Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jantung merupakan salah satu organ vital manusia karena peranannya sebagai alat
pemompa darah agar darah sampai ke seluruh tubuh (Mardjana, 2009). Menurut
Haryono (2013) serangan jantung adalah penyebab kematian yang paling banyak
ditemukan, salah satu diantaranya ialah Sindrom Koroner Akut (SKA) atau bisa
disebut sebagai Acute Coronary Syndrome (ACS). SKA adalah keadaan dimana rasa
nyeri pada area jantung pada saat istirahat atau pada saat aktivitas sederhana yang
datang secara mendadak (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2009). Angka kematian pada tahun 2015 yang
disebabkan oleh CVD diperkirakan sebanyak 17,7 juta jiwa (WHO, 2017). Charles
River Associates’ Life Sciences Practice (2011) menemukan bahwa, setiap hari >90
orang meninggal karena serangan jantung di Inggris, sebanyak >33.000 kematian dan
dengan jumlah 150.802 orang dirawat di rumah sakit karena ACS. ACS adalah
penyebab angka perawatan rumah sakit dan sekaligus angka kematian tertinggi pada
masalah kardiovaskular (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2015)
Penyakit jantung di Indonesia yang sering terjadi adalah penyakit jantung koroner
dan gagal jantung. Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia yang sudah
terdiagnosis dokter ialah berkisar 0,5% sedangkan prevalensi yang terdiagnosis atau
masih ditandai dengan gejala penyakit jantung koroner ini ialah berkisar 1,5%.
Prevalensi untuk penyakit jantung koroner pada Provinsi Riau yang sudah
terdiagnosis dokter dengan angka kejadian 0,2% (Riskesdas, 2013). Angka kejadian
rawat inap di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau dimulai pada bulan Januari 2015-
Februari 2018 adalah sebanyak 419 kasus, dengan UAP (Unstable Angina Pectoris)
sebanyak 413 kasus yang dirawat dan angka kematian sebanyak 6 kasus. Sedangkan

1
2

dengan diagnosa Acute Iskemik Heart Disease yang dirawat inap terdapat 6 kasus dan
angka kematian 1 kasus.
Sebagian besar kematian akibat ACS cenderung terjadi sebelum pasien mencapai
rumah sakit dan sekitar satu dari dua puluh jiwa meninggal dalam 30 hari setelah
dirawat di rumah sakit (Charles River Associates’ Life Sciences Practice, 2011).
Masyarakat atau anggota masyarakat memutuskan untuk mencari pelayanan
kesehatan pada saat merasakan adanya sakit atau perasaan sakit, akan tetapi pada saat
masyarakat atau anggota masyarakat tidak merasakan adanya rasa sakit (disease but
no illness) maka masayarakat tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya
tersebut (Notoadmodjo, 2010). Rini, Ayuningtyas, dan Ratnawati (2017) menuliskan
bahwa penyebab keterlambatan ialah persepsi pasien terhadap nyeri yang dialami
pasien tersebut yang menganggap itu bukanlah sebuah penyakit jantung, akan tetapi
pasien mempersepsikan itu adalah sebuah gejala masuk angin. Terdapat lima dimensi
terhadap pandangan klien mengenai penyakit mereka diantaranya adalah identitas
atau karakteristik dari sebuah penyakit, kapan terjadinya penyakit, sebab dari sebuah
penyakit, akibat yang akan ditimbulkan oleh penyakit, dan prognosis dari penyakit
(Kramer-Kille, 2013).
Dibuktikan dengan adanya penelitian terkait anggapan atau persepsi masyarakat
terhadap identitas atau karakteristik sebuah penyakit dari penelitian Salmen dan
Sismudjito (2015) di Desa Suku Nalu Kecamatan Barus Jahe yang menuliskan bahwa
masyarakat setempat masih mempercayai penyakit disebabkan karena diganggu oleh
roh halus ataupun kutukan. Masyarakat Suku Nalu ini juga menerapkan pengobatan
tradisional seperti minum ramuan yang sudah diracik. Hal ini berkaitan dengan
definisi dari persepsi sakit menurut Alhamda (2015) yang menuliskan bahwa persepsi
setiap masyarakat itu berbeda-beda dilihat dari setiap pandangan individu tentang
kriteria tubuh akan sehat atau sakit itu sendiri tidak hanya bersifat objektif namun
juga bersifat subjektif yang dipengaruhi oleh unsur budaya dan pengalaman masa
lalu.
3

