, S.H., Seluk Beluk dan Asas–asas Hukum Perdata 1A, PT
Alumni, Bandung, cet III, 2006 hlm. 41

88
Perpustakaan Unika

Pengertian derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dapat menimbulkan

multi interprestasi, di pihak penanggung jawab maupun penyandang hak. Oleh

karena itu diperlukan suatu penelitian hukum untuk memberika interprestasi yang

sahih terhadap konsep derajat kesehatan yang optimal tersebut.

Hak atas derajat kesehatan yang optimal akan mencakup hak atas

layanan kesehatan dan hak atas layanan kesehatan dan hak atas tatanan sosial

yang mewajibkan negara melakukan tidakan–tindakan khusus melindungi

kesehatan publik, dengan kata lain, hak atas derajat kesehatan yang optimal

ialah konsep dasar yang memayungi sub konsep : hak atas layanan kesehatan

dan hak atas perlindungan kesehatan.

Pernyataan WHO baru sebatas deskripsi bahwa hak atas derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya bersifat dan berlaku universal , tetapi belum

menggambarkan suatu hubungan hukum kepada siapa pemenuhan hak dapat

diklaim serta menjelaskan lebih lanjut kriteria yang terukur tentang implementasi

dan realisasinya.

Pengakuan hukum bahwa setiap orang memiliki hak atas derajat

kesehatan yang optimal, hendaknya tidak disalahartikan bahwa setiap orang

harus menjadi sehat.

Menurut Thomasevski ( 2001 : 263-264 )

“Kondisi kesehatan ditentukan banyak faktor, bahwa negara atau


pemerintah, termasuk individu itu sendiri, tidak dapat menjamin kondisi
kesehatan tertentu. Pengembangan kesehatan antara lain melalui
program pengadaan air dan sanitasi, nutrisi atau perumahan yang sehat,
terbukti telah menguntungkan daripada tindakan penyembuhan,
pencegahan atau tindakan kesehatan lainnya.”

K. PENUTUP.

Secara yuridis, konsep HAM harus dimaknai hubungan hukum antara

penyandang hak atau pihak yang berhak (rakyat), penanggung jawab hak atau

pihak yang berwajib karean suatu hak (negara) HAM adalah klaim dari rakyat

89
Perpustakaan Unika

atau warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhinya apa yang menjadi

hak–hak asasinya, dimana pada dalam UU Kesehatan pada Bab I Pasal 1

dikatakan bahwa: “Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,

spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

secara sosial dan ekonomis.“

Hal ini menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi pasien memang

sangat menjadi perhatian negara/pemerintah. Dimana terbukti dengan adanya

Undang-Undang kesehatan yang mengatur tentang hak-hak pasien terhadap

dirinya dari perlkukan pelayanan kesehatannya. Hak–hak pasien menurut UU

Kesehatan pada Bab III Pasal 4 adalah: “Setiap orang berhak atas kesehatan“.

Seperti juga yang tercantum pada Pasal 2 yang mengatur tentang asas

dimaksud menyatakan: “Bahwa penyelenggaraaan praktek kedokteran

dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat,

keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan hukum dan

keselamatan pasien. Menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pasien

sangat dekat dengan perlakukan yang wajib dan tidak dapat ditawar lagi.

Dari uraian di atas, telah diuraikan bahwa perlindungan hukum adalah

suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat

melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya

sebagai subyek hukum.

Untuk dapat melaksanakan Hak dan Kepentingan Hukum yang dimilikinya

dimana yang dimaksud dengan Hak adalah kekuasaan untuk melakukan

sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang dan peraturan lain dimana

perlindungan terhadap manusia tidak hanya dalam pengertian defensif hanya

mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja melainkan

juga mengayomi manusia yang meliputi pengertian melindungi secara opensif,

90
Perpustakaan Unika

artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk

selalu memanusiakan diri secara terus menerus.

Pada prinsipnya, semua Rumah Sakit akan dilakukan akreditasi, namun

pelaksanaannya akan dilakukan bertahap dengan melihat kesiapan dan

kemampuan Rumah Sakit dalam pemenuhan standar, karena dengan

diberlakukannya UU Rumah Sakit jelas mewajibkan setiap Rumah Sakit untuk

melaksanakan akreditasi. Rumah Sakit dapat diakreditasi berdasarkan

permohonan dari Rumah Sakitnya sendiri, usulan dari kantor wilayah atau

dijadualkan dari pusat. Di sini hukum melindungi baik kepentingan dokter

maupun kepentingan pasien, dimana hal ini bukan berarti kepentingan yang satu

lebih dilindungi dari kepentingan yang lain. Hubungan hukum yang dilahirkan dari

hubungan dokter-pasien dalam upaya kesehatan telah melahirkan aspek hukum

baik di bidang hukum administrasi negara, hukum perdata, maupun hukum

pidana.

Peranan akreditasi Rumah Sakit dalam mewujudkan penjaminan mutu

pelayanan Rumah Sakit terlihat dari standar akreditasi, dimana hal-hal yang

berkaitan dengan pelayanan pokok dan penunjang yang diakreditasi meliputi:

administrasi atau manajemen, sarana dan prasarana, SDM, kualitas pelayanan

kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan serta adanya tanggungjawab

terhadap mutu pelayanan di Rumah Sakit yang dapat terjamin dan terus

berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

91
Perpustakaan Unika

BAB IV

KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT DAN


PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

A. PENGANTAR.

Ketentuan akreditasi Rumah Sakit seperti yang tercantum di dalam UU

Rumah Sakit dimana akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan formal terhadap

unit/ lembaga untuk melakukan kegiatan standarisasi tertentu, sesuai dengan

persyaratan dan kriteria yang ditetapkan oleh dewan. Akreditasi sendiri dahulu

bersifat suka rela dari organisasi kesehatan, lebih dari persyaratan yang ada di

lisensi, dengan tujuan mengarahkan organisasi menuju optimasi daripada hanya

sekedar pencapaian minimum. Dalam pelaksanaannya mencapai secara

maksimal standar yang telah ditentukan namun saat ini telah menjadi sebuah

kewajiban.

Dengan diundangkannya UU Rumah Sakit maka akreditasi Rumah Sakit

yang semula bersifat sukarela menjadi wajib. Hal ini sesuai dengan Pasal 40

Ayat (1) yang berbunyi: “Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit

wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 ( tiga ) Tahun sekali.”

Akreditasi berdasarkan pada standar yang ada dimana suatu penampilan

diukur. Standar dikembangkan oleh badan akreditasi yang berpartisipasi atau

yang berkaitan. Standar-standar baru dan revisi standar merupakan prioses

yang terjadi secara terus menerus. Semuanya memerlukan inovasi teknik,

perkembangan pengetahuan, perubahan peraturan pemerintah, dan

pertanggung jawaban kepada pasien. Sehingga diperlukan untuk revisi dan

mengembangkan standar. Survey terhadap fasilitas kesehatan diperlukan pada

jangka waktu tertentu oleh badan akreditasi untuk menetapkan apakah

organisasi pelayanan kesehatan tersebut dapat diakreditasi atau tidak.

92
Perpustakaan Unika

Tetapi kita ketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa karakteristik

asas hukum meliputi: 3 hubungan yaitu: hubungan aktif pasif yaitu: pasien tidak

memberikan konstribusi apapun bagi jasa pelayanan kesehatan yang akan

diterimanya. Dia sepenuhnya menyerahkan kepada dokter, ke dua adalah

hubungan kerjasama terpimpin yaitu: pasien sakit tetapi sadar sehingga meminta

pertolongan dokter serta bersedia untuk bekerjasama dengan dokter, dan yang

terakhir adalah hubungan partisipasi bersama yaitu: hubungan yang dibangun

berdasarkan perjanjian yang disepakati bersama sehingga menghasil sebuah

keputusan.

