2018
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/2433
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN STATUS SOSIAL EKONOMI KELUARGA DAN
KEBIASAAN MAKAN ANAK DENGAN KEJADIAN
STUNTING PADA ANAK SEKOLAH DASAR
NEGERI NO.060929 DI KECAMATAN
MEDAN JOHOR TAHUN 2017
SKRIPSI
OLEH
RIANI ADELINA LUBIS
NIM : 131000726
OLEH
RIANI ADELINA LUBIS
NIM : 131000726
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Johor Tahun 2017”. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun material. Penulis
Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Gizi
Sumatera Utara.
10. Keluarga tercinta yaitu orangtua Dr. H. ArsyadLubis, M.M dan Hj.
Nurasnida Siregar, abang penulis Rizky Anwar Lubis dan Rias Thampany
Lubis, dan kakak penulis Rima Yolanda Hsb dan Dita Ardhina yang selalu
mendukung penulis
12. Sahabat seperjuangan Ahmad Ayyub Habibi Hsb, Annisa Puspa Sari,
13. Sahabat PBL Desa Lubuk Bayas Muhammad Al Faraby, Rezki Pertiwi
15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kerjasama,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.
RianiAdelinaLubis
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi pada Anak Usia (7-9) dan
(10-12) Tahun ........................................................................ 14
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium pada Anak Usia (7-9) dan
(10-12) Tahun ........................................................................ 15
Tabel 2.3 Angka Kecukupan Protein pada Anak Usia (7-9) dan
(10-12) Tahun ........................................................................ 17
Tabel 2.4 Angka Kecukupan Vitamin A pada Anak Usia (7-9) dan
(10-12) Tahun ........................................................................ 18
Tabel 2.5 Angka Kecukupan Seng pada Anak Usia (7-9) dan (10-12)
Tahun ..................................................................................... 18
1995 di Ps. Binanga, beragama Islam, anak ketiga dari pasangan Arsyad Lubis
dan Nur Asnida Siregar, Alamat Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Nusa No.12 Kecamatan
Medan Johor,
Pada masa anak – anak memerlukan zat gizi yang relatif lebih besar
dibandingkan usia dewasa karena masih tergolong usia pertumbuhan. Anak usia
sekolah dalam hal pemenuhan kebutuhan gizi tidak berbeda dengan anak balita
akan tetapi anak usia sekolah dasar sudah bisa memilih makanan yang disenangi
dan sudah mulai menyukai makanan diluar rumah. Maka, peran orangtua sangat
penting dalam pemenuhan gizi anak.Pengetahuan gizi yang baik dari orangtua
Kebiasaan makan yang baik akan dapat memenuhi asupan gizi seimbang bagi
memiliki kandungan gizi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan tubuh anak,
maka proses pertumbuhan anak akan berlangsung secara optimal. Makanan yang
dibutuhkan anak usia sekolah hendaknya memiliki sumber energi yang berasal
dari karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu zat gizi mikro seperti mineral dan
vitamin juga diperlukan tubuh. Pola makan yang baik diharapkan dapat
Kebiasaan makan yang salahakan berdampak pada masalah yang sering terjadi
kebiasaan makan anak yang kurang mengandung zat gizi yang cukup. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan pentingnya peran zat gizi tidak saja pada
perilaku, motorik, dan kecerdasan. Selain itu, seorang anak yang sehat dan normal
kebutuhan pangan yang cukup baik dari segi kuantitas maupun kualitas serta
keluarga.
&Neufeld, 2007).
memperoleh dan memilih pangan juga semakin besar. Tingkat pendapatan yang
pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu dan pekerjaan orang tua.Status
ekonomi keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pekerjaan orang
tua, tingkat pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi
masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah yang mengalami stunting tinggi
(UNICEF, 2007). Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting
nasional mencapai 37,2 %, meningkat dari tahun 2010 (35,6 %) dan 2007 (36,8
%). Artinya pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8 juta anak
Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Berdasarkan cut off pointuntuk
stuntingsecara nasional pada kategori sangat pendek di tahun 2010 sampai 2013
terjadi penurunan sebesar 18,5 % menjadi 18,0 %, dan untuk kategori pendek
terjadi kenaikan dari 17,1 % menjadi 19,2%. Angka tersebut masih dikategorikan
tinggi karena masih berada di atas target MDG’s yaitu 32% (Depkes RI, 2013).
sebesar 43,2% dengan kategori sangat pendek sebesar 20,6% dan pendek sebesar
yang berada pada urutan kedelapan dan termasuk kategori serius (Depkes RI,
2013).
satunya adalah persoalan pola makan yang baik. Masalah gizi kurang terutama
stunting sangat erat hubungannya dengan kuantitas dan kualitas makanan yang
pendapatan belum tentu diikuti dengan peningkatan kualitas makanan. Hal ini
tingkat pendapatan, faktor sosial budaya termasuk kebiasaan makan yang buruk
yang secara tidak langsung dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi kurang.
ekonomi dan kebiasaan makan anak , peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan diketahui bahwa dari 364 siswa
tersebut maka penulis tertarik untuk melihat hubungan status social ekonomi
keluarga dan kebiasaan makan anak dengan kejadian stunting di Sekolah Dasar
penelitian ini adalah apakah ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dan
makan anak dengan kejadian stunting pada anak Sekolah Dasar Negeri 060929
1.4 Hipotesis
Ada hubungan status sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan anak
dengan kejadian stunting pada anak Sekolah Dasar Negeri 060929 Kecamatan
Medan Johor.
dasar.
