Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE

(CKD) PADA POLI PENYAKIT DALAM III RUMAH SAKIT BINA


SEHAT JEMBER

APLIKASI KLINIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh

Nabillah Linda Kurnia Putri

NIM 162310101280

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019
A. LAPORAN PENDAHULUAN KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE
(CKD) PADA POLI PENYAKIT DALAM III RUMAH SAKIT BINA
SEHAT JEMBER

1.1 Anatomi dan Fisiologi

1. Anatomi Ginjal

Gambar 1. Letak Ginjal

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding


abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula
renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah
fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).

Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan

1
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal (Tortora, 2011).

Gambar 2. Bagian-Bagian Ginjal

2. Fisiologi Ginjal

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan


komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekskresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
ekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2012).

Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:

a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.


b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.

2
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan melalui uretra
(Sherwood, 2011).

Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi
sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke
Kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, difiltrasi secara
bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh
kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorbsi lengkap dan
kemudian akan diekskresi (Sherwood, 2011).

1.2 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau
fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan
glomerular filtration rate (GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau
tanpa disertai kerusakan ginjal (National Kidney Foundation, 2002).

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang


progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi
ginjal (Smeltzer, 2010).

3
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah) (Brunner & Suddarth, 2001).

Dari beberapa pengerian diatas dapat disimpulkan bahwa Chronic Kidney


Disease (CKD) atau biasa disebut gagal ginjal kronik yaitu dimana gijal
mengalami kegagalan dalam melakukan fungsiya yang bersifat irreversibel yang
berlangsung selam lebih dari 3 bulan.

1.3 Epidemiologi

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah salah satu masalah kesehatan


penduduk di seluruh dunia. Jumlah penyakit CKD ini bertambah seiring pesatnya
laju pertumbuhan penduduk. Menurut hasil Global Burden of Disease pada tahun
2010, penyakit CKD mendapati peringkat ke 27 di tahun 1990 dan peringkatnya
naik menjadi peringkat ke 18 di tahun 2010.

Di Indonesia sendiri penyakit ginjal adalah penyakit no 2 dengan


pembiayaan terbesar setelah penyakit jantung berdasarkan BPJS kesehatan.
Menurut data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, populasi
umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah
dibandingkan prevalensi CKD di Negara-Negara lain, juga hasil penelitian
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan
prevalensi CKD sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap
data orang yang terdiagnosis CKD sedangkan sebagian besar CKD di Indonesia
baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

1.4 Etiologi

Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah


tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation,
2015). Kedaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah

4
penyakit peradangan seperti glomerulonefritis, peyakit ginjal polokistik,
malformasi saat perkembangan janin dalam rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu
ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kemih yang
berulang (Wilson, 2005).

a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi Saluran Kemih),


glomerulonefritis (penyakit peradangan). Pielonefriti s adalah proses
infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis, saluran ginjal
yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma ginjal
atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari
banyak penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada
tahap penyakit berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal
sangat berkurang.
b. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis banigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis. Disebabkan karena
terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan
tekanan darah akut dan kronik.
c. Gangguan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif. Disebabkan oleh kompleks imun
dalam sirkulasi yang ada dalam membran basalis glomerulus dan
menimbulkan kerusakan (Price, 2006). Penyakit peradangan kronik
dimana sistem imun dalam tubuh menyerang jaringan sehat, sehingga
menimbulkan gejala diberbagai organ.
d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista
multiple, bilateral, dan berekspansi yang lambat laun akan mengganggu
dalam menghancurkan perenkim ginjal normal akibat penekanan, semakin
lama ginjal tidak mampu mempertahankan fungsi ginjal sehingga ginjal
akan menjadi rusak.
e. Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout,
hiperparatiroidisme, amiloidosis. Penyebab terjadinya ini dimana kondisi

5
genetik yang ditandai dengan adanya kelainan dalam proses metabolisme
dalam tubuh akibat defisiensi hormon dan enzim.
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.
Penyebab penyakit yang dapat dicegah bersifat refersibel, sehingga
penggunaan berbagai prosedur diagnostik.
g. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung
kemih dan uretra.
h. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis. Merupakan
penyebab gagal ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh presipitasi
berbagai zat terlarut dalam urin pada saluran kemih.

