Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit HIV/AIDS bukan hanya merupakan masalah kesehatan di

Indonesia namun juga merupakan masalah kesehatan gobal.

Beberapa tahun ini, angka kasus endemi HIV/AIDS meningkat secara

tajam di seluruh Indonesia. Wabah ini terutama dipicu oleh para

penyalahguna narkoba suntik dan para pekerja seks komersil.

Akibatnya, resiko tertular di Indonesia menjadi semakin tinggi.

Kecenderungan menunjukkan bahwa Indonesia beresiko mengalami

epidemi yang lebih besar. Peningkatan kasus penularan HIV di

kalangan kelompok beresiko di beberapa daerah di Indonesia menjadi

salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan

(Husna, 2016)

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut

Human Immunodeviciency Virus (HIV). HIV terus menerus merusak

kekebalan tubuh. Sistem kekebalan yang sehat mengendalikan kuman

(infeksi ikutan), kurang lebih 7-10 tahun agar tidak menyebabkan

penyakit. Namun, setelah beberapa waktu, sistem kekebalan menjadi

begitu rusak sehingga kuman menimbulkan penyakit dan akhirnya

kematian. AIDS terjadi pada waktu sistem kekebalan menurun. Untuk

melawan infeksi oportunistik, ODHA harus minum obat setelah


2

penularan oleh HIV. AIDS belum bisa disembuhkan, namun infeksi ini

dapat dikendalikan dengan obat antiretroviral (ARV) (Martoni, 2013)

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah

satu penyakit yang menduduki urutan ke-4 di dunia yang mematikan,

menjadi wabah internasional dan cenderung memperlihatkan

penyebaran yang cepat dan meluas setiap tahun (Black dan Hawks,

2014). Dunia telah berkomitmen untuk mengakhiri epidemi AIDS pada

tahun 2030. Perkembangan besar terapi antiretroviral (ARV) telah

mengurangi jumlah orang yang meninggal dunia akibat penyebab

terkait HIV menjadi sekitar 1,1 juta pada tahun 2015 - 45% lebih sedikit

dari pada tahun 2005. Pada 2015 terdapat 2,1 juta penderita HIV baru

di seluruh dunia, menambahkan hingga total 36,7 juta orang yang

hidup dengan HIV. Lebih dari 19,5 juta orang menerima pengobatan

antiretroviral (ART) hingga Desember 2016 (WHO, 2016).

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia priode tahun 1987 –

30 Juni 2015 sebanyak 291.465 yang terdiri atas 208.909 HIV dan

82.556 AIDS dengan 14.234 kematian. Estimasi kasus HIV/AIDS di

Indonesia mencapai 600.000, yang terdeteksi baru separuh. Dari

jumlah yang terdeteksi itu pun baru 70.000-an yang meminum obat

antiretrorival. Sedangkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Propinsi

Sulawesi Selatan priode tahun 1987 – 30 Juni 2015 sebanyak 8.270

yang terdiri atas 5.719 HIV dan 2.551 AIDS (Placeholder2) (Ditjen

P2P, Kemenkes RI,2016). Jumlah kasus kualitatif HIV/AIDS di


3

Puskesmas Jumpandang Baru sebanyak 357 Orang yang menderita

HIV/AIDS (Data Puskesmas Jumpandang Baru, 2017).

Kematian penyandang AIDS tidak kunjung mencapai angka nol dan

menjadi lima besar penyebab mortalitas pada anak dan dewasa di

dunia. Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul paling

cepat 1 sampai 4 minggu setelah pajanan. Gejala yang timbul dapat

berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam

makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut,

seperti meningitis dan pneumonitis. Diare masih merupakan penyakit

penyerta yang paling sering (32 atau 47%), diikuti dengan moniliasis

(29%), pneumonia (27%) dan tuberkulosis (19%). Pada satu penderita

dapat mengalami beberapa penyakit penyerta secara bersamaan.

Diare persisten merupakan bentuk diare yang paling banyak (19/32

atau 59%) dibandingkan diare berkepanjangan atau diare akut.

