HIPERTENSI
3.1 Pendahuluan
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan dalam kedokteran
primer. Komplikasi dari penyakit hipertensi dapat menyebabkan gangguan di beberapa bagian
organ target seperti otak, jantung, mata, ginjal dan arteri perifer. Tekanan darah yang tinggi
dan durasi tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan tidak diobati dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan pada organ-organ tersebut. (Setiati, Alwi et al. 2014)
3.2 Definisi
Secara definisi, hipertensi adalah apabila tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan
darah diastolic ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang berulang. Pengukuran utama yang yang
menentukan diagnosis hipertensi adalah tekanan darah sistolik. Berdasarkan A Statement by
the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013,
kalsifikasi hipertensi adalah sebagai berikut (PERKI 2015):
Klasifikasi Sistolik Diastolik
Optimal <120 dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal tinggi 130-139 dan/atau 84-89
Hipertensi derajat I 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi derajat II 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi derajat III ≥180 dan/atau ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥140 dan <90
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan A Statement by the American Society of Hypertension dan
Internasional Society of Hypertension 2013
Hipertensi sistolik terisolasi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dengan tekanan darah
diastolic < 90 mmHg (Setiati, Alwi et al. 2014) (PERKI 2015). Keadaan ini cukup sering
ditemukan pada pasien usia lanjut (Setiati, Alwi et al. 2014). Beberapa jenis hipertensi lainnya
adalah seperti hipertensi diastolic terisolasi merupakan peningkatan pada tekanan darah
diastoliknya saja. White coat hypertension adalah peningkatan tekanan darah yang terjadi saat
diperiksa oleh tenaga medis sedangkan saat di ukur sendiri tekanan darahnya normal.
Hipertensi persisten adalah tekanan darah yang meningkat baik saat di rumah maupun di klinik
dengan perbandingan ukuran tekanan darah di klinik lebih tinggi daripada saat diukur di rumah.
Hipertensi resisten merupakan tekanan darah yang tidak mencapai target normal walaupun
sudah mendapat tiga jenis obat anti hipertensi berbeda dengan dosis optimal (salah satu obat
anti hipertensi harus merupakan jenis diuretic) (Setiati, Alwi et al. 2014).
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC VII terbagi atas (Setiati, Alwi et al. 2014) :
Berdasarkan hasil penelitian The Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III) blood pressure data, maka hipertensi terbagi menjadi dua kategori yaitu
hipertensi yang terjadi pada 26% populasi muda dengan usia ≤ 50 tahun terutama pria (63%)
yang lebih banyak menderita isolated diastolic hypertension dibandingkan isolated systolic
hypertension. Sedangkan pada populasi dengan usia > 50 tahun terutama wanita 58% lebih
banyak menderita isolated systolic hypertension dibandingkan dengan isolated diastolic
hypertension (Setiati, Alwi et al. 2014).
3.4 Patogenesis
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti (Setiati, Alwi
et al. 2014):
Tekanan darah tinggi merupakan manifestasi hubungan antara cardiac output dan total
peripheral resistance yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Stabilitas tekanan darah sangat
dipengaruhi oleh volume intravaskular. Bila jumlah asupan NaCl bertambah, maka ginjal akan
bereaksi dengan cara meningkatkan ekskresi garam bersama urin. Namun, bila upaya untuk
mengeksresikan NaCl ini melebih kemampuan ginjal, maka ginjal akan mempertahankan
kandungan H2O sehingga volume intravaskular meningkat. Meningkatnya volume
intravaskular akan meyebabkan terjadinya peningkatan cardiac output yang akan membuat
terjadinya peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dapat dipengaruhi adanya
peningkatan curah jantung dan atau meningkatnya resistensi perifer. Peningkatan curah jantung
dapat dipengaruhi oleh adanya ekspansi volume intravascular yang membuat tekanan darah
meningkat. Resistensi perifer juga dapat meningkat seiring bertambahnya usia kemudian
secara perlahan curah jantung akan turun hingga normal yang diakibatkan adanya autoregulasi.
Tekanan darah dapat menurun bila resistensi perifer vasodilatasi pembuluh darah dan
sebaliknya (Setiati, Alwi et al. 2014).
Proses pembentukan angiotensinogen yang terjadi di hati akan menghasilkan renin. Kemudian,
renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensinogen I yang diproduksi oleh macula
densa apparat juxta glomerulus ginjal. Setelah itu, enzim angiotensin converting enzyme
(ACE) akan merubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Pada akhirnya, enzim angiotensin
II ini akan bekerja di resptor-reseptor terkait seperti reseptor AT1, AT2, AT3 dan AT4. Faktor
resiko yang dibiarkan saja tanpa penanganan adekuat dapat memicu system renin angiotensin
aldosterone. Hal ini akan berakibat pada makin meningkatnya tekanan darah dan progresifitas
aterosklerosis yang makin bertambah. Keadaan ini dipicu oleh angiotensin II. Intervensi klinik
pada tahap atherosclerosis terbukti dapat menghambat resiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler (Setiati, Alwi et al. 2014).
3.5 Etiologi
Hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya (90%). Sedangkan,
hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya (10%). Penyebab hipertensi
antara lain adalah (Setiati, Alwi et al. 2014):
3.6 Diagnosis
Pasien yang memiliki hipertensi umumnya tidak memiliki keluhan. Keluhan baru akan muncul
apabila terdapat kerusakan di organ tubuh penderita.
Anamnesis pada penderita hipertensi meliputi (Setiati, Alwi et al. 2014):
3.7 Tatalaksana
Non farmakologis
Merubah pola hidup menjadi pola hidup sehat merupakan tatalaksana awal selama 4-6 bulan.
Strategi pola hidup sehat ini dapat menurunkan resiko permasalahan kardiovaskular. Terapi
farmakologis dianjurkan dimulai bila setelah menjalani strategi pola hidup sehat selama 4-6
bulan namun tidak mendapatkan perbaikan. Beberapa jenis strategi pola hidup sehat yang di
rekomendasikan adalah sebagai berikut (PERKI 2015):
1. Mengurangi berat badan
2. Memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan
3. Mengurangi asupan garam. Asupan garam yang dianjurkan adalah < 2 gr/hari
4. Melakukan olah raga secara teratur sebanyak 30-60 menit/hari selama minimal 3
hari/minggu.
5. Mengurangi konsumsi alcohol
6. Stop merokok
Diet hipertensi bertujuan untuk memudahkan penurunan tekanan darah dan menghilangkan
penimbunan cairan dalam tubuh atau edema. Edema yang terjadi dapat disebabkan oleh tubuh
yang gagal dalam menjaga keseimbangan cairan sehingga tubuh tidak dapat mengekskresikan
garam natrium yang mempunyai jumlah lebih dalam jaringan. Diet hipertensi memiliki
beberapa syarat seperti mengkonsumsi makanan dengan pola gizi seimbang, menyesuaikan
jenis dan komposisi makanan dengan pasien yang menderita hipertensi, menyesuaikan jumlah
garam yang dikonsumsi dengan derajat penyakit hipertensi serta obat yang dikonsumsi oleh
pasien. Berikut ini merupakan jenis-jenis makanan yang dianjurkan, dibatasi hingga dilarang
untuk dikonsumsi bagi pasien dengan hipertensi:
Jenis makanan
Bahan makanan yang dianjurkan Makanan segar: sumber hidrat arang, protein
nabati dan hewani, sayuran dan buah-buahan
yang mengandung serat
Makanan yang diolah dengan sedikit garam
atau tanpa garam natrium, vetsin, kaldu bubuk
Sumber protein hewani: mengkonsumsi
daging/ayam/ikan ≤ 100 gram per hari/telur
ayam atau bebek 1 butir per hari
Susu segar 200 ml/hari
Farmakologis
Pada pasien hipertensi derajat I, terapi farmakologis dimulai bila tidak terjadi penurunan
tekanan darah setelah menjalani pola hidup sehat selama lebih dari 6 bulan dan pada pasien
hipertensi derajat ≥ II. Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar terapi farmakologis yang
berguna untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping seperti (PERKI 2015):
1. Berikan obat dosis tunggal dan tipe obat generic/non-paten bila memungkinkan
2. Tidak disarankan untuk memberikan terapi kombinasi berupa Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACE-i) dengan Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs)
3. Berikan obat kepada pasien usia lanjut (55-80 tahun) dan perhatikan faktor komorbid
4. Berikan edukasi mengenai penyakit dan komplikasinya
5. Memantau efek samping obat
WHO dan JNC 7 merekomendasikan pemberian diuretic dengan dosis rendah sebagai lini
pertama tatalaksana hipertensi. Rekomendasi ini diberikan karena cost effective. Hipertensi
tanpa penyulit dapat diberikan monoterapi. Tatalaksana hipertensi memiliki berbagai macam
panduan algoritma seperti berikut (Setiati, Alwi et al. 2014):
Indikasi WHO-ISH 2003 ESH-ESC JNC 7 2003
2007/2009
Isolated systolic Diuretik, CCB Diuretik, CA Diuretik Tiazid
gol. saja/kombinasi (ACE-
hypertension pada
Dihidropiridine i/ARBs/BB/CA)
usia lanjut
Post infark miokard ACE-I, BB ACE-I, ARBs, ACE-I, BB, AA
BB,
Disfungsi ventrikel ACE-i ACE-I ACE-I, BB, diuretik
kiri
CHF Diuretik, BB, Diuretik, BB, Diuretik Tiazid, BB,
Spironolakton ACE-I, ARB, ACE-I, ARB, AA
AA
Post stroke ACE-i+Diuretic, Apapun Diuretik Tiazid, ACE-i
Diuretik
Penyakit ginjal ACE-I, ARBs ACE-I, ARBs ACE-I, ARBs
CA : Calcium Antagonis
AA : Anti AldosteronE
Pada umumnya target tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg. Namun, untuk pasien
hipertensi dengan low and moderate risk target tekanan darah adalah < 140/90 mmHg.
Sedangkan, untuk pasien hipertensi dengan high and very high risk (pasien yang menderita
diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, penyakit jantung coroner) target tekanan darah adalah
< 130/80 mmHg serta menatalaksana target organ damage. Monoterapi dapat mencapai target
tekanan darah normal sekitar 40%. Kombinasi ≥ 2 obat antihipertensi dapat mencapai target
tekanan darah normal > 80% (Setiati, Alwi et al. 2014). Berdasarkan guideline ESH-ESC 2007,
rekomendasi pilihan adalah kombinasi ACE-I, CCB dan diuretic (terutama indapamide).
Indapamide dipilih karena dapat memberikan natriuresis tanpa diuresis serta dapat memberi
proteksi vascular seperti Calcium Channel Blocker . Kombinasi lainnya yang
direkomendasikan juga oleh ESH-ESC 2007 adalah ACE-I (perindopril) dan CCB
(amlodipine) (Setiati, Alwi et al. 2014).
Berikut ini merupakan jenis obat anti hipertensi yang dapat dikombinasikan menurut ESH-ESC
2007 yaitu:
Kombinasi obat anti hipertens menurut ESH-ESC 2007 (Setiati, Alwi et al. 2014)
Tatalaksana pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah bertujuan
untuk mencegah terjadinya stroke, infark miokard, mengurangi frekuensi dan durasi iskemia
miokard serta memperbaiki tanda maupun gejala hingga kematian (PERKI 2015).
1. ACE Inhibitor
Mekanisme kerja obat antihipertensi jenis ACE-Inhibitor adalah dengan cara
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menyebabkan
terjadinya vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosterone. Vasodilatasi pembuluh
darah dapat menurunkan resistensi perifer yang berujung pada turunnya tekanan darah.
Penurunan sekresi aldosterone dapat mengakibatkan terjadinya ekskresi air dan natrium
dan retensi kalium (Setiati, Alwi et al. 2014).
Indikasi umum ACE-Inhibitor adalah penderita hipertensi dengan diabetes mellitus
karena ACE-Inhibitor dapat menurunkan resistensi insulin, penderita hipertensi dengan
proteinuria, gagal jantung, post miokard infark dengan gangguan fungsi diastolic
(Setiati, Alwi et al. 2014).
Kontraindikasi ACE-Inhibitor adalah pasien yang mempunyai alergi/hipersensitif
terhadap ACE-Inhibitor, ibu hamil dan menyusui karena bersifat teratogenik dan buruk
untuk ginjal bayi, stenosis arteri unilateral/bilateral serta hyperkalemia (Setiati, Alwi et
al. 2014).
Efek samping ACE-Inhibitor berupa gangguan fungsi ginjal, angioedema, batuk kering,
hipotensi, gangguan pengecapan, ruam kulit, gangguan saluran cerna, hipoglikemia,
hyperkalemia, trombositopenia, leukopenia, neutropenia (Setiati, Alwi et al. 2014).
Interaksi ACE-Inhibitor dengan diuretic hemat kalium dapat mengakibatkan
hyperkalemia. Pemberian ACE-Inhibitor bersamaan dengan antasida dapat mengurangi
absorpsi ACE-Inhibitor. Pemberian ACE-Inhibitor bersamaan dengan OAINS dapat
menyebabkan efek yang berkurang serta menambah resiko terjadinya hyperkalemia
(Setiati, Alwi et al. 2014).
Contoh obat ACE-Inhibitor adalah seperti Captopril, Ramipril, Enalapril, Lisinopril
dan Imidapril
Angiotensin receptor blockers atau yang dikenal juga sebagai ARB bekerja dengan cara
menghalangi reseptor AT1 sehingga mengakibatkan terjadinya vasodilatasi,
peningkatan eksreksi natrium dan cairan dan menurunkan hipertrofi vaskuler. ACE-
Inhibitor dan ARB memiliki kesamaan namun hal yang membedakan keduanya adalah
bahwa ARB tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin sehingga tidak mempunyai
efek samping seperti ACE-Inhibitor yaitu batuk kering dan angioedema (Setiati, Alwi
et al. 2014).
Indikasi umum penggunaan ARB adalah sebagai terapi alternatif pengganti ACE-
Inhibitor yang memiliki efek samping berupa batuk kering (Setiati, Alwi et al. 2014).
Kontrakindikasi ARB adalah pasien yang menderita kehamilan atau menyusui, stenosis
arteri renal unilateral/bilateral (Setiati, Alwi et al. 2014).
Efek samping ACE-Inhibitor adalah hipotensi yang dapat terjadi pada pasien dengan
kadar renin yang tinggi seperti pada gagal jantung, hipovolemia, sirosis hepatis dan
hipertensi renovaskular. Selain itu, efek samping ACE-Inhibitor lainnya yang dapat
timbul adalah hyperkalemia yang dapat disebabkan oleh insufisiensi ginjal. Efek
samping lain yang dapat muncul berupa nyeri kepala, penurunan hemoglobin, pusing,
diare, ruam dan hemoglobin yang menurun (Setiati, Alwi et al. 2014).
Interaksi ARB dengan diuretik hemat kalium, suplementasi kalium dan obat
antiinflamasi non steroid dapat menyebabkan terjadinya hyperkalemia (Setiati, Alwi et
al. 2014)
Contoh obat ARB adalah seperti Losartan, Valsartan, Candesartan, Irbesartan dan
Telmisartan.
3. Beta blocker
Tubuh memiliki tiga reseptor beta yang terdiri atas β1 yang cukup banyak terdapat di
miokard, β2 yang terletak pada organ visceral dan otot polos pembuluh darah serta β3
yang terutama terdapat pada jaringan lemak. Terdapat 2 jenis beta blocker yaitu
kardioselektif yaitu memiliki afinitas yang lebih tinggi pada reseptor β1 dibandingkan
dengan β2 dan non selektif yaitu memiliki afinitas yang sama terhadap reseptor β1 dan
β2. Contoh obat beta blocker jenis kardioselektif adalah seperti Bisoprolol, Atenolol,
Metroprolol, Acebutalol. Sedangkan, jenis beta blocker yang non selektif adalah seperti
Propanolol, Carvedilol, Timolol, Labetalol, Alprenolol, Karteolol, Nadolol,
Okseprenolol. Penggunaan β blocker non selektif memiliki efek samping yang lebih
banyak dibandingkan dengan yang kardioselektif seperti spasme pada bronkus yang
disebabkan oleh ada hambatan pada adrenosreseptor β2 di paru-paru (Setiati, Alwi et
al. 2014).
Mekanisme kerja obat antihipertensi jenis β blocker adalah menghambat reseptor
β1dengan beberapa cara seperti menurunkan curah jantung sehingga frekuensi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard akan menurun, menurunkan resistensi perifer serta
menghambat sekresi renin di sel-sel jugstaglomerular ginjal yang akan menyebabkan
terjadinya penurunan produksi angiotensin II (Setiati, Alwi et al. 2014).
Indikasi penggunaan β blocker secara utama adalah untuk pasien hipertensi dengan
takikardia atau takiaritmia serta pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner
(Setiati, Alwi et al. 2014).
Kontraindikasi β blocker adalah pada pasien dengan riwayat asma bronkial atau pada
pasien penderita penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK, pasien DM yang
mendapatkan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral karena dapat menyebabkan
tidak terdeteksinya gejala hipoglikemia (Setiati, Alwi et al. 2014).
Efek samping β blocker adalah gangguan fungsi seksual yang terutama disebabkan oleh
β blocker tipe non selektif (Setiati, Alwi et al. 2014).
Mekanisme kerja obat antihipertensi jenis calcium channel blocker adalah dengan cara
menutup kanal kalsium pada membran sehingga kalsium menjadi sulit untuk masuk ke
dalam sel. Kalsium merupakan intracellular messenger yang berfungsi untuk
meneruskan rangsangan menjadi respon. Peningkatan kalsium intrasel dapat
menyebabkan terjadinya kontraksi sel. Hilangnya kalsium dalam tubuh dapat
menyebabkan sel-sel seperti miokard dan sel otot polos tidak berkontraksi. Pada
penyakit jantung koroner dan DM keseimbangan kalsium intrasel menjadi terganggu
hingga menyebabkan pembuluh darah menjadi sensitive terhadap substansi vasoaktif
dan cenderung untuk berkontraksi. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
resistensi perifer yang berujung pada naiknya tekanan darah. Calcium channel blocker
akan bekerja dengan cara menghambat kalsium yang akan masuk ke dalam sel hingga
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, memperlambat laju jantung dan menurunkan
kontraktilitas miokard yang akan membuat tekanan darah menjadi turun (Setiati, Alwi
et al. 2014). Calcium channel blocker terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan
dihidropiridine dan non dihidropiridine. Contoh CCB golongan dihidropiridine adalah
seperti Nifedipine, Amlodipine, Felodipine, Nicardipine. CCB golongan
dihidropiridine memiliki afinitas besar pada kanal kalsium di pembuluh darah sehingga
memiliki efek vasodilatasi yang kuat. Efek samping CCB golongan dihidropiridine
berupa flushing, sakit kepala, palpitasi, mual, edema perifer dan hipotensi ortostatik.
CCB golongan non dihidropiridine atau dikenal juga dengan CCB golongan
fenilalkilamin dan CCB golongan bensotiazepine. CCB golongan non dihidropiridine
ini memiliki efek inotropic negative yang berbahaya apabila digunakan pada pasien
dengan gagal jantung kongestif. CCB golongan non dihidropiridine ini juga memiliki
efek samping berupa bradiaritmia dan gangguan konduksi sehingga tidak boleh
diberikan kepada pasien dengan bradikardia, AV blok derajat 2 dan 3 (Setiati, Alwi et
al. 2014).
Indikasi utama calcium channel blocker adalah sebagai obat antihipertensi dan obat
antiaritmia (Setiati, Alwi et al. 2014).
5. Diuretik
Mekanisme kerja obat antihipertensi jenis diuretic adalah dengan cara meningkatkan
ekskresi natrium, air dan klorida yang dapat menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler sehingga terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Mekanisme
kerja obat lainnya adalah dengan cara menurunkan resistensi perifer dengan cara
menambah efek hipotensinya. Terdapat 3 jenis obat diuretic yaitu Thiazid, Loop
diuretic/diuretic kuat dan Diuretik hemat kalium.
Golongan Thiazide yang paling sering digunakan adalah hidroclorothiazide atau
dikenal juga sebagai HCT. Kontraindikasi pemberian obat jenis Thiazide ini adalah
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal karena obat jenis ini dapat memperburuk
fungsi ginjal. HCT cukup sering dikombinasikan dengan obat antihipertensi jenis lain
karena dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi jenis lain. HCT juga dapat
mencegah terjadinya retensi cairan oleh obat antihipertensi lain yang dapat membuat
efek obat antihipertensi lain bertahan
Loop diuretic memiliki cara kerja yang lebih cepat dengan efek diuretic yang lebih kuat
dibandingkan dengan golongan thiazide. Namun, obat ini memiliki efek samping yaitu
cukup cepat menguras cairan tubuh dan elektrolit sehingga obat jenis ini hanya
diberikan pada pasien hipertensi dengan retensi cairan yang berat. Contoh obat loop
diuretic yang cukup sering digunakan adalah Furosemide (Setiati, Alwi et al. 2014).
Diuretik hemat kalium yang cukup sering digunakan adalah Spironolactone. Obat ini
merupakan diuretic lemah dan cara penggunaannya adalah dengan kombinasi dengan
obat diuretic lainnya dengan tujuan untuk mencegah hypokalemia (Setiati, Alwi et al.
2014)
3.8 Komplikasi
Tekanan darah yang tinggi dalam jangka waktu lama dapat merusak fungsi ginjal. Fungsi ginjal
menjadi rusak karena menurunnya laju filtrasi glomerulus sehingga menjadi penyakit ginjal
stadium akhir. Selain ginjal, beberapa organ penting di dalam tubuh seperti otak, jantung, mata
dapat menjadi rusak akibat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol (Setiati, Alwi et al.
2014).
3.9 Pencegahan
Pasien dengan tekanan darah yang berada pada fase pre-hipertensi mempunyai resiko tinggi
menjadi hipertensi secara permanen. Oleh karena itu, perubahan gaya hidup dengan strategi
pola hidup sehat merupakan langkah penting dalam mencegah terjadinya hipertensi secara
permanen (Setiati, Alwi et al. 2014).
DIABETES MELITUS
2.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization
(WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana
didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. (Sudoyo et.al 2006)
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Diabetes melitus tipe 1
Pada DM tipe I ( DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes
juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai
insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena
mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I
terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal
ini terdapat disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris:
childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM)
adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat
defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhan spankreas. IDDM dapat
diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada anak –
anak.
2.3.2 Diabetes Melitus tipe 2
Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut
dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi.
Pada tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin
relatif; pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin
dapat normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan
berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak,
dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran
energi meningkatkan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan
menurunkan penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi
insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun
pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang
penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih
penting adalah adanya disposisi genetic yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali,
pelepasan insulin selalu tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai
gen yang menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa factor,
kelaian genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi
penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi
pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada
metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat
dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia
berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.
2.3.3 Diabetes tipe lain
Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang
pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi
genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pancreatitis dengan
kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan
oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis, diantaranya, somatotropin (pada
akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing atau stress), epinefrin (pada stress),
progestogen dan kariomamotropin (pada kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan
glucagon. Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah
disebutkan di atas sehingga meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah
disebutkan diatas sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma
dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat
pelepasan insulin. (Silabernagi,2002)
2.4. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma
darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel KriteriaDiagnosis DM
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga
harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi
tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-
kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak
dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara
100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah
TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes.
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1. Tujuan penatalaksanaan
Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikro angiopati,
makro angiopati, dan neuropati.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatanmandiri dan perubahan perilaku. (PERKENI,2011)
2.5.2.`Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
Evaluasi medis meliputi:
Riwayat Penyakit
Gejala yang timbul,
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil
pemeriksaan khusus yang terkait DM
Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi
medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,
serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan
dan program latihan jasmani
Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan
hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta
kaki
Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata,
saluran pencernaan, dll.)
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan
riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri
untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta anklebrachial index
(ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan
pemeriksaan neurologis
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup danperilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa
darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian daripenatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,ahli
gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip
pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori danzat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).
Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
Dibutuhkan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok
teh) garam dapur.
Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan.
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake
/ ADI)
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkanpenyandang diabetes. Di
antaranya adalah dengan memperhitungkankebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi adalah sbb:
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI - 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
IMT = BB(kg)/
TB(m2)
Klasifikasi IMT
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o Obes II > 30
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its
Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara
40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%
pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.Bila
kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-
1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi
besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan
(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yangmengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,2011)
3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30
menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur),
disesuaikandengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan
adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit
dan olahraga berat misalnya joging. (Sudaryono et.al 2006)
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambatglukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
2. Suntikan
A. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal
atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-
combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan
insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi
OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10
unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin. (PERKENI,2011)
2.6. Komplikasi
2.6.1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi
glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes adalah:
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini terjadi karena kadar
insulin sangat menurun,dan pasien akan mengalami hal berikut: (Boon et.al 2006)
· Hiperglikemia
· Hiperketonemia
· Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatanlipolisis dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton(asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik.
Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapatmenjadi hipotensi dan mengalami syok.
(Price et.al 2005)
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalamikoma dan
meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun
tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat
dilakukan sedini mungkin.
Tabel : Penatalaksanaan Ketoasidosis Metabolik
Tanda-tanda Hipoglikemia
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitanmenghitung sederhana.
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau tangan,
berdebar-debar.
4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat stadium
hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oralataupun suntikan. Ada beberapa
catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisadiperkirakan
pada puncak kerjanya, misalnya:
· Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
· Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
· P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
Penatalaksanaan Hipoglikemia
II.7.2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang
A. Mikrovaskular / Neuropati
–Retinopati, katarak : penurunan penglihatan
–Nefropati :gagal ginjal
– Neuropati perifer :hilang rasa, malas bergerak
– Neuropati autonomik :hipertensi, gastroparesis
– Kelainan pada kaki :ulserasi, atropati
B. Makrovaskular
– Sirkulasi koroner :iskemi miokardial/infark miokard
– Sirkulasi serebral :transient ischaemic attack, strok
–Sirkulasi :claudication, iskemik
Diagnosis
Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30 mg
dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya.
Penatalaksanaan
Kendalikan glukosa darah
Kendalikan tekanan darah
Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang
bertambah berat, diet protein diberikan 0,6 –0,8 gram/kg BB per hari.
Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II,penghambat ACE, atau
kombinasi keduanya. Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE atau
reseptor angiotensin, dapat diberikan antagonis kalsium non dihidropiridin.
Apabila serum kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan
Idealnya bila klirens kreatinin <15 mL/menit sudah merupakan indikasi terapi
pengganti (dialisis, transplantasi).
2.7. Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diatas prognosisnya
dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi
dengan baik. Serangan jantung , stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang
dengan diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat kompilkasi gagal
ginjal. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko komplikasi :
Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula),perbanyak
konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak,tomat, semangka,
dainjurkan pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)
Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid
Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori prediabetes)
2.8.Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu (Suyono, 2006)
:
Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia
pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes
penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang
sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikiandapat dilakukan upaya
untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible. (cegah
kompilkasi)
Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi yang sudah
ada. Usaha ini meliputi:
- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalanorgan (jangan
sampai timbul chronic kidney disease)
- Mencegah kecacatan tubuh.
1. DISLIPIDEMIA
1.1 Pengertian
Dislipidemia adalah kalainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan
maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma. Beberapa kelainan fraksi lipid yang utama
adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan atau trigliserida, serta penurunan
kolesterol HDL (Davey, 2002).
1.3 Patofisiologi
Lipid dalam plasma terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas. Normalnya lipid ditranspor dalam plasma darah berikatan dengan protein yang
berbentuk
lipoprotein. Ikatan
protein dan lipid
tersebut
menghasilkan 4
kelas utama lipoprotein
bergantung pada
kandungan lipid dan
jenis apoproteinnya :
Kilomikron, VLDL, LDL, dan HDL. Peningkatan lipid dalam darah akan mempengaruhi
kolesterol, trigliserida dan keduanya (hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia atau
kombinasinya yaitu hiperlipidemia).
2. Klasifikasi Patogenik
Klasifikasi dislipidemia berdasarkan atas ada atau tidaknya penyakit dasar yaitu primer
dan sekunder. Dislipidemia primer memiliki penyebab yang tidak jelas sedangkan
dislipidemia sekunder memiliki penyakit dasar seperti sindroma nefrotik, diabetes melitus,
hipotiroidisme (Sudoyo, 2006). Contoh dari dislipidemia primer adalah
hiperkolesterolemia poligenik, hiperkolesterolemia familial, hiperlipidemia kombinasi
familial, dan lain-lain (Anwar, 2004).
Tabel 5. Dislipidemia Sekunder
1.6 Diagnosis
1. Pada anamnesis biasanya didapatkan pasien dengan faktor risiko seperti kegemukan,
diabetes mellitus, konsumsi tinggi lemak, merokok dan faktor risiko lainnya.
2. Pada pemeriksaan fisik sukar ditemukan kelainan yang spesifik kecuali jika didapatkan
riwayat penyakit yang menjadi faktor risiko dislipidemia. Selain itu, kelainan mungkin
didapatkan bila sudah terjadi komplikasi lebih lanjut seperti penyakit jantung koroner.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting dalam menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
kolesterol HDL dan trigliserida plasma (Anwar, 2004).
a. Persiapan
Pasien sebaiknya berada dalam keadaan metabolik yang stabil tanpa adanya
perubahan berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olahraga, tidak sakit berat
ataupun tidak ada operasi dalam 2 bulan terakhir. Selain itu, sebaiknya pasien tidak
mendapatkan pengobatan yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2 minggu terakhir.
Apabila keadaan ini tidak memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan dan disertai
dengan catatan (Anwar, 2004).
Untuk pemeriksaan TG diperlukan puasa 12 jam (semalam), selama puasa boleh
minum air putih.
Untuk pemeriksaan kol-total tidak perlu puasa.
Bila kol-LDL diperiksa secara direk, tidak perlu puasa.
Bila kol-LDL diperiksa secara indirek, persiapannya tetap dengan puasa 12 jam.
b. Pengambilan Bahan Pemeriksaan
Pengambilan bahan dilakukan dengan melakukan bendungan vena seminimal
mungkin dan bahan yang diambil adalah serum.
c. Analisis
Analisis kadar kolesterol dan trigliserida dilakukan dengan metode enzimatik
sedangkan analisis kadar kolesterol HDL dan kolesterol LDL dilakukan dengan metode
presipitasi dan enzimatik. Kadar kolesterol LDL dapat dilakukan secara langsung atau
menggunakan rumus Friedewaid jika didapatkan kadar trigliserida < 400mg/d
menggunakan rumus sebagai berikut (Anwar, 2004):
*Rumus ini tidak dapat digunakan bila kadar TG > 400 mg/dL.
BAB III
PENATALAKSANAAN DISLIPIDEMIA
Penatalaksanaan dalam dislipidemia dimulai dengan melakukan penilaian jumlah
faktor risiko penyakit jantung koroner pada pasien untuk menentukan kolesterol-LDL yang
harus dicapai. Berikut ini adalah tabel faktor resiko (selain kolesterol LDL) yang menentukan
sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai berdasarkan NCEP-ATP III (Sudoyo, 2006):
Tabel 7. Faktor Risiko (Selain Kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran Kolesterol
LDL yang Ingin Dicapai
Faktor Risiko (Selain Kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran
Kolesterol LDL yang Ingin Dicapai
- Umur pria ≥ 45 tahun dan wanita ≥ 55 tahun.
- Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah
usia < 55 tahun dan ibu < 65 tahun.
- Kebiasaan merokok
- Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat obat
antihipertensi)
- Kolesterol HDL rendah ( <40 mg/dl). Jika didapatkan kolesterol
HDL ≥60mg/dl maka mengurangi satu faktor risiko dari jumlah total
Setelah menemukan banyaknya faktor risiko pada seorang pasien, maka pasien dibagi
kedalam tiga kelompok risiko penyakit arteri koroner yaitu risiko tinggi, risiko sedang dan
risiko tinggi. Hal ini digambarkan pada tabel berikut ini (Sudoyo, 2006) :
Tabel 8. Tiga Kategori Resiko yang Menentukan Sasaran Kolesterol LDL yang Ingin
Dicapai berdasarkan NCEP (Sudoyo, 2006)
Kategori Resiko Sasaran Kolesterol
LDL (mg/dl)
1. Resiko Tinggi <100
a. Mempunyai Riwayat PJK dan
b. Mereka yang mempunyai risiko yang disamakan
dengan PJK
- Diabetes Melitus
- Bentuk lain penyakit aterosklerotik yaitu stroke,
penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis
- Faktor risiko multipel (> 2 faktor risiko) yang
mempunyai risiko PJK dalam waktu 10 tahun >
20 % (lihat skor risiko Framingham)
2. Resiko Multipel (≥2 faktor resiko) dengan risiko PJK
dalam kurun waktu 10 tahun < 20% <130
3. Resiko Rendah (0-1 faktor resiko) dengan risiko PJK
dalam kurun waktu 10 tahun < 10 % <160
Selanjutnya penatalaksanaan pada pasien ditentukan berdasarkan kategori risiko pada
tabel diatas. Berikut ini adalah bagan penatalaksanaan untuk masing-masing katagori risiko (
Sudoyo, 2006):
Gambar 4. Bagan Penatalaksanaan dislipidemia dengan faktor resiko tinggi
Serat 30 gr perhari
Protein Sekitar 15% dari kalori total
Kolesterol <200 mg/hari
mengidentifikasi makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dan kolesterol serta
berapa sering keduanya dimakan. Jika diperlukan ketepatan yang lebih tinggi untuk menilai
asupan gizi, perlu dilakukan penilaian yang lebih rinci, yang biasanya membutuhkan
bantuan ahli gizi. Penilaian pola makan penting untuk menentukan apakah harus dimulai
dengan diet tahap I atau langsung ke diet tahap ke II. Hasil diet ini terhadap kolesterol
serum dinilai setelah 4-6 minggu dan kemudian setelah 3 bulan (Anwar, 2004). Pada pasien
dengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total yang tinggi sebaiknya mengurangi
asupan lemak total dan lemak jenuh (saturated fatty acid/SAFA), dan meningkatkan asupan
lemak tak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono dan poly unsaturated fatty acid/MUFA
dan PUFA). Asupan karbohidrat, alkohol dan lemak perlu dikurangi pada pasien dengan
kadar trigliserida yang tinggi (Sudoyo, 2006).
Tabel 9. Komposisi Tahap I dan Tahap II
Tabel 10. Komposisi Makanan untuk Hiperkolesterolemia
b. Aktivitas Fisik
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kadar HDL
dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas dan meningkatkan
keseragaman fisik, menurunkan trigliserida dan LDL, dan menurunkan berat badan
(Azwar, 2004).
Setiap melakukan latihan jasmani perlu diikuti 3 tahap :
1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit
2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung maksimal (
220 - umur ) selama 20-30 menit .
3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan - lahan, selama 5-10 menit.
Frekuensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan seperti diutarakan diatas.
Dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama latihan 45-60 menit dalam tahap
aerobik.
Pada prinsipnya pasien dianjurkan melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi
dan kemampuan pasien agar aktivitas ini berlangsung terus-menerus (Sudoyo, 2006).
3. Penatalaksanaan Farmakologi
Setelah 6 minggu terapi non farmakologis, dilakukan evaluasi ulang. Bila belum
mencapai kadar kolesterol LDL sasaran yang diharapkan, perlu ditingkatkan/intensifikasi
terapi non-farmakologis. Disamping itu, tentu harus dicari pula penyebab dislipidemia
sekunder. Bila 6 minggu berikutnya kadar kolesterol LDL masih belum mencapai sasaran,
ditambahkan terapi farmakologis dengan tetap melanjutkan terapi non-farmakologis.
Saat ini didapat beberapa golongan obat yaitu golongan resin, asam nikotinat, golongan
statin, derivat asam fibrat, ezetimibe, dan lain-lain namun obat lini pertama yang danjurkan
oleh NCEP-ATP III adalah HMG-CoA reductase inhibitor (Azwar, 2004). Apabila ditemukan
kadar trigliserida >400mg/dl maka pengobatan dimulai dengan golongan asam fibrat untuk
menurunkan trigliserida. Menurut kesepakatan kadar kolesterol LDL merupakan sasaran
utama pencegahan penyakit arteri koroner sehingga ketika telah didapatkan kadar trigliserida
yang menurun namun kadar kolesterol LDL belum mencapai sasaran maka HMG-CoA
reductase inhibitor akan dikombinasikan dengan asam fibrat. Selain itu, terdapat obat
kombinasi dalam satu tablet (Niaspan yang merupakan kombinasi lovastatin dan asam
nikotinik) yang jauh lebih efektif dibandingkan dengan lovastatin atau asam nikotinik sendiri
dalam dosis tinggi (Sudoyo, 2006).
Tabel 11. Target kolesterol LDL (mg/dl):
Kadar LDL
Target Kadar LDL untuk mulai terapi
Kategori Resiko untuk mulai
LDL farmakologis
PGH
PJK atau yang < 100 100 130
disamakn PJK (100-129 pemberian obat
opsional)
Faktor resiko 2 < 130 130 10 tahun risiko 10-20% : 130
10 tahun risiko <10% : >160
Faktor resiko 0-1 < 160 160 190
(160-189 pemberian obat
opsional)
Hipolipidemik
Setiap obat hipolipidemik memiliki kekuatan kerja masing-masing terhadapat
kolesterol LDL, kolesterol HDL, maupun trigliserida. Sesuai dengan kemampuan tiap jenis
obat, maka obat yang dipilih bergantung pada jenis dislipidemia yang ditemukan.
Tabel 13. Obat Hipolipidemik: Efek Obat Terhadap Kadar Lipid Serum
Kebanyakan obat hipoglikemik dapat dikombinasikan penggunaannya tetapi kombinasi
golongan statin dan golongan fibrat, atau golongan statin dan asam nikotinat, perlu pemantauan
lebih ketat. Sebaiknya tidak memberikan kombinasi gemfibrozil dan statin. Pada penderita
dengan kadar Obat Kol-LDL Kol-HDL Trigliserid
trigliserida >350 Statin 18-55 % 5-15 % 7-30 %
Resin 15-30 % 3-5 % -/
mg/dl, golongan Fibrat 5-25 % 10-20% 20-50 %
statin dapat Asam 5-25 % 15-35 % 20-50 %
Nikotinat
digunakan (statin
Penghambat 17-18 % 3-4 % -
dapat Absorbsi
Kolesterol
menurunkan
trigliserida) karena sasaran kolesterol LDL adalah sasaran pengobatan. Pada pasien dengan
dislipidemia campuran yaitu hiperkolesterolemia dan hipertrigliserida, terapi tetap dimulai
dengan statin. Apabila kadar trigliserida masih tetap tinggi maka perlu kombinasi dengan fibrat
atau kombinasi statin dan asam nikotinat. Harus berhati-hati dengan terapi kombinasi statin
dan fibrat maupun statin asam nikotinat oleh karena dapat meningkatkan timbulnya efek
samping yaitu miopati.
Pemantauan efek samping obat harus dilakukan terutama pada mereka dengan
gangguan fungsi ginjal atau hati. Kemudian setiap terdapat keluhan yang mirip miopati maka
sebaiknya diperiksa kadar creatinin kinase (CK).
Obat Hipolipidemik diantaranya adalah :
1. Golongan Statin
Statin sangat efektif dalam menurunkan kol-LDL dan relatif aman. Obat ini
bekerja menghambat sintesis kolesterol di hati, dengan demikian akan menurunkan
kolesterol darah. Efek samping golongan statin terjadi pada sekitar 2% kasus, biasanya
berupa nyeri muskuloskeletal, nausea, vomitus, nyeri abdominal, konstipasi dan
flatulen. Makin tinggi dosis statin makin besar kemungkinan terjadinya efek samping.
2. Golongan Asam Fibrat
Derivat dari asam fibrat mempunyai efek meningkatkan aktivitas lipoprotein
lipase, menghambat produksi VLDL hati dan meningkatkan aktivitas reseptor LDL.
Golongan ini terutama menurunkan trigliserida dan meningkatkan kol-HDL dengan
efek terhadap kol-total dan LDL cukup. Efek samping jarang, yang tersering adalah
gangguan gastrointestinal, peningkatan transaminase, dan reaksi alergi kulit, serta
miopati.
3. Golongan Asam Nikotinat
Asam nikotinat memiliki efek yang bermanfaat untuk semua kelainan fraksi
lipid. Obat ini menurunkan produksi VLDL di hepar yang berakibat turunnya kol-LDL
dan trigliserida serta meningkatnya kol-HDL. Efek sampingnya cukup besar, antara
lain flusihing, gatal di kulit, gangguan gastrointestinal, hiperglikemia, dan
hiperurisemia. Asam nikotinat lepas lambat seperti niaspan mempunyai efek samping
yang lebih rendah.
4. Golongan Resin Pengikat Asam Empedu
Golongan ini mengikat asam empedu di dalam usus, menghambat resirkulasi
entero-hepatik asam empedu. Hal ini berakibat peningkatan konversi kolesterol
menjadi asam empedu di hati sehingga kandungan kolesterol dalam sel hati menurun.
Akibatnya aktivitas reseptor LDL dan sintesis kolesterol intrahepatik meningkat. Total
kolesterol dan kolesterol LDL menurun, tetapi kolesterol HDL tetap atau naik sedikit.
Pada penderita hipertrigliserida, obat ini dapat menaikkan kadar trigliserida dan
menurunkan kolesterol HDL. Obat ini tergolong kuat dan efek samping yang ringan.
Efek sampingnya adalah keluhan gastrointestinal seperti kembung, konstipasi, sakit
perut dan perburukan hemoroid.
5. Golongan Penghambat Absropsi Kolesterol
Ezetimibe adalah obat pertama yang dipasarkan dari golongan obat penghambat
absorpsi kolesterol, secara selektif menghambat absorpsi kolesterol dari lumen usus
halus ke enterosit. Obat ini tidak mempengaruhi absorpsi trigliserida, asam lemak, asam
empedu, atau vitamin yang larut dalam lemak termasuk A, D, E, dan a dan carotene.
Ezetimibe 10 mg dikombinasikan dengan atorvastatin 10 mg sama efektifnya dengan
pemberian atorvastatin 80 mg. Efek samping bila diberikan tanpa kombinasi, adalah
sakit kepala, sakit perut, dan diare.
1. DEFINISI
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah salah satu jenis vertigo vestibular
tipe perifer yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, ditandai dengan serangan-
serangan yang menghilang spontan. Benign Paroxysmal Positional Vetigo didefinisikan
sebagai kelainan pada telinga bagian dalam yang mana ada pengulangan episodic dari vertigo
posisional. BPPV juga sering dikenal dengan kelainan pada bagian vestibular.1,2
BPPV bukan suatu penyakit, melainkan suatu sindroma sebagai gejala sisa dari
penyakit pada telinga dalam.3
Penelitian Baloh mendapatkan usia rata-rata penderita BPPV adalah 54 tahun, dengan
rentang usia 11-84 tahun. Wanita : pria 1.6 : 1.0, sedangkan pada yang idiopatik 2:1. Insidensi
dari BPPV berkisar 10.7-64 per 100.000 orang dan meningkat 38% setiap dekadenya.1,4
2. ETIOLOGI
a. Idiopatik
Sekitar 50% penderita BPPV tidak diketahui penyebabnya.4
b. Simtomatik
Pasca trauma, pasca-labirinitis virus, insufisiensi vertebrobasilaris, Meniere, pasca-
operasi, ototoksisitas, mastoiditis kronik.5
Pada orang tua, penyebab paling umum adalah degenerasi dari sistem vestibular dari
telinga bagian dalam.6
3. PATOFISIOLOGI
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala umum yang didapatkan yaitu pusing biasanya muncul setelah beberapa gerakan
kepala, bermasalah dengan keseimbangan, dan rasa ingin muntah (mual).8
Vertigo muncul mendadak pada perubahan posisi, misalnya miring ke satu sisi pada waktu
berbaring, bangkit dari tidur, membungkuk atau waktu menegakkan kembali badan, menunduk
atau menengadah. Serangan berlangsung dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 30 detik.4
Vertigo pada BPPV dirasakan berputar, bisa disertai rasa mual, kadang-kadang muntah.
Setelah rasa berputar menghilang pasien bisa merasa melayang.9,10
Umumnya BPPV menghilang sendiri dalam beberapa hari sampai minggu dan kadang-
kadang bisa kambuh lagi.10
5. DIAGNOSIS
Diagnosis BPPV ditegakkan secara klinis berdasarkan:4,10
a. Anamnesis
Adanya vertigo yang terasa berputar, timbul mendadak pada perubahan
posisi kepala atau badan, lamanya kurang dari 30 detik, bisa disertai oleh rasa mual,
kadang-kadang muntah.
b. Pemeriksaan fisik
Pada yang idiopatik tidak ditemukan kelainan. Pada yang sistomatik bisa
ditemukan kelainan neurologic fokal, atau kelainan sistemik.
1. Tes Dix Hallpike
Tes ini dilakukan sebagai berikut:2,4
a. Sebelumnya pasien diberi penjelasan dulu mengenai prosedur pemeriksaan
supaya tidak tegang.
b. Pasien duduk dekat bagian ujung pemeriksa.
c. Dengan mata terbuka dan berkedip sedikit mungkin selama pemeriksaan, pada
posisi duduk kepala menengok ke kiri atau ke kanan, lalu dengan cepat badan
pasien dibaringkan sehingga kepala tergantung pada ujung meja pemeriksa, lalu
dilihat adanya nistagmus dan keluhan vertigo, pertahankan posisi tersebut
selama 10 sampai 15 detik, setelah itu pasien dengan cepat didudukkan kembali.
Berikutnya maneuver tersebut diulang dengan kepala menunjuk kesisi lain.
Untuk melihat adanya fatigue maneuver ini diulang 2-3 kali.
Interpretasi Tes Dix Hallpike11,12
a. Normal : tidak timbul vertigo dan nistagmus dengan mata terbuka.
Kadang-kadang dengan mata tertutup bisa terekam dengan
elektronistagmografi adanya beberapa detak nistagmus.
b. Abnormal : timbulnya nistagmus posisional yang pada BPPV mempunyai
4 ciri, yaitu: ada masa laten, lamanya kurang dari 30 detk, disertai vertigo
yang lamanya sama dengan nistagmus, dan adanya fatigue, yaitu nistagmus
dan vertigo yang makin berkurang setiap kali manuver diulang
6. PENATALAKSANAAN
Komunikasi dan Informasi
Oleh karena BPPV menimbulkan vertigo yang hebat, pasien menjadi cemas
dan khawatir akan adanya penyakit berat seperti stroke atau tumor otak. Maka itu
perlu diberikan penjelasan bahwa BPPV bukan sesuatu yang berbahaya dan
prognosisnya baik, dapat hilang spontan setelah beberapa waktu, walaupun kadang-
kadang berlangsung lama dan sewaktu-waktu bisa kambuh lagi.4
Medikamentosa
Beberapa kategori dari medikasi vestibular suppresan yang biasa digunakan
yaitu benzodiazepine dan antihistamine. Benzodiazepine seperti diazepam dan
clonazepam yang memiliki efek anxiolitik, sedatif, muscle relaksan, anti konvulsi
derivate dari efek inhibitor potensial sistem asam gamma-amino butirat. Dalam
mengatasi dizziness, medikasi ini bisa mengurangi sensasi rasa berputar, tetapi juga
dengan kompensasi pada kondisi vestibular perifer. Antihistamin, di sisi lain untuk
menekan rasa mual dan muntah. Contoh antihistamin yaitu meclizine dan
diphenhydramine. Akan tetapi belum ada bukti dari literature yang menyarankan
medikasi vestibular suppresan efektif sebagai pengobatan primer dari BPPV atau
subsitusi dari manuver reposisi.
Obat-obatan anti vertigo seringkali tidak dibutuhkan, oleh karena vertigo-nya
berlangsung sebentar saja. Lagipula serangan akut vertigonya tidak dapat
sepenuhnya ditekan dengan obat antivertigo.9
Latihan
a. Metoda Brandt Daroff
Pasien duduk tegak ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung. Lalu
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik, setelah itu duduk tegak kembali. Setelah 30 detik
baringkan dengan cepat ke sisi lain, perahankan selama 30 detik, lalu duduk tegak
kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi hari sebelum bangun tidur, dan 3
kali pada malam hari sebelum tidur, sampai 2 hari berturut-turut tidak timbul
vertigo.1,10,13
b. Vibrasi
Metoda ini diperkenalkan oleh Epley dan disebut Canalith Repositioning
Procedure.
Caranya L vibrator diletakkan pada daerah mastoid telinga yang diduga ada
kelainan. Pasien berbaring terlentang dengan kepala agak hiperektensi, lalu
kepala diputar ke arah telinga tersebut sampai muka menghadap ke lantai dengan
sudut 45o, pertahankan posisi tersebut selama 15 detik atau sampai nistagmus
menghilang. Kemudian kepala dan badan diputar kea rah berlawanan sampai
muka menghadap ke lantai dengan sudut 45o, pertahankan selama 15 detik.
Selanjutnya pasien duduk dengan kepala menunduk selama 15-30 detik,
sementara itu vibrasi dilakukan terus pada mastoid.
Prosedur ini menyebabkan debris terlepas dari kupula dan masuk ke dalam
endolimfe. Setelah 1 minggu bila vertigo timbul lagi bisa dilakukan vibrasi ulang.
Komplikasi dari prosedur ini termasuk konversi dari canalith menjadi canal
yang berbeda pada alterasi dari tipe nistagmus dan atau arah nistagmus.
Komplikasi ini dapat dicegah dengan manuver tambahan selama duduk,
Komplikasi lain termasuk yang dilaporkan yaitu rasa nyeri, berkeringat, demam,
dan hipotensi selama manuver tadi.1,2,4,13
Manuver ini efektif dalam 80% pasien dengan BPPV. Jika manuver ini bekerja
dengan baik tetapi gejala muncul atau berespon parsial, manuver lain disarankan
dilakukan.2,13
Terapi Bedah
Pada sebagian kecil penderita BPPV yang berkepanjangan dan tidak sembuh
dengan terapi konservatif bisa dilakukan operasi neurektomi atau cannal plugging.
Akan tetapi tindakan operatif tersebut bisa menimbulakn komplikasi berupa tuli
sensorineural pada 10% kasus.10
Hanya sekitar 1 / 200 BPPV kami pasien akhirnya memiliki prosedur ini dilakukan.
Operasi tidak harus dipertimbangkan sampai ketiga manuver / latihan (manuver
epley, semont, dan brandt daroff) telah dicoba dan gagal.
Pengobatan bedah BPPV tidak mudah - dokter THT Anda mungkin akan tidak
memiliki pengalaman sama sekali dengan operasi ini. Tentu saja, selalu dianjurkan
saat merencanakan operasi untuk memilih ahli bedah yang telah selebar
pengalaman mungkin. Komplikasi jarang terjadi, namun demikian kita masih harus
berpikir hati-hati tentang menjalani prosedur yang memiliki resiko 3% dari
kehilangan pendengaran unilateral.10,13
Jika latihan yang dijelaskan di atas tidak efektif dalam mengendalikan gejala, gejala
telah berlangsung selama satu tahun atau lebih, dan diagnosis sangat jelas, prosedur
bedah yang disebut "Canal plugging blocks" mungkin disarankan. Canal
memasukkan sebagian besar blok fungsi kanal posterior tanpa mempengaruhi fungsi
dari saluran lain atau bagian dari telinga. Prosedur ini menimbulkan risiko kecil
untuk mendengar - sekitar 3%, tetapi efektif pada sekitar 85-90% dari individu yang
tidak memiliki respon terhadap pengobatan lain. Risiko operasi untuk mendengar
berasal dari melanggar sengaja ke dalam kompartemen endolimfatik ketika mencoba
untuk membuka labirin tulang dengan bor.10,13