Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala
(daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk).1 Secara global, persentase
populasi orang dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46%, 11% Migren, 42%
Tension Type Headache (TTH), dan 3% untuk Chronic daily headache.2
Nyeri kepala merupakan suatu gejala yang dapat diakibatkan oleh berbagai
macam penyebab, mulai dari yang tidak fatal seperti TTH hingga tumor cerebral.
Nyeri kepala dibagi menjadi nyeri kepala primer (Migraine, TTH, Cluster
headache (CH) and other trigeminal autonomic cephalalgias, dan other primary
headaches) dan nyeri kepala sekunder.3
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala dengan tidak terdapat kelainan
anatomi atau kelainan struktur atau sejenisnya. Nyeri kepala sekunder adalah
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan struktur atau
sejenisnya dan bersifat kronis progresif, antara lain meliputi kelainan non
vaskuler, misalnya neoplasma intrakranial. Nyeri kepala juga merupakan salah
satu gejala dari peningkatan tekanan intrakranial. Gejala nyeri kepala sering
diabaikan dan tidak diwaspadai sehingga terkadang terjadi keterlambatan
diagnosis dari gangguan-gangguan serius.
Benign intracranial hypertension (BIH) merupakan sindrom nyeri kepala
dengan penyebab idiopatik. Pasien dengan BIH menunjukkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial tanpa adanya bukti massa intrakranial, dengan tekanan cairan
serebrospinal yang meningkat, tetapi komposisi cairan normal. Kata ‘benign’
menunjukkan ketidakfatalan kondisi. Meskipun begitu, BIH mendapat perhatian
karena nyeri kepala yang berat seperi migrain, dan bisa terjadinya kehilangan
penglihatan yang permanen akibat papiledema yang terjadi pada pasien dengan
BIH.4
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nyeri Kepala


2.1.1. Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala
(daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk).1

2.1.2. Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5
rumah sakit di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai
berikut : Migren tanpa aura 10%, Migren dengan aura 1,8%, Episodik Tension
type Headache 31%, Chronic Tension type Headache (CTTH) 24%, Cluster
Headache 0.5%, Mixed Headache 14%.1
Penelitian berbasis populasi menggunakan kriteria Internasional Headache
Society untuk Migrain dan Tension Type Headache (TTH), juga penelitian
Headache in General dimana Chronic Daily Headache juga disertakan. Secara
global, persentase populasi orang dewasa dengan gangguan nyeri kepala 46%,
11% Migren, 42% Tension Type Headache dan 3% untuk Chronic daily
headache. 2

2.1.3. Klasifikasi Nyeri Kepala


Berdasarkan klasifikasi Internasional Nyeri Kepala Edisi 2 dari
Internasional Headache Society (IHS), nyeri kepala dibagi menjadi primary dan
secondary headache:3
Primary headache disorders :
 Migraine
 Tension-type headache
 Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias
 Other primary headaches
3

Secondary headache disorders:


 Headache attributed to head and/or neck trauma
 Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
 Headache attributed to non-vascular intracranial disorder
 Headache attributed to a substance or its withdrawal
 Headache attributed to infection
 Headache attributed to disorder of homeoeostasis
 Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck, eyes, ears,
nose, sinuses, teeth,mouth, or other facial or cranial structures.
 Headache attributed to psychiatric disorder
 Cranial Neuralgias and facial pains
 Cranial neuralgias and central causes of facial pain
 Other headache, cranial neuralgia central, or primary facial pain.

2.1.4. Klasifikasi Nyeri Kepala Primer


Klasifikasi nyeri kepala primer sesuai The Intemational Classification of
Headache Disorders untuk nyeri kepala primer secara garis besar klasifikasinya
adalah:
Migren:
 Migren tanpa aura
 Migren dengan aura
 Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren
 Migren Retinal
 Komplikasi migren
 Probable migren
Tension-type Headache:
 Tension-type headache episodik yang infrequent
 Tension-type headache episodik yang frequent
 Tension-type headache kronik
 Probable tension-type headache
4

Nyeri kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik yang lainnya:


 Nyeri kepala Klaster
 Hemikrania paroksismal
 Short-lasting unilateral neuralgia form headache with conjunctival
injection and tearing
 Probable sefalgia trigeminalotonomik
Nyeri kepala primer lainnya:
 Pimary stabbing headache
 Primary cough headache
 Primary exertional headache
 Nyeri kepala primer sehubungan dengan aktivitas seksual
 Hypnic headache
 Primary thunderclap headache
 Hemikrania kontinua
 New daily-persistent headache