Hasil penelitian Nugroho (2017) di Rumah Wilayah Kota Ternate


menuliskankan bahwa pada saat anggota keluarga mengalami serangan jantung,
anggota keluarga mempersepsikan itu hanya pingsan biasa dan merupakan tanda dari
penyakit gula yang pernah dialami oleh pasien tersebut dan memanggil keluarga
untuk meminta bantuan, tetangga, dan sebagian memutuskan untuk ke rumah sakit
dan sembari menuju rumah sakit untuk meniupkan (mendoakan). Menggosok kayu
putih, menggosok dada denga minyak tawon, memposisikan duduk pasien,
melonggarkan pakaian merupakan cara pertolongan pertama yang dilakukan saat
pertama kali terjadinya gejala.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bujawati, Nildawati, Alam (2016)
yang menuliskan bahwa dari 79 responden terapat 60 responden (75,9%) memiliki
persepsi positif tentang beratnya penyakit kusta, 46 responden (58,2%) memiliki
persepsi positif terhadap risiko penyakit kusta, 59 responden (75,7%) memiliki
persepsi positif terhadap konsekuensi tidak teratur berobat, dan 43 responden (54,4%)
memiliki persepsi negatif terhadap pencegahan kecacatan. Hasil penelitian dari
Nofiyanto, Andarini, dan Koeswo (2015), menuliskan bahwa ada hubungan antara
komunikasi perawat dengan persepsi sehat-sakit pada pasien dengan hasil (p=0,024)
dengan persepsi sehat-sakit sedang 68 dan memberikan penilaian komunikasi baik
89.
Hasil penelitian Rostiyati (2010) menuliskan bahwa, persepsi masyarakat Giri
Jaya terhadap sehat dan sakit, penyebab atau ciri-ciri penyakit dan cara
pengobatannya dengan pengobatan tradisional dan mengait-ngaitkannya dengan hal-
hal yang supranatural, dikarenakan persepsi masyarakat Giri Jaya yang masih terkait
atau terpapar akan supranatural membuat keputusan untuk mecari pelayanan
kesehatan dengan pergi ke alternatif seperti dukun. Berdasarkan dari penelitian
tersebut persepsi seseorang atau masyarakat akan berdampak terhadap pencarian
pelayanan pengobatan (health seeking behavior) dimana health seeking behavior ini
adalah perilaku seseorang atau perilaku masyrakat untuk mendapatkan pengobatan
4

agar teratasi masalah kesehatan seseorang tersebut atau bahkan sampai sembuh pada
saat mengalami sakit atau masalah kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan health seeking behavior salah satunya
adalah persepsi, dimana keluarga yang memiliki riwayat ACS akan lebih cepat
mengakses pelayanan kesehatan dibandingkan dengan keluarga yang belum memiliki
riwayat ACS. Persepsi keluarga pasien ACS tidak ada hubungan dengan health
seeking behavior dikarenakan hasil keputusan untuk menuju pelayanan kesehatan
ialah dari pasien itu sendiri yang menganggap sakit yang dirasakan bukanlah sebuah
yang harus diprioritaskan dikarenakan pada saat mengalami tanda dan gejala yang
tidak terlalu parah ini bukanlah sebuah masalah namun pada saat gejala sudah mulai
berat baru diputuskan untuk menuju pelayanan kesehatan. Responden yang
mengakses pelayanan kesehatan >6 jam sebanyak 8 orang (44,4%) memiliki persepsi
positif dan 12 orang (66,7%) memiliki persepsi negativ sehingga tidak terdapat
hubungan persepsi keluarga dengan pencarian pelayanan kesehatan (Ubaydilla,
2017).
Akibat dari kejadian diatas, akan sangat berdampak pada jantungnya tersebut
dikarenakan, apabila pasien mengalami kekurangan oksigen selama kurang lebih dua
puluh menit akan menyebabkan nekrosis (infark miokard) dan ini sangat bahaya bagi
jantung, dan inilah yang menyebabkan memperparah kondisi jantung pasien dengan
dirawatnya pasien (PERKI, 2015). Sehingga perlunya penanganan yang cepat dan
tepat pada pasien ACS ini, dan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada otot
jantung atau bagian dari jantung ada baiknya untuk penanganan dari rumah menuju
rumah sakit yaitu dengan melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru), pemberian
oksigen (Ainiyah, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang responden yang pernah mengalami
riwayat penyakit jantung dan berdasarkan fenomena yang dilihat oleh peneliti, secara
umum penatalaksanaan dan sasaran pasien maupun keluarga pada saat pasien
ditemukan adanya tanda-tanda awal terkena penyakit jantung tidak langsung dibawa
ke RS, akan tetapi berobat ke alternatif seperti ke dukun atau tukang pijat dengan
5

penatalaksanaan yang berbeda-beda. Penatalaksanaan yang dilakukan oleh dukun


ataupun alternative tukang pijat itu adalah dikerok pada bagian punggung,
mengkonsumsi ekstrak daun lidah buaya, dan meminum ramuan yang sudah diberi
mantra oleh dukun yang masyarakat itu percayai.
Dari hasil studi wawancara diatas, dapat dilihat bahwa persepsi sangat
mempengaruhi baik itu mengenai sakit dan sangat penting mengkaji bagaimana
persepsi seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan dikarenakan pada pasien ACS
jika tidak segera diatasi lebih dari dua puluh menit maka akan terjadinya perburukan
pada kondisi pasien. Keluarga merupakan orang terdekat dan orang yang tepat dalam
mengambil sebuah keputusan untuk memutuskan kemana dan apa yang harus
dilakukan untuk pasien. Mengingat masih banyaknya persepsi keluarga yang masih
membawa pasien kepelayanan alternative untuk mengatasi permasalahan dari gejala
yang ditimbulkan oleh penyakit ACS itu sendiri membuat peneliti tertarik untuk
menenliti hubungan persepi sakit terhadap health seeking behaviour pada pasien ACS
di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad (RSUD) Provinsi Riau.

