Anda di halaman 1dari 14

SIFAT WALI-WALI ALLAH TA’ALA

Oleh

Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas ‫هللا حفظه‬

ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ْ‫ي ه َُري َرْة َ أَبِي‬ َْ ‫ض‬ ّْ ُ‫عن ْه‬
ِ ‫َللاُ َر‬ َ ،‫ل‬ َْ ‫قَا‬: ‫ل‬َْ ‫ل قَا‬
ُْ ‫سو‬ ِ ‫صلّى‬
ُ ‫هللاْ َر‬ ْ ‫علَي ِْه‬
َ ُ‫هللا‬ َ ‫سلّ َْم‬َ ‫و‬:
َ
َْ ‫ل تَعَالَى‬
ّْ ِ‫هللا إ‬
‫ن‬ َْ ‫قَا‬: ْ‫عا َدى َمن‬ َ ْ‫ب فَقَدْ َو ِليًّا لِي‬ ِْ ‫آذَنت ُ ُهبِال َحر‬، ‫ب َو َما‬ َْ ‫عبدِيْ تَقَ ّر‬ َ ْ‫ي أ َ َحبّْ بِشَيء‬ ّْ َ‫علَي ِْه افت ََرضت ُ ْهُ مِ ّما إِل‬
َ ،‫ل‬ ّْ َ‫ب إِل‬
َ ُْ‫ي يَتَقَ ّرب‬
ُْ ‫عبدِيْ َو َمايَزَ ا‬ ِْ
ِْ ِ‫أُحِ بّ ْهُ َحتّى النّ َواف‬، ‫سم َع ْهُ أَح َببت ُ ْهُ فَإِذَا‬
‫ل‬ َُ ‫ ِب ِْه َيس َم ُْع الّذِيْ ُكنت‬، ُ‫ص َرْه‬ ‫ب‬
َ َ َ‫و‬ ‫ِي‬
ْ ‫ذ‬ ّ ‫ل‬‫ا‬ ْ
‫ر‬ ‫ص‬
ُ ِ ‫ُب‬ ‫ي‬ ْ
‫ه‬
ِ ‫ب‬، ْ
‫ه‬ ‫د‬
َ
ِ ُ َ َ‫ي‬‫و‬ ‫ِي‬
ْ ‫ت‬ّ ‫ل‬‫ا‬ ْ
‫ش‬ُ َ ِ‫ط‬ ‫ب‬‫ي‬ ُ ْ
‫ه‬ َ ‫ل‬‫ج‬ ‫ر‬ ‫و‬،‫ا‬‫ه‬
ِ َ َِ ‫ب‬ ‫ِي‬
ْ ‫ت‬ ّ ‫ل‬‫ا‬ ‫ِي‬
ْ ‫ش‬ ‫م‬‫ي‬ ‫ا‬‫ه‬ ‫ب‬،
َ َِ َِ ‫ن‬
ْ ‫إ‬‫و‬ ‫ِي‬
ْ ‫ن‬ َ ‫ل‬َ ‫أ‬‫س‬َ ِْ‫ََلُعط‬
ُّ‫يَن ْه‬، ‫ِن‬ َ ّ َ ُ َ َ
ِْ ‫استَعَاذنِيَلعِيذن ْهُ َولئ‬.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku
mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih
Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat
kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan
untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan
kepada-Ku, Aku pasti melindunginya.’

Kelengkapan hadits ini adalah:

َ ْ‫عنْ ت ََر ُّددِيْ فَا ِعلُ ْهُ أَنَا شَيء‬


‫عنْ ت ََردّدْتُْ َو َما‬ َ ‫س‬ ِْ ِ‫سا َءت َ ْهُ أَك َرْهُ َوأَنَا يَك َرهُال َموتَْ ال ُمؤم‬
ْ ِ ‫ن نَف‬ َ ‫ َم‬.

Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang
pencabutan nyawa orang Mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhâri, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’, I/34, no. 1;
Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, III/346; X/219; Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1248), dan
selainnya.

Setelah membawakan hadits ini, Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Hadits ini shahih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam
hadits yang shahih yang diriwayatkan dari Rabbnya. Kemudian beliau bawakan hadits di atas.”[1]

Hadits ini termasuk hadits yang diperbincangkan oleh para Ulama -walaupun diriwayatkan oleh al-
Bukhari dalam kitab Shahîhnya– karena ada rawi yang lemah. Akan tetapi hadits ini shahih karena
ada syawâhid(penguat-penguatnya), sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani t dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1640.

SYARAH HADITS
Ath-Thufi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan asas dalam menuju kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dan sampai kepada pengenalan dan cinta-Nya, serta jalan menuju kepada-Nya. Karena
pelaksanaan kewajiban batin yaitu iman dan kewajiban zhahir yaitu Islam dan gabungan dari keduanya
yaitu ihsan, semuanya terdapat dalam hadits ini, sebagaimana semuanya ini juga terkandung dalam
hadits Jibril. Dan ihsan menghimpun kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allâh berupa zuhud,
ikhlas, murâqabah, dan lainnya.” [2]

1.Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atas:

َ ْ‫ب آذَنت ُ ْهُ فَقَْدْ َو ِليًّا لِي‬


ْ‫عا َدى َمن‬ ِْ ‫ِبال َحر‬

Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.