2.1.5. Patofisiologi Nyeri Kepala Primer


Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu:1
1. Pada migren yang tidak disertai Cutaneus Allodynia (CA), berarti
sensitisasi neuron ganglion trigeminal sensoris yang menginervasi
duramater.
2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred
pain, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggeal (first order)
dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis (second
order) dengan daerah reseptif periorbital.
3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain,
terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third
order) yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh.
5

Kemungkinan sumber nyeri pada TTH adalah adanya keterlibatan otot


yang melekat pada tulang tengkorak, patofisiologinya sebagian besar tidak
diketahui.5 Asal nyeri pada TTH dikaitkan dengan meningkatnya kontraksi dan
iskemia otot kepala dan leher. Penelitian berbasis elektromiografi (EMG), telah
melaporkan normal atau hanya sedikit meningkatnya aktivitas otot pada TTH, dan
telah menunjukkan bahwa level laktat otot normal selama latihan otot statis pada
pasien dengan Cronic TTH. Banyak penelitian menunjukkan bahwa Pericranial
Myofascial Tissue jauh lebih tender pada pasien TTH dari pada subyek sehat. Hal
ini juga telah menunjukkan bahwa konsistensi otot perikranium meningkat, pada
pasien TTH lebih rentan untuk nyeri bahu dan nyeri leher pada respon latihan
statis dari subjek yang sehat. Studi terbaru yang dilaporkan peningkatan jumlah
trigger point aktif dalam otot perikranium pada pasien TTH episodik lebih sering
dan pada pasien yang memiliki TTH kronis.6

Penyebab pasti Cluster Headache (CH) saat ini belum diketahui. Hipotesis
pertama pada CH, terinspirasi oleh efek zat vasoaktif. Disfungsi awal atau
inflamasi pembuluh darah di daerah sinus parasellar atau area sinus cavernosus
akan mengaktivasi pathway nyeri orbital trigeminus. Adanya aktivasi sistem
trigeminal-vaskular, sebagai penyebabatau akibat dari CH belum jelas. (Leroux
dkk 2008).8

2.2. Benign Intracranial Hypertension


2.2.1. Definisi
Benign intracranial hypertension (BIH) merupakan sindrom nyeri kepala
yang dikarakterisasi oleh (1) peningkatan tekanan cairan cerebrospinal (CSF)
tanpa adanya lesi massa intrakranial atau dilatasi ventrikel, (2) komposisi cairan
cerebrospinal yang normal, (3) biasanya didapatkan temuan normal pada
pemeriksaan neurologis kecuali papiledema dan terkadang palsy nervus VI, dan
(4) tingkat kesadaran normal. Kata ‘benign’ berarti tidak fatal.4
6

BIH atau disebut juga idiopathic intracranial hypertension (pseudotumor


cerebri) dapat menyebabkan nyeri kepala, tinnitus pulsatil, hilang penglihatan, dan
diplopia.8

2.2.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko


Perempuan lebih sering daripada laki-laki pada kasus BIH. Insidensi
puncak adalah pada dekade ke tiga pada usia subur. Sebagian besar pasien
mengalami obesitas. Hanya sekitar 10% penderita merupakan laki-laki.8 Pada
anak, BIH dapat terjadi pada usia 4 bulan, dengan prevalensi perempuan dan laki-
laki sama besar.4
Kelainan yang berhubungan dengan BIH:8
 Obstruksi drainase venous intrakranial (thrombosis sinus venosus, trauma
kepala, polisitema, trombositosis)
 Disfungsi endokrin (obesitas, penghentian penggunaan steroid, addison
disease, hipoparatiroidisme)
 Terapi vitamin dan obat-obatan (hipervitaminosis A dan 13 cis-retinoic
acid, tetrasiklin, minosiklin, nalidixic acid)
 Lain-lain (hiperkapnea kronik, gagal jantung kanan berat, meningitis
kronik, ensefalopati hipertensi, anemia defisiensi besi berat)
 Idiopatik

Meskipun belum ada penelitian etiologis case control pada BIH pediatrik,
beberapa studi kasus telah melaporkan kondisi yang berhubungan. Obat-obatan
dan beberapa abnormalitas endokrin pada anak merupakan hubungan yang paling
sering dilaporkan. Tatalaksana acne dengan tetracyclin dan isotretinoin,
profilaksis UTI dengan nitrofurantoin, kontrasepsi oral, dan kortikosteroid
dianggap berimplikasi. Hipotiroidisme, hipertiroidisme, tiroid replacement,
hipokalsemia knronik sekunder, defisiensi vitamin D, atau hipoparatiroidisme
perlu dipertimbangkan pada beberapa kasus. Obesitas juga dilaporkan
berpengaruh pada insidensi BIH.4
7