1.2 Rumusan Maslaah


Penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia, dan ACS
merupakan salah satu penyakit dengan angka kematian tertinggi. Persepsi pada pasien
ACS untuk pengambilan keputusan menuju pelayanan kesehatan sangat penting dan
harus cepat dikarenakan pasien ACS membutuhkan penanganan yang cepat. Peran
keluarga sangat mempengaruhi dikarenakan keluarga adalah orang yang terdekat
untuk pengambilan keputusan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah persepsi sakit berhubungan
dengan health seeking behaviour pasien Acute Coronary Syndrome (ACS) di Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
6

Mengetahui hubungan persepsi sakit terhadap health seeking behaviour pasien


Acute Coronary Syndrome (ACS) di Rumah Sakit Arifin Achmad Provinsi Riau.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui karakteristik keluarga pasien yang dirawat di RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau (identitas penyakit, waktu terjadi sakit, penyebab,
konsekuensi, prognosis penyakit).
1.3.2.2 Untuk mengetahui persepsi sakit keluarga pasien yang dirawat di RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau.
1.3.2.3 Untuk mengetahui health seeking behavior pada pasien ACS yang dirawat di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis bagi semua pihak yang
terkait dalam penelitian, diantaranya yaitu:
1.4.1 Bagi Ilmu Keperawatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi serta untuk memperkaya ilmu
agar memanfaatkan pelayanan kesehatan.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau
Penelitian ini dapat digunakan menjadi bahan dan data untuk mengkaji penyebab
keterlambatan atau yang mempengaruhi terjadinya pemutusan untuk pelayanan
kesehatan.
1.4.3 Bagi Responden
Penelitian ini diharapkan memberi wawasan yang lebih dalam agar pasien dan
keluarga tahu bahwa penyakit ACS harus ditangani dan dibawa ke pelayanan
kesehatan karena bersifat gawat darurat.
1.4.4 Bagi Peneliti lain
Bagi peneliti lain, disarankan untuk mengidentifikasi penanganan yang dilakukan
oleh pasien maupun keluarga pada saat sebelum pencarian pelayanan kesehatan
7

dengan jenis penelitian kualitatif dengan variabel yang berbeda dan dengan sampel
yang berbeda.
8

BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Telaah Pustaka


2.1.1 Konsep Perse/psi Sakit
2.1.2.1 Definisi Persepsi Sakit
Setiap idividu memiliki persepsi yang berbeda-beda dipengaruhi oleh unsur
pengalaman masa lalu, serta budaya (Alhamda, 2015). Persepsi adalah cara seseorang
untuk menafsirkan apa yang sudah diketahui atau anggapan dari seseorang tersebut.
Persepsi sakit adalah bagaimana seseorang tersebut menafsirkan penyakitnya dengan
apa yang telah diketahui atau anggapan yang sudah seseorang itu tanam di dalam
pikirannya (Notoatmodjo, 2010). Persepsi sakit adalah pandangan seseorang terhadap
penyakit yang dialami seseorang tersebut (Wulandari & Dwita, 2015).

2.1.2.2 Persepsi Penyakit dan Sakit


Seringkali perbedaan persepsi sakit terjadi antara masyarakat dan pelayanan
kesehatan dikarenakan masyarakat itu sendiri terkadang tidak merasakan sakit
sehingga tidak menuju pelayanan kesehatan atau masyarakat merasakan sakit namun
masyarakat lebih mengutamakan untuk berobat ke alternatif lainnya seperti ke para
normal, atau ketempat dimana masyarakat mempercayainya dari generasi ke generasi.
Namun, dengan adanya pola pikir yang seperti ini menyebabkan masyarakat
terlambat untuk dating ke pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan
lain sebagainya (Alhamda, 2015).
Adanya gangguan yang terjadi pada tubuh yang mengganggu fungsi fisiologi
tubuh dikarenakan adanya tekanan dari luar ini yang disebut sebagai penyakit
(Disease) (Alhamda, 2015). Sakit (illness) adalah anggapan seseorang terhadap
kondisinya tersebut yang sedang dirasakannya yang tidak jarang juga berbeda-beda
terhadap penilainnya itu sendiri (Notoatmodjo, 2010).
9