Maksudnya, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya karena ia memerangi-Ku dengan


memusuhi para wali-Ku. Jadi, para wali Allâh wajib dicintai dan haram dimusuhi sebagaimana para
musuh Allâh wajib dimusuhi dan haram dicintai.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia” [Al-Mumtahanah/60:1]

Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allâh, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada
Allâh). Dan barangsiapa menjadikan Allâh, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai
penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allâh itulah yang menang.” [Al-Mâ-idah/5:55-56]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sifat kekasih-kekasih-Nya adalah orang-orang yang Dia
cintai dan mereka mencintai-Nya, mereka rendah hati terhadap kaum Mukminin dan bersikap keras
terhadap orang-orang kafir.

Ketahuilah bahwa segala macam bentuk kemaksiatan adalah bentuk memerangi Allâh Subhanahu wa
Ta’ala, namun semakin jelek perbuatan dosa yang dikerjakan, semakin keras pula peperangannya
terhadap Allâh Azza wa Jalla . Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menamakan pemakan
riba[3] dan perampok[4] sebagai orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dikarenakan
kezhaliman mereka yang sangat besar kepada para hamba-Nya serta usaha mereka mengadakan
kerusakan di muka bumi. Demikian pula orang yang memusuhi para wali-Nya, barangsiapa memusuhi
mereka maka ia telah memusuhi Allâh dan telah memerangi-Nya.[5]

SIFAT DAN CIRI-CIRI WALI-WALI ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allâh itu, tidak ada rasa takut
pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa
bertakwa.”[Yûnus/10:62-63]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam ayat ini sifat wali-wali-Nya. Sifat pertama, mereka
memiliki iman yang jujur; Dan sifat kedua, mereka bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika
menjelaskan sifat kedua ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫اس أَولَى ِإ ّن‬


ْ ِ ّ‫ال ُمْت ّقُونَْ بِيْ الن‬، ْ‫ث كَانُوا َمن‬
ُْ ‫كَانُوا َو َحي‬
Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat denganku adalah mereka yang bertakwa. Siapa pun
mereka dan di mana pun mereka[6]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan wali Allâh adalah orang yang
mengenal Allâh, selalu menaati-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”[7]

Pintu ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi wali Allâh. Dan sebagaimana diketahui bahwa para
wali Allâh memiliki tingkatan yang dijelaskan oleh Allâh dalam firman-Nya, yang artinya, “Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara para hamba Kami, lalu di antara
mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” [Fâthir/35:32]

Tingkatan pertama, orang yang menzhalimi diri sendiri. Mereka adalah pelaku dosa-dosa. Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, ”Mereka melalaikan sebagian kewajiban dan melakukan sebagian perbuatan
haram.”[8]

Tingkatan kedua, orang yang pertengahan. Mereka yang melaksanakan yang wajib-wajib, menjauhkan
yang haram, akan tetapi terkadang mereka meninggalkan yang sunnah dan terjatuh pada sesuatu yang
makruh.

Tingkatan ketiga, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan, mereka selalu melaksanakan yang wajib
dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh.

Adapun wali Allâh yang paling utama adalah para Nabi dan Rasul, setelah itu, para Sahabat Radhiyallahu
anhum. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka:

‫ل ُم َح ّم ْد‬ ُْ ‫سو‬ ِّْ ۚ َْ‫علَى أ َ ِشدّا ُْء َمعَ ْه ُ َوالّذِين‬


ُ ‫َللا َر‬ ِْ ّ‫س ّجدًا ُر ّكعًا ت ََراهُمْۚ بَينَ ُهمْ ُر َح َما ُْء ال ُكف‬
َ ‫ار‬ ُ َْ‫ل يَبتَغُون‬ ًْ ‫َللا مِ نَْ فَض‬ ِّْ ‫ُو ُجو ِه ِهمْ فِي سِي َماهُمْ ۚ َو ِرض َوانًا‬
ْ‫س ُجو ِْد أَث َ ِْر مِ ن‬ َٰ
ُّ ‫ل فِي َو َمثَلُ ُهمْ ۚ التّو َراةِْ فِي َمثَلُ ُهمْ ذَِْلكَْ ۚ ال‬ َ َ َ َ َ َ َْٰ َ‫عل‬
ِْ ‫اْلن ِجي‬
ِ ‫ع‬
ْ ‫ر‬ َ‫َز‬‫ك‬ ْ
‫ج‬َ ‫ر‬
َ ‫خ‬ ‫أ‬ ُ ْ
‫ه‬ ‫أ‬‫َط‬ ‫ش‬ ُ ْ
‫ه‬ ‫ر‬ َ َ‫آز‬ ‫ف‬ ْ
‫ظ‬ ‫ل‬‫َغ‬ ‫ت‬‫اس‬ ‫ف‬ ْ
‫ى‬َٰ َ ‫ى فَاست‬
‫َو‬ َ ‫سوقِ ِْه‬
ُ ُْ‫يُع ِجب‬
ُّ ‫ظ‬
َْ ‫الز ّرا‬
‫ع‬ َْ ‫ار ِب ِه ُْم ِل َيغِي‬
َْ ّ‫ع َْد ۚ ال ُكف‬ ‫و‬ ْ
‫َللا‬
َ َ ُّ َْ‫ِين‬
‫ذ‬ ّ ‫ل‬‫ا‬ ‫وا‬ ُ ‫ن‬‫م‬َ ‫آ‬ ‫وا‬ُ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫و‬ ْ
‫ت‬
ِ‫ّ ِ َ ِ َ َم‬‫ا‬‫ح‬ ‫ل‬‫ا‬‫ص‬ ‫ال‬ ‫م‬
ْ ‫ه‬ ‫ن‬ ً ْ
‫ة‬ ‫ِر‬ ‫ف‬ ‫غ‬
ُ ِ‫َظِ ً َ ً َ َ م‬ ‫م‬ ‫ا‬‫ر‬ ‫ج‬ َ ‫أ‬‫و‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ي‬ ‫ع‬

Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud
mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang
diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin
kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
Mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara
mereka, ampunan dan pahala yang besar [Al-Fath/48:29]

Para Sahabat Radhiyallahu anhum merupakan contoh yang agung dalam mewujudkan perwalian kepada
Allâh. arangsiapa ingin mendapatkan keridhaan Allâh, maka hendaknya dia menempuh jalan para
Sahabat.[9]

Para wali Allâh tidak ma’shûm (tidak terpelihara dari dosa). Mereka sebagai manusia biasa terkadang
keliru dan berbuat dosa. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan orang yang membawa
kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.
Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Rabbnya. Demikianlah balasan bagi orang-orang
yang berbuat baik, agar Allâh menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka
lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka
kerjakan.” [Az-Zumar/39:33-35]

Ayat tersebut menggambarkan tentang para wali Allâh yaitu Allâh akan memberi pahala dengan yang
lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Itu merupakan balasan atas taubat mereka dari perbuatan
dosa. Ayat ini juga menetapkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul, terkadang jatuh dalam
kesalahan dan dosa. Di antara dalil yang menguatkan bahwa para wali Allâh selain para Nabi dan Rasul
yaitu para Sahabat mereka bisa terjatuh dalam kesalahan adalah telah terjadi peperangan di antara
mereka, juga terdapat ijtihad-ijtihad mereka yang keliru. Dan yang seperti ini sudah maklum diketahui
oleh mereka yang sering membaca perkataan para Sahabat dalam kitab-kitab fiqih dan selainnya.[10]

Meski demikian, kita tidak boleh mencela mereka, bahkan kita dianjurkan untuk mendoakan mereka
dengan baik, sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah al-Hasyr, ayat ke-10.

Para Sahabat adalah orang-orang yang dijanjikan ampunan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
dijanjikan surga, sebagaimana disebutkan dalam surah al-Fath ayat ke-29.

2. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atas:

َ ْ‫ي أ َ َحبّْ بِشَيء‬


َْ ‫عبدِيْ تَقَ ّر‬
‫ب َو َما‬ َ ، ‫ي يَتَقَ ّربُْ يَزَ الُعَبدِيْ َو َما‬
ّْ َ‫علَي ِْه افت ََرضت ُ ْه ُ مِ ّما إِْل‬ ِْ ِ‫أُحِ بّ ْه ُ َحتّى بِالنّ َواف‬
ّْ َ‫ل إِل‬

Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang
Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah
sunnah hingga Aku mencintainya.”

Setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa memusuhi para wali-Nya berarti memerangi-
Nya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat para wali-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga
menyebutkan apa yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Asal makna dari al-
muwâlâh(kecintaan) adalah al-qurb (kedekatan) dan asal makna dari al-mu’âdâh (memusuhi) adalah al-
bu’du(jauh/menjauhi). Jadi para wali Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah orang-orang yang selalu
mendekatkan diri pada-Nya dengan apa yang dapat mendekatkan diri mereka kepada-Nya, sedang para
musuh-Nya ialah orang-orang yang dijauhkan dari-Nya dengan amal perbuatan mereka yang
menyebabkan mereka diusir dan dijauhkan dari-Nya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala membagi para wali-Nya yang dekat ke dalam dua kelompok, sebagai berikut.

Pertama, yang mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan hal-hal yang
diwajibkan saja dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.

Kedua, yang mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan amalan-amalan sunnah
setelah mengerjakan yang wajib.

Maka dengan ini menjadi jelaslah bahwa tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala , kewalian-Nya, dan kecintaan-Nya selain taat kepada-Nya dengan menjalankan
yang disyari’atkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya. Barangsiapa mengklaim dirinya mendapat kewalian dari
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kecintaan-Nya tetapi melalui selain jalan ini, berarti ia dusta dalam
pengakuannya, seperti yang terjadi dengan orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dengan cara menyembah tuhan-tuhan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , seperti
dikisahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang mereka, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allâh (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan
kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya” [Az-Zumar/39:3]

Dan sebagaimana Allâh Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
berkata, “Kami adalah anak-anak Allâh dan kekasih-kekasih-Nya.” [Al-Mâ-idah/5:18]

Padahal mereka terus-menerus mendustakan para Rasul-Nya, mengerjakan larangan-Nya, dan


meninggalkan semua kewajiban-Nya.

Dalam hadits ini, Allâh menjelaskan bahwa para wali-Nya itu terbagi dalam dua tingkatan.

Pertama, tingkatan orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan kewajiban-
kewajiban. Ini tingkatan al-muqtashidîn (pertengahan) dan golongan kanan. Mengerjakan kewajiban-
kewajiban adalah sebaik-baik amal sebagaimana yang dikatakan Umar bin al-Khathab Radhiyallahu
anhu, “Sebaik-baik amal ialah menunaikan apa saja yang diwajibkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ,
menjauhi apa saja yang diharamkan-Nya, dan niat yang jujur terhadap apa saja yang ada di sisi Allâh
Subhanahu wa Ta’ala .”[11]

Kewajiban badan yang paling agung yang diwajibkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah shalat. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُْ‫اجدْ َوه َُْو َربِ ِْه مِ نْ العَب ُْد يَ ُكونُْ َما أَق َرب‬
ِ ‫س‬َ ، ‫عا َْء فَأَكث ُِروا‬
َ ‫ال ُّد‬

Sedekat-dekat seorang hamba kepada Rabbnya ialah ketika ia sujud, maka perbanyaklah doa.[12]

Kedua, tingkatan orang-orang yang berlomba-lomba (dalam kebaikan) lagi dekat, yaitu orang-orang
yang mendekat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan ibadah-ibadah wajib kemudian bersungguh-
sungguh mengerjakan ibadah-ibadah sunnah dan menjaga diri dari hal-hal yang makruh dan
bersikap wara’ (takwa). Sikap itu menyebabkan seorang hamba dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala ,
seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala : “Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku
dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.”