2.2.3. Patofisiologi
Belum jelas patofisiologi dari BIH, namun absorbsi CSF yang terganggu
mungkin terlibat dalam patogenesis. Teori klasik adalah peningkatan konten air
pada otak, produksi CSF berlebih, berkurangnya absorbsi CSF, dan peningkatan
tekanan vena cerebral. Pasien obesitas, stenosis sinus transversus perupakan
predisposisi untuk peningkatan TIK, yang dapat dipicu oleh berbagai kondisi
seperti peningkatan berat badan, perubahan endokrin, kodisi hiperkoagulasi, dan
pengobatan spesifik.8-13

2.2.4. Diagnosis
Proses diagnosis berdasarkan gejala klinis, neurologis, ophtalmis,
radiologis, dan temuan pada CSF.4
Kriteria Modified Dandy untuk diagnosis BIH:8
 Gejala dan tanda peningkatan TIK (nyeri kepala, mual, muntah, gangguan
penglihatan sementara, papiledema)
 Tidak ada tanda menurologis fokal kecuali palsy nervus VI unilateral atau
bilateral
 Tekanan CSF ≥ 25cmH2O dengan ketiadaan abnormalitas sitologis
maupun kimiawi.
 Pencitraan normal untuk mengeksklusi thrombosis venus serebri

2.2.4.1.Gejala
Gejalan pada BIH tidak spesifik dan adanya peningkatan tekanan
intrakranial. Nyeri kepala, mual muntah, dan gangguan penglihatan merupakan
gejala yang paling umum. Nyeri kepala paling sering di daerah frontal, memberat
saat berbaring, dan pada anak dapat membuat anak terbangun pada malam hari.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat memacu migrain. Beberapa orang dengan
“mixed headache syndrome” dapat membedakan antara nyeri kepala berlanjut
sehari hari dengan BIH yang memberat dan lebih berat, berupa mirgrain yang
hilang timbul. Anak-anak mendeskripsikan gangguan visual seperti diploplia,
8

kehilangan penglihatan sementara, pandangan kabur, photofobia, dan cahaya


gemerlap dengan tengah yang berwarna.4
Gejala lain termasuk letargi dan kelelahan, mengambang, perubahan
mood, dan suara berdenging dari dalam kepala. Gangguan tidur dan perilaku
dilaporkan oleh orangtua dengan anak yang belum dapat bicara. Tingkat
kesadaran dan fungsi luhur pada BIH normal, berkebalikan dengan pasien dengan
massa intrakranial.4

2.2.4.2. Pemeriksaan neurologis.


Secara definisi, pemeriksaan neurologis akan menunjukkan hasil yang
normal kecuali papiledema dan palsy nervus VI. Palsy nervus VI merupakan
gangguan neurologis yang paling umum dilaporkan pada kasus anak dengan BIH
(9-48% kasus). Beberapa kasus dapat ditemukan paresis N III atau IV.
Abnormalitas neurologis lain yang dilaporkan diantaranya parese facial, nyeri
leher, kejang, hiperefleks, bruit, palsy nervus hipoglosus, nystagmus, dan
pergerakan choreiform, tetapi sangat jarang ditemukan dan diagnosis BIH harus
benar-benar sudah ditegakkan setelah mengeksklusi penyebab massa lesi
intrakranial, proses inflamasi, maupun infeksi.4

2.2.4.3. Temuan Oftalmik


Ciri khas BIH adalah papiledema yang dapat bersifat bilateral, asimetris,
atau bahkan unilateral. Salah satu kesulitan utama dalam diagnosis adalah
membedakan papiledema dan pseudopapiledema. Drusen nervus optik, atau
peningkatan disk yang anomali, pada sakit kepala dapat salah duga sebagai
papiledema yang menyebabkan kesalahan diagnosis BIH. Hal-hal yang dapat
membingungkan pula adalah kehilangan penglihatan sementara, perdarahan pada
diskus, dan defek lapang pandang dapar terlihat dengan drusen. Angiografi
fluorosensi dapat membantu memperjelas diagnosis, karena pada papiledema
kebocoran diskus terlihat difus.4,8

2.2.4.4. Pencitraan
9

Pencitraan yang normal merupakan syarat wajib untuk diagnosis BIH yang
benar. CT dan MRI mengonfirmasi temuan patognomonik dari BIH: venrtikel
yang tidak berdilatasi akibat peningkatan tekanan intrakranial. CT dan MRI dapat
memberikan informasi prediktif dan penting mengenai kondisi nervus optik pada
BIH. Potongan tipis dari CT pada bagian orbita dapat menunjukkan hydrops pada
selubung nervus optik dan pembalikan dari kepala nervus optik. Kehilangan
penglihatan yang berat pada pasien BIH berhubungan dengan keseringan dan
beratnya reversal dari kepala nervus optik. Hydrops pada nervus optik juga dapat
terlihat pada MRI. USG Orbita dikatakan dmerupakan penemuan yang bermanfaat
untuk menentukan diameter nervus optik dalam hubungannya dengan peningkatan
tekanan CSF. Magnetic resonance venography (MRV) merupakan prosedur
pilihan untuk diagnosis trombosis sinus venosus dural pada BIH. Trombosis
intrakranial terbatas, biasanya pada sinus transversus dapat muncul berupa BIH
tanpa adanya gejala neurologis terlokalisasi. Penting untuk menegakkan adanya
sumbatan lain pada sinus venosus, karena terapi steroid dapat memacu kondisi.
Thrombosis sinus venosis mungkin muncul akibat kondisi hiperkoagulasi yang
mungkin disebabkan oleh infeksi yang membutuhkan tatalaksana.4,14-15
10