2.1Stunting
disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang cukup
2007 untuk anak umur 5 – 19 tahun yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U
(2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang terdiri
dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari stunting
kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan
berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa
Stunting yang telah terjadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growthakan
mental.Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catch-up growth yang tidak
konsisten. Pada usia ini, mereka secara signifikan menunjukkan peningkatan yang
berati dalam motorik, kognitif, sosial dan emosional. Pemilihan makanan yang
terbentuk pada usia ini, merupakan dasar pembentukan kebiasaan makan pada
pada indeks tinggi badan menurut umur yang terlalu rendah. Stunting atau terlalu
pendekberdasarkan umur adalah tinggi badan yang berada di bawah minus dua
standart deviasi (< -2 SD) dari tabel status gizi WHOchild growth standard
(WHO, 2012).
Pada umumnya, pola makan dan asupan gizi pada masa anak tidak jauh
masa sesudah masa pra-sekolah yang artinya kebutuhan energi mereka akan lebih
baik jika dibandingkan dengan kebutuhan energi pada usia anak pra-sekolah,
namun frekuensi makan pada masa ini lebih rendah empat hingga enam kali, hal
ini disebabkan karena usia anak sekolah mereka lebih banyak mengonsumsi
badan relatif kurang sensitifterhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang
pendek. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat
dikategorikan sebagai berikut: sangat pendek (z-score <-3 SD), pendek (-3 SD s/d
<- 2 SD), normal (z-score -2 SD s/d 2 SD) dan tinggi (z-score >2SD).
Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung
adalah metode yang cara kerjanya berhubungan atau kontak langsung dengan
yang ingin diketahui status gizinya. Metode ini terbagi atas empat cara penilaian
ukuran tubuh manusia. Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi
keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang. Pengukurang tinggi badan atau
panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan alat pengukur tinggi/panjang
merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau.
indeks lain (seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi
hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik dari sejak anak
penyebab tidak langsung meliputi ketersediaan dan pola konsumsi makan anak,
Faktor – faktor tersebut ditentukan oleh sumber daya manusia, eknonomi dan
kembang adalah masalah struktur politik, ideologi, dan sosial ekonomi yang
Kekurangan gizi sering kali bagian dari lingkaran yang meliputi pola
makan, kemiskinan dan penyakit. Ketiga faktor ini saling terkait sehingga masing-
politik yang meningkatkan kesehatan dan gizi dapat mematahkan siklus, karena
dapat gizi tertentu dan intervensi kesehatan. Kekurangan gizi mengacu pada
sejumlah penyakit, masing-masing berhubungan dengan satu atau lebih zat gizi,
meliputi asupan yang tidak memadai dan berlebihan asupan energi, yang pertama
menuju kekurangan berat badan, stunting dan kurus, dan yang terakhir
sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi.Pada dasarnya, tingkat stunting yang
tinggi berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan peningkatan
risiko bertambah dengan adanya penyakit atau praktik pemberian makanan yang
tidak tepat.Prevalensi stunting mulai naik pada usia sekitar 3 bulan, proses dan
normal lebih baik daripada kelompok anak stunting.Pada kondisi stunting, tinggi
anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya.Anak yang stunting
berkaitan dengan keadaan yang terjadi dalam waktu yang lama seperti
kemiskinan, perilaku hidup sehat dan bersih yang kurang, kebiasaan makan, dan
hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memudahkan seseorang atau
pengasuhan yang diberikan kepada anak. Praktek pengasuhan yang berkaitan erat
dengan pendidikan ibu adalah praktek pemilihan makanan keluarga terutama pada
anak.Di samping itu, pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh.Hal ini bisa
terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widianti tahun 2016 pada anak usia 5-
19 tahun ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting,
salah satunya yaitu, pendidikan orang tua yang rendah dan kelas sosial yang
rendah. Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya stunting
yang paling tinggi dibanding dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal
memiliki finansial yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Hal tersebut membuat keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki
Selain itu, pendapatan keluarga juga menentukan jenis pangan yang dibeli.
makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh. Tingkat
pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli (Adriani dan
Wirjatmadi, 2014).
Standart hidup yang layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat
pangan yang akan dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat
hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik
orang tua selalu sibuk bekerja sehingga tidak tertarik untuk memperhatikan
jenis pangan tertentu dimulai dari permulaan hidup dan menjadi bagian perilaku
selama masa kanak - kanak akan bertahan sampai dewasa. Anak-anak lebih
pemenuhan gizi keluarga. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah
energi anak stunting menurut kategori pendek dan sangat pendek didapatkan
tingkat kecukupan energi yang mengalami defisit dengan kategori pendek sebesar
rata energi anak stunting sebanyak 1226,6 kkal perhari. Hal ini menunjukkan
bahwa rata – rata konsumsi energi anak stunting dalam sehari masih kurang dari
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini dapat terjadi
anak, jumlah asupan yang kurang, dan frekuensi makan makanan pokok yang
dikonsumsi hanya dua kali juga mengakibatkan kebutuhan energi anak belum
tercukupi.
berpengaruh terhadap status nutrisi dan metabolik. Kebutuhan energi pada anak
pertumbuhan untuk umur 1-3 tahun dan 7-10 tahun lebih cepat sehingga
mengharuskan kebutuhan energi yang lebih besar. Usia dan tahap perkembangan
anak juga berkaitan dengan kebutuhan energi (Sharlin & Edelstein dalam Fitri,
kecukupan energi yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9
Tabel 2.1Angka Kecukupan Energi pada Anak Usia (7 – 9 ) dan (10 – 12)
Tahun.