Dan barangsiapa dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan
menganugerahkan rasa cinta kepada-Nya, taat kepada-Nya, sibuk berdzikir kepada-Nya, dan berkhidmat
kepada-Nya. Itu semua menyebabkannya dekat dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan terhormat di
sisi-Nya seperti difirmankan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ,yang artinya, “Barangsiapa di antara kamu yang
murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang
beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allâh, dan yang tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” [Al-Mâ-idah/5:54]

Di ayat tersebut terdapat isyarat bahwa barangsiapa berpaling dari mencintai dan mendekat kepada
Allâh, serta dia tidak peduli, maka Allâh akan menggantinya dengan orang-orang yang lebih layak
menerima pemberian ini.
Setelah itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat orang-orang yang Dia cintai dan mereka
mencintai-Nya. Dalam hal ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, ” Dan bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,”

Maksudnya mereka bergaul dengan kaum Mukminin dengan rendah hati dan tawadhu’, dan mereka
memperlakukan orang-orang kafir dengan sikap tegas. Tatkala mereka mencintai Allâh Subhanahu wa
Ta’ala , maka mereka mencintai para wali-Nya yang mencintai-Nya kemudian mereka bergaul dengan
para wali Allâh dengan cinta dan kasih sayang, dan mereka membenci musuh-musuh Allâh, seperti
difirmankan Allâh Azza wa Jalla :

ُْ ‫سو‬
ْ‫ل ُم َح ّمد‬ ِّْ ۚ َْ‫علَى أ َ ِشدّا ُْء َمعَ ْه ُ َوالّذِين‬
ُ ‫َللا َر‬ ِْ ّ‫بَينَ ُهمْ ُر َح َما ُْء ال ُكف‬
َ ‫ار‬

Muhammad adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ” [Al-Fath/48:29]

Bukti kesempurnaan cinta ialah dengan memerangi para musuh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , begitu juga
jihad di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan ajakan dengan senjata kepada orang-orang yang
berpaling dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk kembali kepada-Nya setelah sebelumnya didakwahi
dengan mengajak mereka dengan hujjah dan petunjuk. Jadi, orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa
Ta’ala ingin membawa seluruh manusia ke pintu-Nya. Barangsiapa tidak merespon dakwah dengan sikap
lemah lembut, ia perlu diajak dengan sikap keras. Disebutkan dalam hadits:

ْ‫ب‬
َ ‫ع ِج‬ ْ ْ‫ل فِيْ ال َجنّ ِْة ِإلَى يُقَادُونَْ قَومْ مِ ن‬
َ ُ‫هللا‬ ِْ ‫الس َّل ِس‬

Allâh merasa heran kepada kaum yang dituntun ke surga dalam keadaan dibelenggu.[13]

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

ْ‫َلئِمْ لَو َم ْةَ َيخَافُونَْ َو َل‬

“Dan yang tidak takut kepada celaan orang-orang yang suka mencela.”

Maksudnya, orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menginginkan sesuatu kecuali yang
diridhai Allâh yang dicintainya. Ia ridha kepada siapa saja yang Dia ridhai dan benci kepada siapa saja
yang Dia benci. Jadi, barangsiapa takut celaan dalam mencintai pihak yang dicintainya, ia tidak jujur
dalam cintanya.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

َْ‫ل َٰذَلِك‬
ُْ ‫َللا فَض‬
ِّْ ‫يَشَا ُْء َمنْ يُؤتِي ِْه‬

Itulah karunia Allâh yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Yang dimaksud dengan karunia tersebut ialah tingkatan (derajat) orang-orang yang Dia cintai dan
mereka pun mencintai-Nya dengan sifat-sifat yang telah disebutkan tadi.
ُ‫َللا‬
ّْ ‫علِيمْ َواسِعْ َو‬
َ

“Dan Allâh Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

Maksudnya, Allâh Mahaluas pemberian-Nya dan mengetahui orang-orang yang berhak atas karunia-Nya
kemudian Dia memberikan karunia-Nya kepada mereka serta mengetahui orang-orang yang tidak
berhak atas karunia-Nya kemudian Dia tidak memberikan karunia-Nya tersebut kepada mereka.

Ibadah-ibadah wajib dan sunnah yang paling mendekatkan seorang hamba kepada Allâh ialah
mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa, sedekah dan lainnya termasuk banyak membaca al-Qur’an, mendengarkan, merenungkannya,
dan berusaha memahaminya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk
mentadabburi, memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. Khabbab bin al-Arat Radhiyallahu anhu
berkata kepada seseorang, “Mendekatlah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan
kemampuanmu. Ketahuilah bahwa engkau tidak dapat mendekat kepada-Nya dengan sesuatu yang
lebih Dia cintai daripada firman-Nya.”[14]

Bagi orang-orang yang mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak ada yang lebih manis selain membaca
al-Qur-an, firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang mereka cintai. Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu
berkata, “Jika hati kalian bersih, kalian tidak akan kenyang dengan firman Rabb kalian.” Ibnu Mas’ûd
Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa mencintai al-Qur’an, ia mencintai Allâh dan Rasul-Nya.”[15]

Ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dapat mendekatkan hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah
banyak berdzikir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan hati dan lisan. Membaca dzikir setelah
shalat wajib, membaca dzikir setiap waktu, dzikir pagi dan petang, dan di antara ibadah-ibadah sunnah
lainnya yang lebih mendekatkan hamba kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ialah mencintai wali-wali
Allâh dan orang-orang yang dicintai-Nya dan memusuhi musuh-musuh-Nya karena-Nya.[16]

3. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atas:

‫سمعَ ْهُ ُكنتُْ أَحبَبت ُ ْهُ فَإِذَا‬


َ ْ‫بِ ِْه يَس َم ُْع الّذِي‬، ُ‫ص َرْه‬
َ َ‫ص ُْر الّذِيْ َوب‬
ِ ‫بِ ِْه يُب‬، ْ‫ش َويَ َدهُالّتِي‬
ُْ ِ‫بِ َها يَبط‬، ُ ‫بِ َها يَمشِيْ الّتِيْ َو ِرجلَ ْه‬

Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan
menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.

Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa


Ta’ala dengan mengerjakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala
mendekatkan orang tersebut kepada-Nya dan menaikkannya dari tingkatan iman ke ihsan. Karenanya, ia
menjadi hamba yang beribadah kepada Allâh dengan merasa dihadiri dan diawasi Allâh Subhanahu wa
Ta’ala seperti ia melihat-Nya kemudian hatinya penuh dengan ma’rifat(pengenalan) kepada Allâh, cinta
kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya, dan
rindu kepada-Nya.

Jadi, kapan saja hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka kondisi
tersebut menghapus apa saja selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari hati seorang hamba, dan ia tidak
lagi punya keinginan kecuali apa yang diinginkan Rabbnya. Ketika itulah seorang hamba tidak bicara
kecuali dengan dzikir kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-
Nya. Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Jika ia mendengar, ia mendengar
dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya. Itulah yang
dimaksud dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala , “Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan.”

Barangsiapa menafsirkan dan mengisyaratkan hadits di atas dengan hulul (menitisnya Allâh kepada
makhluk) atau ittihad (manunggaling kawula gusti) atau ajaran lain maka ia telah sesat dan menyesatkan
dan ia telah mengisyaratkan kepada kekafiran.

Termasuk salah satu rahasia tauhid, bahwa kalimat lâ ilâha illallâh maknanya ialah bahwa seorang
hamba tidak menuhankan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam cinta, harapan, takut, dan taat. Jika
hatinya merealisasikan tauhid yang sempurna, maka di hatinya tidak ada lagi cinta kepada apa yang
tidak dicintai Allâh dan tidak ada benci kepada apa yang tidak dibenci Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Barangsiapa kondisi hatinya seperti ini, organ tubuhnya tidak bergerak kecuali dalam ketaatan kepada
Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Sesungguhnya dosa itu terjadi karena cinta kepada apa yang dibenci Allâh
Subhanahu wa Ta’ala atau benci kepada apa yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Itu terjadi karena
cinta hawa nafsu didahulukan atas cinta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan takut kepada-Nya. Sifat
seperti ini merupakan aib dalam tauhid yang sempurna, akibatnya seorang hamba lalai terhadap
sebagian kewajiban atau mengerjakan sebagian larangan. Sedang hati orang yang merealisasikan tauhid
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dan pada apa saja yang diridhai-Nya.[17]

4. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi di atas:

َ ُ‫َلُعطِ يَنّ ْه‬،


ْ‫سأَلَنِيْ َوإِن‬ ِْ ‫ََلُعِيذَنّ ْهُ استَعَاذَنِيْ َولَئ‬
َ ‫ِن‬

Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku
pasti melindunginya.

Maksudnya, orang yang dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan didekatkan kepada-Nya memiliki
kedudukan khusus di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sehingga jika ia meminta sesuatu kepada Allâh
maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya; Jika ia berdoa kepada-Nya maka Dia mengabulkan
doanya.

Banyak sekali di antara generasi Salaf yang terkenal doanya dikabulkan. Disebutkan bahwa ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr Radhiyallahu anhu memecahkan gigi depan seorang wanita kemudian kabilah ar-Rubayyi’
binti an-Nadhr Radhiyallahu anhu menawarkan diyat kepada kabilah wanita tersebut, namun kabilah
wanita tersebut menolak. Kabilah ar-Rubayyi’ binti an-Nadhr meminta maaf kepada kabilah wanita
tersebut, namun kabilah wanita tersebut menolak kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memutuskan dilakukan qishash. Anas bin an-Nadhr z berkata, “Apakah gigi depan ar-Rubayyi’ akan
dipecahkan? Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, tidak akan dipecahkan gigi
depannya.” Kabilah wanita itu pun ridha dan mengambil diyat kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

َ ‫علَى أَق‬
ْ‫س َْم لَوْ َمنْ هللاِْ ِعبَا ِْد مِ نْ ِإ ّن‬ َ ِْ‫ََلَبَ ّرْهُ هللا‬
Sesungguhnya di antara para hamba Allâh ada orang yang jika bersumpah kepada Allâh, maka Allâh
pasti melaksanakan sumpahnya.[18]

Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu adalah orang yang doanya terkabul. Pada suatu hari ia
didustakan oleh seseorang kemudian ia berkata, “Ya Allâh, jika orang tersebut berkata bohong,
panjangkan usianya, dan hadapkan ia pada fitnah-fitnah.” Ternyata orang tersebut mendapati itu
semua. Ia mengganggu budak-budak wanita di jalan sambil berkata, “Aku orang lanjut usia,
mendapatkan fitnah, aku terkena doa Sa’ad.”[19]