2.2.4.5. BIH tanpa Papiledema


Beberapa laporan mengonfirmasi adanya BIH dengan ketiadaan
papiledema pada dewasa maupun anak. Penentuan dari gejala sakit kepala ini
memiliki implikasi terapeutik, dimana sakit kepala tersebut berespon pada terapi
untuk menurunkan tekanan intrakranial, termasuk shunting lumboperitoneal.
Tidak ada bukti bahwa BIH tanpa papiledema merupakan ancaman bagi
penglihatan. Bila temuan klinis mengarah pada kecurigaan kuat BIH pungsi
lumbal (LP) ulang bila tekanan CSF awal normal.4

2.2.4.6. Temuan CSF pada BIH


Peningkatan tekanan intrakranial dengan temuan kimia dan seluler CSF
yang normal mengonfirmasi diagnosis BIH. Tekanan CSF normal memiliki batas
atas sekitar 20-25cmCSF pada dewasa obese dan non-obese, dimana sebagian
besar pasien dengan BIH akut menunjukkan konsentrasi di atasnya.4

2.2.5. Tatalaksana
Rekomendasi tatalaksana BIH secara evidence base belum dapat dibuat
karena belum ada penelitian mengenai tatalaksana dan kondisi secara RCT dan
double blind, serta belum diketahui kondisi alami pada pasien yang tidak
ditatalaksana, serta patofisiologi yang mendasari masih sukar untuk dipahami.
Meskipun perbaikan sering diukur dengan membaiknya papiledema yang berarti
kembalinya tekanan normal CSF, peningkatan tekanan CSF dapat meningkat
hingga bertahun-tahun setelah episode awal BIH, yang menunjukkan bahwa BIH
emrupakan suatu kondisi kronis. Sebagai tambahan, papiledema asimtomatik
dengan hilangnya penglihatan yang progresif telah dilaporkan selama berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun setelah episode awal dari peningkatan tekanan
intrakranial. Beberapa modalitas terapi yang digunakan pada anak termasuk
kortikosteroid, acetazolamide, furosemide, LP berulang, dan pembedahan. Banyak
kasus yang berespon pada terapi non bedah. Tujuan dari terapi adalah
berkurangnya gejala dan mempertahankan penglihatan.4,8,16
11

2.2.5.1. Farmakologis
 Acetazolamide dan furosemide
Acetazolamid, inhibitor karbonik anhidrase, mungkin merupakan obat
yang paling umum digunakan sebagai pilihan pertama. Pada pasien dewasa, dosis
1g/hari menunjukkan perbaikan pada papiledema dan 4 g/hari menurunkan
tekanan CSF. Efek samping bergantung pada dosis, sehingga membatasi
penggunaan bila dibutuhkan dosis tinggi. Efek samping diantaranya gangguan GI,
kebas pada daerah perioral dan jari, hilang nafsu makan, asidosis dan gangguan
elektrolit, dan nefrokalsinosis. Pengobatan berkelanjutan mungkin menghasilkan
nyeri kepala akibat tekanan rendah, yang dipicu oleh perubahan posisi dari
berbaring menjadi duduk atau berdiri. Pasien dengan intoleransi acetazolamide
dapat menggunakan furosemide sebagai diuretik pengganti, meskipun tidak
seefektif acetazolamide.4,16-19
 Profilaksis nyeri kepala
Pasien dengan fungsi visual yang stabil tetapi nyeri kepala tidak berkurang
dengan obat penurun tekanan lini pertama, boleh dipertimbangkan profilaksis
nyeri kepala. Pasien dengan BIH mungkin mengalami nyeri kepala yang memiliki
gejala migrain. Nyeri kepala ini dapat dikontrol dengan amitriptilin, propranolol,
atau obat-obatan migrain umum lainnya. Topiramate juga merupakan pilihan yang
baik, dengan efek samping penurunan berat badan (yang berhubungan dengan
BIH).16
 Steroid
Pengalaman klinis menunjukkan penggunaan steroid menurunkan gejala
dan memberbaiki papiledema dalam satu atau dua minggu. Penggunaan steroid
biasanya diberikan pada pasien dengan tidak respon atau intoleran terhadap
tatalaksana asetazolamide. Prednisolon dimulai pada dosis 2mg/kg/hari, diberikan
selama 2 minggu dan ditappering off selama 2 minggu kemudian. Sumber lain
menyebutkan bahwa digunakan prednisone oral dosis tinggi (60-100 mg/hari) atau
regimen kortikosteroid lain secara setara.4,16,19
 Mannitol
12

