Abstraksi
Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik
secara teknis yustisi maupun organisasi, administrasi dan financial berada dibawah Mahkamah Agung
dan tidak lagi dibawah Departemen masing-masing yang membawahi sebelumnya. Mahkamah Agung
membentuk Dirjen Peradilan Umum, Dirjen Peradilan Agama, dan Dirjen Peradilan Militer dan TUN.
Semua Peradilan tersebut ada dalam satu atap Mahkamah Agung. Tugas pokok dan fungsi
Pengadilan Agama yakni bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum, keadilan
dan kedamaian berdasarkan hukum islam, kekuasaan Pengadilan Agama didasarkan atas asas
personalitas keislaman yang melekat pada substansi perkara dan berdasarkan kompetensinya.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi
Pengadilan Agama, diantaranya adalah perluasan kewenangan absolut yaitu kompetensi terhadap
sengketa ekonomi syariah. Namun demikian, hal tersebut mengalami permasalahan baru dengan
lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yakni masih adanya kemungkinan
penyelesaian dalam wilayah pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 UU
No. 21 Tahun 2008 yang bertolak belakang dengan Pasal 49 UU No. 3/2006.
Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berpengaruh
sangat besar baik terkait dengan eksistensi dari Pengadilan Agama maupun dari kewenangannya.
Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kewenangan Pengadilan Agama diperluas.Sebagaimana
dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan ekonomi syariah“.
Kebijakan terhadap perluasan kompetensi tersebut tentu dipengaruhi oleh perkembangan
kondisi di masyarakat. Adapun perubahan-perubahan yang sangat terlihat adalah dimasukkannya
ekonomi syariah ke kompentensi Pengadilan Agama oleh pembuat undang-undang. Sedangkan hal
kewarisan, dalam penjelasan undang-undang tersebut menyatakan bahwa pilihan hukum telah
dihapus, hal mana setiap pewaris yang beragama Islam maka pembagian warisannya tunduk pada
hukum Islam yang merupakan kompetensi dari Pengadilan agama. Mengenai hapusnya pilihan
hukum mengenai kewarisan ini tidak lepas dari masalah karena dalam praktik masih terjadi
penolakan-penolakan. Dalam hal ini penulis tidak membahas bagaimana penanganan kewarisan dan
pilihan hukum (choice of law), namun penulis membatasi pembicaraan terkait bagaimana beracara di
Pengadilan Agama dan membahas tentang tumpang tindihnya aturan perundangan dalam hal
penyelesaian sengketa ekonomi syariah (perbankan syariah).
1
Alumni Fakultas hukum UII angkatan 2002, Staff Legal Bank Muamalat Yogyakarta.
Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 25
Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang. Hal tersebut berdasarkan dan mengacu pada ketentuan pasal 54 UU
Pengadilan Agama. Sehingga pada Pengadilan Agama berlaku 2 (dua) hukum acara yakni pertama,
Hukum Acara Khusus dan kedua, Hukum Acara Perdata. Hukum acara khusus pada prinsipnya pada
Pengadilan Agama berlaku hukum acara khusus baik karena kelembagaanya sebagai peradilan Islam
maupun karena hukum materiil yang harus ditegakkan yaitu hukum islam, yang memerlukan hukum
acara khusus. Hal-hal yang diatur dengan hukum acara khusus karena kelembagaan sebagai
Peradilan Islam ialah sebagai berikut :
1. Tiap putusan dan penetapan harus diawali dengan kalimat
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
2. Penetapan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain;
3. Biaya perkara diatur tersendiri;
4. Perceraian yang diatur dalam Pasal 66 Pengadilan Agama diajukan dalm bentuk
permohonan.
Sehingga acara khusus inilah yang juga berlaku dalam hukum acara di Pengadilan Agama selain
Acara Perdata yang berlaku pada umumnya. Oleh karenanya seorang advokat yang beracara di
Pengadilan Agama harus memahami dan menguasai hukum acara pengadilan agama dan hukum
Islam yang menjadi hukum terapan Pengadilan Agama. Adapun beberapa kekhususan tersebut diatas
dan beberapa hukum acara di Pengadilan Agama akan diuraikan dalam tulisan ini, sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama
Didalam hukum acara perdata pasal 118 HIR, kompetensi relatif suatu pengadilan untuk
mengadili suatu perkara adalah dimana Tergugat berada atau tempat letak tanah objek sengketa, dan
lain sebagainya. Demikian pula di Pengadilan Agama diajukan ditempat Tergugat, atau menurut
obyek sengketa. Sedang untuk perkara Ekonomi Syariah diajukan ditempat tinggal Tergugat atau
menurut pilihan domisili hukum yang telah ditentukan.
