Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Multipel sclerosis (MS) adalah salah satu penyakit saraf yang menyerang sel-sel saraf
di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada selubung mielin
saraf manusia sehingga menyebabkan gangguan sistem hantaran impuls pada saraf tersebut.
MS mempengaruhi area dari otak dan syaraf tulang belakang yang dikenal sebagai
substansi alba. Sel-sel substansi alba membawa sinyal antara area substansi grisea, dimana
pemrosesan dilakukan, dan hasilnya dikirimkan ke tubuh. Lebih khususnya, MS
menghancurkan oligodendrocytes yang adalah sel-sel bertanggung jawab untuk membuat
dan memelihara satu lapisan lemak, yang dikenal sebagai sarung pelindung myelin, yang
membantu neuron membawa sinyal elektrik. MS menyebabkan penipisan atau kerusakan
total myelin dan sering memotong perluasan neuron atau axons. Ketika myelin hilang,
neuron tidak bisa lagi secara efektif menghantarkan sinyal elektrik. Nama multipel sklerosa
mengacu pada jaringan parut (scleroses – lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam
substansi alba. Tingkat kerusakan myelin dalam lesi ini menyebabkan sebagian dari gejala,
bervariasi tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir semua gejala
neurologis bisa menyertai penyakit ini.

1
BAB II
MULTIPLE SCLEROSIS

2.1 Definisi

Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang


myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin dan
juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. Peradangan yang
terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba
dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat
disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic
infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus
sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang
umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi,
kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses
degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi.
Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi
buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam
mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh.1,2
2.2 Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit neurologis


lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio
2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia 20-50 tahun. MS bersifat
progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan. Sekitar 50% penderita MS akan
membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam 15 tahun setelah onset penyakit.1

2.3 Etiologi

Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa mekanisme
penting yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun, infeksi, herediter,
paparan sinar matahari. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan
paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling
berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor.
a. Virus : EBV

2
b. Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun. Vitamin D
mengurangi produksi dari sitokin pro inflamatori dan meningkatkan produksi sitokin
anti inflamatori.
c. Genetika : penurunan kontrol respon immune 2,3

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:

1. Relapsing remitting MS (RRMS)


Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti dengan episode
remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS, 65 % diantaranya
akan berkembang menjadi tipe secondary progressive MS (SPMS)
2. Secondary progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang
berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin berkurang dan gejala
menjadi makin progresif
3. Primary progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki laki= 1:1.
Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi
4. Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami perburukan dengan
beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada fase remisi atau bebas dari
gejala.1,2

3
2.5 Patofisiologi

Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit T-


supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry antara
antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T yang spesifik
terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada
paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa
virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi
beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon
pada pasien MS. 1,2,4

Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia


diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada MS
studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat elevasi titer
CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.
1,2,4

4
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan lesi
demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase akut tampak
sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan parenkim. Pada fase kronik,
kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel sel makrofag disekitarnya disertai
kerusakan akson dan apoptosis oligodendrosit.1,2,4

2.6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena. Terdapat
beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
1. Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
2. Neuritis optik: gejala awal
3. Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
4. Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK, disfungsi
seksual
5. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
6. Trigeminal neuralgia
7. Facial myokymia
8. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
9. Heat intolerance
10. Mudah lelah (70% kasus)
11. Nyeri
12. Menurunnya fungsi kognitif
13. Depresi
14. Bipolar, dementia
15. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan pada fleksi
leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis1,2,6

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel sklerosis adalah
neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50% pasien pernah mengalaminya.
Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur, pada orang kulit putih biasanya
mengenai satu mata, sedangkan pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan
persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil

5
yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar.
Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika
umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus
atau pada pergerakan bola mata. Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih
jarang dibandingkan neuritis optika. 1,2,6

Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami
oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi),
kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut
dapat timbul pada satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu
proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga
menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif
ini umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan
proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand syndrome.
Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa bulan. Tanda yang sering
terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila
kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan.
Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya
meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala. 1,2,6

Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada MS meski


frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis dapat menyebabkan
sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang mengakibatkan paraplegi
(umumnya tidak simetris), level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks
patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik
merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal
bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks
patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien
MS. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir
90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise
berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental. 1,2,6

2.7 Diagnosis

Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple sclerosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis mempergunakan kriteria

6
diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang dipergunakan adalah kriteria
McDonald revisi 2017. Diagnosis MS perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala
neurologis dengan episode remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak
ditemukan sebab lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.1

Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan pemeriksaan


untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak, infeksi otak, stroke,
trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi
menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pada pemeriksaan MRI kepala dapat
ditemukan lesi hiperintens di periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan medulla
spinalis. Gambaran yang cukup khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson
finger Multiple sclerosis juga dapat menyerang medula spinalis dan mengakibatkan
gejala, seperti mielitis.

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Terapi simptomatik


Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah
:1,5,6
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise
seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,

7
spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,
dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan
respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan
atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi
infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem
apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat
antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan
urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus
diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup
jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat
membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi
bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan
disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat
terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan
sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.
Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan
depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang
memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat
digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.
Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang
bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien
MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga
dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti
influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.

8
2.8.2 Terapi relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000 mg
IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi hari dalam saline
normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon lebih dari 5 hari tidak
memberikan hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk meningkatkan fungsi
dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan pendukung berupa konseling,
terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support
group merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan
MS.1

2.8.3 Disease-Modifying Therapies


Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk mendapatkan
terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Beta interferon dapat
mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga
direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.1
Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian
Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan
frekuensi relaps pada RRMS.1
Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral. Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya apabila
pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang memuaskan.1
Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS yang
agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil
optimal dengan Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan
ke Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang
intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua
dalam terapi MS.1
Mitoxantrone

9
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifitas MS.
Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang sangat
progresif. Mitoxantrone tergolong
dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.1
Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. Terapi hanya
bersifat simptomatis.1

2.9 Komplikasi
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih7

2.10 Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang
signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki
fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru
yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa
tingkat kerusakan kognitif.2,7
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan
respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.
Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan. 2,7
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat
kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat
komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat
disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan
dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit
yang dapat menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari. 2,7

10
BAB III
PENYAJIAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Sdr. Frengki
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk RS : 2 April 2018

3.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pendekatan autoanamnesis.
3.2.1. Keluhan Utama
Kelemahan kedua kaki
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kelemahan kedua kaki sudah selama kurang lebih 7
hari. Kaki pasien tidak dapat digerakkan. Pertama hanya kaki kiri yang susah
untuk digerakkan, namun perlahan kaki kanan juga tidak dapat digerakkan.
Riwayat jatuh (+) 1 tahun lalu, demam (-), mual (-), muntah (-) BAK (N), BAB
(N), makan dan minum (+). Nyeri dan kelemahan perlahan memberat

3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-)
Riwayat HT disangkal
Riwayat DM disangkal
3.2.4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarnga yang mengalami keluhan serupa (-)
Riwayat HT dalam keluarga (-)
Riwayat DM dalam keluarga (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik


Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Frekuensi Nadi : 88x/menit

11
 Frekuensi Napas : 20x/menit
 Suhu : 36,7oC
Status Generalis
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya langsung (+/+), Refleks cahaya tidak langsung
(+/+), Pupil isokor 3mm/3mm
 Leher : Perbesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Jantung:
o Inspeksi : Ichtus cordis tidak tampak
o Palpasi : Icthus cordis teraba pada SIC V linea
axillaris anterior sinistra
o Auskultasi : Suara Jantung I-II regular, gallop (-), murmur (-)
 Paru:
o Inspeksi : Pergerakan dada simetris
o Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
o Perkusi : Suara sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
 Abdomen :
o Inspeksi : Datar, jejas (-), ruam (-), caput medusa (-)
o Auskultasi : Bising usus (+) dalam batas normal
o Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang perut
 Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2”