Mannitol dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial, namun


efektivitasnya belum jelas.16

2.2.5.2. Tindakan dan Pembedahan


 LP berulang
LP dapat digunakan untuk menurunkan tekanan CSF, tetapi efeknya hanya
sebentar. Tekanan CSF dapat kembali pada konsentrasi awal dalam satu hingga
dua jam. Teknik ini dapat sulit dan menyebabkan stress pada anak. Risiko untuk
terbentuknya tumor epidermoid intraspinal dan LBP akibat prosedur juga
menyebabkan perlu pertimbangan untuk memilih prosedur ini.4
 Pembedahan
Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan penglihatan yang
memburuk, atau nyeri kepala hebat yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Prosedur yang digunakan adalah Lumboperitoneal shunting (LPS) dan optic nerve
sheath fenestration (ONSF).4,16
o Diversi CSF (Lumboperitoneal shunting, ventrikuloperitoneal shunting,
ventrikuloatrial shunting)
LPS efektif untuk menurunkan tekanan intraventrikular dan
mengurangi sakit kepala serta papiledema. Obstruksi shunt dan nyeri
kepala akibat tekanan rendah merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Komplikasi lainnya adalah herniasi tonsilar cerebellar, syringomielia,
radikulopati lumbal, dan infeksi. Prosedur ini dapat dipertimbangkan bila
pasien gagal berespon pada tatalaksana farmakologis.4,16,19-20 Saat ini
ventrikuloperitoneal shunt dan ventrikuloatrial shunt lebih dipilih daripada
LPS karena memiliki 1-year failure rate yang tinggi.16
o ONSF
ONSF merupakan terapi yang baik pada BIH dewasa dengan
fungsi visual yang memburuk meskipun telah ditatalaksana. Prosedur ini
sukses mengatasi papiledema, secara cepat memperbaiki hilangnya
penglihatan. Mekanismenya belum begitu jelas, sementara tekanan yang
diukur saat LP segera setelah operasi secara persisten meningkat.4,21
13

2.2.5.3. Edukasi dan Tatalaksana Nonfarmakologis


Sebagian besar pasien adalah wanita dengan overweight. Pada pasien
dengan obesitas, kontrol berat badan direkomendasikan. Tidak ada pembatasan
aktivitas pada pasien dengan BIH, justru program latihan sangat
direkomendasikan sehubungan dengan diet dan penurunan berat badan.16,18,22

2.2.6. Monitoring
Hilangnya penglihatan merupakan satu-satunya komplikasi BIH yang
serius dan permanen. Hilangnya lapang pandang pada anak dilaporkan pada 13-
27% kasus. Hal ini dapat terlihat pada kondisi saat itu, progress selama terapi,
atau muncul belakangan. Oleh karena itu, kasus BIH harus tetap dievaluasi status
oftalmikusnya sejak saat diagnosis ditegakkan dan berlanjut hingga status visual
jelas. Pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, penglihatan warna, dan
funduskopi berkala diperlukan.4,23
Monitoring terhadap pencarian penyebab peningkatan tekanan intrakranial
juga harus dicari, serta keluhan-keluhan pasien apakah membaik sehubungan
dengan pemberian terapi medis. Monitoring dapat dilakukan setiap 3-4 minggu
selama pemberian terapi. Pada pasien dengan defisit visual yang jelas, monitoring
perhari diperlukan hingga ada perbaikan yang stabil pada fungsi visual. Pada
pasien yang telah stabil fungsi visual dan tatalaksananya, frekuensi follow-up
dapat diperpanjang hingga sekali setiap 2-4 bulan.16

2.2.7. Kriteria Rawat Inap


Untuk menegakkan diagnosis, sebagian besar pasien tidak memerlukan
rawat inap karena LP dapat dilakukan pada setting rawat jalan. Beberapa pasien
dapat mengalami low-tension headache setelah LP, mungkin membutuhkan rawat
inap singkat intuk hidrasi intravena dan analgesik.16
Pasien dengan hilang penglihatan yang progresif mungkin berespon pada
steroid dosis tinggi sehingga harus dirawat inap dan dievaluasi fungsi visual setiap
hari. Bila lapang pandang berkurang atau tidak membaik (dalam 24-48 jam)
14

dengan terapi kortikosteroid, shunting CSF emergency atau ONSF


dipertimbangkan. Pilihan terapi IV lainnya adalah mannitol, tetapi pembedahan
untuk menurunkan tekanan tetap harus dilakukan dalam 2-3 hari.16
15