Sebanyak 38% pasien mengalami supresi imun berat, 6% supresi

imun sedang, 28% supresi imun ringan dan 38% sisanya tidak

mengalami imun supresi (Satrio, 2017).

Penggunaan obat Anti Retro Virus (ARV) sejak ditemukan pada

tahun 1996 hingga saat ini sudah memberikan dampak yang sangat

signifikan dalam upaya pencegahan dan pengobatan HIV-AIDS dan

menekan epidemi HIV-AIDS di banyak negara. Meskipun ARV belum

bisa menyembuhkan secara total dan menambah tantangan dalam hal

efek samping dan resistensi kronis terhadap obat, namun secara


4

dramatis menunjukkan penurunan angka kematian dan kesakitan,

peningkatan kualitas hidup ODHA dan meningkatkan harapan

masyarakat sehingga saat ini HIV-AIDS dapat diterima sebagai

penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai

penyakit yang menakutkan. Selain memberi manfaat sebagai obat

pada ODHA yang menggunakan, pada saat yang bersamaan ARV

dapat mengurangi beban epidemi pada komunitas dimana ODHA

tersebut hidup dengan cara membatasi kemungkinan penularan

(Daniek Suryaningdiah, 2016).

Antiretroviral (ARV) masih merupakan cara paling efektif serta

mampu menurunkan angka kematian dan berdampak pada

peningkatan kualitas hidup orang terinfeksi HIV sekaligus

meningkatkan harapan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Sehingga

pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat

dikendalikan seperti diabetes, asma atau darah tinggi dan tidak lagi

dianggap sebagai penyakit yang pembunuh yang menakutkan

(Saputro Antonius dkk, 2016).

Manfaat Obat antiretroviral (ARV) di antaranya menurunkan angka

kematian berkaitan dengan infeksi HIV, menurunkan angka perawatan

di rumah sakit, menekan jumlah virus HIV di darah, dan memulihkan

kembali kekebalan tubuh yang menurun. Namun, manfaat yang juga

penting adalah bagi mereka yang minum obat ARV secara teratur,

risiko menularkan kepada orang lain menjadi amat kecil. Karena itu
5

perlunya kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi ARV ini dengan

melibatkan dukungan sosial, keluarga dan support sistem lainnya

untuk mencegah penularan HIV yang lebih luas. Semakin banyak

orang yang diobati, semakin banyak pula nyawa yang diselamatkan

dan penularan HIV semakin menurun (Husna, 2016)

Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang diangkat pada

penelitian ini adalah: . untuk mengetahui hubungan lama pemberian

ARV dengan manifestasi klinik HIV/AIDS di Puskesmas Jumpandang

Baru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas

maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ada

hubungan antara lama pemberian ARV dengan manifestasi klinik

HIV/AIDS ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk Mengetahui Gambaran Lama Pemberian ARV di Puskesmas

Jumpandang Baru.

2. Untuk Mengetahui Gambaran Manifestasi Klinik HIV/AIDS di

Puskesmas Jumpandang Baru.

3. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Lama Pemberian ARV

dengan Manifestasi Klinik HIV/AIDS ?


6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis.

Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjelaskan Hubungan Antara Lama Pemberian ARV dengan

Manifestasi Klinik HIV/AIDS

2. Manfaat Praktis.

a. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang

pemberian ARV.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam upaya merubah respons sosial (emosional)

yang maladaptif pada pasien HIV-AIDS.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam

melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan

topik permasalahan yang sama.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka Tentang HIV/AIDS

1. Pengertian

Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang

menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang

mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang

dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum

tentu membutuhkan pengobatan sedangkan AIDS adalah suatu

kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang

disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.

(Gunawan Y, dkk, 2016)

2. Patofisiologi HIV/AIDS

Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis

Limfosit T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit

T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung

maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik.

Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi

karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk

antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.

Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk
8

ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan

enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA

(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA

(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang

berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi

HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur

hidup (M Rossella , 2013)

Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan

kematian dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu

mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk berkembang

dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak

limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan

masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak

seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS.

Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan

pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus

HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah beberapa

bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada

penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada

sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi

HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah

demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,

ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
9

asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya

berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil

penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya

sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor)

((M Rossella , 2013)

Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh

virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak.

Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan

tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan

menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik (M Rossella ,

2013)

3. Manifestasi Klinik HIV/AIDS

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS

umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum

yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat

dikemukakan sebagai berikut (M Rossella , 2013) :

a. Rasa lelah dan lesu

b. Berat badan menurun secara drastis

c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam

d. Mencret dan kurang nafsu makan

e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut

f. Pembengkakan leher dan lipatan paha

g. Radang paru
10

h. Kanker kulit.

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3

hal yaitu:

a. Manifestasi tumor

1) Sarkoma Kaposi Kanker pada semua bagian kulit dan organ

tubuh. Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian

primer.

2) Limfoma ganas Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan

menyerang saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.

b. Manifestasi oportunistik.

1) Manifestasi pada Paru

a) Pneumoni pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85%

infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru

PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit

bernafas dalam dan demam.

b) Cytomegalovirus (CMV) Pada manusia 50% virus ini

hidup sebagai komensal pada paruparu tetapi dapat

menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%

penyebab kematian pada AIDS.

c) Mycobacterium avilum Menimbulkan pneumoni difus,

timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.


11

d) Mycobacterium tuberculosis Biasanya timbul lebih dini,

penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke

organ lain di luar paru.

c. Manifestasi gastrointestinal

1) Tidak ada nafsu makan,

2) Diare kronis,

3) Penurunan berat badan >10% per bulan.

d. Manifestasi neurologis.

Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis

yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf

yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati,

neuropati perifer.

4. Dampak Psikologis Akibat HIV/AIDS

HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang memiliki

potensi untuk mengancam jiwa, karenanya orang yang terinfeksi

HIV/AIDS sering kali mengalami dampak psikologis yang

membahayakan. Setelah seseorang didiagnosis mengalami

HIV/AIDS, mungkin hidupnya akan berjalan pada jalur yang

berbeda dari rencana atau ekspetasi sebelumnya. Orang yang

terinfeksi HIV/AIDS mengalami berbagai macam kehilangan,

seperti kehilangan kesehatan,teman,status social,pendapatan, dan

ekspetasi hidup yang di rencanakan (French K, 2015).


12

Selama progresi HIV/AIDS, individu harus menghadapi

beberapa isu spesifik denggan isu pertama, yaitu diagnosis

HIV/AIDS. Individu dapat memerlukan bertahun-tahun untuk

memehami mengapa mereka terinfeksi, dapatkah mereka

mencegahnya, siapa yang harus mereka beritahu karena orang

tersebut beresiko terinfeksi, dan apa yang akan terjadi pada dirinya

di masa depan. Bagi beberapa orang, diagnosis HIV/AIDS dapat

serupa dengan diagnosis kanker, seperti yang di siklus

berdukanya-penyangkalan dan isolasi,kemarahan,penerimaan,

tawar-menawar,depresi,dan akhirnya penerimaan (French K, 2015).

Selanjutnya, seiring progresi HIV/AIDS, individu harus

menghadapi kondisi sakit. Bagi beberapa orang, kondisi sakit ini

berarti kehilangan kendali terhadap hidupnya. HIV/AIDS menjadi

musuh dan orang terinfeksi HIV/AIDS melaporkan bahwa mereka

merasa disiksa oleh virus. Keputusan tentang waktu untuk memulai

terapi harus dibuat, tetapi memerlukan pembahasan lebih lanjut

tentang keberhasilan terapi, apa efek samping yang akan mungkin

dialami, dan apakah kepatuhan terapi akan dapat dipertahankan.

Beberapa individu mengatasi rasa kehilangan kendali tersebut

dengan menjadi seorang “ahli” tentang HIV/AIDS mempelajari

semua tentang hal tentang virus,terapi,dan efek samping medikasi.

Kondisi ini menjadi tantangan bagi tim multidisipliner yang memberi

asuhan kepada individu yang terinfeksi HIV/AIDS, terapi memeberi


13

potensi untuk membina hubungan terapeutik yang memuaskan

mutual antara klien dan pekerja kesahatan (French K, 2015).