Setiap orang menganggap suatu penyakit atau sakit berbeda-beda seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, menurut Notoatmodjo (2010) bahwa ada empat persepsi dari
masyarakat, yaitu:
1. Ketika seseorang tidak sakit dan tidak merasakan sakit pada tubuhnya, maka
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang seperti ini tidak dikategorikan kedalam
orang yang sedang sakit atau bisa disebut sebagai orang yang dalam keadaan
sehat.
2. Ketika seseorang tidak merasakan sakit pada tubuhnya, namun dilihat dari hasil
pemeriksaan seseorang ini dalam keadaan sakit atau terdapat penyakit pada
tubuhnya. Dengan demikian, dikarenakan seseorang tersebut tidak merasakan
adanya sakit pada tubuhnya, maka seseorang tersebut tetap melanjutkan rutinitas
seperti biasanya. Contoh: seseorang terlihat adanya pembengkakan pada trakea,
pada saat diperiksa ditemukan adanya tumor pada pasien tersebut namun pasien
tetap tidak pernah mengeluhkan adanya nyeri yang menyebabkan terhambatnya
aktivitas sehari-hari maka pasien menganggap itu bukan suatu hal yang
membuatnya berhenti dari rutinitas. Serta pasien menganggap itu bukan sebuah
masalah.
3. Seseorang merasakan adanya rasa sakit, akan tetapi pada saat diperiksa dengan
pemeriksaan baik itu di laboratorium, maupun pada pemeriksaa radiologi, atau
lain sebagainya tidak ditemukan adannya penyakit pada seseorang tersebut.
Contoh: seseorang merasakan adanya rasa sakit di dada dan merasakan sesak
napas namun pada saat diperiksa dengan hasil EKG tidak ditemukannya kelainan
pada jantung atau pada saat di rontgen tidak terdapat pembesaran jantung.
4. Pada pasien ini baru bisa dikategorikan dengan benar-benar sakit dikarenakan
sudah sejalan antara apa yang dirasakan dengan hasil pemeriksaan untuk
penyakit pasien. Contoh: seseorang merasakan adanya sensasi nyeri pada daerah
dada, lalu segera dibawa ke rumah sakit pada saat di rumah sakit langsung di
tindaklanjuti dan segera diperiksa menggunakan EKG dan didapatkan adanya
gangguan pada jantung.
10

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan lagi bahwasannya persepsi atau pandangan
seseorang mengenai sakit tersebut berbeda-beda tergantung dari apa yang mereka
rasakan. Persepsi sakit sangat penting, dikarenakan saat seseorang merasakan sakit
maka saat itulah seseorang tersebut mencari pelayanan kesehatan atau kesembuhan
baik itu ke fasilitas kesehatan yang modern maupun tradisional. Persepsi sakit sangat
mempengaruhi kesembuhan ataupun kepatuhan dalam berobat untuk mencapai
tingkat kesembuhan yang lebih baik lagi (Notoatmodjo, 2010).

2.1.2.3 Dimensi Persepsi Sakit


Terdapat 5 dimensi terhadap pandangan klien mengenai penyakit mereka menurut
Kramer-Kille (2013) diantaranya adalah:
1. Identitas dari penyakitnya: mengenali tanda dan gejala yang dialami dan
memahami apa yang sedang dirasakan dan bagaimana cara seseorang untuk
menanggapi sebuah penyakit tersebut baik itu untuk penatalaksanaan ataupun
pencegahan dari penyakit tersebut. Misalnya: seseorang apakah memahami tanda
dan gejala yang dialami lalu bagaimana cara seseorang tersebut untuk menangani
agar sembuh.
2. Waktu terjadi: pada saat rasa atau sensasi sakit dirasakan lalu seberapa lama dan
sampai kapan rasa sakit itu dirasakan, misalnya: pada saat seseorang tersebut
terserang penyakit berapa kali dalam sehari yang dirasakan lalu dengan hal
tersebut apakah menuju pelayanan kesehatan.
3. Penyebab: apa yang membuat penyakit itu terjadi dan apa yang membuat
penyakit itu kambuh lagi sehingga dari situ penyakit kambuh lagi dan butuh
pengobatan atau penanganan yang lebih.
4. Konsekuensi: apa yang akan terjadi jika seandainya diobati atau tidak diobati,
missal: dengan penyakit ACS jika diatasi dengan cepat dan penanganan yang
tepat maka kemungkinan bisa diselamatkan sesegera mungkin, sedangkan jika
tidak diatasi kemungkinan yang terburuk tidak mustahil akan terjadi misalnya:
11

meninggalnya seseorang tersebut dikarenakan keterlambatan pengobatan ataupun


tidak pahamnya akan penyakit tersebut sehingga tidak diatasi.
5. Prognosis: ialah bagaimana seseorang untuk melihat apakah penyakitnya tersebut
dapat disembuhkan atau tidak dapat disembuhkan.