3.4. Pemeriksaan Neurologis


Pemeriksaan kesadaran
Compos Mentis
GCS : 15 (E4V5M6)

Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk (-)

12
Laseque (-)
Kernig (-)
Brudzinski 1 (-)
Brudzinski 2 (-)
Brudzinski 3 (-)
Brudzinski 4 (-)

Pemeriksaan saraf kranial


NI dalam batas normal
N II dalam batas normal
N III, IV, VI dalam batas normal
NV dalam batas normal
N VII dalam batas normal
N VIII dalam batas normal
N IX dalam batas normal
NX dalam batas normal
N XI dalam batas normal
N XII dalam batas normal

Kekuatan motorik
555 555
111 111

Sensorik
Hipestesia

Refleks fisiologis
Bisep +2/+2
Trisep +2/+2
Patella +3/+3
Achilles +2/+2

13
Refleks Patologis
Hoffman (-)
Thromner (-)
Babinski (+)
Oppenheim (-)
Chaddok (-)
Gonda (-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1. Laboratorium
Darah Rutin
- Leukosit : 9.410 µ/L
- Eritrosit :4.780.000 µ/L
- Hemoglobin : 13,1 g/dL
- Hematokrit : 38,7%
- Trombosit : 362.000 µ/L
- MCV : 81 fL
- MCH : 27,4 pg
- MCHC : 33,9 g/dL

3.5. Diagnosis Kerja


Diagnosis klinis : Paraprase inferior umn type
Diagnosis topis : Medulla spinalis
Diagnosis etiologis : Multiple Sclerosis

3.6. Tatalaksana
IVFD RL 20 tpm
Mecobalamin 2x1
Pregabalin 2x1
Metilprednisolon Inj 4x250mg
Metilprednisolon Tab 4x16mg

14
3.7. Saran Pemeriksaan Penunjang
 MRI
 Lumbal Pungsi

3.8. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanactionam : Dubia ad malam

15
BAB IV
PEMBAHASAN

Saudara Frengki, 18 tahun datang ke IGD RSUD Ade M Djoen Sintang dengan
keluhan tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Keluhan sudah dirasakan kurang lebih
selama 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan hasil anamnesis, keluhan dikatakan
memberat. Awalnya kelemahan hanya pada satu tungkai saja, namun berangsur-angsur
menjadi kelemahan di kedua tungkai. Pasien juga merasakan kesemutan, baal, dan susah
merasakan rangsangan pada kedua kakinya. Pasien mengatakan tidak terdapat mual dan
muntah. Tanda-tanda vital pasien semuanya dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik dan neurologis didapatkan peningkatan refleks fisiologis serta
terdapat refleks patologis yaitu babinski. Dilakukan juga pemeriksaan kekuatan motorik dan
sensorik pasien dan didapatkan hasil kekuatan motorik superior sinistra dan dekstra yaitu 5
sedangkan kekuatan motorik inferior sinistra dan dekstra yaitu 1. Serta hasil yang didapat
pada pemeriksaan sensorik yaitu sensorik inferior dalam batas normal, sedangkan pada
inferior pasien mengalami penurunan rangsangan sensori. Berdasarkan penemuan pada
pemeriksaan fisik, maka didapatkan diagnosa klinis dari pasien ini adalah paraprase inferior
UMN type. Hal ini karena pasien tidak dapat menggerakkan kedua tungkai bawah dan
didapatkan hiperefleks dan refleks patologis positif.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien Sdr. Frengki ini hanya Uji
Laboratorium dan didapatkan hasil laboratorium dalam batas normal. Pemeriksaan CT-Scan
tidak dilakukan dikarenakan keterbatasan tempat, begitu pula dengan pemeriksaan LP dan
MRI yang tidak dilaksanakan.
Penegakkan diagnosis MS ini didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan kriteria McDonald didapati bahwa telah terjadi 2 kali serangan. Yang pertama
adalah kemungkinan saat pasien terjatuh 1 tahun yang lalu. Walaupun masih belum dilakukan
anamnesis lebih dalam tentang riwayat jatuh pasien, kemungkinan bahwa pasien terjatuh
karena mengalami kelelahan ataupun kelemahan yang diperkirakan merupakan onset dari
MS. Sangat jarang ditemukan bahwa riwayat trauma dapat menyebabkan serangan MS,
namun ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa riwayat trauma dapat menyebabkan
kerusakan di sawar darah otak sehingga menyebabkan perkembangan dari plak MS yang
sudah ada secara genetik. Kemungkinan juga bahwa trauma fisik dapat menyebabkan
kerusakan sawar darah otak dan ketika sawar darah otak ini terganggu maka autoreaktif imun

16
dapat lewat melalui pembuluh darah masuk ke dalam sistem saraf pusat. Serangan yang kedua
yaitu terjadi pada saat 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Dan dari hasil pemeriksaan
neurologis pun ditemukannya refleks babinski yang merupakan common sign dari MS yang
mengindikasi bahwa telah terjadi kerusakan di jalur utama saraf. Walaupun sebenarnya
apabila dilakuakan pemeriksaan penunjang seperti MRI dan CT-Scan maka akan lebih
mengarahkan diagnosa menjad MS apabila ditemukan MS plaque pada pencitraan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa steroid yaitu metilprednisolon.
Pemberian steroid ini dilakukan karena etiologi dari MS yang belum pasti namun mengarah
ke penyakit autoimun, sehingga diberikanlah metilprednisolon atau steroid ini. Pemberian
steroid dapat menyebabkan relaps menjadi lebih cepat teratasi.
MS memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi dan tidak bisa diramalkan. Pada
banyak penderita, penyakit ini dimulai dengan gejala tertentu, yang selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun kemudian tidak menunjukkan gejala lebih lanjut. Pada penderita lainnya,
gejala semakin memburuk dan lebih meluas dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Cuaca hangat, mandi air panas atau demam bisa memperberat gejala. Kekambuhan bisa
terjadi secara spontan atau dipicu oleh infeksi. Jika kekambuhan sering terjadi maka kelainan
semakin memburuk dan bisa bersifat menetap.

17
BAB V
KESIMPULAN

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama menyerang


perempuan usia muda, tergolong penyakit langka di Indonesia. Penyakit ini dapat
mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas hidup. Penegakan diagnosis yang
akurat sangat diperlukan agar pasien bisa mendapatkan pengobatan yang adekuat sedini
mungkin. Neuritis optic dan gangguan sensorik merupakan manifestasi awal dari
penyakit ini.

18
Daftar Pustaka

1. Estiasari R. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakultas kedokteran universitas


Indonesia RSCM. Jakarta. 2014
2. Allan H. Ropper, Martin A. Adams & Victor’s Principles of Neurology, 9th Edition.
Boston. 2009.
3. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin D
Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838
4. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009.
5. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on April 23rd
11th, 2018
6. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on April
23rd, 2018
7. Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on April
23rd, 2018
8. Jafar, Yohanes. Tatalaksana Multiple Sclerosis. Continuing Medical Education.
Jakarta. 2017.
9. Thompson, A.J. Diagnosis of Multiple Sclerosis: 2017 revisions of the McDonald
Criteria. Available from: www.thelancet.com/neurology was accessed on April 25th
2017.
10. Carroll, W,M. 2017 McDonald MS Diagnostic Criteria: Evidance-based revisions.
Multiple Sclerosis Journal. 2018.
11. Ghasemi N, Razavi Sh, Nikzad E. Multiple sclerosis: pathogenesis, symptoms,
diagnoses and cell-based therapy. Cell J. 2017
12. Lunny, CA, et al. Physical trauma and risk of multiple sclerosis: A systematic review
and meta-analysis of observational studies. Journal of the Neurological Sciences.
2014.

19

Anda mungkin juga menyukai