BAB III
PENYAJIAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Ny. Rini Oktavia
Usia : 30 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Perawat
Alamat : BTN Cipta Mandiri
Masuk RS : 10 Desember 2016

3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pendekatan autoanamnesis.
3.2.1. Keluhan Utama
Nyeri kepala

3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengalami nyeri kepala yang memberat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala sudah dirasakan sejak sekitar
beberapa tahun, namun tidak begitu berat dan hilang timbul. Nyeri kepala
dirasakan berdenyut di seluruh bagian kepala, terutama bagian dahi dan
mata. Pasien merasakan nyeri kepala memberat saat melihat cahaya dan
mendengar suara keributan. Pasien merasa mual (+), muntah (+). Pasien
juga merasakan pandangan kabur.

3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma kepala (-)
Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-)
Riwayat Hipertiroid (+), saat ini hipotiroid.
Riwayat HT disangkal
Riwayat DM disangkal
16

3.2.4. Riwayat penyakit keluarga


Keluarnga yang mengalami keluhan serupa (-)
Riwayat HT dalam keluarga (-)
Riwayat DM dalam keluarga (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Frekuensi Nadi : 126x/menit
 Frekuensi Napas : 28x/menit
 Suhu : 37,1oC
Status Generalis
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya langsung (+/+), Refleks cahaya tidak langsung
(+/+), Pupil isokor 3mm/3mm
 Leher : Perbesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Jantung:
o Inspeksi : Ichtus cordis tidak tampak
o Palpasi : Icthus cordis teraba pada SIC V linea
axillaris anterior sinistra
o Perkusi :
Batas kanan : SIC IV linea parasternal dextra
Batas atas : SIC III linea parasternal sinistra
Batas kiri : SIC VI linea axillaris anterior
sinistra
o Auskultasi : Suara Jantung I-II regular, gallop (-),
murmur (-)
 Paru:
o Inspeksi : Pergerakan dada simetris
o Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
o Perkusi : Suara sonor di seluruh lapang paru
17

o Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),


wheezing (-/-)
 Abdomen :
o Inspeksi : Datar, jejas (-), ruam (-), caput medusa (-)
o Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang perut
 Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2”

3.4. Pemeriksaan Neurologis


Pemeriksaan kesadaran
Compos Mentis
GCS : 15 (E4V5M6)

Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk (-)
Laseque (-)
Kernig (-)
Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)
Brudzinski 3 (-)
Brudzinski 4 (-)

Pemeriksaan saraf kranial


NI dalam batas normal
N II dalam batas normal
N III, IV, VI dalam batas normal
NV dalam batas normal
N VII dalam batas normal
N VIII parese (-)
18

N IX dalam batas normal


NX dalam batas normal
N XI dalam batas normal
N XII dalam batas normal

Kekuatan motorik
555 555
555 555

Sensorik dalam batas normal

Refleks fisiologis
Bisep +2/+2
Trisep +2/+2
Patella +2/+2
Achilles +2/+2

Refleks Patologis
Hoffman (-)
Thromner (-)
Babinski (-)
Oppenheim (-)
Chaddok (-)
Gonda (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1. Laboratorium
Darah Rutin
- Leukosit : 6.180 µ/L
- Eritrosit : 5.560.000 µ/L
- Hemoglobin : 10,7 g/dL
19

- Hematokrit : 33,4 %
- Trombosit : 299.000 µ/L
- MCV : 60,1 fL
- MCH : 19,2 pg
- MCHC : 32.0 g/dL

3.4.2. CT Scan

Didapatkan gambaran adanya edema cerebri. Tidak tampak infark,


perdarahan, maupun SOL intrakranial.
20

3.5. Diagnosis Kerja


Diagnosis klinis : Cephalgia + Photophobia + Phonophobia
Diagnosis topis : Intracerebral
Diagnosis etiologis : Susp. Benign intracranial hypertension dd
migrain

3.6. Tatalaksana
O2 3 lpm
IVFD RL 15 tpm
Inj. Ketorolac 30mg/12 jam
Inj. Ranitidin 50 ng/12 jam
Inj. Metoclopramide /12 jam
IVFD Mannitol 200 cc dilanjutkan 6x100cc
Paracetamol tab 3x500mg
Diazepam tab 3x2mg
Codein tab 4x10mg

3.7. Saran Pemeriksaan Penunjang


 Lumbal Pungsi
 Tekanan CSF
 Pemeriksaan saraf optik (funduskopi)