Seorang wanita bertengkar dengan Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu di lahan Sa’id bin Zaid Radhiyallahu
anhu . Wanita tersebut mengklaim bahwa Sa’id Radhiyallahu anhu mengambil lahan tersebut darinya
kemudian Sa’id Radhiyallahu anhu berkata, “Ya Allâh, jika wanita tersebut bohong, butakan matanya
dan bunuh dia di lahannya.” Ternyata, wanita tersebut buta. Ketika pada suatu malam ia berjalan di
lahannya, ia jatuh di sumur di lahannya kemudian meninggal dunia.[20]

Al-Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu berada dalam satu detasemen lalu anggota detasemen
tersebut kehausan. Lantas al-Ala’ Radhiyallahu anhu shalat dan berdoa, “Ya Allâh, wahai Dzat Yang
Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Pemurah, wahai Dzat Mahatinggi, dan wahai Dzat Yang
Mahaagung, sesungguhnya kami para hamba-Mu dan di jalan-Mu kami memerangi musuh-Mu,
karenanya, berikanlah air kepada kami hingga kami dapat minum dan berwudhu’ dengannya dan
janganlah berikan sedikit pun air itu kepada seorang pun selain kami.” Detasemen itu jalan sebentar
kemudian menemukan sungai dari air hujan yang memancar lalu mereka meminumnya dan mengisi
wadah-wadah mereka hingga penuh. Setelah itu, mereka berangkat lalu salah seorang dari sahabat al-
Ala’ bin al-Hadhrami Radhiyallahu anhu kembali ke sungai tersebut, namun tidak melihat apa-apa di
dalamnya dan sepertinya di tempat tersebut tidak pernah ada air.[21]

Kisah-kisah seperti di atas sangat banyak dan panjang sekali kalau disebutkan semuanya. Sebagian besar
orang-orang yang doanya dikabulkan dari generasi Salaf bersabar atas musibah, memilih pahalanya,
mengharapkan ganjaran dari musibah tersebut, dan tidak berdoa kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala
agar musibah tersebut dihilangkan dari dirinya.

5. Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam hadits qudsi:

َ ْ‫عنْ ت ََر ُّددِيْ فَا ِعلُ ْهُ أَنَا شَيء‬


‫عنْ ت ََردّدتُْ َو َما‬ َ ‫س‬ ِْ ِْ‫سا َءت َ ْه ُ أَك َرْهُ َوأَنَا َيك َرهُال َموتَْ ال ُمؤم‬
ْ ِ ‫ن نَف‬ َ ‫َم‬

Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang
pencabutan nyawa orang Mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.

Maksudnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kematian para hamba-Nya seperti yang Dia
firmankan:

ْ‫ت ذَائِقَ ْةُ نَفسْ ُك ُّل‬


ِْ ‫ال َمو‬

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati” [Ali ‘Imran/3:185]

Kematian ialah berpisahnya ruh dari badan dan tidak terjadi kecuali dengan sakit yang sangat luar biasa,
bahkan kematian merupakan sakit paling pedih yang menimpa seorang hamba di dunia.
Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu berkata kepada Ka’ab Radhiyallahu anhu, “Jelaskan kematian
kepadaku!” Ka’ab berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Kematian itu seperti pohon besar dan berdurinya
yang masuk ke dalam kerongkongan seseorang, lalu duri-duri itu menempel di uratnya, kemudian ditarik
keluar oleh laki-laki yang kuat, tercabutlah apa yang tercabut, dan tertinggal apa yang tertinggal.”
Kemudian Umar z menangis.[22]

Ketika Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu hendak meninggal dunia, anaknya bertanya tentang ciri-ciri
kematian, kemudian Amr Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allâh! Kedua lambungku sepertinya
berada di sebuah bangku, aku seperti bernafas dari lubang jarum, dan sepertinya ada ranting berduri
ditarik dari kedua kakiku hingga kepalaku.”[23]

Jika kematian dengan rasa sakit luar biasa seperti itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya kepada
seluruh hamba-Nya. Kematian merupakan keniscayaan bagi mereka, namun Allâh Subhanahu wa Ta’ala
tidak suka menyakiti dan menyusahkan orang Mukmin. Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa
Ta’ala menamakan itu sebagai keragu-raguan terkait dengan orang Mukmin. Sedang para Nabi, mereka
tidak meninggal dunia hingga diberi hak memilih. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫ض َرْهُ إِذَا ال ُمؤمِ نَْ َولَك ِّن‬


َ ‫ال َموتُْ َح‬، ‫ِر‬ ِْ ‫هللاِ بِ ِرض َو‬
َْ ‫ان بُش‬ ْ ‫وك ََرا َمتِ ِْه‬، َ ‫أ َ َما َم ْهُ مِ ّما إِلَي ِْه أ َ َحبّْ فَلَي‬، ّْ‫هللاِ ِلقَا َْء فَأ َ َحب‬
َ ْ‫سشَيء‬ ْ ّْ‫هللاُ َوأ َ َحب‬
ْ ُ‫ِلقَا َءْه‬

Akan tetapi seorang Mukmin apabila didatangi kematian maka ia diberi kabar gembira tentang
keridhaan Allâh dan kemuliaan-Nya, karenanya, tidak ada sesuatu yang paling ia sukai daripada apa yang
ada di depannya. Ia pun merasa senang bertemu Allâh dan Allâh pun senang bertemu dengannya. [24]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang makna at-taraddud dalam hadits yang
menjelaskan tentang wali-wali Allâh, “Ini adalah hadits yang paling mulia yang menjelaskan tentang
sifat-sifat para wali Allâh. Sekelompok orang telah menolak (bagian akhir dari) hadits ini dan
mengatakan, ‘Allâh tidak boleh disifati dengan keragu-raguan, karena sesungguhnya orang yang ragu
adalah orang yang tidak mengetahui akibat dari sebuah perkara. Sedangkan Allâh Mahamengetahui
akibat dari semua perkara. Bahkan mungkin sebagian dari mereka mengatakan, “Bahwa Allâh
diperlakukan dengan perlakuan yang penuh keraguan!”