1.5 Klasifikasi

CKD didefinisikan dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal dan


kemampuan ginjal dalam menjalankan fungsinya. Klasifikasi ini ditujukan untuk
memfasilitasi penerapan pedoman praktik klinis, pengukuran kinerja klinis dan
peningkatan kualitas pada evaluasi, dan juga manajemen CKD (National Kidney
Foundation, 2002). Berikut adalah klasifikasi stadium CKD :

Stadium Deskripsi GFR


(mL/menit/1.73 m2)
1 Fungsi ginjal normal, tetapi temuan ≥90
urin, abnormalitas struktur atau ciri
genetik menunukkan adanya penyakit
ginjal
2 Penurunan ringan fungsi ginjal, dan 60-89
temuan lainnya (seperti pada stadium
1) menunjukkan adanya penyakit
ginjal
3a Penurunan sedang fungsi ginjal 45-59

6
3b Penurunan sedang fungsi ginjal 30-44
4 Penurunan fungsi ginjal berat 15-29
5 Gagal ginjal <15

Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi ginjal yang dimiliki oleh
pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi oleh dokter. Semakin parah CKD
yang dialami, maka nilai GFR nya akan semakin kecil (National Kidney
Foundation, 2010).

Chronic Kidney Disease (CKD) stadium 5 disebut dengan gagal ginjal.


Perjalanan klinisnya dapat ditinjau dengan melihat hubungan antara bersihan
kreatinin dengan GFR sebagai presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin
serum dan kadar blood urea nitrogen (BUN) (Wilson, 2005).

Perjalanan klinis gagal ginjal dibagi menjadi tiga stadium. Stadium


pertama merupakan stadium penurunan cadangan ginjal dimana pasien tidak
menunjukkan gejala dan kreatinin serum serta kadar BUN normal. Gangguan
pada fungsi ginjal baru dapat terdeteksi dengan pemberian beban kerja yang berat
seperti tes pemekatan urin yang lama atau melakukan tes GFR yang teliti (Wilson
,2005). Stadium kedua disebut dengan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini, ginjal
sudah mengalami kehilangan fungsinya sebesar 75%. Kadar BUN dan kreatinin
serum mulai meningkat melebihi nilai normal, namun masih ringan. Pasien
dengan insufisiensi ginjal ini menunjukkan beberapa gejala seperti nokturia dan
poliuria akibat gangguan kemmapuan pemekatan. Tetapi biasanya pasien tidak
menyadari dan memperhatikan gejala ini, sehingga diperlukan pertanyaan-
pertanyaan yang teliti (Wilson, 2005). Stadium akhir dari gagal ginjal disebut juga
dengan end-stage renal disease (ESRD). Stadium ini terjadi apabila sekitar 90%
masa nefron telah hancur, atau hanya tinggal 200.000 nefron yang masih utuh.
Peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum sangat mencolok. Bersihan kreatinin
mungkin sebesar 5-10 mL per menit atau bahkan kurang. Pasien merasakan gejala
yang cukup berat dikarenakan ginjala yang sudah tidak dapat lagi bekerja

7
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit. Pada berat jenis yang tetap
sebesar 1,010, urin menjadi isoosmotis dengan plasma. Pasien biasanya
mengalami oliguria (pengeluaran urin < 500 mL/hari). Sindrom uremk yang
terjadi akan mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh dan dapat menyebabkan
kematian bila tidak dilakukan RRT (Wilson, 2005).

1.6 Patofisiologi

Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari,


namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah
hopertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya terjadi
hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini
diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang
mendasarinya sudah tidak aktif lagi (Suwitra, 2009).

Gambar 3. Piramid Iskemik Dan Sklerosis Arteri dan Arteriol Pada


Potongan Lintang Ginjal

8
Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi
yang terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme peningkatan GFR
yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferon oleh efek yang tergantung glukosa, yang
diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric
oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan
terjadinya glikkasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus
berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodiul serta
fibrosis tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009).

Hipertensi juga memiliki kaitan erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis)
dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal
(Wilsom, 2005). Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi,
pembuluh darah akan melebar. Namun disisi lain, pelebaran ini juga
menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja
dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh.
Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan
tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu
siklus yang berbahaya (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Disease, 2014).

1.7 Manifestasi Klinik

Menurut Nahas dan Levin (2010) manifestasi klinik Chronic Kidney


Disease (CKD) adalah sebagai berikut :

a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak akibat perikarditis, efusi perikardiak dan
gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan
edema.

9
b. Gangguan pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara
krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme
protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan
perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas).
e. Gangguan integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasidan aminore. Gangguan metabolik glukosa, gangguan
metabolik lemak dan vitamin D.
g. Gangguancairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipo kalsemia.
h. System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,
sehingga rangsangan eritopoesis pada sum-sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopenia.

1.8 Komplikasi

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
serta Suwitra (2006) antara lain sebagai berikut :

10
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin
5. Penyakit ttulang serta klasifikasi metabolik akibat retnsi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar aluminium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik
6. Uremia akibat peningkatan ladar ureum dalam tubuh
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan
8. Malnutrisis karena anoreksia, mual, dan muntah
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia

1.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan CKD antara lain sebagai berikut :

1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b. Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal
d. EKG mengkin abdormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa
2. Foto polos abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain
3. Pielografi intavena

11
4. Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat
5. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal perenkin ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan perenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
6. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler, perenkim)
serta sisa fungsi ginjal
7. Pemeriksaan radiologi jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
8. Pemeriksaan radiologi tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks atau jari) kalsifikasi
metatastik
9. Pemeriksaan radiologi paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan
10. Pemeriksaan pielografi retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
11. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
12. Biopsi ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya
13. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a. Laju endap darah
b. Urin
Volume : biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria))

12
Warna : secara normal peruahan urin mungkin disebabkan oleh pus atau
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porifirin.
Berat jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat)
c. Ureum dan kreatinin
1) Ureum
2) Kreatinin
d. Hiponatremia
e. Hiperkalemia
f. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
h. Gula darah tinggi
i. Hipertrigliserida
j. Asidosis metabolik

1.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan keperawatan pada asien dengan CKD dibagi tiga yaitu :

1. Konservatif
a. Dilakukan pemeriksaan lab darah dan urin
b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk
2. Simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan
serum
K+ (hiperkalemia ) :
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.

13
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama
dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
b. Anemia
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon
eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor). Anemia ini
diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoetin ( r-
HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia.Terapi yang dibutuhkan adalah
membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal
dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran
cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti
hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia, tranfusi darah
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif ,murah dan efektif,
namun harus diberikan secara hati-hati. Indikasi tranfusi PRC pada
klien gagal ginjal :
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia
dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah :
a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia d). Bahaya
infeksi hepatitis virus dan CMV
d) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk
rencana transplantasi ginjal.

14
c. Kelainan Kulit
1) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal,
insiden meningkat pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic
papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme b).
Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
b) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg,
terapi inibisa diulang apabila diperlukan
c) Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa
berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi
trombosit.Terapi yang diperlukan adalah tindakan dialisis.
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
1) HD reguler.
2) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3) Operasi sub total paratiroidektomi.
4) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen
hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program
terapinya meliputi :
a) Restriksi garam dapur.
b) Diuresis dan Ultrafiltrasi.

15
c) Obat-obat antihipertensi.
3. Dialysis
a. Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis
yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD
(Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
b. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena degan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodialisis dilakukan melaui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh fungsi
eskresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti
ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
4. Operasi
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal

1.11 Pathway

16
Infeksi vaskuler Zat toksik Obstruksi Saluran Kencing

Reaksi Ag-Ab Arterosklerosis Akumulasi di ginjal Retensi urine

Suplai Refluks

Hidronefrosis
GFR turun Vaskuler ginjal

Peningkatan
CKD Iskemia
tekanan

Gg. Fungsi renal Nefron Kompresi Nekrosis

Penurunan fungsi Retensi Na Sekresi kalium ↓ Sekresi eritopoetin ↓ Produksi Hb ↓


sekresi ginjal & H2O
Hiperkalemia Oksihemoglobin ↓
Sindrom uremia CES ↑ Tekanan kapiler naik
Gg. Penghantaran kelistrikan jantung Pucat, Konjungtiva Anemis, CRT > 2
,DETIK
Pruritus Perubahan HCO3- ↓ Volume intertisial naik
warna kulit ↑ preload Disritmia Intoleransi Gg. Perfusi
Gg. Mobilitas
Asidosis Edema Edema Aktivitas Jaringan
Fisik
paru ↑ beban jantung ↓ COP
Gg. Integritas
Kulit Mual muntah Kelebihan Volume Suplai O2 Anaerob
Cairan Sesak Nafas jaringan

Hiperventilasi Kebutuhan Nutrisi ↑ asam laktat
Gg. Pertukaran
Kurang Dari Resiko Gas Suplai O2
Ketidakefektifan Pola Nafas Kebutuhan Tubuh Synkope Nyeri sendi Nyeri
Ketidakseimbangan otak ↓
Volume Cairan Kronis
17
Resiko Ketidakseimbangan Elektrolit
Hambatan Rasa Nyaman
Intoleransi Aktivitas
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik, antara lain :
a. Airway
1) Lidah jatuh kebelakang
2) Benda asing atau darah pada rongga mulut
3) Adanya sekret
b. Breathing
1) Pasien sesak nafas dan cepat letih
2) Pernafasan kusmaul
3) Dispnea
4) Nafas berbau amoniak
c. Circulation
1) TD meningkat
2) Nadi kuat
3) Disritmia
4) Adanya peningkatan JVP
5) Terdapat edema pada ekstremitas bahkan anasarka
6) Capilary refill > 3 detik
7) Akral dingin
8) Cenderung adanya perdarahan terutama pada lambung
d. Disability
Pemeriksaan neurologis GCS menurun bahkan terjadi koma, kelemahan,
dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai.
A : Allert : sadar penuh, respon bagus
V : Voice respon : kesadaran menurun, berespon terhadap suara
P : Pain respons : kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara,
berespon terhadap rangsangan nyeri.
U : Unresponsive : kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara,
tidak berespon terhadap nyeri.

18
2. Pengkajian Sekunder
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan atau
penanganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
a. AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
b. Pemeriksaan seluruh tubuh head to toe
c. Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
1) Keluhan Utama
Badan lemah, cepat lelah, nampak sakit, pucat keabu-abuan, kadang-
kadang disertai odem ekstremitas, napas terengah-engah
2) Riwayat Kesehatan
Faktor resiko (mengalami infeksi saluran nafas atas, infeksi kulit,
infeksi saluran kemih, hepatitis, riwayat penggunaan obat nefrotik,
riwayat keluarga dengan penyakit polikistik, keganasan, nefritis
herediter)
3) Anamnesa
a) Oliguria/ anuria 100 cc/ hari, infeksi, urine (leucosit, erytrosit,
WBC, RBC)
b) Cardiovaskuler: Oedema, hipertensi, tachicardi, aritmia,
peningkatan kalium
c) Kulit : pruritus, ekskortiasis, pucat kering.
d) Elektrolit: Peningkatan kalium, peningkatan H+, PO, Ca, Mg,
penurunan HCO3
e) Gastrointestinal : Halitosis, stomatitis, ginggivitis, pengecapan
menurun, nausea, ainoreksia, vomitus, hematomisis, melena,
gadtritis, haus.
f) Metabolik : Urea berlebihan, creatinin meningkat.
g) Neurologis: Gangguan fungsi kognitif, tingkah laku, penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motorik
h) Oculair : Mata merah, gangguan penglihatan
i) Reproduksi : Infertil, impoten, amenhorea, penurunan libido

19
j) Respirasi : edema paru, hiperventilasi, pernafasan kusmaul
k) Lain-lain : Penurunan berat badan
2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-alveolar
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis,
perikarditis
3. Kelebihan volume cairan b.d mekanisme pengaturan melemah
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
5. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialysis.
6. Gangguan mobilitas fisik b.d edema
7. Gangguan integritas kulit b.d sindrom uremia
8. Gangguan perfusi jaringan b.d penurunan kadar hemoglobin
9. Hambatan rasa nyaman b.d nyeri sendi
10. Nyeri kronis b.d agen pencedera
11. Risiko ketidakefektifan elektrolit b.d mual muntah
12. Risiko ketidakefektifan volume cairan b.d mual muntah

20
2.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Paraf
1. Gangguan pertukaran gas b.d NOC NIC
kongesti paru, hipertensi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Nafas
pulmonal, penurunan perifer keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
yang mengakibatkan asidosis diharapkan pernafasan klien dapat chin lift atau jaw thrust bila perlu.
laktat dan penurunan curah berfungsi secara normal dengan 2. Posisikan pasien untuk
jantung. Kriteria hasil : memaksimalkan ventilasi
1. Frekuensi pernafasan dari rentang 3. Identifikasi pasien perlunya
cukup berat ke kisaran normal pemasangan alat jalan nafas buatan
2. Irama pernafasan dari rentang 4. Pasang mayo bila perlu
cukup berat ke kisaran normal 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
3. Kedalaman inspirasi dari rentang 6. Keluarkan secret dengan batuk atau
cukup berat ke kisaran normal suction.
4. Suara auskultasi nafas dari rentang 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
cukup berat ke kisaran normal suara tambahan.
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara

21
11. Atur intake untuk mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status O2.
Monitoring Pernafasan
1. Monitor rata-rata, kedalaman, irama
dan usaha respirasi.
2. Catat pergerakan dada, amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercostal.
3. Monitor suara nafas seperti dengkur
4. Monitor pola nafas: bradipneu,
takipneu, kusmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot.
5. Catat lokasi trakea
6. Monitor kelelahan otot diafragma
(gerakan paradoksis)
7. Aukultasi suara nafas, catat ara
penurunan/ tidak adanya ventilasi

22
dan suara tambahan.
8. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengauskultasikan crakles dan
ronkhi pada jalan nafas utama.
9. Auskultasi suara paru setelah
tindakan untuk mengetahui hasilnya
Manajemen Asam Basa
1. Monitor IV line
2. Pertahankan jalan nafas paten
3. Monitor AGD, tingkat elektrolit
4. Monitor status hemodinamik (CVP,
MAP, PAP
5. Monitor adanya tanda-tanda gagal
nafas
6. Monitor pola respirasi
7. Lakukan terapi oksigen
8. Monitor status neurologi.

23
2. Ketidakefektifan pola nafas NOC NIC
b.d edema paru, asidosis Setelah dilakukan intervensi Terapi oksigen
metabolic, pneumonitis, keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Bersihkan mulut, hidung dan
pericarditis. diharapkan pola nafas klien dapat sekresi trakea dengan tepat
kembali stabil dengan 2. pertahankan kepatenan jalan nafas
Kriteria Hasil 3. Siapkan peralatan oksigen dan
1. Frekuensi pernafasan dari rentang berikan melalui system humidivier
cukup berat ke kisaran normal 4. Berikan oksigen tambhan seperti
2. Suara nafas tambahan dari rentang yang diperintahkan
cukup berat ke kisaran normal 5. Periksa perangkat pemberian untuk
3. Batuk dari rentang cukup berat ke memastikan bahwa konsentrasi
kisaran normal yang telah ditentukan sedang
4. Sianosis dari rentang cukup berat diberikan.
ke kisaran normal 6. Monitor efektifitas terapi oksigen
dengan tepat
7. Pastikan pergantian masker
oksigen/nasal kanul setiap kali
perangkat diganti
8. Amati tanda-tanda hipoventalasi

24
induksi oksigen
9. Pantau adanya tanda-tanda
keracunan oksigen dan kejadian
atelectasis.
10. Monitor kecemasan pasien yang
berkaitan dengan kebutuhan
mendapatkan terapi oksigen.
11. Monitor adanya kerusakan kulit
akibat dari gesekan perangkat
oksigen
Pengaturan Posisi
1. Tempatkan pasien diatas matras
2. Berikan matras yang lembut
3. Jelaskan pada pasien bahwa badan
pasien akan dibalik
4. Dorong pasien agar terlibat dalam
keadaan posisi
5. Monitor keadaan status oksigenasi
sebelum dan sesudah perubahan

25
posisi.
6. Tempatkan pasien dalam keadaan
therapeutic yang telah dirancang
7. Posisikan sesuai kesejajaran tubuh.
8. Tinggikan bagian tubuh yang
terkena dampak
Relaksasi otot progresif
1. Pilih setting lingkungan yang aman
dan tenang
2. Redupkan cahaya
3. Intruksikan pasien memakai
pakaian yang nyaman dan tidak
ketat
4. Skrining adanya cedera ortopedik
leher atau punggung dimana
hiperektensi dari tulang punggung
bagian atas akan menambahkan
rasa tidak nyaman.
5. Renggangkan otot kaki tidak lebih

26
dari 5 detik.
6. Intruksikan pasien untuk berfokus
pada saat tegan
7. Intruksikan pasien berfokus pada
saat rileks
8. Monitor indicator akan tidak
adanya kondisi rileks, misalnya
pergerakan, pernafasan yang sulit,
nafas sulit bicara dan batuk

27
3. Kelebihan volume cairan b.d NOC NIC
berkurangnya curah jantung, Setelah dilakukan intervensi Manajemen Ciran
retensi cairan dan natrium oleh keperawatan selama 1 x 24 jam 1. Timbang popok/pembalut jika
ginjal, hipoperfusi kejaringan diharapkan masalah kelebihan volume diperlukan
perifer dan hipertensi cairan tubuh klien dapat terkontrol 2. Pertahankan catatn intake dan
pulmonal dengan output yang akurat
Kriteria hasil : 3. Pasang urine kateter jika diperlukan
1. Terbebas dari edema, efusi, 4. Monitor hasil lab yang sesuai
anaskara dengan retensi cairan (bun, hmt,
2. Suara nafas tambahan dari rentang osmolalitas urine)
cukup berat ke kisaran normal 5. Monitor status hemodinamik
3. Terbebas dari distensi vena termasuk cvp, map, pap dan pcwp
jugularis, reflek hepatojugular (+) 6. Monitor vital sign
4. Memelihara tekanan vena sentral, 7. Monitor indikasi retensi/kelebihan
tekanan kapiler paru, output cairan(cracles, CVP, edema, distensi
jantung dan vital sign dalam batas vena leher, asites)
normal 8. Kaji lokasi dan luas edema
5. Terbebas dari kelelahan, 9. Monitor masukan makanan/cairan
kecemasan dan kebingungan dan hitunng intake kalori harian

