Anda di halaman 1dari 3

Oleh Yusuf Rohana

Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengusulkan penerbitan peraturan daerah (perda)


tentang pajak daerah, sebagai tindak lanjut terbitnya UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Secara normatif, Raperda Pajak Daerah ini merupakan
konsekuensi logis dari telah diterbitkannya UU tentang PDRD itu. Namun, karena kedudukan
perda yang dihasilkan nanti sangat strategis, masyarakat Jawa Timur secara keseluruhan harus
memahami serta berpartisipasi aktif mengawal kelahirannya. Selama ini pembangunan Provinsi
Jawa Timur mayoritas dibiayai pajak daerah. Dari total APBD Jatim 2009 sebesar Rp 7,8 triliun,
pajak daerah berkontribusi Rp 4,8 triliun lebih atau senilai 61 persen. Selain signifikansi nilai
penghimpunan pajak terhadap APBD, perda ini nanti juga berkaitan dengan imbal balik yang
diterima langsung masyarakat setelah menunaikan kewajiban pajaknya. Khusus pajak yang
terkait dengan kendaraan bermotor, yang merupakan sumber pendapatan tertinggi, masyarakat
harus mengaitkan pembahasan perda ini dengan kemacetan lalu lintas, kecelakaan, serta
ketersediaan dan kenyamanan kendaraan umum.

Hal lain yang menuntut perhatian seluruh stakeholder adalah sedang ramainya pembicaraan
kasus penyimpangan pajak di pusat, dengan aktor sementara Gayus Tambunan. Dengan
demikian, kita berharap tidak terjadi “Gayus bersambut” di Provinsi Jawa Timur.

Sama dengan peraturan daerah yang lain, perda tentang pajak daerah ini memiliki fungsi
regulasi, yakni agar terjadi keteraturan, sehingga tidak timbul berbagai permasalahan sosial
dalam masyarakat. Namun, sebagai peraturan yang khusus membahas pajak, perda ini juga
memiliki fungsi budgeting, yakni upaya menghimpun dana. Dari draf yang disodorkan
pemerintah provinsi, rupanya fungsi budgeting masih lebih menonjol daripada fungsi
pengaturannya. Tidak bisa dimungkiri, pajak daerah masih menjadi tulang punggung penerimaan
PAD dan pembiayaan pembangunan di Propinsi Jawa Timur. Namun semangat untuk
meningkatkan penerimaan pajak daerah jangan sampai berakibat pada pembebanan berlebihan
terhadap masyarakat yang sedang mengalami banyak himpitan ekonomi. Selain itu, perimbangan
berupa penyediaan sarana prasarana yang berkaitan langsung dengan pajak yang ditarik,
hendaknya dilakukan sejak dini, dan secara normatif diatur dengan jelas dalam perda ini.

Sebagai catatan, pada 2009 penerimaan PAD Provinsi Jatim Rp 5,708 triliun. Dari total PAD
tersebut, pajak daerah memberikan kontribusi Rp 4,891 triliun atau sekitar 85,69 persen.
Pemerintah provinsi memperhitungkan, penerimaan PAD Jatim bisa meningkat dengan
diberlakukannya perda baru sesuai draf usulan, yakni Rp 6,357 triliun atau naik sekitar 10 persen
dari realisasi 2009. Penerimaan PAD akan semakin bertambah jika pada 2014 pajak rokok
dengan tarif 10 persen diberlakukan. Pundi-pundi PAD Provinsi Jatim akan semakin menumpuk.

Dari hasil penghimpunan pajak selama ini, kita melihat, partisipasi dan kontribusi masyarakat
terhadap peningkatan PAD Jatim sangat besar. Karena itu, pantas kalau muncul pertanyaan,
apakah partisipasi dan kontribusi yang sangat besar tersebut sudah diimbangi dengan kewajiban
pemerintah memberikan hak masyarakat sebagaimana mestinya?

Agar terjadi keseimbangan fungsi regulasi dan fungsi budgeting pada perda, yang pada tataran
praktisnya nanti berupa optimalisasi penghimpunan pajak sekaligus pemanfaatannya untuk
kepentingan terkait, ada beberapa catatan kritis yang harus dipikirkan bersama. Pertama, dari
draf yang diajukan, pemerintah provinsi memanfaatkan terbitnya UU tentang PDRD untuk
menetapkan peningkatan tarif dengan persentase tertentu. Diusulkan pajak bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB) naik menjadi 15 persen, pajak bahan bakar kendaraan bermotor
(PBBKB) naik menjadi 10 persen. Yang menjadi pertanyaan, apa yang dijadikan dasar
pemerintah provinsi menetapkan angka sekian persen untuk setiap kenaikan? Apakah sekadar
masih dalam rentang yang diperbolehkan UU? Perlu ada perhitungan yang rasional, terukur, dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Ataukah semata-mata agar PAD bertambah?
Sementara beberapa tahun terakhir, pemerintah provinsi belum mampu “menghabiskan”
pendapatan yang diperoleh. Terakhir, dari APBD 2009, pemerintah provinsi masih menyisakan
SILPA Rp 1,9 triliun lebih. Lalu untuk apa menambah beban masyarakat dengan meningkatkan
tarif pajak bila tak mampu membelanjakannya? Pertanyaan ini diajukan bukan untuk
menghambat semangat meningkatkan pendapatan. Namun, sekali lagi, agar kenaikan pajak itu
benar-benar mempertimbangkan kemampuan masyarakat sehingga terjadi keseimbangan.