Berat Tinggi Badan Energi
Usia Jenis Kelamin (kkal)
Badan(Kg) (Cm)
Laki-laki dan
7–9 27 130 1850
Perempuan
10 - 12 Laki-laki 34 142 2100
10 – 12 Perempuan 36 145 2000
Sumber: Pedoman Gizi Seimbang Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014
pertumbuhan tulang dan gigi pada anak. Pada masa pertumbuhan juga
Sumber kalsium utama terdapat pada susu dan hasil susu, seperti keju,
serelia, kacang – kacangan dan hasil kacang – kacangan, tahu, tempe dan sayuran
hijau merupakan hasil kalsium yang baik juga. Pada anak usia 6 – 12 tahun
terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dan konsumsi susu
kecukupan kalsium yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium pada Anak Usia (7 – 9) dan (10 – 12
)Tahun.
Kalsium
Usia Jenis Kelamin
(mg)
7–9 Laki-laki dan Perempuan 1000
10 - 12 Laki-laki 1200
10 – 12 Perempuan 1200
Sumber: Pedoman Gizi Seimbang Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2014
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,
karena di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun, protein merupakan
bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi di dalam tubuh. Pada
pertumbuhan embrio. Protein juga mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang
perlu dirombak. Fungsi utama protein bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan
Kebutuhan protein anak usia 6-15 tahun mengalami kenaikan. Pada periode
usia ini protein banyak digunakan untuk pertumbuhan sel baru, pemeliharaan
jaringan dan pengganti sel yang rusak termasuk sel otak, tulanng, otot, kemudian
pembentukan komponen tubuh yang penting seperti enzim, hormon, sel darah
(2014), pada anak usia 5 – 7 tahun di kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur
pertumbuhan akan berjalan lancar dan sistem kekebalan tubuh tidak akan
terganggu dengan demikian tinggi badan akan terjaga dan tubuh tidak mudah
kecukupan protein yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas,
vitamin merupakan nama genetik yang menyatakan semua retinoid dan precursor
tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Kekurangan
Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani seperti susu, hati, kuning telur,
namun pada sayuran dan buah – buahan juga banyak seperti bayam, kangkung,
buncis, wortel, tomat, daun singkong, dan jeruk. Vitamin A sangat dibutuhkan
bagi anak sekolah karena dapat membantu perkembangan dan pertumbuhan anak.
kecukupan vitamin A yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 –
pada saat yang bersamaan. Sumber seng paling baik adalah dari protein hewani,
kecukupan seng yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 7 – 9
sosial ekonomi keluarga, dan kebiasaan makan anak dengan kejadian tunting,
maka penelitian ini memiliki tiga variabel, yaitu variabeldua independen dan satu
variabel dependen.
keluarga yang meliputi pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga.
vitamin A dan seng.Variabel status sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian stunting dan dua
variable independen adalah sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan anak.
Sekolah Dasar Negeri 060929 Kecamatan Medan Johor. Adapun rancangan pada
dengan faktor penelitian dengan cara mengamati status paparan serentak pada
3.2.1. Lokasi
Johor. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena pada survei awal didapat
beberapa murid Sekolah Dasar Negeri 060929 Kecamatan Medan Johor memiliki
tinggi badan yang tidak sesuai dengan umurnya. Dari 394 orang, 117 orang (30%)
memiliki tubuh pendek dan sangat pendek. Dan pada umumnya, Anak yang
dengan keadaan stunting berasal dari keluarga yang kurang mampu secara
sosial ekonomi keluarga dan kebiasaan makan anak yang dapat mempengaruhi
3.3.1. Populasi
Sekolah Dasar Negeri 060929 yang berjumlah 194 siswa dengan alasan karena
3.3.2. Sampel
Sampel merupakan sebagian dari seluruh siswa yang menjadi obyek. Jumlah
𝑁
𝑛 =
1 + 𝑁𝑒 2
Keterangan:
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
194
n= = 99,48 = 100
1+194 ( 0,1 )2
Ni
ni = ×n
N
65
Kelas V = × 194 = 34 responden
364
64
Kelas VI = × 194= 33 responden
364
sendiri.
kuisioner yang telah dibuat oleh peneliti. Pengukuran ini dilakukan oleh
peneliti sendiri.
Data Sekunder dalam penelitian ini adalah data siswa yaitu jumlah seluruh
siswa dan jumlah siswa per kelas yang diperoleh dari catatan dari pihak sekolah
2. Pendapatan Keluarga adalah total penghasilan per bulan dalam nilai rupiah
jam.
5. Jenis makanan adalah ragam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari
6. Kecukupan gizi adalah banyaknya zat gizi makro (energi dan protein) dan
7. Kejadian Stunting adalah suatu keadaan anak sekolah yang pendek dan
3.6. MetodePengukuran
3.6.1. SosialEkonomiKeluarga
1. PendidikanIbu
pendapatan ibu dan ayah yang diakumulasikan menjadi pendapatan keluarga guna
3.6.2. KebiasaanMakanAnak
1. JenisMakanan
menjadi:
susu)
b. Tidak lengkap : < 3 jenis (makanan pokok dan lauk pauk/ sayuran/ buah/
susu)
2. FrekuensiMakan
3. Kecukupan Gizi
Kecukupan gizi diperoleh dari hasil wawancara food recall 24 jam yang
recall 24 jam dengan cara jumlah bahan makanan yang dikonsumsi siswa dihitung
(energi, dan protein) dan zat gizi mikro (kalsium, vitamin A, danseng) yang
dianjurkan.