Sedangkan asas-asas hukum sebagaimana diatur dalam UU PK Yaitu

pada Bab II Pasal 2, dengan demikian secara hukum, asas-asas tentang praktek

kedokteran atau kedokteran gigi tersebut telah menjadi hukum positif bagi dokter

dan dokter gigi dan pasien.

Unsur-unsur asas perlindungan hukum pasien meliputi: asas otonom

menghendaki pasien mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap

berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional,

sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan

nasibnya sendiri. Asas murah hati yaitu: menekankan kepada para pemegang

profesi agar dalam upayanya melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien

atau masyarakat agar mengutakan sikap murah hati ini. Asas tidak menyakiti

yaitu: sejauh mana dalam upaya melakukan pelayanan kesehatan atau tindakan

medis kepada pasiennya, sejauh mungkin menghindarkan rasa sakit dari sang

pasien atau keluarganya. Asas keadilan yaitu: dalam melakukan pelayanan

kesehatannya tidak dibenarkan membedakan status ekonomi atau sosial pasien.

Asas kesetiaan adalah: dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah

yang diberikan pasien kepadanya, dan terkahir adalah asas kejujuran yaitu:

pasien harus jujur menceritakan riwayat sakitnya, demikian juga dokter harus

93
Perpustakaan Unika

mau menginformasikan hasil pemerikasaan, penyakit serta langkah-langkah

pengobatan yang akan dilakukan tentu dengan cara yang bijaksana.

B. KETENTUAN AKREDITASI RUMAH SAKIT

1. Urgensi Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit Pada Pelayanan


Kesehatan

Urgensi ketentuan akreditasi Rumah Sakit pada pelayanan kesehatan

adalah dimana pelaksanaan pelayanan kesehatan harus sinkron antara visi dan

misi Rumah Sakit dengan pelayanan kesehatan yang dilaksanakannya. Didalam

memberikan pelayanan kesehatan ini terdapat pengelolaan kebijakan dari pihak

pimpinan Rumah Sakit bagi roda pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tersebut.

Pelayanan kesehatan sangat penting dilaksanakan dengan benar secara

profesi maupun hukum dan kepentingan baik pasien maupun pelaku pemberi

pelayanan kesehatan itu sendiri, sehingga dengan diberlakukannya akreditasi

bagi Rumah Sakit itu diharapkan dalam memberikan pelayanan kesehatan ini

paling tidak melakukannya dalam standar minimal yang harus dicapai, tetapi

dengan harapan dapat melakukan pelayanan kesehatan yang maksimal.

Ketentuan akreditasi yang membawa standar minimal terhadap

pelayanan kesehatan yang mengedepankan kepentingan pasien baik itu

keselamatan dan keamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan

merupakan hal urgensi bagi pelayanan kesehatan. Dengan hubungan kedekatan

tersebut jelas nampak bahwa untuk memberikan penjaminan pelayanan

kesehatan yang profesional, bertanggungjawab serta keberpihakan kepada

masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan itu akan tertuang di dalam

pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit yang dimaksudkan. Hal ini menunjukkan

bahwa akreditasi terhadap pelayanan kesehatan yang merupakan hal yang

penting.

94
Perpustakaan Unika

2. Peranan Akreditasi Rumah Sakit Dalam Mewujudkan Penjaminan


Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Peranan akreditasi Rumah Sakit dalam mewujudkan penjaminan mutu

pelayanan Rumah Sakit terlihat dari standar akreditasi , dimana hal-hal yang

berkaitan dengan pelayanan pokok dan penunjang yang diakreditasi meliputi :

administrasi atau manajemen, sarana dan prasarana, SDM, kualitas pelayanan

kesehatan yang dapat dipertanggungjawabkan serta adanya tanggungjawab

terhadap mutu pelayanan di Rumah Sakit yang dapat terjamin dan terus

berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

16 unit yang akan diakreditasi senantiasa dilaksanakan evaluasi dan

pengendalian mutu di Rumah Sakit itu sehingga seluruh milik Rumah Sakit,

prosedur, personil, sistem dan sarana serta prasarananya terjamin kualitas

mutunya sesuai dengan hasil evaluasi dan pengendalian mutu. Jika ternyata hal

ini tidak mencerminkan kegiatan penjaminan mutu maka nilai dari akreditasi akan

tidak tinggi sehingga jelas sekali terlihat hubungan antara akreditasi dengan

penjaminan mutu Rumah Sakit tersebut

3. Unsur-unsur Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit

Unsur-unsur ketentuan akreditasi Rumah Sakit ini meliputi :

a. Penilaian terhadap Rumah Sakit

Di dalam ketentuan akreditasi Rumah Sakit dilakukan penilaian

mulai dari standar pelayanan pertama sampai dengan standar ke-16

sesuai ketentuan yang berlaku bagi Rumah Sakit yang dimaksudkan.

Dengan penilaian yang diberikan ini, maka Rumah Sakit perlu

memenuhinya dan melengkapi diri sesuai dengan ketentuan yang

ada guna mendapatkan penilaian yang optimal, untuk itu perlu

pemenuhan yang optimal pula.

95
Perpustakaan Unika

b. Pengawasan terhadap Rumah Sakit

Dengan adanya akrditasi merupakan pengawasan eksternal agar

Rumah Sakit tetap mejalankan kegiatannya sesuai dengan standar

yang telah ditentukan di dalam akreditasi, dan di dalam ketentuan itu

juga menyebutkan adanya pengawasan internal yang harus ada di

dalam Rumah Sakit tersebut.

c. Memberikan penghargaan kepada Rumah Sakit

Penilaian akreditasi yang baik merupakan penghargaan kepada

Rumah Sakit yang dapat dibaca oleh masyarakat umum bahwa

Rumah Sakit tersebut telah memenuhi standar ketentuan yang

berlaku dan menjadi penjaminan terhadap penghargaan yang telah

diterima sesuai penilaian yang ada dan diberlakukan selama ini

d. Pemenuhan ketentuan Undang-Undang yang berlaku bagi


pengelolaan Rumah Sakit.

Dengan melaksanakan akreditasi Rumah Sakit membuktikan

bahwa ketentuan Undang-Undang yang berlaku telah dipenuhi oleh

Rumah Sakit itu sebagai tiket untuk menjalankan pelayanan

kesehatan yang legal.

C. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN

1. Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Perlindungan Hukum


Pasien

Dilihat secara yuridis status Rumah Sakit bukan badan hukum, tetapi

suatu kegiatan yang dipimpin oleh direktur/kepala. Yang merupakan badan

hukum adalah pemilik Rumah Sakit (bisa: pemerintah, yayasan, perkumpulan

96
Perpustakaan Unika

atau badan-badan lain yang sudah memperoleh pengakuan status sebagai

badan hukum). 77

Berdasarkan klasifikasi ini menurut hukum perdata diakui memiliki

kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum

perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan

korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau

legal person.78

Akan tetapi Rumah Sakit mempunyai tanggungjawab terhadap segala

sesuatu yang terjadi di dalam Rumah Sakit. Sebab dalam suatu organisasi harus

ada seorang yang bertanggungjawab secara keseluruhan.Namun tidak berarti

semua tanggungjawab ditimpakan kepada direktur/kepala Rumah Sakit. SeBab

kepala Rumah Sakit tidak mengetahui seluruh kejadian atau melakukan

pengawasan yang melekat terhadap sikap serta tindakan para tenaga mediknya.