Sedangkan menurut (Rabin, Leventhal, & Goodin, 1970; dalam Pratiwi, 2015)
terdapat sembilan dimensi yang mempengaruhi illness perception dalam segi
representasi kognitif dan emosinya ialah sebagai berikut:
1. Identity
Hampir sama dengan definisi menurut Kramer-Kille, yakninya apakah seseorang
mampu mengenali atau mengerti terhadap penyakit atau sakit yang dirasakan
baik itu tanda maupun gejala yang dirasakan.
2. Consequence
Konsekuensi disini dapat didefinisikan sebagai bagaimana seseorang itu
meyakini bahwa apakah terdapat dampak dari sebuah penyakit yang dialami dari
beratnya sakit yang diderita.
3. Timeline acute/chronic
Ialah rentang waktu pada saat pasien merasakan sakit baik dari tanda dan gejala
sampai fase pemulihan atau penyembuhan.
4. Timeline cyclical
Ialah pandangan terhadap frekuensi sakit yang dirasakan baik itu ada atau tidak
terjadinya sakit dan berapa kali rasa sakit itu terjadi.
5. Personal control
Ialah cara seseorang untuk mengontrol rasa sakit yang dirasakan, dan bagaimana
meyakini bahwa rasa sakit mampu atau bisa dikontrol.
6. Treatment control
Ialah pandangan seseorang dalam segi pengobatan, dan apakah pengobatan
tersebut diyakini mampu untuk menyembuhkan.
12

7. Illness coherence
Ilness coherence dapat diartikan sebagai gambaran pasien terhadap dimana letak
kelogisan sebuah penyakit dengan gejala yang dirasakan.
8. Emotion
Ialah bagaimana perasaan yang dirasakan seseorang dari rasa sakit yang
dirasakan, baik itu rasa marah, takut, sedih terhadap penyakit yang diderita.
9. Causal representation
Menjelaskan bahwa penyebab yang didapat akan mengakibatkan peningkatan
dalam penyakit seseorang tersebut.

2.1.2 Konsep Perilaku Pencarian Penyembuhan (Health Seeking Behavior)


2.1.2.1 Definisi Health Seeking Behavior (HSB)
Menurut Notoatmodjo (2010), perilaku pencarian penyembuhan atau pengobatan
(health seeking behaviour) adalah perilaku seseorang atau perilaku masyrakat untuk
mendapatkan pengobatan agar teratasi masalah kesehatan seseorang tersebut atau
bahkan sampai sembuh pada saat mengalami sakit atau masalah kesehatan. Perilaku
pencarian penyembuhan terdiri dari perilaku penyembuhan atau pengobatan sendiri
(self medcation) dan perilaku pencarian pengobatan atau penyembuhan keluar. Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2007 di dalam Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa
pola perilaku pengobatan sendiri (self medication) dan perilaku pencarian
penyembuhan dilakukan baik ke fasilitas pengobatan tradisional maupun modern.
Sedangkan perilaku pencarian pengobatan keluar (tidak diobati sendiri)
dikelompokan menjadi pengobatan ke Rumah Sakit baik Rumah Sakit pemerintah
maupun swasta, praktek dokter, puskesmas, pustu, balkesmas, petugas kesehatan,
dukun atau pengobatan tradisional (Batra).

2.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi health seeking behavior


Anderson(1994) dalam Rahman (2016) menuliskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi health seeking behavior adalah sebagai berikut:
13

a. Faktor predisposisi yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.


b. Faktor pemungkin yang meliputi ekonomi keluarga, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang ada dan penanggung biaya berobat.
c. Faktor kebutuhan yang meliputi kondisi individu missal rasa sakit yang
dirasakan.

2.1.2.2 Respon terhadap sakit


Respon sakit pada setiap orang berbeda-beda tergantung dari rasa sakit tersebut.
Respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:
1. Tidak bertindak atau tidak melakukan apa-apa (no action). Dikarenakan
seseorang beranggapan bahwa gejala atau symptom dari sakit itu sendiri akan
berkurang atau sembuh dengan sendirinya. Alasan mengapa tidak bertindak atau
tidak melakukan apa-apa ialah dikarenakan seseorang itu menganggap bahwa
kesehatan belum menjadi prioritas, fasilitas kesehatan yang jauh, takut akan
tenaga medis, kendala akan biaya dan menganggap petugas kesehatan yang
kurang peduli (care).
2. Tindakan mengobati sendiri (selftreatment atau self medication). Hampir sama
alasannya dengan tidak melakukan apa-apa namun yang menjadi perbedaan ialah
dikarenakan seseorang atau masyarakat tersebut menganggap berobat sendiri
seperti: kerokan, pijat, membuat ramuan seperti jamu.
3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional
remedy). Masyarakat masih memandang bahwa pengobatan tradisional
merupakan sesuatu yang lebih di utamakan dan dilihat dari sudut pandang
masyarakat yang masih memandang bahwa masalah sehat-sakit adalah bersifat
budaya dan cara mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pengobatan
tradisional.
4. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern (professional)
seperti pelayanan kesehatan (balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit)
termasuk mencari pengobatan ke praktek klinik dokter (Notoatmodjo, 2015).
14