Setelah zat gizi makro (energi dan protein)dan zat giz imikro (kalsium,
vitamin A, danseng) yang dikonsumsi didapat dalam bentuk persen, hasil persen
Setelah jumlah zat gizi mikro (kalsium, vitamin A, dan seng) yang
dikonsumsi didapat dalam bentuk persen, hasil persen tersebut akan dikategorikan
1. Normal : ≥ -2 SD
2. Stunting : ≤ -2 SD
Dalam pengolahan data, ada empat tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
editing, coding, data entry, dan tabulasi. Editing atau penyuntingan data dilakukan
selanjutnya akan dilakukan coding, yaitu mengubah data yang berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data angka atau bilangan. Langkah ini akan memudahkan
Data yang telah diubah menjadi bentuk kode angka atau bilangan
adalah menganalisis hasil penelitian. Hasil dari analisis tersebut akan ditampilkan
univariat dan bivariat. Analisis univariat, yaitu analisis yang dilakukan terhadap
penelitian dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap variabel.
antara dua variabel penelitian, yaitu variabel independen dan dependen serta
menguji hubungan kedua variabel dependen. Pada analisis ini peneliti akan
menggunakan uji chi-square. Hipotesis akan diterima apabila nilai p< 0,05 dan
Sekolah Dasar Negeri Nomor 060929 terletak di Jl. Karya Jaya No. 52,
Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Sumatera Utara. Jumlah siswa sebanyak
485 siswa dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 228 siswa dan siswa
perempuan sebanyak 257 siswa. Jumlah jumlah guru sebanyak 20 orang dengan
SD No. 060929 memiliki sarana dan prasarana antara lain adalah ruang kelas
sebanyak tujuh kelas, perpustakaan, kamar mandi siswa dan guru, dan kantin
seperti chiki-chiki, permen, biskuit yang dijual di kantin sekolah dan makanan
tradisional seperti bakso, mie, tempe goreng dan tahu goreng dijual di kantin
diluar kantin sekolah. Proses belajar mengajar dilakukan setiap hari (senin-sabtu)
4.2 Kejadian Stunting pada AnakSD Negeri No. 060929di Kecamatan Medan
Johor Tahun 2017
normal dan stunting. Distribusi frekuensi kelompok kejadian stunting pada anak
sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel 4.1, yang menunjukkan siswa dengan
kategori normal sebanyak 43orang (43%) dan kategori stunting sebanyak 57orang
(57%). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa lebih banyak ditemukan anak
4.3 Distribusi Kejadian Stunting Menurut Jenis Kelamin dan Umur Anak SD
Negeri No. 060929di Kecamatan Medan Johor Tahun 2017
Pada tabel 4.2 dapat diketahui bahwa anak stunting dengan jenis kelamin
perempuan yang lebih mendominasi yaitu sebanyak 31 orang (62%) , dan juga
Tabel 4.2 Distribusi kejadian Stunting Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
AnakSD Negeri No. 060929di Kecamatan Medan Johor Tahun
2017
Kejadian Stunting Total
Karakteristik Normal Stunting
n % n % n %
Jenis Kelamin:
Laki-laki 2746,5 3153,4 58 100,0
Perempuan 16 38,1 26 61,9 42 100,0
Umur
9 tahun 1339,3 2060,6 33 100,0
10 tahun 13 38,2 21 61,7 34 100,0
11 tahun 17 51,5 1648,4 33100,0
Pada tabel 4.3 dibawah dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan ibu dari
yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 39 orang (39 %) yaitu lulus SMA/D-
3/S1.
Pada tabel 4.4 dibawah dapat dilihat bahwa pendapatan keluarga dari siswa
SD Negeri No. 060929 di Kecamatan Medan Johor yang termasuk rendah yaitu
makan, dan kecukupan gizi (energi, kalsium, protein, vitamin A, dan seng).
Distribusi jenis makanan, frekuensi makan, dan kecukupan gizi (energi, kalsium,
protein, vitamin A, dan seng) di tampilkan pada Tabel 4.5, Tabel 4.6, dan Tabel
4.7.
Berdasarkan pada tabel 4.5, dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi makanan
Medan Johor tidak beragam sebesar 56 %. Hal ini karena jenis makanan yang
dikonsumsi siswa setiap kali makan hanya mengkonsumsi 3 jenis makanan dalam
sehari, yaitu makanan pokok, lauk pauk dan sayur. Jenis makanan dikatakan
beragam jika makanan yang dikonsumsi siswa ≥ 4 jenis yaitu makanan pokok,
sering (4-6 kali seminggu), kadang-kadang (1-3 kali sebulan) dan jarang (1-2 kali
frekuensi selalu yaitu (2-3 kali sehari). Makanan pokok yang juga sering
dikonsumsi siswa adalah roti dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Hal ini dikarenakan
Umumnya daging dikonsumsi dengan frekuensi jarang, yaitu sekitar 1-2 kali
sebulan, dan biasanya di konsumsi pada hari – hari besar seperti libur nasional.
