Anda di halaman 1dari 5

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)

Laboratorium Fakultas Hukum


Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA


DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

Abstraksi
Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik
secara teknis yustisi maupun organisasi, administrasi dan financial berada dibawah Mahkamah Agung
dan tidak lagi dibawah Departemen masing-masing yang membawahi sebelumnya. Mahkamah Agung
membentuk Dirjen Peradilan Umum, Dirjen Peradilan Agama, dan Dirjen Peradilan Militer dan TUN.
Semua Peradilan tersebut ada dalam satu atap Mahkamah Agung. Tugas pokok dan fungsi
Pengadilan Agama yakni bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum, keadilan
dan kedamaian berdasarkan hukum islam, kekuasaan Pengadilan Agama didasarkan atas asas
personalitas keislaman yang melekat pada substansi perkara dan berdasarkan kompetensinya.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi
Pengadilan Agama, diantaranya adalah perluasan kewenangan absolut yaitu kompetensi terhadap
sengketa ekonomi syariah. Namun demikian, hal tersebut mengalami permasalahan baru dengan
lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yakni masih adanya kemungkinan
penyelesaian dalam wilayah pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 UU
No. 21 Tahun 2008 yang bertolak belakang dengan Pasal 49 UU No. 3/2006.

Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berpengaruh
sangat besar baik terkait dengan eksistensi dari Pengadilan Agama maupun dari kewenangannya.
Dalam UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, kewenangan Pengadilan Agama diperluas.Sebagaimana
dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan ekonomi syariah“.
Kebijakan terhadap perluasan kompetensi tersebut tentu dipengaruhi oleh perkembangan
kondisi di masyarakat. Adapun perubahan-perubahan yang sangat terlihat adalah dimasukkannya
ekonomi syariah ke kompentensi Pengadilan Agama oleh pembuat undang-undang. Sedangkan hal
kewarisan, dalam penjelasan undang-undang tersebut menyatakan bahwa pilihan hukum telah
dihapus, hal mana setiap pewaris yang beragama Islam maka pembagian warisannya tunduk pada
hukum Islam yang merupakan kompetensi dari Pengadilan agama. Mengenai hapusnya pilihan
hukum mengenai kewarisan ini tidak lepas dari masalah karena dalam praktik masih terjadi
penolakan-penolakan. Dalam hal ini penulis tidak membahas bagaimana penanganan kewarisan dan
pilihan hukum (choice of law), namun penulis membatasi pembicaraan terkait bagaimana beracara di
Pengadilan Agama dan membahas tentang tumpang tindihnya aturan perundangan dalam hal
penyelesaian sengketa ekonomi syariah (perbankan syariah).

Hukum Acara Pengadilan Agama


Hukum Acara Peradilan agama adalah hukum yang mengatur bagaimana tatacara/proses
mempertahankan hukum Islam materiil sesuai dengan kewenangannya, untuk mendapatkan Putusan.
Hukum acara yang dipakai dalam berpraktik di Pengadilan Agama adalah Hukum acara perdata yang