Uraian diatas sudah terlihat jelas bahwa persepsi masyarakat terhadap sehat-sakit
serta perilaku pencarian pengobatan pun juga berrbeda-beda. Persepsi sehat-sakit
berhubungan erat dengan perilaku pencarian pengobatan, maka sangat disayangkan
apabila masyarakat masih mempersepsikan sehat-sakit sebagai sebuah masalah yang
sepele dan tidak sesegera mungkin mencari pelayanan kesehatan. Oleh karena itu,
perlu dikaji apa yang menyebabkan persepsi masyarakat sehingga masyarakat tidak
pergi ke pelayanan kesehatan untuk mencari pengobatan yang lebih tepat
(Notoatmodjo, 2015).
Perilaku penyembuhan terdiri dari:
1. Perilaku dimana seseorang untuk segera sembuh (perilaku kuratif), dan
2. Perilaku dimana seseorang untuk memulihkan kesehatan secepatnya.

Proses perilaku penyembuhan terdiri dari:


1. Mengenali tanda dan gejala dengan cara berkaca dari pengalaman ataupun
pengetahuan.
2. Melakukan penyembuhan atau pengobatan sendiri (self treatment atau self
medication) berdasarkan pengetahuan, keyakinan.
3. Melakukan penyembuhan dari luar sesuai dengan persepsi sakit seseorang
tersebut. Masyarakat seringkali mengaitkan sebuah penyakit dengan sesuatu yang
berhubungan dengan para normal sehingga masyarakat mengobati sebuah
penyakit itu dengan pengobatan tradisional. Cara seperti ini terkadang bahkan
tidak membuahkan hasil, sehingga tidak jarang seseorang tersebut pada akhirnya
mencari pelayanan kesehatan yang model seperti: Puskesmas, Rumah Sakit,
Klinik Dokter. Maka dari itu, proses pelayanan kesehatan untuk pencarian
penyembuhan atau pengobatan (health seeking behavior) adalah:
a. Pelayanan kesehatan primer, terdiri dari: Bidan praktek atau mantra praktek
sebagai pelayanan yang primer. Jika ini tidak berhasil maka dilanjutkan
dengan pelayanan kesehatan selanjutnya yaitu pelayanan kesehatan rujukan.
15

b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat pertama, terdiri dari: Dokter praktek


atau puskesmas. Jika ini tidak berhasil maka akan dilanjutkan dengan
mencari pertolongan pelayanan kesehatan rujukan tingkat dua.
c. Pelayanan kesehatan tingkat dua, terdiri dari: Pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi seperti Rumah Sakit Internasional.

2.1.2.3 Pengukuran Perilaku Kesehatan


Adapun pengukuran perilaku kesehatan diantaranya:
a. Pengetahuan (Knowledge)
Adalah sesuatu yang diketahui oleh seseorang mengenai konsep sehat-sakit,
contoh: definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi,
pencegahan.
b. Sikap (Attitude)
Adalah suatu penilaian atau sudut pandang mengenai penyakit tersebut,
contoh: bagaimana pandangan seseorang mengenai pennyakit yang di
deritanya tersebut.
c. Praktek (Practice)
Adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk mencapai kesembuhan ataupun
usaha mempertahankan kesehatan pada dirinya (Notoatmodjo, 2010).

2.1.2.4 Reaksi dalam proses mencari pengobatan


Adapun reaksi dalam proses mencari pengobatan ialah sebagai berikut:
a. Shopping yakni cara seseorang untuk mencari pelayanan pengobatan
seperti dokter untuk menegakkan diagnosa dan menemukan pengobatan
dari sakit yang dirasakan.
b. Fragmentation yakninya cara seseorang untuk mencari pelayanan
pengobatan namun tidak hanya berfokus pada satu pelayanan pengobatan
saja, misalnya: mencari pelayanan pengobatan ke dokter namun disertai
dengan pengobatan alternatif dukun.
16

c. Procrastination yakninya tidak mencari pelayanan kesehatan walaupun


tanda dan gejala sudah dirasakan oleh si pasien.
d. Self medication yakninya pengobatan mandiri atau pengobatan yang
dilakukan di rumah dengan cara penggunaan ramuan yang ada di rumah.
e. Discontinuity yakninya berhentinya mencari pelayanan pengobatan.
(Alhamda, 2015).

2.1.3 Konsep Acute Coronarry Syndrome (ACS)


2.1.3.1 Definisi Acute Coronarry Syndrome (ACS)
Sindrome Koroner Akut (SKA) adalah suatu keadaan kegawatdaruratan dimana
terganggunya kardiovaskuler yang ditandai dengan adanya sensasi nyeri secara
mendadak dan dalam waktu yang tidak terduga seperti pada saat sedang beristirahat
dengan kata lain, jika keadaan ini tidak segera diatasi maka akan terjadi infark
miokard atau yang disebut sebagai kerusakan pada jaringan otot jantung dikarenakan
kurangnya suplai oksigen ke otot jantung (Staf Pengajar Departemen Farmakologi,
2009). Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) (2015)
menyatakan bahwa ACS adalah penyebab utama pasien kardiovaskular dengan angka
kejadian perawatan dan angka kematian tertinggi. Oleh sebab itu, perlu kiranya
penanganan atas pasien ACS sesegera mungkin dikarenakan jika tidak segera diatasi
maka akan semakin meningkat angka kematian tersebut.