Siswa lebih banyak mengonsumsi ikan dan telur sebagai lauk hewani dengan
frekuensi ikan 4-6 kali seminggu, begitu juga dengan konsumsi telur. Sedangkan
lauk nabati seperti tahu dan tempe dikonsumsi 4-6 kali seminggu.
daun ubi, dan kangkung dengan frekuensi 4-6 kali seminggu. Untuk sayur jenis
brokoli jarang dikonsumsi dengan frekuensi 1-2 kali sebulan karena banyak anak
Johor mengkonsumsi buah pisang dan papaya dengan frekuensi 4-6 kali
seminggu, buah tersebut sering dikonsumsi karena mudah didapatkan dan harga
yang tidak mahal. Konsumsi susu pada siswa sangat kurang hal ini dikarenakan
mengonsumsi gorengan, chiki dan permen dengan frekuensi 4-6 kali seminggu,
garam dan gula yang tinggi yang tidak baik dikonsumsi setiap hari. Gambatan
frekuensi makanan siswa selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut:
n % n % n % n % N
1. Makanan Pokok
Nasi 100 100,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 100
Jagung 0 0,0 0 0,0 16 16,0 84 84,0 100
Singkong 0 0,0 0 0,0 25 25,0 75 75,0 100
Mie 0 0,0 51 51,0 26 26,0 23 23,0 100
Roti 5 5,0 38 38,0 43 43,0 14 14,0 100
2. Sumber
Protein
Daging 0 0,0 0 0,0 21 21,0 79 79,0 100
Ikan segar 100 100,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 100
Telur 0 0,0 44 44,0 56 56,0 0 0,0 100
Tempe 0 0,0 28 72,0 72,0 72,0 0 0,0 100
Tahu 0 0,0 26 26,0 63 63,0 0 0,0 100
4. Sayuran
Bayam 0 0,0 59 59,0 41 41,0 0 0,0 100
Kangkung 0 0,0 64 64,0 36 36,0 0 0,0 100
Daun Ubi 0 0,0 68 68,0 32 32,0 0 0,0 100
Brokoli 0 0,0 23 23,0 30 30,0 48 48,0 100
5. Buah
Apel 0 0,0 0 0,0 33 33,0 67 67,0 100
Jeruk 0 0,0 14 14,0 38 38,0 48 48,0 100
Pisang 0 0,0 46 46,0 17 17,0 37 37,0 100
Pepaya 0 0,0 18 18,0 35 35,0 47 47,0 100
Semangka 0 0,0 17 17,0 23 23,0 60 60,0 100
6. Jajanan
Susu 0 0,0 23 23,0 22 22,0 55 55,0 100
Bakso 0 0,0 11 11,0 34 34,0 55 55,0 100
Gorengan 0 0,0 35 35,0 24 24,0 41 41,0 100
Chiki 0 0,0 31 31,0 21 21,0 48 48,0 100
Permen 0 0,0 28 28,0 35 35,0 37 37,0 100
Ice Cream 0 0,0 15 15,0 38 38,0 15 15,0 100
energi, kalsium, protein, vitamin A, dan seng dikonsumsi dalam jumlah yang
sedikit sehingga kurang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah
termasuk kategori baik dan kategoi kurang sebanyak 53 (53%). Tingkat konsumsi
kalsium termasuk kategori baik sebanyak 50 (50%) dan kategori kurang sebanyak
(47%) termasuk kategori baik dan kategori kurang sebanyak 53 (53%). Tingkat
konsumsi seng pada siswa sebanyak 46 (46%) termasuk kategori kurang dan
bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting dan risiko terjadinya
dibandingkan siswa yang pendidikan ibu tinggi. Siswa pendidikan ibu tinggi
sebesar (55,8%) normal dan siswa pendidikan ibu rendah sebesar (73,6%)
stunting.
Berdasarkan tabel 4.9 bahwa hasil analisis statistik didapatkan nilai p=0,007
(p<0,05) dan nilai RP=3.059 yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang
terjadinya stunting pada siswa yang pendapatan keluarga rendah 3,059 kali lebih
frekuensi makan, dan kecukupan gizi (energi, kalsium, protein, vitamin A, dan
p=0,007 (p<0,05) dan nilai RP=3,122 yang menyatakan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara jenis makanan dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang jenis makanan tidak beragam 3,122 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang jenis makanan beragam. Pada siswa jenis
makanan beragam sebesar (62,7%) normal dan siswa jenis makanan tidak
p=0,001 (p<0,05) dan nilai RP=3,971 yang menyatakan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara kecukupan energi dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang kecukupan gizi energi kurang 3,971 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang kecukupan energi baik. Pada siswa kecukupan
energi baik sebesar (62,7%) normal dan siswa kecukupan energi kurang sebesar
(70,2%) stunting.
yang bermakna antara kecukupan kalsium dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang kecukupan kalsiumkurang 4,269 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang kecukupan kalsium baik. Pada siswa kecukupan
kalsium baik sebesar (62,7%) normal dan siswa kecukupan kalsium kurang
p=0,007 (p<0,05) dan nilai RP=3,059 yang menyatakan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara kecukupan protein dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang kecukupan protein kurang 3,059 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang kecukupan protein baik. Pada siswa kecukupan
protein baik sebesar (69,7%) normal dan siswa kecukupan protein kurang sebesar
(66,6%) stunting.
p=0,019 (p<0,05) dan nilai RP=4,874 yang menyatakan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara kecukupan vitamin A dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang kecukupan vitamin A kurang 4,874 lebih
besar dibandingkan siswa yang kecukupan vitamin A baik. Pada siswa kecukupan
vitamin A baik sebesar (67,4%) normal dan siswa kecukupan vitamin A kurang
p=0,019 (p<0,000) dan nilai RP=2,622 yang menyatakan bahwa adanya hubungan
yang bermakna antara kecukupan seng dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang kecukupan kecukupan seng kurang 2,622
lebih besar dibandingkan siswa yang kecukupan kecukupan seng baik. Pada siswa
kecukupan seng baik sebesar (60,4%) normal dan siswa kecukupan seng kurang
banyak yang mengalami stunting dari pada yang normal di SD Negeri No.
sebesar 60,6% siswa stunting, pada kategori 10 tahun sebesar 61,7% siswa
stunting dan pada kategori 11 tahun sebesar 48,4%.Hal ini menunjukkan ternyata
siswa dengan kategori jenis kelamin perempuan lebih besar ditemukan kejadian
stunting yaitu sebesar 62% siswa stunting dan jenis kelamin laki-laki sebesar
sosial ekonomi karena tingkat pendidikan berhubungan dengan status gizi yaitu
kategori rendah yaitu sebesar 61 % dan kategori tinggi sebesar 39%. Berdasarkan
Kecamatan Medan Johor lebih besar proporsinya pada tingkat pendidikan ibu
rendah sebesar 73,6% pada siswa stunting dan pendidikan ibu tinggi sebesar 44%
pada siswa stunting. Sedangkan siswa dengan pendidikan ibu rendah sebesar
26,3% pada siswa normaldan pendidikan ibu tinggi sebesar 56% pada siswa
normal. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square diketahui bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting
p=0,003dengan nilai RP=3,537, yang artinya risiko terjadinya stunting pada siswa
yang pendidikan ibu rendah 3,537 kali lebih besar dibandingkan siswa yang
stunting.
tingkat pendapatan keluarga siswa dominan rendah yaitu sebesar 55% dan
keluarga yang tinggi sebesar 60,4%, pada siswa normal dan sebesar 39,5% pada
siswa stunting. Sedangkan siswa dengan pendapatan keluarga yang rendah sebesar
33,3% pada siswa normal dan sebesar 66,6% pada siswa stunting. Berdasarkan
hasil uji statistik menggunakan chi square diketahui bahwa terdapat hubungan
pendapatan keluarga rendah 3,059 kali lebih besar dibandingkan siswa yang
anak. Kebiasaan makan anak yang buruk akan berdampak pada kesehatan anak
terutama pemenuhan zat gizi anak. Kebiasaan makan anak pada penelitian ini
meliputi jenis makanan, frekuensi makan, dan kecukupan gizi (energi, kalsium,
makanan siswa SD Negeri No. 060929 di Kecamatan Medan johor tidak beragam
yaitu sebesar 56% dan jenis makanan beragam sebesar 44%. Berdasarkan hasil
menunjukkan bahwa kategori jenis makanan tidak beragam sebesar 65% pada
siswa stunting dan kategori jenis makanan beragam sebesar 37,2% pada siswa
stunting. Sedangkan siswa dengan kategori jenis makanan tidak beragam sebesar
35% pada siswa normal dan kategori jenis makanan beragam sebesar 62,7% pada
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis makanan dengan kejadian stunting
p=0,001 dengan nilai RP=3,971 yang artinyarisiko terjadinya stunting pada siswa
yang jenis makanan tidak beragam 3,971 kali lebih besar dibandingkan siswa jenis
Kebiasaan makan yang baik dan jenis hidangan makanan yang beraneka
serta zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang.Hal ini dikarenakan tidak ada
gizi yang diperoleh dari mengonsumsi berbagai makanan mengandung zat gizi
pokok yang sering dikonsumsi siswa SD Negeri 060929 Kecamatan Medan Johor
adalah nasi (100,0%) dengan frekuensi 2-3 kali sehari. Hal ini dikarenakan nasi
Sumber protein yang paling sering dikonsumsi oleh siswa adalah ikan
(100,0%) dengan frekuensi 2-3 kali sehari, sedangkan sumber protein yang jarang
dikonsumsi oleh siswa adalah daging (79%) dengan frekuensi 1-2 kali sebulan.
dan 64% mengkonsumsi daun ubi 4-6 kali seminggu. Jenis sayuran lainnya,
dari anak masih ada yang kurang suka mengonsumsi sayur dan masih ada yang
Kecamatan Medan Johor adalah gorengan dan makanan ringan.Hal ini dapat
dilihat dari frekuensi dan jumlah siswa yang tergolong sering mengonsumsi
kebutuhan gizi siswa, namun harus diperhatikan kualitas dari jajanan tersebut.
yang harus dipenuhi dari makanan untuk mencukupi zat gizi yang dibutuhkan
oleh tubuh. Kebutuhan gizi untuk anak merupakan kebutuhan zat gizi yang
seng
Tingkat kecukupan energi anak SD rata-rata 1200 kkal, namun masih ada
juga anak yang tingkat kecukupan energi tidak baik ini disebabkan oleh kebiasaan
makan anak yang lebih menyukai makanan lain dari pada makan nasi.
penurunan berat badan dan jika berlanjut akan mengakibatkan keadaan gizi
anak terhambat. Pada usia remaja atau dewasa akan mengakibatkan menurunnya
produktifitas kerja.
kurang yaitu sebesar 53% dan kecukupan energi baik sebesar 47%. Berdasarkan
menunjukkan bahwa kategori kecukupan energi kurang sebesar 65% pada siswa
stunting dan kategori kecukupan energi baik sebesar 35% pada siswa stunting.