Jika individu didiagnosis HIV/AIDS, ia harus menghadapi isu

potensial seputar kematian dan kondisi kritis. Pada titik ini, mereka

mungkin mengalami perasaan yang sama ketika pertama kali

didiagnosa infeksi HIV/AIDS dan akan melalui tahapan kematian

(French K, 2015).

Semua orang yang mengalami infeksi HIV/AIDS bersifat unik

dan pengalaman mereka dalam menghadapi HIV/AIDS akan

mengalami pengalaman yang unik; karenanya sebagai perawat,

harus berfokus pada individu dan bagaimana pengalaman individu

tersebuat selama didiagnosis mengalami infeksi HIV/AIDS—asuhan

holistic yang spesifik dan tepat (French K, 2015).

B. Tinjauan Pustaka Tentang Antiretrovirus

1. Pengertian Antiretrovirus

Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV

dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV, menghambat

perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup

penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam

darah sampai tidak terdeteksi (Pasal 1 Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014)

2. Tujuan Antiretrovirus
14

Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk

menurunkan angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat

inap dan meningkatkan kualitas hidup odha berbagai stadium

(Kemenkes, 2013)

3. Persiapan Pemberian ARV (Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 87 Tahun 2014)

Persiapan Pemberian ARV Prinsip pemberian ARV adalah

harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus terserap

dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan

highly active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering

disingkat menjadi ART (antiretroviral therapy) atau terapi ARV.

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam

pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek yaitu

efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan

harga obat. Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk

terapi seumur hidup dan keberhasilan terapi jangka panjang. Isi

dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum obat,

potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak

diharapkan atau terjadinya sindrom pulih imun (Immune

Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah memulai

terapi ARV.

Orang dengan HIV harus mendapatkan informasi dan konseling

yang benar dan cukup tentang terapi antiretroviral sebelum


15

memulainya. Hal ini sangat penting dalam mempertahankan

kepatuhan minum ARV karena harus diminum selama hidupnya.

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum ARV adalah

penyediaan ARV secara cuma-cuma, kemudahan minum obat dan

kesiapan untuk meminumnya. Setelah dilakukan konseling

kepatuhan, ODHA diminta berkomitmen untuk menjalani

pengobatan ARV secara teratur untuk jangka panjang. Konseling

meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek samping yang

mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, monitoring keadaan

klinis dan monitoring pemeriksaan laboratorium secara berkala

termasuk pemeriksaan CD4.

Pada anak dengan HIV, perlu dilakukan kajian khusus untuk

kesiapan terapi ARV, di antaranya:

a. Kaji situasi keluarga termasuk jumlah orang yang terkena

atau berisiko terinfeksi HIV dan situasi kesehatannya.

b. Identifikasi orang yang mengasuh anak dan kesediaannya

untuk mematuhi pengobatan ARV dan pemantauannya.

c. Kaji pemahaman keluarga mengenai infeksi HIV dan

pengobatannya serta informasi mengenai status infeksi HIV

dalam keluarga.

d. Kaji status ekonomi, termasuk kemampuan untuk membiayai

perjalanan ke klinik, kemampuan membeli atau menyediakan

tambahan makanan untuk anak yang sakit dan kemampuan


16

membayar bila ada penyakit yang lain. Penilaian klinis dan

tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi

ODHA sebelum inisiasi ARV dan membantu penentuan

paduan yang akan digunakan.

4. Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART

ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV

perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya

setiap 6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang

lebih muda. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi

awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan

gejala klinis perkembangan infeksi HIV. Pada anak, juga dilakukan

pemantauan tumbuh kembang dan pemberian layanan rutin

lainnya, seperti imunisasi. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan

untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap

kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat

untuk pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV.

Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika

mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai ART

(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun

2014).

5. Pemantauan Setelah Pemberian ARV (Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014).


17

Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk

mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi ODHA selama dalam

pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan

konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun

juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama

menjalani pengobatan. Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian

ARV Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk

melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna untuk

memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat

ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin

minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART.

Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3

bulan sekali atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan

kepatuhan pengobatan.

Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV

Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama

mempunyai efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik

dan sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan

kepatuhan pengobatan. Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi

dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi hingga toksisitas

pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi

toksisitas ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi

suportif. Efek samping minor dapat menyebabkan ODHA tidak


18

patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus

mengkonseling ODHA dan mendukung terapi.

Prinsip penanganan efek samping akibat ARV adalah sebagai

berikut:

a. Tentukan beratnya toksisitas

b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah

toksisitas terjadi karena (satu atau lebih) ARV atau karena obat

lainnya

c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau

sumbatan bilier jika timbul ikterus)

d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi.

Penanganan secara umum adalah:

a. Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua

obat ARV, beri terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV

dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1

ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA

stabil

b. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa

menghentikan pemberian ARV secara keseluruhan

c. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan

neuropati perifer) memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi


19

lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika

tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan

untuk mengganti 1 jenis obat ARV

d. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.

Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada

toksisitas pada reaksi ringan dan sedang. Jika diperlukan,

hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang

mengancam jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-

masing obat untuk menghindari kejadian resistansi.

6. Jenis obat-obatan ARV

Berdasarkan cara kerjanya ARV dibedakan dalam beberapa

golongan yaitu golongan NRTI, NNRTI, dan PI yang termasuk

dalam golongan NRTI adalah: Abacavir, Didanosin, Lamivudin,

Stavudin, Tenolovir, Zalcibatin, Zidotudin sementara yang termasuk

golongan NNRTI adalah: Efavirenz, Neviparin dan yang termasuk

golongan PI adalah: Loponavir, Ritonavir, Nelfinavir, Saquinavir


20

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel

Dasar pemikiran penelitian yaitu adanya hubungan lama pemberian

ARV (antiretroviral) dengan manifestasi klinik HIV/AIDS. AIDS

merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human

Immunodeviciency Virus (HIV). HIV terus menerus merusak kekebalan

tubuh. Sistem kekebalan yang sehat mengendalikan kuman (infeksi

ikutan), kurang lebih 7-10 tahun agar tidak menyebabkan penyakit.

namun infeksi ini dapat dikendalikan dengan pengobatan Anti Retro

Viral (ARV).

Pemberian ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi

pasien HIV/AIDS. Pemberian ARV selama infeksi HIV akut

memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi

simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan

cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan jumlah virus

dalam jangka waktu yang lama. ARV diberikan seumur hidup karena

HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan.


21

B. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Pemberian Manifestasi
ARV Klinik HIV/AIDS

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

Gambar. 1.1. Bagan Kerangka Konsep.

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Pemberian ARV

Pemberian ARV adalah pengobatan HIV dan AIDS untuk

mengurangi risiko penularan HIV, menghambat perburukan infeksi

oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan

menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak

terdeteksi

Kriteria Objektif:
22

a. Ya : Jika pasien menggunakan pemberian ARV

b. Tidak : Jika pasien tidak menggunakan pemberian ARV

2. Manifestasi Klinik HIV/AIDS

Manifestasi Klinik HIV/AIDS adalah Tanda dan gejala klinis yang

ditemukan pada penderita HIV/AIDS.

Kriteria Objektif:

i. Ya : Jika pasien mengalami tanda atau gejala HIV/AIDS

(rasa lelah dan lesu, berat badan menurun secara

drastis , demam yang sering dan berkeringat waktu

malam, mencret dan kurang nafsu makan , bercak-

bercak putih di lidah dan di dalam mulut,

pembengkakan leher dan lipatan paha , radang paru,

kanker kulit)

j. Tidak : Jika pasien tidak terdapat tanda atau gejala

HIV/AIDS.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis alternatif dalam penelitian ini adalah : “Adanya hubungan

lama pemberian ARV (antiretroviral) dengan manifestasi klinik

HIV/AIDS”.
23

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan

pendekatan analitik rancangan cross sectional study. Penelitian cross

sectional study adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu

pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya

satu kali pada satu waktu. Desain penelitian adalah sesuatu yang

sangat penting dalam penelitian, yang memungkinkan kontrol

beberapa faktor yang biasa mempengaruhi akurasi suatu hasil

(Ridwan, 2014).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Puskesmas Jumpandang Baru Kota

Makassar.