Kedua, terkait dengan pemanfaatan pajak daerah, pemerintah Provinsi Jawa Timur belum berani
memaparkan peningkatan PAD dengan pemanfaatan yang berkaitan langsung dengan penarikan
pajak sebagaimana diamanahkan UU. Usul Provinsi Jatim untuk nilai minimal sepuluh persen
yang dialokasikan untuk dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan tarif pajak, khususnya
pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) maupun
pajak air permukaan (PAP) belum cukup memberikan jaminan terpenuhinya hak masyarakat
setelah kewajiban pajaknya dipenuhi. Harus ada pasal-pasal tambahan yang menggambarkan
komitmen yang lebih jelas terhadap pemenuhan hak-hak pembayar pajak.

Ketiga, mungkin masih menggunakan logika agar tidak terjadi penyimpangan, petugas pajak
perlu diberi tambahan insentif. Mengambil pelajaran dari kasus hukum jasa pungut yang sering
terjadi sebelumnya, terkait dengan insentif, sebaiknya raperda ini mengaturnya lebih rinci dan
operasional. Kepada siapa insentif diberikan, hendaknya disebutkan secara jelas dan tidak
multitafsir. Hasil kinerja yang berhak mendapatkan insentif, juga perlu didefinisikan secara jelas.
Sebaiknya insentif diberikan bukan dari nilai total pajak terhimpun, tetapi dari
kelebihan/pelampauan target yang ditetapkan pada awal tahun. Dengan demikian, aturan insentif
ini akan memberikan dampak positif pada peningkatan kinerja pejabat terkait.

Keempat, UU No 28 Tahun 2009 memuat ketentuan baru berupa pajak progresif pada kendaran
bermotor, yakni berupa penarikan nilai pajak yang lebih besar untuk kepemilikan kendaraan
bermotor kedua dan seterusnya. Sebaiknya aturan ini dimanfaatkan dengan baik, untuk
mengelola secara komprehensif berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kendaraan
bermotor. Pertumbuhan kendaraan roda dua, misalnya, di satu sisi menjadi sumber pendapatan
tambahan dari pajak. Namun, dalam waktu bersamaan, permasalahan kemacetan lalu lintas,
kecelakaan lalu lintas, polusi, dan angka curanmor tidak bisa dibiarkan dan dianggap menjadi
permasalahan tersendiri. Untuk itu, perlu dipertimbangkan, untuk menerapkan ketentuan pajak
progresif pada kendaraan roda dua, sehingga pertumbuhannya bisa terkendali, seiring
kemampuan pengelolaan dampaknya serta pertumbuhan kapasitas jalan. Dengan dua (2)
kendaraan roda dua per keluarga, kebutuhan transportasi murah sudah relatif terpenuhi. Dengan
demikian, mulai kendaraan roda dua ke-3 dan seterusnya, bisa dikenakan tarif tambahan
(progresif) sesuai ketentuan UU.

Untuk penerapan tarif progresif roda 4, tidak ada salahnya mengambil angka yang lebih tinggi
sebagaimana ketentuan UU, sehingga bisa menekan angka disparitas dan hedonisme serta
berbagai dampak negatif akibat tingginya jumlah kendaraan roda empat.

Terakhir, bila perda ini memberikan imbalan yang tidak sedikit bagi pejabat terkait yang
berprestasi, hendaknya juga memberikan hukuman yang setimpal untuk para pejabat yang
menyimpang. Perda ini hanya mengancam pejabat yang tidak memenuhi kewajiban, tanpa
memberikan rincian yang jelas, sehingga memungkinnya ditarik ulur (baca: pasal karet) bila
terjadi permasalahan di kemudian hari. Kejelasan aturan yang berkait dengan reward and
punishment ini akan membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap petugas pajak
yang sekarang terpuruk. (Sumber: Jawa Pos, 21 April 2010)

Tentang penulis:

Ir Yusuf Rohana, Ketua F-PKS DPRD Jatim, anggota Komisi C

Anda mungkin juga menyukai