Sedangkan siswa dengan kategori kecukupan energi kurang sebesar 37,2% pada
siswa normal dan kategori kecukupan energi baik sebesar 62,8% pada siswa
normal.
pada siswa yang kecukupan energi rendah 3,122 kali lebih besar dibandingkan
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jumirah, dkk (2008)
pada anak Sekolah Dasar di Desa Namo Gajah Kecamatan Medan Tuntungan
bahwa dalam penelitian tersebut anak yang pendek pada umumnya mempunyai
konsumsi energi yang kurang, sementara anak dengan status gizi normal
menunjukkan konsumsi energi yang bervariasi dari tingkat konsumsi baik sampai
defisit. Dengan kata lain ada anak yang tinggi badan menurut umur normal tetapi
mempunyai konsumsi energi yang kurang dan defisit, sebaliknya ada anak yang
status tinggi badannya pendek dan sangat pendek mempunyai konsumsi energi
yang kurang dan baik. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi badan sebagai indikator
pertumbuhan linier lebih merupakan refleksi dari asupan gizi masa lalu bukan
masa sekarang.
kalsium terdapat dalam tulang dan gigi dan sisanya 1 % terdapat dalam darah dan
jaringan lunak (Devi, 2012).Kalsium sangat penting dan dibutuhkan oleh tubuh
saat masa pertumbuhan tulang dan gigi. Konsumsi kalsium yang kurang pada
anak dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan. Pada anak stunting jika
kurang yaitu sebesar 50% dan kecukupan kalsium baik sebesar 50%. Berdasarkan
menunjukkan bahwa kategori kecukupan kalsium kurang sebesar 65% pada siswa
stunting dan kategori kecukupan kalsium baik sebesar 30,2% pada siswa stunting.
Sedangkan siswa dengan kategori kecukupan kalsium kurang sebesar 35% pada
siswa normal dan kategori kecukupan kalsium baik sebesar 69,7% pada siswa
normal.
stunting p=0,001 dengan nilai RP=4,269 yang artinya bahwa kecukupan kalsium
memiliki hubungan dengan kejadian stunting dan risiko terjadinya stunting pada
siswa yang kecukupan kalsium rendah 4,269 kali lebih besar dibandingkan siswa
hubungan pola konsumsi dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12
tahun di SDN 173538 Balige, bahwa dari 60 anak terdapat 48,3% mengalami
defisit kalsium, 6,7% anak mengalami kekurangan kalsium, 6,7% anak dengan
kecukupan kalsium sedang dan 38,3% anak dengan kecukupan kalsium baik, yang
kurang yaitu sebesar 55% dan kecukupan protein baik sebesar 45%. Berdasarkan
siswa stunting dan kategori kecukupan protein baik sebesar 39,5% pada siswa
33,3% pada siswa normal dan kategori kecukupan protein baik sebesar 60,4%
pada siswa yang kecukupan protein rendah 3,059 kali lebih besar dibandingkan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Regar (2013) yang meneliti
hubungan kecukupan asupan protein dengan status gizi menurut indeks TB/U
dengan populasi penelitian anak umur 5-7 tahun yang memberikan hasil nilai p=
0,037.
kurang yaitu sebesar 53% dan yang termasuk kategori baik sebesar 47%.
stunting lebih besar proporsinya pada anak yang kecukupan vitamin A nya
kategori kurang (70%) dari pada anak yang kecukupan vitamin A nya kategori
baik (29,8%). Sebaliknya, anak yang tinggi badannya kategori normal lebih
banyak terdapat pada kelompok yang kecukupan vitamin A nya kategori baik dari
pada siswa kecukupan vitamin A rendah 4,874 kali lebih besar dibandingkan
kecukupan seng siswa SD Negeri No. 060929 di Kecamatan Medan Johor kurang
yaitu sebesar 54% dan yang termasuk kategori baik sebesar 46%. Berdasarkan
kecukupan sengnya kategori kurang (63,1%) dan pada anak yang kecukupan
sengnya kategori baik (39,5%). Sebaliknya, anak yang tinggi badannya kategori
normal lebih banyak terdapat pada kelompok yang kecukupan sengnya kategori
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat asupan seng dengan kejadian
pada siswa yang asupan seng kurang 2,622 kali lebih besar dibandingkan siswa
kecukupan seng rendah sebagai faktor risiko perawakan pendek pada anak bahwa
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi dan Kadek (2016) bahwa
pada anak balita yang kurang mengonsumsi seng lebih banyak mengalami
stunting daripada balita yang konsumsi sengnya tercukupi. Maka dapat dilihat
tidak tercukupi maka akan mengakibatkan terjadinya stunting pada anak dan
penelitian yang telah dilakukan bahwa asupan seng memilki risiko yang tinggi
kejadian stunting pada anak masih banyak ditemukan dan masih dalam
<Rp. 2.528.000.
3. Kebiasaan makan anak di SD Negeri No. 060929Kecamatan Medan Johor
Berdasarkan jenis makanan yang di konsumsi anak tidak beragam. Hal ini
dikarenakan dari kurangnya variasi menu setiap kali makan. Sedangkan
untuk frekuensi makan, anak masih cendrerung mengonsumsi makanan
pokok dan lauk pauk, sementara sayur, buah dan susu masih sangat kurang
dikonsumsi sehingga jumlah kecukupan gizi (energi, kalsium, protein,
vitamin A danseng) yang di konsumsi anak SD Negeri No. 060929di
Kecamatan Medan Johor tergolong kurang.