3.8. Planning Monitoring


 Tajam penglihatan
 Lapang pandang
 Penglihatan warna

3.9. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam
21

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. Rini, 30 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala yang
memberat sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri hilang timbul sejak
beberapa tahun namun awalnya tidak memberat. Nyeri kepala dirasakan
berdenyut di seluruh bagian kepala, terutama bagian dahi dan mata. Pasien
merasakan nyeri kepala memberat saat melihat cahaya dan mendengar suara
keributan. Pasien merasa mual, ada muntah. Pasien juga merasakan pandangan
kabur. Pasien memiliki riwayat hipertiroid, saat ini hipotiroid.
Pasien ini merupakan pasien perempuan dengan usia subur, memiliki
gejala nyeri kepala yang berat dan progresif, ditemukan adanya photophobia dan
phonophobia. Pada pasien ini ditemukan gejala yang sesuai dengan peningkatan
tekanan intrakranial yaitu nyeri kepala, muntah, dan pandangan kabur. Pasien
diketahui memiliki gangguan endokrin berupa hipertiroid yang saat ini statusnya
sudah hipotiroid setelah pengobatan, meskipun kesan gizi pasien tidak obesitas.
Pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien ini tidak ditemukan adanya defisit
neurologis. Pemeriksaan oftalmologis tidak dilakukan. Melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis klinis berupa cephalgia dengan
photophobia dan phonophobia.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah laboratorium dan CT scan.
Pada laboratorium tidak ditemukan hasil yang bermakna. Pada CT scan ditemukan
adanya edema serebri dengan tidak ada tanda-tanda perdarahan, infark, maupun
SOL. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta pemeriksaan
penunjang, didapatkan diagnosis topis intraserebral, dan diagnosis etiologis
berupa suspek BIH. Diagnosis BIH sejalan dengan ditemukannya nyeri kepala
dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dan gangguan penglihatan.
Temuan pencitraan juga sejalan dengan BIH, yaitu ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial tanpa adanya infark, perdarahan, maupun massa. Meskipun
begitu, diagnosis BIH belum dapat ditegakkan karena tidak adanya pemeriksaan
LP dan tekanan CSF. Diagnosis BIH selain dari temuan pencitraan, juga harus
22

didapatkan peningkatan tekanan CSF dengan komposisi seluler dan kimiawi CSF
yang normal. Pemeriksaan funduskopi diperlukan untuk memastikan adanya
papiledema pada pasien ini. Pemeriksaan tajam penglihatan, lapang pandang, dan
penglihatan warna juga harus dievaluasi sehubungan dengan diagnosis kerja yang
dibuat.
Nyeri kepala yang dialami pasien sesuai dengan gejala migrain. Diagnosis
migrain merupakan diagnosis nyeri kepala primer, sehingga harus dipastikan tidak
ada kelainan lain yang mendasari nyeri kepala ini, meskipun nyeri kepala yang
dirasakan pasien bisa saja bukan berasal dari edema cerebri yang tampak pada
gambaran neurologis.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana simtomatik untuk nyeri kepala.
Untuk edema cerebri dan peningkatan TIK, diberikan mannitol. Efektivitas dan
penggunaan mannitol pada saat ini masih kontroversial. Evaluasi dan pemeriksaan
lebih lanjut sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menentukan
tatalaksana, apakah mungkin perlu dilakukan tindak pembedahan pada pasien.
Prognosis pasien bila diagnosis BIH tegak adalah dubia ad bonam secara
vitam, fungsionam, maupun sanactionam. Satu-satunya komplikasi serius yang
dapat terjadi adalah kehilangan penglihatan permanen, yang dapat dihindari bila
penegakan diagnosis dan tatalaksana dilakukan secara dini dan cepat.
23

BAB V
KESIMPULAN
\
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada seluruh
daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala
(daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk). Nyeri kepala dibagi menjadi
nyeri kepala primer (Migraine, TTH, Cluster headache (CH) and other trigeminal
autonomic cephalalgias, dan other primary headaches) dan nyeri kepala sekunder.3
Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala dengan tidak terdapat kelainan
anatomi atau kelainan struktur atau sejenisnya. Nyeri kepala sekunder adalah
nyeri kepala yang jelas terdapat kelainan anatomi atau kelainan struktur atau
sejenisnya dan bersifat kronis progresif.
Benign intracranial hypertension (BIH) merupakan sindrom nyeri kepala
dengan penyebab idiopatik. Kata ‘benign’ menunjukkan ketidakfatalan kondisi.
Meskipun begitu, BIH mendapat perhatian karena nyeri kepala yang berat seperi
migrain, dan bisa terjadinya kehilangan penglihatan yang permanen akibat
papiledema yang terjadi pada pasien dengan BIH.
Diagnosis BIH didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologis dan oftalmologis, serta pemeriksaan penunjang.
Diagnosis tegak apabila terdapat gejala dan tanda peningkatan TIK (nyeri kepala,
mual, muntah, gangguan penglihatan sementara, papiledema), tidak ada tanda
menurologis fokal kecuali palsy nervus VI unilateral atau bilateral, tekanan CSF ≥
25cmH2O dengan ketiadaan abnormalitas sitologis maupun kimiawi, pencitraan
normal untuk mengeksklusi thrombosis venus serebri.
Tatalaksana BIH berupa farmakologis (acetazolamid dan furosemid,
profilaksis nyeri kepala, steroid, mannitol), tindakan dan pembedahan (LP
berulang, diversi CSF), serta non farmakologis (penurunan berat badan dan
aktivitas fisik). Monitoring kondisi pasien, efektivitas terapi, dan fungsi
penglihatan pasien BIH perlu dilakukan secara berkala.
24