Penjelasannya adalah, sabda Rasul-Nya adalah benar dan tidak ada yang paling mengetahui tentang
Allâh Subhanahu wa Ta’ala , paling sayang terhadap umat, paling fasih dan paling jelas penerangannya
daripada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau sudah begitu, maka orang yang mengingkarinya
termasuk manusia yang paling sesat, paling bodoh dan paling jelek akhlaknya. Dan orang yang seperti ini
wajib diberi pelajaran dan dihukum ta’zir. Yang wajib diperhatikan, bahwa kita wajib membersihkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sangkaan-sangkaan yang batil dan keyakinan-keyakinan
yang rusak.

Namun, orang yang ragu di antara kita, meskipun keragu-raguannya dikarenakan dia tidak mengetahui
akibat dari sebuah perkara, maka tidak bisa kita samakan sebuah sifat yang khusus bagi Allâh Subhanahu
wa Ta’ala dengan sifat salah seorang dari kita, karena tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allâh
Subhanahu wa Ta’ala . Kemudian, ini juga merupakan kebatilan, karena seseorang dari kita apabila ragu-
ragu terkadang karena dia tidak mengetahui akibat dari sesuatu, dan terkadang juga karena dua
perbuatan tersebut mengandung maslahat dan mafsadat. Jadi dia melakukan atas dasar maslahat, dan
membenci atas dasar mafsadatdan bukan karena dia tidak mengetahui sesuatu tersebut yang dicintai
dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain.
Yang seperti ini juga sama dengan keinginan orang yang sakit untuk meminum obat yang tidak ia suka.
Bahkan, semua yang diinginkan seorang hamba dari amal-amal soleh yang tidak disukai oleh jiwa
termasuk dalam bab ini. Dalam sebuah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ّ‫َارِْه ال َجنّ ْةُ ُحف‬


ْ‫ت‬ ِْ ّ‫ار َو ُحف‬
ِ ‫بِال َمك‬، ‫ت‬ ُْ ّ‫ت الن‬ ّ ‫بِال‬
ِْ ‫ش َه َوا‬

Surga dikelilingi oleh perkara-perkara yang dibenci dan Neraka dikelilingi oleh syahwat.[25]

Dan juga firman-Nya:

َ ‫علَي ُك ُْم ُكت‬


ْ‫ِب‬ ُْ ‫ى ۚ لَ ُكمْ ُكرهْ َوه َُْو ال ِقت َا‬
َ ‫ل‬ َْٰ ‫س‬ َ ‫ى ۚ لَ ُكمْ خَيرْ َوه َُْو شَيئًا ت َك َرهُوا أَنْ َو‬
َ ‫ع‬ َْٰ ‫س‬ َ ‫َللاُ ۚ لَ ُكمْ شَرْ َوه َُْو شَيئًا تُحِ بُّوا أَنْ َو‬
َ ‫ع‬ ّْ ‫ل َوأَنتُمْ يَعلَ ُْم َو‬
َْ َْ‫ت َعلَ ُمون‬

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah/2:216]

Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita makna dari at-taraddud (keragu-raguan) yang disebutkan dalam
hadits. Karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Hambaku tiada henti-hentinya mendekat
kepadaKu dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya” sesungguhnya seorang hamba yang
memiliki keadaan seperti ini ia akan dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Ia akan mendekat kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan yang wajib-wajib dan bersungguh-sungguh dalam
mengerjakan yang sunnah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala cintai dan mencintai pelakunya. Maka
dengan demikian ia telah mengerjakan apa-apa yang dia mampu dari hal-hal yang dicintai Allâh. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala akan mencintainya karena pekerjaan hamba-Nya dari dua sisi dengan keinginan
yang sama, di mana Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai apa-apa yang dicintai hamba-Nya, dan
membenci apa-apa yang dibenci hamba-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga benci terhadap kejelekan
yang menimpa hamba-Nya. Maka, konsekuensinya Allâh Subhanahu wa Ta’ala membenci kematian agar
bertambah kecintaan-Nya terhadap hamba-Nya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kematian, dan semua yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala
tetapkan itu atas keinginan-Nya dan pasti terjadi, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menginginkan kematian
hamba-Nya sebagaimana yang Dia sudah takdirkan. Meskipun demikian Allâh juga tidak suka untuk
menyusahkan hamba-Nya dengan kematian. Maka jadilah kematian tersebut dikehendaki dari satu sisi
dan tidak disukai dari sisi lain. Dan ini merupakan hakikat dari at-taraddud, sesuatu yang diinginkan dari
satu sisi dan dibenci dari sisi lain meskipun harus ada yang kuat dari dua sisi tersebut, sebagaimana
kuatnya kematian yang dibarengi dengan ketidaksukaan menyusahkan hamba-Nya. Dan tidak sama
antara keinginan Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk mematikan hamba-Nya yang Mukmin yang dicintai-
Nya dan tidak ingin menyusahkannya dengan keinginan Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk mematikan
orang kafir yang dibenci-Nya dan menginginkan kesusahannya.[26]

FAWA’ID HADITS

Mengerjakan yang wajib lebih didahulukan daripada mengerjakan yang sunnah.