4. Hasil penelitian hubungan status sosial eknomi keluarga dengan kejadian
6.2 Saran
1. Sebagai orangtua terutama ibu yang mengelola makanan anak diharapkan
baik jajanan kantin maupun jajanan yang diluar kantin, yang akan
kejadian stunting pada anak, baik secara langsung maupun secara tidak
Dewi, I.A.K.C dan Kadek T.A. 2016.Pengaruh Konsumsi Protein Dan Seng Serta
Riwayat Penyakit Infeksi Terhadap Kejadian StuntingPada Anak Balita
Umur 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Nusa Penida III. Jurnal
Arc.com. Health vol. 3 No. 1: 36-46.
Fitri. 2012. Berat Lahir sebagai Faktor Dominan Terjadinya Stunting pada Balita
12-59 Bulan di Sumatera (Analisis data RISKESDAS 2010). Tesis.
Depok. FKM Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Hidayati, Hamam, dan Amitya. 2010. Kekurangan Energi dan Gizi Merupakan
Faktor Risiko Kejadian Stunted pada Anak 1-3 Tahun yang Tinggal di
Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta. Jurnal Kesehatan. Vol. 3 no. 1 :
89-104.
Regar, Evan, Rini Sekartini. 2013. Hubungan Kecukupan Asupan Energi dan
Makronutrien dengan Status Gizi Anak Usia 5-7 Tahun di Kelurahan
Kampung Melayu, Jakarta Timur Tahun 2012.Jurnal Kedokteran
Indonesia Vol. 1, No. 3, Desember.
Solia, R. 2014. Hubungan Pola Konsumsi Makanan dan Konsumsi Susu dengan
Tinggi Badan Anak Usia 6-12 Tahun di SDN 173538 Balige. Skripsi.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Suhardjo. 2009. Perencanaan Pangandan Gizi. Jakarta: BumiAksara.
Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Supariasa, 2002, Penilaian Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta.Trisnawati, M., Pontang, S.G.,Mulyasari, I. 2016. Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59
Bulan di Desa Kidang Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok
Tengah. Jurnal Ilmu Gizi. STIKES Ngudi Wahyu.
Trisnawati, M. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stunting PadaBalita Usia 24-59 Bulan Di Desa Kidang Kecamatan
Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah (Skripsi). Ungaran: Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo.
UNICEF. 2007. Progress for Children: Stunting, Wasting, and Overweight.
UNICEF. 2013. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
Widianti, YA. 2016. Prevalensi, Faktor, Resiko, dan dampak Stunting pada Anak
Usia Sekolah. Jurnal: universitas slametriyadi, Surakarta.
Word Health Organization. 2007. Growth reference 5-19 years. Jewena.WHO
Interim Guidelines.
KARAKTERISTIK SISWA
Nama Ibu :
Nama Anak :
Pendidikan Ibu : a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
2. Karakteristik Anak SD
Nama :
Umur : thn
Jenis Kelamin :
Tanggal lahir :
TB : cm
Sumber Protein
a.Daging
b. Ikan
c. Telur
d. Tahu
e. Tempe
Sayuran :
a.Bayam
b. Kangkung
c. Daunsingkong
d. Brokoli
Buah :
a. apell
b. Jeruk
c. Pisang
d. Pepaya
e. Semangka
Jajanan
a. Susu
b. Bakso
c. Gorengan
d. Chiki
e. Permen
f. Ice cream
BahanMakanan
Waktu Makan Nama Masakan Jumlah
Makanan
Jenis
URT Gr
Pagi/Jam
Siang/jam
Malam/jam
pendidikan ibu
stunting Count 15 42 57
Chi-Square Testsd
Linear-by-Linear
8.875c 1 .003 .004 .003 .002
Association
Risk Estimate
% within pendapatan
57.8% 30.9% 43.0%
keluarga
stunting Count 19 38 57
% within pendapatan
42.2% 69.1% 57.0%
keluarga
% within pendapatan
100.0% 100.0% 100.0%
keluarga
Linear-by-Linear
7.217c 1 .007 .009 .006 .004
Association
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
19.35.
Risk Estimate
% within kejadian
62.8% 37.2% 100.0%
stunting
stunting Count 17 40 57
% within kejadian
29.8% 70.2% 100.0%
stunting
% within kejadian
44.0% 56.0% 100.0%
stunting
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.92.
Risk Estimate
stunting Count 20 37 57
% of Total
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19.35.
Risk Estimate
% within kejadian
69.8% 30.2% 100.0%
stunting
% within kecukupan
60.0% 26.0% 43.0%
kalsium
stunting Count 20 37 57
% within kejadian
35.1% 64.9% 100.0%
stunting
% within kecukupan
40.0% 74.0% 57.0%
kalsium
% within kejadian
50.0% 50.0% 100.0%
stunting
% within kecukupan
100.0% 100.0% 100.0%
kalsium
Linear-by-Linear
11.673c 1 .001 .001 .001 .000
Association
Risk Estimate
stunting Count 19 38 57
Linear-by-Linear
7.217c 1 .007 .009 .006 .004
Association
Risk Estimate
% within kecukupan
55.3% 32.1% 43.0%
vitamin A
stunting Count 21 36 57
% within kecukupan
44.7% 67.9% 57.0%
vitamin A
% within kecukupan
100.0% 100.0% 100.0%
vitamin A
Linear-by-Linear
5.436c 1 .020 .026 .016 .011
Association
N of Valid Cases
100
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20.21.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 2.332.
Risk Estimate
stunting Count 17 40 57
Chi-Square Testsd
Linear-by-Linear
13.823c 1 .000 .000 .000 .000
Association
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
19.78.
Risk Estimate