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjahrir, H., 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo. Pustaka Cendekia Press.
Yogyakarta.
2. Stovner LJ, Hagen K, Jensen R, et al, 2007. The Global Burden Of
Headache: A Documentation Of Headache Prevalence And Disability
Worldwide.Cephalalgia, 27:193-210.
3. Headache Classification Subcommittee of the International Headache
Society: The International Classification of Headache Disorders.
Cephalalgia, 2 2004 24(Suppl 1):9-160
4. Soler D, Cox T, Bullock P, et al. Diagnosis and management of Benign
Intracranial Hypertension. Arch Dis Child 1998; 78:89-95.
5. Jan, M., 2007. Updated Overview of Pediactric Headache and Migren,
Saudi Men j.
6. Bendtsen, L., Jensen, R., 2009. Tension-Type Headache. Neurol Clin.
27:525–535.
7. Leroux, E., Ducros, A., 2008. Cluster headache. Orphanet Journal of Rare
Diseases , 3:20
8. Biousse V, Bruce BB, Newman NJ. Update on the Pathophysiology and
Management of Idiopathic Intracranial Hypertension. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2012;83:488-494
9. Ko MW, Chang SC, Ridha MA, et al. Weight gain and recurrence in
idiopathic intracranial hypertension: a case-control study. Neurology
2011;76:1564e7.
10. Friedman DI. Medication-induced intracranial hypertension in
dermatology. Am J Clin Dermatol 2005;6:29e37.
11. Minocyclin treatment and pseudotumor cerebri syndrome. Am J
Ophthalmol 1998;126:116e21.
12. Tabassi A, Salmasi AH, Jalali M. Serum and CSF vitamin A
concentrations in idiopathic intracranial hypertension. Neurology
2005;64:1893e6.
25

13. Fraser JA, Bruce BB, Rucker J, et al. Risk factors for idiopathic
intracranial hypertension in men: a case-control study. J Neurol Sci
2010;290:86e9.
14. Gibby W.A, Cohen MS, Goldberg HI, et al. Pseudotumour cerebri: CT
findings and correlation with vision loss. AJR 1993;160:143–6.
15. Cennamo G, Gangemi H, Stella L, et al: Correlazione fra la pressione
endocranica ed il diametro del nervo ottico: studio ecografico. Clin Ocul
Pat Ocul 1984;5(suppl):39–41.
16. Gans MS, et al. Idiopathic Intracranial Hypertension Treatment &
Management. http://emedicine.medscape.com/article/1214410-treatment.
2016.
17. Tomsak RL, Niffenegger AS, Remler BF. Treatment of pseudotumour
cerebri with Diamox acetazolamide). J Clin Neuroophthalmol 1988;8:93–
8.
18. Wall M. Idiopathic intracranial hypertension (pseudotumor cerebri). Curr
Neurol Neurosci Rep. 2008 Mar. 8(2):8793.
19. Friedman DI, Jacobson DM. Idiopathic intracranial hypertension. J
Neuroophthalmol. 2004 Jun. 24(2):13845.
20. Brazis PW. Clinical review: the surgical treatment of idiopathic
pseudotumour cerebri (idiopathic intracranial hypertension). Cephalalgia.
2008 Dec. 28(12):136173.
21. Spoor TC, Ramocki JM, Madion MP, et al. Treatment of pseudotumour
cerebri by primary and secondary optic nerve sheath decompression. Am J
Ophthalmol 1991;112: 177–85.
22. Kupersmith MJ, Gamell L, Turbin R, Peck V, Spiegel P, Wall M. Effects
of weight loss on the course of idiopathic intracranial hypertension in
women. Neurology. 1998 Apr. 50(4):10948.
23. Wall M, George D. Idiopathic intracranial hypertension: a prospective
study of 50 patients. Brain 1991;114:155–80.

Anda mungkin juga menyukai