2.1.3.2 Klasifikasi Acute Coronarry Syndrome


Menurut PERKI (2015), berdasarkan hasil pemeriksaan pada pasien jantung
misalnya pemeriksaan EKG klasifikasi dari Acute Coronarry Syndrome terdiri dari:
1. Infark Miokard dengan Elevasi segmen ST (STEMI: ST Segmen Elevation
Myocardial Infarction) adalah adanya elevasi pada segmen ST yang terjadi pada
infark miokard akut yang disebabkan adanya penyumbatan pada aliran darah
arteri koroner dan menyebabkan nekrosis pada hampir keseluruhan jaringan otot
jantung.
17

2. Infark Miokard dengan Non Elevasi segmen ST (NSTEMI: Non ST Segmen


Elevation Myocardial Infarction) adalah tidak adanya elevasi pada segmen ST
yang terjadi pada infark miokard akut yang menyebabkan nekrosis pada sebagian
jaringan otot jantung.
3. Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstabel Angina Pectoris)
Angina pektoris tidak stabil adalah gejala awal dari infark miokard yang ditandai
dengan rasa tidak nyaman pada area dada, rasa tertekan.

2.1.3.3 Etiologi Acute Coronarry Syndrome (ACS)


Fitria, Suryono, & Riyanti (2017) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa
penyebab dari Acute Coronarry Syndrome (ACS) ialah adanya thrombus pada area
arteri koroner yang menyebabkan terhambatnya aliran darah menuju otot jantung
sehingga lama kelamaan akan menjadi infark pada otot jantung (myocardium).
Pembentukan thrombus terjadi dikarenakan adanya kerusakan pada kolagen selaput
pelindung (fibrous cap) yang tipis sehingga mudah rusak. Apabila hambatan aliran
darah menuju otot jantung sepenuhnya terjadi, maka akan menyebabkan STEMI
sedangkan apabila hambatan terjadi hanya sebagian maka akan menyebabkan
NSTEMI dan UAP.

2.1.3.4 Manifestasi Klinis


PERKI (2015) menyatakan bahwa, tanda dan gejala yang mungkin terjadi pada
pasien ACS adalah nyeri dada, gambaran hasil EKG pada pasien ada atau tidaknya
segmen ST sebagai pertanda dari sebuah keadaan iskmeik pada myocard atau otot
jantung.
1. UAP (Unstable Angina Pectoris)
Tanda dan gejala UAP adalah sebagai berikut:
a. Nyeri dengan atau tanpa radiasi ke lengan, leher, punggung, atau daerah
epigastrium.
18

b. Dyspnea (sesak napas), diaphoresis (keringat berlebihan), mual, pusing,


takikardia (denyut jantung meningkat), hipotensi atau hipertensi (tekanan darah
tidak normal), saturasi oksigen pada arteri menurun (SaO2) dan kelainan irama
jantung.
c. Terjadi pada saat istirahat atau aktivitas ringan.
d. Depresi segmen ST atau inversi gelombang-T pada elektro-kardiografi
e. Biomarker jantung tidak meningkat
(Overbaugh, 2009)

2. STEMI (STEMI: ST Segmen Elevation Myocardial Infarction)


Adapun tanda dan gejala dari STEMI adalah sebagai berikut:
a. Nyeri dengan atau tanpa radiasi ke lengan, leher, punggung, atau daerah
epigastrium.
b. Dyspnea (sesak napas), diaphoresis (keringat berlebihan), mual, pusing,
takikardia (denyut jantung meningkat), hipotensi atau hipertensi (tekanan darah
tidak normal), saturasi oksigen pada arteri menurun (SaO2) dan kelainan irama
jantung.
c. Terjadi pada saat istirahat atau aktivitas ringan.
d. Durasi lebih lama dan lebih parah dibandingkan UAP (keurasakan jaringan atau
infark terjadi jika perfusi tidak kembali).
e. Elevasi segmen ST
f. Biomarker jantung meningkat
(Overbaugh, 2009)

3. NSTEMI (NSTEMI: Non ST Segmen Elevation Myocardial Infarction)


Adapun tanda dan gejala dari NSTEMI adalah sebagai berikut:
a. Nyeri dengan atau tanpa radiasi ke lengan, leher, punggung, atau daerah
epigastrium.
19

b. Dyspnea (sesak napas), diaphoresis (keringat berlebihan), mual, pusing,


takikardia (denyut jantung meningkat), hipotensi atau hipertensi (tekanan darah
tidak normal), saturasi oksigen pada arteri menurun (SaO2) dan kelainan irama
jantung.
c. Terjadi pada saat istirahat atau aktivitas ringan.
d. Durasi lebih lama dan lebih parah dibandingkan UAP (keurasakan jaringan atau
infark terjadi jika perfusi tidak kembali).
e. Depresi segmen ST atau gelombang T inversi pada elektro-kardiografi.
f. Biomarker jantung meningkat.
(Overbaugh, 2009)