2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan September 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
24

Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita HIV/AIDS di

Puskesmas Jumpandang Baru dengan jumlah sebanyak 357 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian anggota dari populasi

yang dipilih menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan

dapat mewakili populasinya. Pengambilan dilakukan dengan cara

Accedental Sampling dimana diambil pada saat pasien berobat di

Puskesmas.

D. Instrument Penelitian

Instrument pengumpulan data adalah suatu alat yang digunakan

oleh peneliti untuk mengobservasi, mengukur, atau menilai suatu

fenomena. Data yang diperoleh dari suatu pengukuran kemudian

dianalisis dan dijadikan sebagai bukti (evidence) dari suatu penelitian.

Alat akur yang digunakan dalam penilitian ini adalah

kuesioner.Kuesioner adalah pertanyaan tertulis yang diberikan kepada

subjek yang diteliti untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan

peneliti. Alat pengumpulan data terdiri dari kuesioner yang berisi

pertanyaan mengenai Pemberian ARV dan Manifestasi Klinik

HIV/AIDS.

E. Pengumpulan Data

1. Data primer
25

Teknik pengumpulan data dari responden dengan cara

menggunakan lembar kuesioner sebagai alat bantu untuk

mengetahui yaitu adanya hubungan lama pemberian ARV

(antiretroviral) dengan manifestasi klinik HIV/AIDS.

2. Data sekunder

Data diperoleh dari instansi terkait dengan penelitian. Data

sekunder dikumpulkan dengan pengambilan data di Puskesmas

Jumpandang Baru Kota Makassar.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Menurut Nursalam (2012), proses pengelolahan data melalui tahap

– tahap sebagai berikut :

a. Editing

Penyuntingan data yang dilakukan setelah semua data

terkumpul, kemudian dilakukan pemeriksaan kelengkapan data

dan keseragaman data.

b. Coding

Coding yaitu mengklasifikasikan jawaban dari responden

menurut macamnya. Dilakukan untuk memudahkan

pengolahana data dengan cara memberi simbol atau kode dari

setiap jawaban.

c. Scoring
26

Scoring yaitu menetapkan skor (nilai) pada setiap

pertanyaan dari kuesioner.

d. Entering

Entering yaitu setelah semua data terkumpul dan diberi

kode maka data tersebut dimasukkan kedalam komputer.

e. Cleaning

Cleaning yaitu pembersihan data untuk melihat apakah

data sudah sangat benar dan baik serta siap untuk dianalisis.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisa Univariat dilakukan pada tia-tiap variabel penelitian

untuk melihat tampilan distribusi frekuensi dan persentase dari

tiap-tiap variabel yang diteliti.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat untuk melihat hubungan antara variabel

independen dan variabel dependen, maka digunakan uji statistic

chi square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Apabila nilai ρ

<0,05 maka Ha diterima, berarti ada hubungan variabel

independen dengan variabel dependen. Dan apabila ρ > 0,05

maka Ha ditolak dan H0 diterima, berarti tidak ada hubungan

variabel independen dengan variabel dependen.

G. Aspek Etik Penelitian


27

Etika penilitian menunjukkan prinsip – prinsip etikyang diterapkan

dalam suatu penelitian yang dimulai dari proposal penilitian sampai

dengan publikasi hasil penilitian, sehingga bagi peniliti memegang

teguh prinsip dari penilitian. Nursalam 2012 menjelaskan prinsip dari

etika penelitian yaitu :

1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden

dengan memberikan lembar persetujuan penelitian. Peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan serta

dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan

data. Jika subyek bersedia diteliti, maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika subyek

menolak untuk diteliti, peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati hak-haknya.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak boleh

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data,

cukup dengan memberi kode berupa inisial nama atau urutan

angka pada masing-masing lembar tersebut.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)
28

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan

sebagai hasil riset.

Anda mungkin juga menyukai