Di samping itu dalam suatu Rumah Sakit terdapat banyak hal yang harus

diputuskan dalam masing-masing tingkat dan masing-masinng bidang, yang

dapat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian pelayanan perawatan/

pengobatan.79

Karena itu terdapat berbagai pendelegasian wewenang dalam

pelaksanaan tugasnya dari kepala Rumah Sakit. Menurut Guwandhi dalam garis

besar tanggung jawab di Rumah Sakit apabila ditinjau dari sudut pelakunya

dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan80 :

77
P. Lindawaty.S.Sewu, Tinjauan Yuridis Terhadap Persetujuan Tindakan Medik
(Informed Consent) dalam Pembedahan Dihubungkan dengan Tanggung jawab
Rumah Sakit Berdasarkan Ketentuan Buku III K.U.H. Perdata (Skripsi), Faklutas
Hukum Unpad,, Bandung, 1994, hlm. 49.
78
Syahrul Machmud, Penegakkan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
yang diduga Melakukan MedikaMalpraktek, Mandar maju, Bandung , 2008, hlm. 95
79
P. Lindawaty.S.Sewu, Loc. Cit., hlm. 51
80
J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, Balai penerbit fakultas kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 1991, hlm. 34

97
Perpustakaan Unika

a. Tanggung jawab bidang kerumahsakitan, penanggungjawabnya

kepala Rumah Sakit,

b. Tanggungjawab bidang medik, penanggungjawabnya masing-masing

dokter,

c. Tanggungjawab bidang perawatan, penanggungjawabnya masing-

masing perawat.

Jika ditinjau dari sudut Rumah Sakit, maka tanggungjawab Rumah Sakit

meliputi tiga hal 81, yaitu :

a. Tanggungjawab yang berkaitan dengan personalia,

b. Tanggungjawab yang menyangkut sarana dan peralatan,

c. Tanggungjawab yang menyangkut duty of care ( kewajiban

memberikan perawatan dengan baik )

2. Kewajiban Negara Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pasien

Seperti yang tercantum di dalam UU Kesehatan Pada Bab IV Pasal 14

dikatakan bahwa :

(1) Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur,


menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggarraan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau masyarakat.
(2) Tanggungjawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dikhususkan pada layanan publik

Pada Pasal 15 dikatakan :

“Pemerintah bertanggung jawab atas ketersiediaan lingkungan, tatanan,

fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk

mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.”

Pada Pasal 16 dikatakan :

“Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan sumber daya di bidang

kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk

memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.”

81
Ibid, hlm. 35

98
Perpustakaan Unika

Pada Pasal 17 dikatakan :

“Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses informasi,

edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan

memelihara derajat kesehatan yang setinggi–tingginya.”

Pada Pasal 18 dikatakan :

“Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran

aktif masyarakat dalam bentuk upaya kesehatan.”

Pada Pasal 19 dikatakan :

“Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya

kesehatan yang bermutu, aman, efisien , dan terjangkau.”

Pada Pasal 20 dikatakan :

(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan


masyarakat melalui sistem jaminan sosial masional bagi upaya
kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang–
undangan.

Sementara itu di dalam UU Rumah Sakit pada Bab IV Pasal 6 dikatakan :

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk :

a. Menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat;


b. Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi
fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan
Perundang-undangan ;
c. Membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit;
d. Memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan
bertanggung jawab;
e. Memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa
pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan ;
f. Menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah
Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;
g. Menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan Rumah Sakit
akibat bencana dan kejadian luar biasa;
h. Menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan;dan
i. Mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan
berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.

99
Perpustakaan Unika

(2) Tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan


berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan .

3. Implementasi Kewajiban Negara Terhadap Perlindungan Hukum


Bagi Pasien

Implementasi kewajiban negara terlihat pada upaya-upaya menyediakan

sarana kesehatan mulai dari Puskesmas sampai dengan Rumah Sakit dengan

segala tipe, di setiap wilayah di seluruh tanah air. Disamping itu dengan

memberlakukan asuransi kesehatan bagi masyarakat tidak mampu berupa

Jamkesmas, memberikan informasi mengenai kesehatan melalui media masa

baik cetak maupun elektronik.

Pemerintah juga mengeluarkan UU Rumah Sakit yang mewajibkan

Rumah Sakit untuk diakreditasi guna dapat memberikan pelayanan kesehatan

sesuai dengan standar minimal akreditasi Rumah Sakit yang semuanya

berorientasi kepada keamanan dan keselamatan pasien serta kepentingan

pasien disamping untuk kepentingan tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah

Sakit tersebut pula.

Implementasi yang lainnya berupa kepedulian pemerintah melalui

program PIN ( Pekan Imunisasi Nasional ), pembebasan biaya terhadap penyakit

yang mewabah ataupun banyak terjadi seperti DHF, kepada penderita yang

berobat di Rumah Sakit pemerintah, TBC dengan adanya program DOT,

diberikan obat secara cuma-cuma.

4. Tanggung Gugat Negara Terhadap Pelanggaran Hak Pasien

Didalam akreditasi Rumah Sakit , hak-hak pasien diperhatikan dan

dilindungi, tercermin pada ketentuan akreditasi dan telah tercantum di dalam

Perundang-undangan. Salah satunya tanggung gugat negara terhadap

pelanggaran hak atas derajat kesehatan yang setinggi-tingginya tertuang pada

UU Kesehatan Pada Pasal 19 dikatakan :

100
Perpustakaan Unika

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan


yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan dengan sengaja tidak memebrikan pertolongan pertama
kepada pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagai mana
dimaksud dengan Pasal 32 Ayat (2) atau Pasal 85 Ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) Tahun dan denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Pada Pasal 196 dikatakan :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan


sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) Tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai hak pasien yang telah

tertuang di dalamUU Rumah Sakit pada bagian keempat Pasal 32 dikaitkan

dengan ketentuan akreditasi tergambar bahwa di dalam ketentuan tersebut telah

merangkum kepentingan pemenuhan hak pasien di Rumah Sakit meliputi : dalam

hal mendapatkan informasi baik mengenai tata tertib yang berlaku di Rumah

Sakit sampai informasi mengenai kondisi kesehatannya secara jujur.

Adanya standar operasional yang harus dimiliki pasien merupakan

penjaminan mutu dan pelayanan yang professional serta efektif dan efisien.

Pasien juga berhak menentukan sendiri dokter dan kelas perawatannya,

pendapat lain dari dokter lain baik di dalam Rumah Sakit itu maupun di luar

Rumah Sakit tersebut. kerahasiaan terhadap penyakitnya tidak boleh dilanggar,

disamping hak pasien untuk tindakan yang diterimanya yang terwujud dari surat

perjanjian ataupun pernyataan bahwa pasien setuju terhadap tindakan tersebut,

setelah mendapatkan penjelasan mengenai kronologis, serta dampak yang

menyertainya, jika pasien bersedia dilakukan tindakan tersebut. Harus adanya

101
Perpustakaan Unika

program keselamatan pasien menunjukkan bahwa hak pasien terpelihara di

bidang tersebut.

5. Unsur-unsur Perlindungan Hukum Bagi Pasien

Unsur-unsur perlindungan hukum bagi pasien meliputi :

a. Perlindungan atas hak.

Perlindungan atas hak pasien untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan terhadap hak-hak pasien yang tercantum di dalam

Undang-Undang Rumah Sakit

b. Jaminan atas kualitas

Pemberian jaminan kepada pasien untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan yang profesional, harga terjangkau, sesuai dengan

standarisasi pelayanan Rumah Sakit merupakan unsur perlindungan

hukum bagi pasien yang sangat penting didapatkan, termasuk

penjaminan terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang baik dan

profesional.

c. Pemenuhan perlindungan terhadap profesionalisme pelayanan


kesehatan

Jika dalam mendapatkan pelayanan kesehatan benar-benar terjamin

keprofesionalannya maka pasien akan terlindung dari kesalahan-

kesalahan karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan tenaga

medis dan paramedis yang mengakibatkan kecelakaan yang

sebenarnya tidak perlu terjadi

d. Pemenuhan perlindungan terhadap tindakan pelayanan kesehatan


dengan cara yang benar

Dengan adanya Standar prosedur operasional pelayanan kesehatan

yang dilaksanakan dengan baik sesuai apa yang memang sudah

distandarkan, merupakan pemenuhan perlindungan terhadap

tindakan pelayanan kesehatan yang benar.