Amal-amal yang wajib lebih utama dari amal yang sunnah.

Amal-amal sunnah dapat menutupi kekurangan amal yang wajib.


Di antara sebab mendapatkan cinta dari Allâh adalah dengan melaksanakan amal-amal yang wajib dan
sunnah.

Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Wali Allâh adalah orang yang beriman dan bertakwa, yang melaksanakan yang wajib-wajib dan yang
sunnah, dan meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wali dibagi oleh para ulama menjadi dua: Ada wali-wali Allâh dan ada wali-wali syaitan. Wali Allâh
adalah orang yang beriman dan bertakwa. Adapun wali syaitan adalah orang yang tidak bertakwa
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengerjakan kesyirikan, bid’ah, maksiat dan meninggalkan yang
wajib dan mengerjakan yang haram.

Ancaman bagi orang-orang yang memusuhi wali-wali Allâh.

Orang yang memusuhi wali-wali Allâh, dengan olok-olokan, gangguan, siksa, menyakiti atau membenci
mereka, maka akibatnya akan mendapat siksa dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan akhirat.

Seorang hamba -betapapun tinggi derajatnya-tidak boleh berhenti dari berdoa, memohon kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala, karena yang demikian lebih menampakkan kehinaan dan kerendahan kepada-
Nya.

Mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan yang wajib-wajib dan sunnah sebagai
sebab dikabulkannya doa seorang hamba, dijaga dan dilindungi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara wali-wali Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa ada yang diberi karamah (kemuliaan)
dengan dikabulkannya doa, dijaga, dilindungi Allâh dan karamah lainnya. Ada juga yang tidak diberi
karamah.

Di dalam hadits ini tidak terdapat sedikit pun dalil atau hujjah bagi kelompok sufi yang sesat yang
berpendapat bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatu dalam diri manusia.

Setiap Muslim wajib meyakini bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala Mahatinggi, istiwa’ (bersemayam) di
atas ‘Arsy, tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersama hamba-Nya (mengetahui) semua yang dilakukan
makhluk-Nya.[27]

Derajat Nabi dan Rasul Alaihissalam lebih tinggi di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala daripada wali.

Kematian itu pasti, semua yang bernyawa pasti mati. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
tokoh para Nabi dan Rasul Alaihissallam merasakan kematian.

Kita wajib menetapkan semua nama dan sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semua nama dan sifat-Nya
َْ ‫ير السّمِ ي ُْع َوه َُْوۚ شَيءْ َكمِ ث ِل ِْه لَي‬
tidak sama dengan makhluk-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman: ‫س‬ ِ َ‫“ الب‬Tidak ada
ُْ ‫ص‬
sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” [Asy-
Syûrâ/42:11]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kematian wali-Nya dan pasti terjadi, meskipun demikian
Allâh juga tidak ingin menyusahkan wali-Nya. Maka ini yang dinamakan taraddud.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote

[1] Majmû’ Fatâwâ (X/58-59).

[2] Lihat Fat-hul Bâri (XI/345) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah.

[3] Lihat surah Al-Baqarah ayat 278-279.

[4] Lihat surah Al-Al-Mâ-idah ayat 33.

[5] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/334-335).

[6] Shahih: HR. Ahmad (V/235), Ibnu Hibban (no. 646–at-Ta’lîqâtul Hisân dan no. 2504 –Shahîh al-
Mawârid), ath-Thabrani (XX/no. 241, 242), dan lainnya dari Mu’adz bin Jabal I. Dan dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2012).

[7] Fat-hul Bâri (XI/342).

[8] Tafsîr Ibni Katsir (VI/546).

[9] Baca surat at-Taubah [9]: 100.

[10] Qawâ’id wa Fawâ’id minal Arbaîn an-Nawawiyah(hlm. 334-336).

[11] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/336).

[12] Shahih: HR. Muslim (no. 482), Abu Dawud (no. 875), dan an-Nasai (II/226) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.

[13] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 3010), Ahmad (II/302), Abu Dawud (no. 2677), dan Ibnu Hibban (no.
134–at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

[14] HR. Al-Hakim (II/441), kemudian ia menshahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi.

[15] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 8657).

[16] Diringkas dan ditambah dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/335-344).

[17] Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/345-348).


[18] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2703), Muslim (no. 1675), Abu Dawud (no. 4595), an-Nasai (VIII/28),
Ibnu Majah (no. 2649), dan Ibnu Hibban (no. 6457- at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu.

[19] HR. Al-Bukhari (no. 755), dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu.

[20] HR. Muslim (no. 1610 [139]).

[21] HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (I/38, no. 12). Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/348-350)
dengan ringkas.

[22] Hilyatul Auliyâ’ (V/401, no. 7514).

[23] Thabaqât Ibni Sa’ad (III/186).

[24] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6507) dari Aisyah Radhiyallahu anhuma. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm
wal Hikam (II/356-358).

[25] Shahih: HR. Ahmad (III/153), Muslim (no. 2822), dan at-Tirmidzi (no. 2559) dari Anas bin Malik
rahimahullah.

[26] Majmû’ Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah(XVIII/129-131) dengan sedikit diringkas. Lihat
juga Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (IV/191-192).

[27] Tentang Allah istiwa’ di atas ‘Arsy dan kebersamaan Allah bersama hamba-Nya, baca buku
penulis “Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”(hlm. 205-211) cet. XV, th. 2016/1437 H, Penerbit
Pustaka Imam asy-Syafi’i–Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai