Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah


nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas
karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya.
Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat
mudah menimbulkan perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh
darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris
interna. 1,2
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki prepubertas dan
remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25
tahun sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA). Istilah
juvenile tidak sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien
yang lebih tua. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan
hanya 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring
diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring dapat
berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis
(45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah
meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia,
rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada
penderita angiofibroma nasofaring.
Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah
epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung
kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.2,3

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi 4,5

2.1.1 Anatomi Cavum Nasi

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut rambut panjang yang disebut vibrise.5

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya
terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.5

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus.5

Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

2
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.5

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung.5

Gambar 1. Anatomi Faring

2.1.2 Nasofaring

Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan


orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu
4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar
8cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior
dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan
vertebra servikal I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m.konstriktor faring superior.

3
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan fibrosa dan mukosa.
Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus konstriktor superior. Ruang antara
tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah
ini dilindungi oleh fasia faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini.
Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang
terletak di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat
sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah
dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua
lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan
ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian
superfisial muskulus kons triktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang
berada di antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior naik ke arah
dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri.4

Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang terletak


tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas
medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena
menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi penyebaran patologi di antara
mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian
posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi
superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa
pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa
pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada
pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatine
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum
dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi
segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan
memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung ,
palatum dan faring. 4

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal
arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan

4
cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di bawah membran mukosa yang
berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya.

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot konstriktor
faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX),
serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian
besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior
nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang
faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).

Gambar 2. Anatomi nasofaring

5
Gambar 3. Vaskularisasi Nasofaring

2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1

2.3 Etiologi
Etiologi masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah satunya adalah teori
jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di
dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab dari tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated
hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang
dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute)
setelah masa remaja (puberty).3

2.4 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di nasofaring, yang
merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara 5.000-
60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun jarang, juvenile angiofibroma nasofaring
merupakan tumor yang paling sering mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif
pada laki-laki, sehingga wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat

6
terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih
dari 25 tahun.3,6

2.5 Patofisiologi
Angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan mengenai fossa
pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan
mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii. Pertumbuhan lesi memiliki
kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai
resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola
penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke
dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke
lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infratemporalis, melalui fissura pterigo-
maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior
maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikator dan jaringan lunak pipi.
Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui kanalis vidian, sinus
kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior.
Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena tumor.
Keterlibatan tulang terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan
langsung dengan aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri
perforanates ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior
berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi tabula
interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran fissura orbitalis
superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,7

2.6 Patologi8,9

Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak


agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari merah muda
sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu dibungkus oleh membran
mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang
berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik,
angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh
darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan
dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik

7
dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika
terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah.

Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid,
jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya
terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal,
yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan
kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan
karakteristik dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.

Gambar 4. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang besar, tidak
bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya berada dalam nasofaring. JNA
juga dapat berbentuk bertangkai (pedunculated) atau polypoid

8
Gambar 5. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit berbentuk bintang
(tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis (tanda panah)

2.7 Gejala Klinis


Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan
anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media.
Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan
deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah
kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang
merupakan komplikasi berat. Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses
menelan terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret
muko purulen. Jika pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka
kodok” jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol.
Sering disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.3,7
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai
penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung atau
faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat penekanan
tulang tidak terlalu besar.10

9
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
radiologis. Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat
yang progresif dan epistaksis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung memudahkan
terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan
penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya
menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor
yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir bewarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda
warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak
komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan
adanya ulserasi .

Gambar 6. Tampak angiofibroma nasofaring

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis


dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan serta pemeriksaan arteriografi.
Pada pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan
posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller’’
yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina
melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan

10
CT scan akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan
sekitarnya.

Gambar 7. CT Scan Angiofibroma Nasofaring Stadium I

Pemeriksaan magnetik resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk menentukan batas


tumor terutama yang telah meluas ke intra kranial. Pada pemeriksaan arteriografi arteri
karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang
arteri maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai
akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasoaring ke arah fosa
pterigomaksila. Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.

11
Gambar 8. MRI (a dan b), Angiografi (c dan d)

Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis


intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan
tumor. Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan dan pemeriksaan immunohistokimia
terhadap reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat
adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena
biopsi merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan
klasifikasi Session dan Fisch.

Klasifikasi menurut Session sebagai berikut:

Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voul

Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan meluas
sedikitnya 1 sinus pranasal

Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

Stadium IIB : Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita

Stadium IIIA: Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke intrakranial

Stadium IIIB: Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus
kavernosus

12
Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:

Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang

Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang

Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio paraselar

Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kafernosus, regio chiasma optik dan atau fossa
pituitary. 1,2

2.9 Diagnosis Banding


2.9.1 Polip angiomatosa
Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai komponen
vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupaka tumor jinak dan mirip dengan angiofibroma
nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Kemungkinan adanya polip
angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum mempertimbangkan diagnosa angofibroma,
pada pasien dewasa dan perempuan. Gejala yang paling sering muncul adalah hidung
tersumbat dan sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi
tulang, pendesakan struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan eksofthalmus.6
Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di nasofaring, tidak
meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada angiografi
polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT scan polip
tidak menyangat atau hanya menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan
jarang terjadi kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.6

2.9.2 Ca Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa
nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma
nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai neoplasma agresif
lokal dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher.
Tumor primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring
dan basis kranii. Gejala klinis yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher.
Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga berdenging dan
tuli. Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi distribusi

13
geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara. Gambaran radiologi karsinoma nasofaring
adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space,
destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.1,6

2.10 Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,
namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika
penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi
akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau
menyebabkan epistaksis menahun.7

Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai
dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi
sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor
yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya
diberikan radioterapi prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang
dilanjutkan dengan elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun
hasilnya tidak sebaik radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone
receptor blocker flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.11

Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor
terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi
kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan
suatu bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan
menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke
dalam pembuluh darah untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif
untuk mengatasi perdarahan hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk
mengangkat tumor.11

2.11 Prognosis

Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak

14
memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah memenuhi rongga
tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang.10

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan


dapatdikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien dengan usia
yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia lebih muda, tumor jenis
ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan memiliki prognosis yang buruk.2

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta
sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring khusus menyerang
jenis kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan asal dan
teori ketidakseimbangan hormonal.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang
atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk
tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-


foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain
terapi hormonal atau radioterapi.
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat
dikatakan memiliki prognosis yang baik

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi AIN,


editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
ketujuh. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

2. Mansfield, E. Angiofibroma. In: eMedicine Specialties > Vascular Surgery > Medical
Topics. Dec 24th 2016.

3. Fauci, et.al. (Ed.) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill
Companies, Inc. USA. 2008; Part 6: Chapter 79

4. Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th edition. Jakarta: EGC, 2014.
5. Paulsen F., & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Edisi 23. Jakarta :
Penerbit EGC.

6. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx , http://www.brownmed.com, diakses


tanggal 29 Desember 2018

7. Sholtz W. arne et al. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma : management and therapy.


Laryngoscope 2001;111:681-7.

8. Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, et al. Immunohistochemical analysis of growth


mechanisms in juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol. Dec
20 2006;

9. Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellenger’s Manual of


Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003; 492-495

10. Garca Fatih M, Yuca AS, Yuca K. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma. Eur Gen Med
2010; 7(4): 419-425

11. Cansis Harun, Guvenc M, Sekercioglu N. Surgical Approaches juvenile nasoparyngeal


angiofibroma. Journal of Cranio-Maxillofacial surgery 2006;34:3-8

17

Anda mungkin juga menyukai