102
Perpustakaan Unika

e. Pemenuhan perlindungan terhadap perbuatan baik

Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan

merupakan wujud niat baik semata yaitu untuk menyelamatkan nyawa

pasien ataupun memberikan kondisi terbaik bagi pasien terhadap

Derajat kesehatannya yang optimal dan setinggi-tingginya yang

mampu dimiliki oleh pasien tersebut, termasuk perbuatan baik kepada

pasien yang telah meninggal dunia

6. Upaya-Upaya hukum

Upaya-upaya hukum yang diberlakukan kepada Rumah Sakit beserta

stafnya yang melanggar perlindungan hak pasien untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan yang maksimal serta kewajiban Rumah Sakit terhadap pelayanan

kesehatan kepada pasien tertuang di dalam UU Kesehatan pada Bab XX

mengenai Ketentuan Pidana.

Di dalam pemberian ijin Rumah Sakit diberlakukan ketentuan akreditasi

Rumah Sakit seperti yang tercantum di dalam UU Rumah Sakit pada Pasal 40

tentang akreditasi , dimana didalam akreditasi tersebut diperlukan Sub Komite

Medik Legal Etik yang menangani masalah hukum berkaitan dengan

pelanggaranan.

Upaya-upaya hukum lainnya di dalam ketentuan KUH Perdata, dimana

tanggungjawab karena perbuatan melawan hukum merupakan bentuk

pertanggungjawaban perdata berdasarkan pada tiga prinsip yang diatur dalam

Pasal 1365,1366,1367,KUH Perdata yang berbunyi :82”

a. Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada


orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut ( Pasal 1365 KUH Perdata )

82
P. Lindawaty.S. Sewu,Op. Cit., hlm. 54

103
Perpustakaan Unika

b. Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang


diseBabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
diseBabkan karena kelalaian atau kekurang hati – hatinya ( Pasal
1366 KUH Perdata )
c. Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
diseBabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang diseBabkan karena perbuatan orang – orang yang menjadi
tanggungannya, atau diseBabkan oleh barang – barang yang berada
di bawah pengawasannya ( Pasal 1367 KUH Perdata )”

D. KETENTUAN AKTERDITASI RUMAH SAKIT DAN PERLINDUNGAN


HUKUM BAGI PASIEN

1. Tujuan Akreditasi dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien

Tujuan umum akreditasi untuk mendapatkan gambaran seberapa jauh

Rumah Sakit–Rumah Sakit di Indonesia telah memenuhi standar yang

ditentukan. Dengan demikian mutu pelayanan Rumah Sakit dapat

dipertanggungjawabkan, sedangkan tujuan khususnya meliputi: Memberikan

pengakuan dan penghargaan kepada Rumah Sakit yang telah mencapai tingkat

pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan; dan Memberikan

jaminan kepada petugas Rumah Sakit bahwa semua fasilitas, tenaga, dan

lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat mendukung upaya

penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-baiknya; sehingga

memberikan jaminan dan kepuasan kepada pasien dan masyarakat bahwa

pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit diselenggarakan sebaik mungkin.

Jadi bila tujuan akreditasi terpenuhi maka terpenuhi pula perlindungan hukum

bagi pasien

2. Standar Penilaian Akreditasi dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien

Didalam ketentuan penilaian standar-standar akreditasi dimulai dari

administrasi dan manajemen menunjukkan secara tertib administrasi pasien tidak

akan dirugikan terhadap pelayanankesehatan yang illegal, ketentuan akreditasi

mengenai pelayanan medis, pelayanan gawat daruratan; pelayanan

keperawatan; elayanan perinatal, resiko tinggi; pengendalian infeksi Rumah

104
Perpustakaan Unika

Sakit, serta pelayanan sterilisasi semua itu dalam upaya memberikan hak-hak

pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal,professional dan

sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Selain itu kegiatan lainnya yang mendukung seperti rekam medis; kamar

operasi; pelayanan laboratorium; pelayanan radiologi adalah kelengkapan dalam

mendukung pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kepentingan pasien

terhadap hak-haknya untuk mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya, disamping keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana

yang menjadi prioritas ketentuan akreditasi yang dimaksud. Bila seluruh standar

ketentuan akreditasi terpenuhi maka terpenuhi pula perlindungan hukum

terhadap hak pasien tersebut.

3. Hubungan Akreditasi Rumah Sakit dan Pasien Dalam Perlindungan


Hukum Kepada Pasien

Permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian tesis adalah apakah

Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit menjamin Perlindungan Hukum Bagi pasien

selaku konsumen dari Rumah Sakit tersebut ? Ketimpangan yang ada adalah :

Banyak Rumah Sakit yang belum terakreditasi namun telah menunjukkan bukti

dapat melakukan pelayanan yang baik dilihat dari animo masyarakat terhadap

keberadaan Rumah Sakit tersebut yang telah memenuhi BOR Rumah Sakit yang

cukup tinggi, atau secara umum dapat dikatakan Rumah Sakit tersebut masih

banyak didatangi oleh masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatannya

tanpa melihat sudah terakreditasi atau belum.

Namun setelah dikeluarkannya UU RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang

Rumah Sakit bahwa Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi

manajemen klinis meliputi kemampuan klinik, audit klinik, data klinis, resiko klinis

berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor

hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi Rumah Sakit.

105
Perpustakaan Unika

Oleh karena itu, akreditasi Rumah Sakit wajib dilaksanakan pada setiap

Rumah Sakit berkaitan dengan telah dikeluarkan UU RI Nomor 44 Tahun 2009

Tentang Rumah Sakit diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan yang

menjamin perlindungan hukum kepada pasien.

Bila hal ini memang dapat menjamin perlindungan hukum kepada pasien

maka ketentuan akreditasi memang selayaknya dilaksanakan oleh semua

Rumah Sakit di Indonesia, untuk itu segera perlu dibuatkan Pedoman

pelaksanaannya melalui Keputusan Menteri kesehatan dan ditindak lanjuti pada

peraturan-peraturan lain mengenai Rumah Sakit.Oleh karena itu penulis

berupaya menggali ketentuan akreditasi Rumah Sakit seperti tersebut di dalam

Bab II dan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pasien pada

Bab III, untuk membuktikan tentang benar tidaknya, apakah ada hubungan

diantara kedua hal tersebut.

4. Analisis hubungan antara penerapan ketentuan akreditasi Rumah


Sakit dengan perlindungan hukum bagi pasien

Dengan melihat hal tersebut di atas, setelah dianalisa maka akreditasi

yang berdasarkan pada standar yang ada dimana standar dikembangkan oleh

badan akreditasi yang berpartisipasi atau yang berkaitan.

Standar-standar baru dan revisi standar merupakan proses yang terjadi

secara terus menerus.dilakukan sebagai kewajiban Rumah Sakit untuk

mendapatkan ijin penyelenggaraan Rumah Sakit, dimana ketentuan yang berlaku

di dalamnya adalah ketentuan yang mengutamakan keselamatan dan keamanan

pasien dengan juga mengedepankan kepentingan petugas kesehatan yang

bekerja di dalamnya dikaitkan dengan unsur-unsur perlindungan hukum pasien

tertuang dalam asas otonom, pilihan pasien, hak-hak pasien, asas tidak

menyakiti, keadilan bagi pasien, kesetiaaan, kejujuran semua itu masuk di dalam

ketentuan akreditasi melalui 5 dasar pelayanan Rumah Sakit sampai dengan 16

106
Perpustakaan Unika

pelayanan Rumah Sakit termasuk Rumah Sakit pendidikan yang mengacu

kepada kepentingan pasien semata, dimana semua itu menjadi kewajiban setiap

Rumah Sakit untuk melakukan akreditasai yang pada dasarnya demi

kepentingan pasien dan memberikan perlindungan hukum kepada pasien.

Kita ketahui bahwa akreditasi bertujuan untuk mendapatkan gambaran

seberapa jauh Rumah Sakit-Rumah Sakit di Indonesia telah memenuhi standar

yang ditentukan, dengan demikian mutu pelayanan Rumah Sakit dapat

dipertanggungjawabkan.

Sedangkan tujuan yang lebih khusus lagi yaitu: Memberikan pengakuan

dan penghargaan kepada Rumah Sakit yang telah mencapai tingkat pelayanan

kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan merupakan upaya

memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal bagi pasien, kemudian tujuan

lainnya yaitu memberikan jaminan kepada petugas Rumah Sakit bahwa semua

fasilitas, tenaga, dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat

mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-

baiknya merupakan perlindungan kepada pasien untuk tidak mendapatkan

pelayanan kesehatan secara sembarangan tanpa memiliki kualitas yang baik.

Hal ini jelas menggambarkan bahwa akreditasi dengan tujuan khususnya itu

mengutamakan kesembuhan pasien yang merupakan upaya untuk

mendapatkannya, sedangkan tujuan terakhir yaitu: memberikan jaminan dan

kepuasan kepada pasien dan masyarakat behwa pelayanan yang diberikan oleh

Rumah Sakit diselenggarakan sebaik mungkin jelas-jelas memberikan kepastian

kepuasan pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatannya.

Dengan demikian analisa hubungan antara ketentuan akreditasi Rumah

Sakit seperti yang telah diuraikan di atas memang telah memenuhi perlindungan

hukum kepada pasien, karena sebuah standar yang dibutuhkan atau ditetapkan

dalam pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit merupakan upaya untuk

107
Perpustakaan Unika

keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien belaka dengan

mempertimbangkan keberadaan tenaga kesehatan di Rumah Sakit yang

dimaksudkan, dan setelah diundangkannya UU RI Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit memperjelas legalitas dan perlindungan hukum kepada

pasien terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan profesional serta dapat

dipertanggungjawabbkan di dalam bidang medis, perawatan, manajerial maupun

sistem bagi kelayakan palayanan kesehatannya tanpa memandang status

pasien.

Kenyataan yang kita dapati adalah setelah kita membahas berbagai

ketentuan, yang berisi uraian tentang kerangka pemikiran yang telah membahas

mengenai tinjauan umum tentang Rumah Sakit, yang didalamnya terbagi dalam

pengertian dan karanteristik Rumah Sakit, tugas dan fungsi serta klasifikasi

Rumah Sakit Indonesia, serta kerangka hukum yang mengatur penyelenggaraan

Rumah Sakit.

Selanjutnya konsep dasar akreditasi Rumah Sakit meliputi: peristilahan

dan pengertian akreditasi Rumah Sakit, tujuan dan manfaat serta fungsi

akreditasi, karakteristik dan ruang lingkup akreditasi, berikutnya adalah peraturan

internal akreditasi Rumah Sakit yang meliputi: pengertian dan dasar hukum

peraturan akreditasi Rumah Sakit, urgensi dan fungsi peraturan akreditasi

Rumah Sakit, serta materi muatan ketentuan akreditasi Rumah Sakit tersebut

dikaitkan dengan kepastian hukum, dimana hal ini diuraikan tentang manusia,

masyarakat dan pasien, hak-hak pasien serta kewajiban Rumah Sakit, dimana

kaedah hukum dan ketertibannya diuraikan termasuk tujuan dan fungsi hukum,

kemudian dibahas mengenai asas hukum meliputi : hakekat dan karakteristik

asas hukum, peranan asas hukum serta penggolongannya. Pengertian dan

hakekat asas perlindungan hukum dikupas, diikuti karakteristik asas hukumnya

serta unsur-unsur perlindungan hukum.

108
Perpustakaan Unika

Dari pembahasan hal tersebut di atas dapat ditarik sebuah hubungan

yang sangat sinkron dan saling kait mengait, antara ketentuan-ketentuan

akreditasi yang di dalamnya mengupayakan mutu pelayanan Rumah Sakit, dan

senantiasa menjaga kondisi keselamatan pasien, sehingga kepentingan pasien

adalah suatu hal yang sangat penting, sehingga butir-butir di dalam ketentuan ini,

tidak pernah lepas bagi terpenuhinya keselamatan pasien dengan jaminan mutu

pelayanan kesehatan yang menjadi pondasi didalamnya.

Sedangkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit, yang mewajibkan Rumah Sakit untuk melaksanakan

akreditasi tersebut, diharapkan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit itu dapat

memenuhi standar minimal penjaminan mutu pelayanan Rumah Sakit, baik dari

segi medik, perawatan, manajemen dan administrasi, dan seluruh komponen

yang mendukung di dalamnya. Kewajiban ini sifatnya mengikat, karena telah

tertuang di dalam Undang undang yang telah ditetapkan bagi penyelenggaraan

Rumah Sakit tersebut.

Artinya ketentuan yang bertolak dari upaya penjaminan mutu Rumah

Sakit demi keselamatan pasien ini, telah menjamin pula perlindungan hukum

bagi pasien, karena di dalam akreditasi ini perlu dilakukan segala sesuatu yang

telah diharuskan dilaksanakan di dalam Undang-Undang, dengan kata lain

bahwa : apa yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, telah dituangkan dalam ketentuan akreditasi Rumah

Sakit, dimana pelaksanaan akreditasi ini, wajib dilaksanakan oleh Rumah Sakit

yang apabila tidak dilaksanakan akan berdampak kepada hukum baik

administrasi, hukum perdata maupun pidana.

Oleh karena telah bermuatan hukum, maka pasien dapat berlindung

kepada kekuatan hukum ini, terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya,

agar memenuhi ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, melalui

109
Perpustakaan Unika

perundang-undangan bagi penjaminan mutu, yang dilaksanakan untuk Rumah

Sakit, berdasarkan kepentingan keselamatan pasien itu sendiri.

Hubungan ketentuan akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum

bagi pasien, dimana didalamnya ketentuan Rumah Sakit, unsur-unsur asas

perlindungan hukum, dan analisis hubungan antara penerapan akreditasi Rumah

Sakit dengan perlindungan hukum bagi pasien, menjadi hal yang telah

difokuskan dan terbukti, bahwa hubungan antara ketentuan akreditasi dan

perlindungan hukum bagi pasien saling berkaitan.

Maka jika ada Rumah Sakit yang telah melaksanakan akreditasi dengan

ketentuan yang berlaku di dalamnya maka Rumah Sakit itu telah melaksanakan

kegiatan berupa :

a. Pemenuhan keselamatan pasien, dilihat dari pokok-pokok ketetuan

akreditasi Rumah Sakit yang mengharuskan Rumah Sakit tersebut

melaksanakan jaminan keselamatan pasien melalui kegiatan yang

berkaitan dengan keselamatan pasien yang harus dipenuhi oleh

Rumah Sakit tersebut. Sarana dan prasarana yang menunjang

keselamatan pasien ini harus dimiliki oleh Rumah Sakit yang ingin

mendapatkan penilaian akreditasi baik

b. Jaminan kepuasan pasien, dilihat dari ketentuan akreditasi yang

harus dipenuhi oleh Rumah Sakit tersebut salah satunya harus

memberikan kepuasan kepada pasien dengan adanya evaluasi yang

dilakukan oleh pihak manajemen rumahh sakit, sehingga terbukti

Rumah Sakit tersebut telah memberikan kepuasan kepada pasien

c. Jaminan mutu pelayanan Rumah Sakit, di dalam ketentuan akreditasi

Rumah Sakit ini harus melaksanakan penjaminan mutu pelayanan

Rumah Sakit baik dari pelayanan SDM dimana pelaksana pelayanan

Rumah Sakit harus bersertifikat dan harus memiliki bukti secara

110
Perpustakaan Unika

tertulis bahwa ilmu yang dimilikinya senantiasa mengikuti

perkembangan jaman dan teknologi yang ada dengan mengharuskan

tenaga SDM memiliki sertifikat yang sesuai dengan profesinya baik

tenaga medis, paramedis maupun tenaga penungjang kesehatan

lainnya, hal ini tentu saja merupakan penjaminan mutu terhadap

kualitas pelayanan Rumah Sakit kepada pasien. Didamping itu juga

harus memenuhi kriteria standarisasi peralatan sarana dan pra

sarana yang ada yang harus dimiliki oleh Rumah Sakit tersebut.