1
Alumni Fakultas hukum UII angkatan 2002, Staff Legal Bank Muamalat Yogyakarta.
Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 25
Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang. Hal tersebut berdasarkan dan mengacu pada ketentuan pasal 54 UU
Pengadilan Agama. Sehingga pada Pengadilan Agama berlaku 2 (dua) hukum acara yakni pertama,
Hukum Acara Khusus dan kedua, Hukum Acara Perdata. Hukum acara khusus pada prinsipnya pada
Pengadilan Agama berlaku hukum acara khusus baik karena kelembagaanya sebagai peradilan Islam
maupun karena hukum materiil yang harus ditegakkan yaitu hukum islam, yang memerlukan hukum
acara khusus. Hal-hal yang diatur dengan hukum acara khusus karena kelembagaan sebagai
Peradilan Islam ialah sebagai berikut :
1. Tiap putusan dan penetapan harus diawali dengan kalimat
BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
2. Penetapan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara,
kecuali apabila undang-undang menentukan lain;
3. Biaya perkara diatur tersendiri;
4. Perceraian yang diatur dalam Pasal 66 Pengadilan Agama diajukan dalm bentuk
permohonan.
Sehingga acara khusus inilah yang juga berlaku dalam hukum acara di Pengadilan Agama selain
Acara Perdata yang berlaku pada umumnya. Oleh karenanya seorang advokat yang beracara di
Pengadilan Agama harus memahami dan menguasai hukum acara pengadilan agama dan hukum
Islam yang menjadi hukum terapan Pengadilan Agama. Adapun beberapa kekhususan tersebut diatas
dan beberapa hukum acara di Pengadilan Agama akan diuraikan dalam tulisan ini, sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama
Didalam hukum acara perdata pasal 118 HIR, kompetensi relatif suatu pengadilan untuk
mengadili suatu perkara adalah dimana Tergugat berada atau tempat letak tanah objek sengketa, dan
lain sebagainya. Demikian pula di Pengadilan Agama diajukan ditempat Tergugat, atau menurut
obyek sengketa. Sedang untuk perkara Ekonomi Syariah diajukan ditempat tinggal Tergugat atau
menurut pilihan domisili hukum yang telah ditentukan.
Namun didalam hukum acara Peradilan agama mengenai kompetensi untuk perkara
keperdataan Islam tertentu memiliki kekhususan terhadap masalah Perkawinan. Berdasarkan UU No.
3 tahun 2006 jenis perceraian di Pengadilan Agama dibedakan menjadi dua yakni Cerai Talak dan
Cerai Gugat. Kompetensi Relatif Cerai Talak yakni :
a. Pengadilan Agama didaerah hukum domisili istri berada;
b. Pengadilan Agama di daerah hukum pemohon apabila istri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa ijin Pemohon;
c. Pengadilan Agama didaerah hukum pemohon bila Termohon berada diluar negeri;
d. Pengadilan Agama di daerah hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (Pencatatan) atau
PA Jakarta Pusat apabila Pemohon dan Termohon di Luar Negeri.
Sedangkan kompetensi relative Cerai Gugat yakni di Pengadilan Agama didaerah hukum
domisili Penggugat berada kecuali bila Istri meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin Tergugat,
Pengadilan Agama didaerah Hukum Tergugat bila Penggugat berada di Luar Negeri, Pengadilan
Agama hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (Pencatatan) atau di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat jika keduanya berada di Luar Negeri.
Dalam beracara di Pengadilan Agama, peran seorang Advokat sangat dibutuhkan. Dimana
dalam beracara di Pengadilan, Advokat sebagai Penegak Hukum berfungsi untuk memberikan jasa
hukum bagi masyarakat khususnya bagi kliennya. Hal mana seorang Advokat atau Kuasa Hukum
tersebut harus memahami dan menguasai hukum acara pengadilan agama dan hukum Islam yang
menjadi hukum terapan Pengadilan Agama. Dalam praktik di Pengadilan Agama pun kuasa hukum
tidak disyaratkan harus laki-laki muslim.

2. Jenis perkara yang ada di Pengadilan Agama menurut bentuknya yakni :


1. Gugatan
Perkara yang diajukan karena adanya sengketa antara penggugat dengan tergugat.
2. Permohonan Kontentius
Sengketa antara pemohon dan termohon di bidang perkawinan seperti cerai talak,
poligami, pembatalan nikah dll.
3. Permohonan Volunter
Yakni seperti dispensasi nikah dsb.

Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 26


Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Surat Gugatan atau Permohonan harus memuat yakni Pengadilan yang dituju (Kopetensi
Absolut dan Relatif), dalam perkara perceraian, identitas pihak-pihak sekurangnya memuat (nama,
umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman, dan kedudukan masing-masing dalam perkara). Posita
berisi uraian secara kronologis tentang kejadian-kejadian yang dijadikan dasar untuk menuntut.
Petitum yakni rumusan tuntutan yang diminta, surat gugatan/permohonan harus ditandatangani oleh
Penggugat/Pemohon atau Kuasa hukumnya.

3. Prosedur Penerimaan Perkara


Dalam beracara di pengadilan Agama, sebelum seseorang atau kuasa hukumnya
mengajukan permohonan atau gugatan maka terlebih dahulu melakukan registrasi atau pendaftaran
perkara. Dalam pendaftaran perkara tersebut, juga dikenal istilah penerimaan berkas-berkas.
Penerimaan berkas-berkas tersebut dilakukan dengan system meja yakni Meja I sampai dengan Meja
III. Hal mana kita wajib mengetahui tugas dan tanggung jawab tiap meja tersebut. adapun tugas dan
kewenangan dari setiap meja dapat diterangkan sebagai berikut : 2
MEJA I :
• Menerima permohonan, gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi, permohonan
peninjauan kembali dan permohonan eksekusi;
• Permohonan perlawanan yang merupakan verzet terhadap putusan verstek, tidak didaftar
sebagai perkara baru;
• Permohonan perlawanan pihak ke-3 (derden verzet) didaftarakan sebagai perkara baru dalam
gugatan;
• Menentukan besarnya panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM rangkap tiga;
• Menyerahkan surat permohonan, gugatan, permohonan banding, permohonan kasasi,
permohonan PK dan permohonan eksekusi yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang
bersangkutan agar membayar uang panjar perkara yang tecantum dalam SKUM kepada
Pemegang Kas Pengadilan Agama.
MEJA II :
• Mendaftar perkara yang masuk kedalam buku register induk perkara perdata sesuai dengan
nomor perkara yang tercantum pada SKUM/Surat Gugatan/Permohonan.
• Pendaftaran perkara dilaksanakan setelah panjar biaya perkara dibayar pada pemegang kas;
• nomor perkara dalam register sama dengan nomor perkara dalam buku jurnal;
MEJA III :
• menyiapkan dan meyerahkan salinan putusan Pengadilan apabila ada permintaan dri pihak;
• menerima dan memberikan tanda terima atas memori banding, kontra memori banding,
memori kasasi, kontra memori kasasi jawab/tanggapan alasan PK;
KAS
• Kas merupakan bagian Meja Pertama
• Pemegang kas menerima dan membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana
tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara yang bersangkutan;
• Pencatatan panjar perkara dalam buku jurnal, khusus perkara tingkat pertama (gugatan dan
Permohonan), nomor urut perkara harus sama dengan nomor halam buku jurnal.
Dengan mengetahui tugas dari setiap Meja, maka dalam mengajukan perkara di Pengadilan
Agama dapat langsung menuju meja-meja yang telah disediakan. Sehingga jangan sampai seorang
Advokat/Kuasa Hukum dalam pendampingannya dengan klien masih kebingungan dalam pendaftaran
perkara.

4. Proses sidang di Pengadilan Agama


Adapun Proses sidang di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
1. Panggilan Sidang Pertama
Panggilan dilakukan ke Para pihak secara patut (sekurang-kurangnya tiga hari sebelum
sidang) jika tidak hadir dipanggil kembali paling banyak tiga kali. Sehingga dalam praktek
terkadang tergugat/Termohon mengulur-ulur waktu untuk menghadiri persidangan dengan
alasan karena masih diberi kesempatan sampai panggilan ketiga.

2
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, edisi Revisi cetakan ke-2, Proyek Pembinaan
Tehnis Yustisial Mahkamah Agung RI 1997 Hlm. 40
Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 27
Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

Jika Penggugat/Pemohon tidak hadir setelah dipanggil secara patut maka


gugatan/permohonan dinyatakan Gugur. Sedang bila Tergugat/Termohon tidak hadir setelah
dipanggil secara patut maka akan diputus secara verstek.
2. Sidang Pertama dan Upaya Perdamaian
Pada sidang pertama bila Para Pihak telah hadir, maka kedua belah pihak diwajibkan untuk
hadir secara inperson (untuk perkara gugat cerai dan cerai talak) meskipun ada kuasanya
dengan acara melakukan pengecekan identitas dan melakukan upaya perdamaian (upaya
permaian akan terus dilakukan sampai dengan sebelum putusan hakim dijatuhkan).
3. Pembacaan Gugatan/Permohonan kontentius.
Pada sidang pertama jika upaya perdamaian tidak bisa dilakukan, maka dilanjutkan dengan
proses Pembacaan Gugatan/Permohonan.
4. Jawaban Tergugat/termohon:
Setelah Pembacaan Gugatan/Permohonan maka Tergugat/Termohon diberi kesempatan
untuk melakukan jawaban terhadap gugatan/permohonan.
5. Tahap Jawab-Jinawab (Replik-Duplik);
6. Pembuktian
Pembuktian dilakukan dengan pemeriksaan bukti tulis dan mendengar keterangan saksi-saksi
dilakukan oleh Penggugat/Pemohon terlebih dulu kemudian kesempatan berikutnya oleh
Tergugat/termohon.
7. Kesimpulan
8. Putusan.

Kewenangan Mengadili Sengketa Ekonomi Syariah.


Mengacu Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan ekonomi syariah “.
Sehingga segala persoalan mengenai ekonomi syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama
untuk memeriksa dan mengadili. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa jika terjadi persoalan
hukum/sengketa dalam permasalahan ekonomi syariah meskipun yang menjalankan bukan
berkeyakinan Islam maka penyelesaian adalah di Pengadilan Agama. Dan dalam ketentuan ini, tidak
membuka peluang adanya suatu pilihan hukum (choice of law).
Kemudian dalam pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 menyatakan “Penyelesaian
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”.
Sedangkan yang dimaksud perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
syariah dan Unit Usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Apabila kita menganalisa dari uraian kedua pasal tersebut diatas yakni pasal 55 UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dengan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama adalah sesuai dan tidak terlihat adanya tumpang tindih dalam pengaturannya. Dimana kedua
pasal termaksud menyatakan sejalan persoalan yang menyangkut sengketa perbankan syariah maka
menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama. Yang menjadi persoalan adalah dalam Pasal 55 ayat
berikutnya yakni ayat (2) menyebutkan “dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi
akad. Kemudian ayat (3) penyelesaian sengketa yang dimaksud ayat (3) tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah.
Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad? Berdasarkan Penjelasan pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008, yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai
berikut :
1. Musyawarah;
2. Mediasi perbankan;
3. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
4. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Mengacu uraian diatas, penyelesaian sengketa ekonomi syariah (Perbankan Syariah) dapat
juga diselesaikan melalui wilayah Peradilan Umum, sehingga membuka celah untuk diajukan ke
Pengadilan Negeri, meskipun putusan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Namun,
dalam hal ini dapat kita ambil kesimpulan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah (ekonomi

Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 28


Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)
Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta Telp 0274 379178 (129)

syariah) terdapat choice of law. Adanya Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 ini menjadikan persoalan
baru yakni adanya tumpang tindih dan ketidakpastian hukum dalam kewenangan mengadili
sengketa perbankan syariah (ekonomi syariah). Disatu sisi dari UU Peradilan Agama menyatakan
sengketa ekonomi syariah adalah mutlak kewenangan Peradilan Agama, sedangkan disisi lain UU
Perbankan Syariah justru membuka peluang untuk diselesaikan diluar Pengadilan Agama yaitu
Pengadilan Umum.
Kemudian berdasarkan SEMA No. 08 Tahun 2008 tanggal 10 Oktober 2008 menyatakan
bahwa sengketa bidang ekonomi syari’ah merupakan kewenangan mengadili Pengadilan Agama.
Namun demikian, SEMA pun sebenarnya tidak memberikan solusi yang tepat karena kekuatan
mengikat dari Surat Edaran Mahkamah Agung tidak sebanding dengan Undang-Undang yang jelas
merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang sangat mengikat.
Secara tidak langsung hal ini merupakan cerminan kinerja “wakil-wakil rakyat”, indikasi
kompromi dan pasal pesanan menjadi isu santer dikalangan para akademisi. Olehkarenanya hukum
adalah produk politik memang benar adanya. Mudah-mudahan dengan pemilu yang baru beberapa
waktu lalu dapat mencetak para wakil rakyat yang dapat menempatkan hukum sebagai panglima,
khususnya bagi komisi yang membidangi bidang hukum. Semoga!!

Kesimpulan:
1. Hukum acara yang dipakai dalam berpraktik di Pengadilan Agama adalah Hukum acara
perdata yang berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang.
2. Choice of law (pilihan hukum) dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah (ekonomi
syariah) dimungkinkan dengan penyelesaian diajukan baik melalui Pengadilan Agama
maupun penyelesaian dilakukan sesuai dengan isi akad, yang diantaranya adalah melalui
Pengadilan Negeri.

Beracara Di Pengadilan Agama dan Penyelesaian Ekonomi Syariah 29


Warta Hukum Edisi : Maret – April 2009
Artikel

Anda mungkin juga menyukai