28
10. Monitor status nutrisi
11. Berikan duretik sesuai interuksi
12. Batasi masukan cairan pada keadaan
hiponatremi dilusi dengan serum
Na<130 mEq/1
13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan
berlebih muncul memburuk
Monitoring cairan
1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe
intake cairan dan eliminasi
2. Tentukan kemungkinan factor
resiko dari ketidak seimbangan
cairan (hipertermia, terapi diuretic,
kelainan renal, gagal jantung,
diaporesisi, disfungsi hati dll)
3. Monitor berat badan
4. Monitor serum dan elektrolit
5. Monitor serum dan osmilalitas urine
6. Monitor BP, HR dan RR

29
7. Monitor tekanan darah orthostatic
dan perubahan irama jantung
8. Monitor parameter hemodinamik
infasif
9. Catat secara akurat intake dan
output
10. Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodhem perifer dan
penambahan BB
11. Monitor tanda dan gejala dari
odema

30
1.4 Discharge Planning
1. Dorong pasien untuk memiliki waktu istirahat yang cukup dan tidur untuk pemulihan yang cepat.
2. Dorong klien untuk melakukan latihan pernafasan dalam untuk meningkatkan sirkulasi darah dan relaksasi
3. Anjurkan klien untuk latihan sehari-hari seperti berjalan
4. Hindari mengangkat beban berat
5. Sarankan klien dan keluarga untuk mencoba atau memiliki dan mempertahankan lingkungan yang aman, bersih, nyaman dan
tenang
6. Anjurkan keluarga untuk memberikan asupan cairan yang cukup untuk klien
7. Anjurkan klien untuk makan buah-buahan dan sayuran
8. Anjurkan klien untuk makan tepat waktu dengan diet yang tepat
9. Dorong keluarga agar memberikan dukungan moral positif pada klien

31
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Fadilla, Ivan et al. 2018. Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu
Komputer. Klasifikasi Penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) Dengan
Menggunakan Metode Extreme Learning Machine (ELM).
https://www.researchgate.net/profile/Rizal_Perdana/publication/3233658
45_Klasifikasi_Penyakit_Chronic_Kidney_Disease_CKD_Dengan_Men
ggunakan_Metode_Extreme_Learning_Machine_ELM/links/5a9023c5ac
a2721405618881/Klasifikasi-Penyakit-Chronic-Kidney-Disease-CKD-
Dengan-Menggunakan-Metode-Extreme-Learning-Machine-ELM.pdf
[Diakses tanggal 7 Januari 2019 Pukul 13.30 WIB]
Hendromartono. 2009. Nefropati Deabetik. Dalam: Sudoyo, A. W., Setyohadi, B.,
Alwi, I., Simadribata, M.K., Setiati, S., penyunting. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Infodatin Pusat Data Informasi Kementerian
Kesehatan RI.
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014. High
Blood Pressure and Kidney Disease. https://www.niddk.nih.gov/health-
information/diabetes/overview/preventing-problems/diabetic-kidney-
disease. [Diakses tanggal 7 Januari pukul 14.20 WIB]

National Kidney Foundation. 2002. KDOQI Clinical Practice Guideline Chronic


Kidney Disease: Evaluation, Classification, Stratification. New York:
National Kidney Foundation, Inc.
National Kidney Faundation. 2010. About Chronic Kidney Disease: A Guide for
Patiens and Their Families. New York: National Kidney Foundation, Inc
NAHAS, Meguid El dan Adeera Levin. 2010. Chronic Kidney Disease: A
Practical Guide to Understanding and Management. USA: Oxford
University Press

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C., Bare, B., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. 2010. Brunner &
Sudarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing Edition 12nd.
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins

32
Suwitra. K. 2006. Penyakit Ginjal kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk, Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Suwitra, Ketut. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo AW (Ed), Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Interna Publishing Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology
Maintanance and Continuity of the Human Body 13th Edition. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, inc.
Wilson, L. M. 2005. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Wilson, L. M, Price, S.A,
penyunting: Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-
6. Jakarta: EGC
Wilson, L. M. 2005. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Wilson, L.M,
Price, S.A., Penyunting. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi ke-6. Jakara: EGC

33

Anda mungkin juga menyukai