d. Penilaian terhadap penyelenggaraan rekam medik yang terstandar

baik peNomoran, peletakkan dokumen rekam medis, pencatatan,

lokasi dan pengelolaannya, semuanya mengupayakan agar

pelayanan menjadi lebih cepat dan terjamin dari kerusakan dan

kehilangan dokumen rekam medis, hal ini menunjukkan bahwa

pasien dapat terjamin terlayani dengan baik, cepat dan tidak

dipersulit

Dengan adanya kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa dengan

dilaksanakannya akreditasi Rumah Sakit beserta dengan segala ketentuan yang

dimilikinya, dan harus dilaksanakan membuktikan telah memberikan

perlindungan hukum kepada pasien, yaitu perlindungan pasien terhadap

kegiatan pelayanan Rumah Sakit kepada dirinya untuk mendapatkan pelayanan

yang profesional, terjamin keselamatan, kepuasan, penjaminan mutu dan

pelayanan yang mudah tanpa dipersulit, dan perlindungan hukum karena

ketentuan ini telah diatur di dalam Undang-Undang Kesehatan maupun Rumah

Sakit yang telah terbit pada Tahun 2009 yang lalu.

E. PENUTUP

Dengan adanya ketentuan akreditasi berhadapan dengan peraturan UU

Rumah Sakit menjelaskan bahwa pasien telah terlindungi secara hukum karena

111
Perpustakaan Unika

hal-hal yang berkaitan dengan akreditasi Rumah Sakit harus dilaksanakan oleh

Rumah Sakit yang bersangkutan karena merupakan kewajibannya untuk

mendapatkan ijin operasional Rumah Sakitnya di tengah masyarakat yang

hendak meminta pelayanan kesehatannya. Sehingga jelas terlihat hubungan

yang pasti dan erat bahwa ketentuan akreditasi Rumah Sakit telah memberikan

perlindungan hukum kepada pasien.

Secara yuridis, konsep HAM harus dimaknai hubungan hukum antara

penyandang hak atau pihak yang berhak (rakyat), penanggung jawab hak atau

pihak yang berwajib karena suatu hak (negara) HAM adalah klaim dari rakyat

atau warga negara terhadap negaranya supaya dipenuhinya apa yang menjadi

hak-hak asasinya, dimana pada dalam UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan pada Bab I Pasal 1 dikatakan bahwa: kesehatan adalah keadaan

sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Hal ini menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi pasien memang

sangat menjadi perhatian negara/pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya UU

Kesehatan yang mengatur tentang hak hak pasien terhadap dirinya dari

perlkukan pelayanan kesehatannya. Hak-hak pasien menurut Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Bab III Pasal 4 adalah: “Setiap

orang berhak atas kesehatan “.

Seperti juga yang tercantum pada Pasal 2 yang mengatur tentang asas

dimaksud menyatakan “bahwa penyelenggaraaan praktek kedokteran

dilaksanakan berdasarkan pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat,

keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta perlindungan hukum dan

keselamatan pasien “menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi pasien

sangat dekat dengan perlakukan yang wajib dan tidak dapat ditawar lagi.

112
Perpustakaan Unika

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada Bab-Bab yang lalu tersebut, maka dalam

penelitian tesis ini dapat ditarik beberapa kekesimpulan, yaitu sebagai berikut:

1. Ketentuan akreditasi Rumah Sakit

a. Dengan diundangkannya UU Rumah Sakit maka akreditasi Rumah

Sakit yang semula bersifat sukarela menjadi wajib. Hal ini sesuai

dengan Pasal 40 Ayat (1) yang berbunyi:

“Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib

dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) Tahun sekali.”

b. Sedangkan ketentuan akreditasi Rumah Sakit tersebut memiliki

tujuan khusus akreditasi yaitu:

1) Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada Rumah Sakit

yang telah mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan

standar yang ditetapkan;

2) Memberikan jaminan kepada petugas Rumah Sakit bahwa semua

fasilitas, tenaga, dan lingkungan yang diperlukan tersedia,

sehingga dapat mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan

pasien dengan sebaik-baiknya;

3) Memberikan jaminan dan kepuasan kepada pasien dan

masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit

diselenggarakan sebaik mungkin.

c. Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit yang membawa standar minimal

terhadap pelayanan kesehatan yang mengedepankan kepentingan

pasien baik itu keselamatan dan keamanan pasien dalam

113
Perpustakaan Unika

mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hal urgensi bagi

pelayanan kesehatan, dengan hubungan kedekatan tersebut jelas

nampak bahwa untuk memberikan penjaminan pelayanan kesehatan

yang profesional, bertanggungjawab serta keberpihakkan kepada

masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan itu akan tertuang di

dalam pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit yang dimaksudkan. Ini

menunjukkan kerugensian akreditasi terhadap pelayanan kesehatan

yang dimaksudkan.

d. Eksistensi ketentuan akreditasi Rumah Sakit itu sendiri terletak pada

upaya untuk memberikan perlindungan baik hukum maupun

kepentingan keselamatan dan keamanan pasien itu sendiri, dimana

pasien yang awam akan kegiatan pelayanan kesehatan akan

memperoleh pelayanan kesehatan yang profesional, prosedural dan

aman. Semua ini harus diatur dan dapat dibaca oleh masyarakat

sebelum menjatuhkan pilihan, untuk memperoleh pelayanan

kesehatan di sebuah Rumah Sakit yang dimaksudkan.

e. Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit merupakan salah satu unsur

pengawasan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit dimana

aktivitasnya telah memenuhi hak dasar masyarakat terhadap hak

atas pelayanan kesehatan yang bermutu, dan mengutamakan

Derajat kesehatan pasien yang setinggi tingginya, dimana unsur

akreditasi Rumah Sakit adalah pelayanan kesehatan terstandar dan

kendali mutu pelayanan kesehatan

2. Perlindungan Hukum Bagi Pasien

Tujuan hukum tiada lain adalah untuk mewujudkan ketertiban,

keteraturan, kedamaian, serta keadilan sehingga terwujud pengayoman atau

114
Perpustakaan Unika

perlindungan. Jadi, secara singkat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi

manusia.

Bentuk perlindungan hukum bagi pasien ini tertuang dalam UU Rumah

Sakit, dimana di dalam Undang-Undang ini seluruh ketentuan-ketentuan bagi

Rumah Sakit berkaitan dengan Rumah Sakit itu sendiri maupun penggunanya

yaitu masyarakat telah disepakati dilindungi oleh negara sehingga kekuatan

perlindungan hukum bagi pasien ini sifatnya mengikat

2. Ketentuan Akreditasi Rumah Sakit dan Perlindungan Hukum Bagi


Pasien

Hubungan ketentuan akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum

bagi pasien, dimana didalamnya ketentuan Rumah Sakit, unsur-unsur asas

perlindungan hukum, dan analisis hubungan antara penerapan akreditasi Rumah

Sakit dengan perlindungan hukum bagi pasien, menjadi hal yang telah

difokuskan dan terbukti, bahwa hubungan antara ketentuan akreditasi dan

perlindungan hukum bagi pasien saling berkaitan.

Seperti yang sudah dibahas di atas, bahwa berdasarkan analisis

hubungan antara Ketentuan akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum

pasien, dapat ditarik kekesimpulan, yakni jika ketentuan akreditasi Rumah Sakit

dapat dilaksanakan, maka menyebabkan terpenuhinya perlindungan hukum

pasien. Hal ini dikarenakan Ketentuan akreditasi Rumah Sakit sebagaimana

yang diatur dalam UU Rumah Sakit tersebut, secara substansial adalah

terpenuhinya unsur-unsur dari perlindungan hukum pasien, yakni unsur jaminan

mutu dan keselamatan pasien yang tertuang dalam ketentuan akreditasi Rumah

Sakit.

Apabila akreditasi Rumah Sakit beserta dengan segala ketentuan yang

dimilikinya tersebut telah dilaksanakan penilaian dengan hasil penilaian telah

ditetapkan bagi Rumah Sakit tersebut, membuktikan telah memberikan

115
Perpustakaan Unika

perlindungan hukum kepada pasien. Perlindungan hukum bagi pasien terwujud

melalui kegiatan pelayanan Rumah Sakit kepada dirinya untuk mendapatkan

pelayanan yang profesional, terjamin keselamatan, kepuasan, penjaminan mutu

dan pelayanan yang mudah tanpa dipersulit . Perlindungan hukum bagi pasien ini

terjamin karena ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU Kesehatan maupun

Rumah Sakit yang telah terbit pada Tahun 2009 yang lalu.

Sejauh pembahasan yang sudah diuraikan di atas, peranan akreditasi

Rumah Sakit dalam mewujudkan penjaminan mutu pelayanan Rumah Sakit

terlihat dari standar akreditasi. Dimana hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan

pokok dan penunjang yang diakreditasi meliputi: administrasi atau manajemen,

sarana dan prasarana, SDM, kualitas pelayanan kesehatan yang dapat

dipertanggungjawabkan serta adanya tanggungjawab terhadap mutu pelayanan

di Rumah Sakit yang dapat terjamin dan terus berkembang sesuai dengan

perkembangan ilmu dan teknologi.

Demikian juga jika kita melihat dari sudut tujuan umum akreditasi yaitu :

untuk mendapatkan gambaran seberapa jauh Rumah Sakit–Rumah Sakit di

Indonesia telah memenuhi standar yang ditentukan. Dengan demikian mutu

pelayanan Rumah Sakit dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan tujuan

khususnya meliputi :Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada Rumah

Sakit yang telah mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan standar

yang ditetapkan; dan Memberikan jaminan kepada petugas Rumah Sakit bahwa

semua fasilitas, tenaga, dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga

dapat mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-

baiknya; sehingga memberikan jaminan dan kepuasan kepada pasien dan

masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit diselenggarakan

sebaik mungkin. Jadi bila tujuan akreditasi terpenuhi maka terpenuhi pula

perlindungan hukum bagi pasien.

116
Perpustakaan Unika

Di dalam ketentuan penilaian standar-standar akreditasi dimulai dari

administrasi dan manajemen menunjukkan secara tertib administrasi pasien tidak

akan dirugikan terhadap pelayanankesehatan yang illegal, ketentuan akreditasi

mengenai pelayanan medis, pelayanan gawat daruratan; pelayanan

keperawatan; pelayanan perinatal, resiko tinggi; pengendalian infeksi Rumah

Sakit, serta pelayanan sterilisasi semua itu dalam upaya memberikan hak-hak

pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal,professional dan

sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Demikian pula kegiatan lainnya yang mendukung seperti rekam medis;

kamar operasi; pelayanan laboratorium; pelayanan radiologi adalah kelengkapan

dalam mendukung pelayanan kesehatan dengan mengutamakan kepentingan

pasien terhadap hak-haknya untuk mendapatkan derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya, disamping keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan

bencana yang menjadi prioritas ketentuan akreditasi yang dimaksud. Bila seluruh

standar ketentuan akreditasi terpenuhi maka terpenuhi pula perlindungan hukum

terhadap hak pasien tersebut.

Kegiatan ketentuan akreditasi bagi Rumah Sakit dengan melaksanakan

Pemenuhan keselamatan pasien, dilihat dari pokok-pokok ketentuan akreditasi

Rumah Sakit mengharuskan Rumah Sakit tersebut melaksanakan jaminan

keselamatan pasien melalui kegiatan yang berkaitan dengan keselamatan pasien

yang harus dipenuhi oleh Rumah Sakit tersebut. Sarana dan prasarana yang

menunjang keselamatan pasien ini harus dimiliki oleh Rumah Sakit yang ingin

mendapatkan penilaian akreditasi baik.

Sedangkan penjaminan kepuasan pasien, dilihat dari ketentuan akreditasi

yang harus dipenuhi oleh Rumah Sakit tersebut salah satunya harus memberikan

kepuasan kepada pasien dengan adanya evaluasi yang dilakukan oleh pihak

117
Perpustakaan Unika

manajemen rumahh sakit, sehingga terbukti Rumah Sakit tersebut telah

memberikan kepuasan kepada pasien.

Didalam ketentuan akreditasi, Jaminan mutu pelayanan Rumah Sakit,

harus melaksanakan penjaminan mutu pelayanan Rumah Sakit baik dari

pelayanan SDM dimana pelaksana pelayanan Rumah Sakit harus bersertifikat

dan harus memiliki bukti secara tertulis bahwa ilmu yang dimilikinya senantiasa

mengikuti perkembangan jaman dan teknologi yang ada dengan mengharuskan

tenaga SDM memiliki sertifikat yang sesuai dengan profesinya baik tenaga

medis, paramedis maupun tenaga penungjang kesehatan lainnya, hal ini tentu

saja merupakan penjaminan mutu terhadap kualitas pelayanan Rumah Sakit

kepada pasien. Didamping itu juga harus memenuhi kriteria standarisasi

peralatan sarana dan pra sarana yang ada yang harus dimiliki oleh Rumah Sakit

tersebut.

Kegiatan lain di dalam ketentuan akreditasi Rumah Sakit meliputi

penilaian terhadap penyelenggaraan rekam medik yang terstandar baik

penomoran, peletakkan dokumen rekam medis, pencatatan, lokasi dan

pengelolaannya , semuanya mengupayakan agar pelayanan menjadi lebih cepat

dan terjamin dari kerusakan dan kehilangan dokumen rekam medis, hal ini

menunjukkan bahwa pasien dapat terjamin terlayani dengan baik, cepat dan

tidak dipersulit

B. SARAN

Berdasarkan uraian mengenai analisis hubungan antara ketentuan

akreditasi Rumah Sakit dan perlindungan hukum pasien sebagaimana diuraikan

dalam Bab IV, maka dalam penelitian tesis ini dapat disarankan beberapa hal,

yaitu sebagai berikut:

1. Agar Rumah Sakit tidak terlena dengan membiarkan Rumah Sakit

tidak terakreditasi tetap dapat menjalankan pelayanannya, maka

118
Perpustakaan Unika

perlu penegasan terhadap ketentuan penyelenggaraan dengan

memberikan sanksi seperti yang telah tertuang di dalam UU atau

peraturan yang berlaku.

2. Pemerintah perlu mengadakan seminar, pelatihan mengenai tatacara

pelaksanaan akreditasi di Rumah Sakit, Rumah Sakit model

akreditasi penuh, sehingga memudahkan Rumah Sakit mendapatkan

gambaran model yang mendekati kondisi Rumah Sakit yang

diharapkan secara istimewa

3. Dibuat ketentuan, agar Askes yang diselenggarakan pemerintah

hanya berlaku di Rumah Sakit yang terakreditasi

4. Agar pemerintah segera mengesahkan lembaga yang berwenang

untuk melaksanakan penilaian akreditasi yang selama ini

dilaksanakan oleh KARS melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan

setelah diundangkannya UU Rumah Sakit Tahun 2009

5. Agar pemerintah segera mengoperasionalkan UU Rumah Sakit

terfokuskan di akreditasi Rumah Sakit sebagai pedoman bagi

masyarakat untuk dapat melaksanakan akreditasi Rumah Sakit,

melalui peraturan pelaksanaan sehingga Undang-Undang yang

dimaksudkan dapat segera dilaksanakan sehingga hak masyarakat

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan

terstandar dapat dijamin secara hukum, jika tidak segera

dilaksanakan, maka penjaminan perlindungan hukum yang

dimaksudkan tidak akan diperoleh oleh masyarakat.

6. Agar Rumah Sakit ikut berpartisipasi untuk menegakkan UU Rumah

Sakit melalui kegiatan akreditasi sehingga standar minimal yang

telah ditentukan dalam kriteria dan ketentuan yang ada di dalam

akreditasi tersebut dapat terpenuhi, sehingga pasien dapat menikmati

119
Perpustakaan Unika

pelayanan kesehatan yang menjamin mutu dan keselamatannya,

berdasarkan profesionalitas.

7. Agar masyarakat ikut berpartisipasi melakukan kontrol terhadap

penjaminan mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dengan

memberikan masukan secara obyektif kepada Rumah Sakit tersebut

sehingga Rumah Sakit tidak terlena untuk tidak melakukan

perubahan dan perbaikan guna kepentingan penyelenggaraan

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi terrpenuhinya

keselamatan pasien terhadap kerugian yang tidak perlu dideritanya.

8. Agar lembaga yang mendapatkan kewenangan untuk melaksanakan

akreditasi ini memiliki bukti kemampuan yang mumpuni dalam

menyelenggarakan kegiatan akreditasi Rumah Sakit ini terbukti

secara administratif telah dinyatakan layak untuk bergabung dalam

keanggotaan lembaga yang dimaksudkan, misalnya mewajibkan

anggota KARS memiliki sertifikat tertentu yang berkaitan dalam

tugasnya selaku pelaksana kegiatan akreditasi tersebut.

120
Perpustakaan Unika

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta, 1986


A.A. Oka Mahendra. Proses Pemantapan Cita Hukum dan Penerapan Asas-
asas Hukum Nasional Masa Kini dan di Masa yang Akan Datang
dalam “Majalah Hukum Nasional” Jakarta, BPHN Departemen
Kehakiman,1995.

Abdulkadir Besar, Implementasi Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas


Hukum Nasional Sejak Lahirnya Orde Baru dalam “Majalah Hukum
Nasional” .Jakarta, Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen
Kehakiman,1995.

Azrul Azwar, Menjaga Mutu Pelayanan Medis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1996.

A. Sonny Keraf & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan (Sebuah Tinjauan


Filosofis), Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan ( Pertanggungjawaban Dokter ),


Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,


2003.

B. Arief Sidharta, Identifikasi dan Evaluasi Pemahaman Penerapan Asas-


asas Hukum dalam Konteks Perkembangan Praktek Hukum Masa
Kini dalam “Simposium Peningkatan Kurikulum Fakultas Hukum dan
Metode Pengajaran yang Mendukung Pembangunan Hukum
Nasional” diselenggarakan oleh: BPHN bekerjasama dengan FH UGM
dan Kanwil Depkeh dan HAM RI Propinsi DIY, Yoyakarta, 21-22 Juli
2004.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1998.

C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Pengantar Filsafat


Ilmu). diterjemahkan oleh: J. Drost, Gramedia, Jakarta, 1993.

Djoko Wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Airlangga Universitas,


Surabaya, 2000.

Endang Kusuma Astuti. Transaksi Terpeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis


di Rumah Sakit, PT Citra Adutya Bakti, Bandung, 2009

Endang Wahyati Yustina. Ringkasan Disertasi : Akreditasi Rumah Sakit


Sebagai Unsur Pengawasan dan Asas Pelayanan Kesehatan Yang
Optimal, Bandung, 2010

121
Perpustakaan Unika

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya, Jakarta,


1991.

Fred N. Kerlinger, Asas-asas Penelitian Behavioral. diterjemahkan oleh:


Landung R. Simatupang, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1992.

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi tentang hubungan


hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak). PT Citra Aditya
Bakti, Bandung,1998.

_______________________, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medis,


Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu


Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995.

H. Hadari Nawawi & H.M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial.
Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta, 1995.

H. Muladi. Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam


Perspektif hukum dan Masyarakat ),Refika Aditama, Bandung, 2009

H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Teori Hukum (Mengingat,


Mengumpulkan, dan membuka kembali), Refika Aditama, Bandung,
2009

J. Guwandi. Hukum Medik ( Medical Law ), Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Jakarta , 2007

J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (Jilid I : Asas-asas) disunting


oleh: M. Hisyam, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1996.

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.


Bayumedia Publishing, Surabaya, 2006.

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia, Jakarta,


1977.

Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Buku Kerja Untuk Suveyor Akreditasi Rumah
Sakit. Depkes RI, Jakarta, 2007.

Moh. Nazir, Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.

M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien. Penerbit Pustaka


Yustika, Jakarta , 2009.

Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum


Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional”. Jakarta, BPHN
Departemen Kehakiman, 1995.

122
Perpustakaan Unika

Safitri Hariyani. Sengketa Medik (alternatif penyelesaian perselisishan antara


dokter dengan pasien), Diadit Media, Jakarta, 2005.

Samsi Jacobalis, Kumpulan tulisan terpilih tentang Rumah Sakit Indonesia


dalam Dinamika sejarah,transformasi,globalisasi dan krisis
Nasional. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta, 2000.

Sedarmayanti & Syarifudin HidAyat, MetodologiPenelitian. Mandar Maju,


Bandung, 2002.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu


Tinjauan Singkat). Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum (Paradigma Metode dan Dinamika


Masalahnya). Editor Ifdhal Kasim et.al., Elsam dan Huma, Jakarta, 2002.

Sri Praptianingsih, Kedudukan Hukum Perawat Dalam Upaya Pelayanan


Kesehatan di Rumah Sakit, PT Raja Granfindo Persada. Jakarta, 2006.

Taliziduhu Ndraha, Research (Teori Metodologi Administrasi). Bina Aksara,


Jakarta, 1985.

Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di
Indonesia. PT Alumni , Bandung, 2007.

Tolib Setiady. Pokok – Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta,


Bandung, 2009

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi


Terapeutik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Verbogt, S., Bab-Bab Hukum Kesehatan. diterjemahkan oleh: F. Tengker,


Nova, Bandung, Tanpa Tahun.

Willa Chandrawila Suptiadi, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001

_______________________, Metode Penelitian (Tidak Dipublikasikan) dalam


Materi Kuliah Metode Penelitian Hukum Program Pascasarjana, Program
Studi Magister Hukum Kesehatan Yunika Soegijapranata, Semarang,
2006.

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,


Bandung, 2003

Perundang-undangan/Peraturan-Peraturan:

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang praktek Kedokteran. Nomor 29,


Jakarta, Tahun 2004.

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Rumah Sakit Nomor 44,Jakarta,


Tahun 2009.

123
Perpustakaan Unika

Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan Nomor 36, CV


Novindo Pustaka Madiri, 2009

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 436/MENKES/SK/VI/1993

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 147/Menkes/PER/I/2010

Pedoman Akreditasi Rumah Sakit Di Indonesia, Komisi Akreditasi RS dan


Sarana Kesehatan lainnya, Depkes RI Direktorat Pelayanan Medik, 2004

124

Anda mungkin juga menyukai