Namun didalam hukum acara Peradilan agama mengenai kompetensi untuk perkara
keperdataan Islam tertentu memiliki kekhususan terhadap masalah Perkawinan. Berdasarkan UU No.
3 tahun 2006 jenis perceraian di Pengadilan Agama dibedakan menjadi dua yakni Cerai Talak dan
Cerai Gugat. Kompetensi Relatif Cerai Talak yakni :
a. Pengadilan Agama didaerah hukum domisili istri berada;
b. Pengadilan Agama di daerah hukum pemohon apabila istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa ijin Pemohon;
c. Pengadilan Agama didaerah hukum pemohon bila Termohon berada diluar negeri;
d. Pengadilan Agama di daerah hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (Pencatatan) atau
PA Jakarta Pusat apabila Pemohon dan Termohon di Luar Negeri.
Sedangkan kompetensi relative Cerai Gugat yakni di Pengadilan Agama didaerah hukum
domisili Penggugat berada kecuali bila Istri meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin Tergugat,
Pengadilan Agama didaerah Hukum Tergugat bila Penggugat berada di Luar Negeri, Pengadilan
Agama hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (Pencatatan) atau di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat jika keduanya berada di Luar Negeri.
Dalam beracara di Pengadilan Agama, peran seorang Advokat sangat dibutuhkan. Dimana
dalam beracara di Pengadilan, Advokat sebagai Penegak Hukum berfungsi untuk memberikan jasa
hukum bagi masyarakat khususnya bagi kliennya. Hal mana seorang Advokat atau Kuasa Hukum
tersebut harus memahami dan menguasai hukum acara pengadilan agama dan hukum Islam yang
menjadi hukum terapan Pengadilan Agama. Dalam praktik di Pengadilan Agama pun kuasa hukum
tidak disyaratkan harus laki-laki muslim.
Surat Gugatan atau Permohonan harus memuat yakni Pengadilan yang dituju (Kopetensi
Absolut dan Relatif), dalam perkara perceraian, identitas pihak-pihak sekurangnya memuat (nama,
umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman, dan kedudukan masing-masing dalam perkara). Posita
berisi uraian secara kronologis tentang kejadian-kejadian yang dijadikan dasar untuk menuntut.
Petitum yakni rumusan tuntutan yang diminta, surat gugatan/permohonan harus ditandatangani oleh
Penggugat/Pemohon atau Kuasa hukumnya.
2
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, edisi Revisi cetakan ke-2, Proyek Pembinaan
Tehnis Yustisial Mahkamah Agung RI 1997 Hlm. 40
Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 27
Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)
syariah) terdapat choice of law. Adanya Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 ini menjadikan persoalan
baru yakni adanya tumpang tindih dan ketidakpastian hukum dalam kewenangan mengadili
sengketa perbankan syariah (ekonomi syariah). Disatu sisi dari UU Peradilan Agama menyatakan
sengketa ekonomi syariah adalah mutlak kewenangan Peradilan Agama, sedangkan disisi lain UU
Perbankan Syariah justru membuka peluang untuk diselesaikan diluar Pengadilan Agama yaitu
Pengadilan Umum.
Kemudian berdasarkan SEMA No. 08 Tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 menyatakan
bahwa sengketa bidang ekonomi syari’ah merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Agama.
Namun demikian, SEMA pun sebenarnya tidak memberikan solusi yang tepat karena kekuatan
mengikat dari Surat Edaran Mahkamah Agung tidak sebanding dengan Undang-Undang yang jelas
merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang sangat mengikat.
Secara tidak langsung hal ini merupakan cerminan kinerja “wakil-wakil rakyat”, indikasi
kompromi dan pasal pesanan menjadi isu santer dikalangan para akademisi. Olehkarenanya hukum
adalah produk politik memang benar adanya. Mudah-mudahan dengan pemilu yang baru beberapa
waktu lalu dapat mencetak para wakil rakyat yang dapat menempatkan hukum sebagai panglima,
khususnya bagi komisi yang membidangi bidang hukum. Semoga!!
Kesimpulan:
1. Hukum acara yang dipakai dalam berpraktik di Pengadilan Agama adalah Hukum acara
perdata yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang.
2. Choice of law (pilihan hukum) dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah (ekonomi
syariah) dimungkinkan dengan penyelesaian diajukan baik melalui Pengadilan Agama
maupun penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi akad, yang diantaranya adalah melalui
Pengadilan Negeri.