2.1.3.5 Patofisiologi
ACS dimulai saat terjadinya thrombus yang terjadi pada arteri koroner yang
bertugas sebagai pemasok nutrisi dan oksigen ke dalam otot jantung (Fitria, Suryono,
& Riyanti, 2017). Thrombus yang terbentuk ini akan menyumbat baik secara total
(sepenuhnya) maupun secara parsial (sebagian) atau bahkan akan menyumbat
pembuluh darah koroner yang lebih distal (PERKI,2015).
Tersumbatnya aliran darah akan menyebabkan iskemik pada otot jantung, ketika
oksigen kurang dalam waktu ±20 menit akan mengakibatkan nekrosis atau kematian
jaringan pada otot jantung atau yang disebut sebagai infark miokard (PERKI, 2015).

2.1.3.6 Penatalaksanaan
1. NSTEMI
Penatalaksanaan pada pasien NSTEMI menurut Overbaugh (2009) adalah
sebagai berikut:
a. Oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen (SaO2) >90%
b. Nitrogliserin atau morfin untuk mengendalikan rasa sakit
c. Beta-bloker (β-blocker), clopidogrel (Plavix), inhibitor glikoprotein IIb/IIIa.
20

d. Kateterisasi jantung dan kemungkinan intervensi koroner perkutan untuk


pasien dengan nyeri dada yang terus menerus, ketidakstabilan hemodinamik,
atau peningkatan risiko memburuknya kondisi klinis.
2. UAP
Penatalaksanaan pasien UAP adalah sebagai berikut:
a. Oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen (SaO2) >90%
b. Nitrogliserin atau morfin untuk mengendalikan rasa sakit
c. Beta-bloker (β-blocker), clopidogrel (Plavix), inhibitor glikoprotein IIb/IIIa.

3. STEMI
Penatalaksanaan pasien STEMI adalah sebagai berikut:
a. Oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen (SaO2) >90%
b. Nitrogliserin atau morfin untuk mengendalikan rasa sakit
c. Beta-bloker (β-blocker), clopidogrel (Plavix).
d. Intervensi koroner perkutan dalam 90 menit dengan evaluasi medis
e. Terapi fibrinolitik dalam 30 menit dalam evaluasi medis.

2.2 Penelitian Terkait


Beberapa penelitian penelitian yang relevan dalam penelitian ini, dapat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel 2.1
Penelitian terkait
Keterangan Penelitian Bujawati, Kritpracha Ubaydilla, R
sekarang Nildawati, dan (2017) (2017)
Alam (2016)
Topik Hubungan Gambaran Illness Faktor-faktor
penelitian Illness Persepsi pasien perception and yang
perception tentang cardiovascular berhubungan
terhadap penyakit kusta health dengan health
Health Seeking dan dukungan behaviors in seeking
21

Behavior keluarga pada persons with behavior


pasien Acute pasien kusta di ischemic pasien Acute
Coronary RS. Dr. hearth disease: Coronarry
Syndrome Tadjuddin a lliterature Syndrome
(ACS) di Chalid riview (ACS) di
Rumah Sakit Makassar Rumah Sakit
Umum Daerah tahun 2015. Umum Daerah
Arifin Achmad Arifin Achmad
Provinsi Riau Provinsi Riau
Desain Cross- Deskriptif Deskriptif Cross-
sectional sectional
(transversal)
Variabel Persepsi sakit Persepsi dan Persepsi sakit Usia, jenis
dukungan kelamin, status
keluarga pernikahan,
pendidikan,
pekerjaan,
budaya,
pengetahuan,
persepsi,
sumber daya
keluarga,
sumber daya
masyarakat,
kebutuhan, dan
health seeking
behavior
Subjek Keluarga Pasien Kusta Pasien dan Keluarga
pasien ACS keuarga pasien ACS
Tempat Di RSUD Di RS. Dr. CVCU, ruang
Arifin Achmad Tadjuddin rawat inap
Provinsi Riau Chalid Flamboyan,
Makassar dan IGD
tahun 2015. Rumah Sakit
Arifin Achmad
Provinsi Riau
Analisis Bivariat Bivariat Univariat Bivariat
22

2.3 Kerangka Teori


Skema 2.1
Kerangka teori hubungan illness perception terhadap health seeking behavior pasien
acute coronary syndrome (ACS) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin
Achmad Provinsi Riau

Penyumbatan yang
terjadi pada
pembuluh darah a. Nyeri dengan atau tanpa radiasi
ke lengan, leher, punggung, atau
daerah epigastrium.
b. Dyspnea (sesak napas),
diaphoresis (keringat
berlebihan), mual, pusing,
takikardia (denyut jantung
Acute coronary meningkat), hipotensi atau
syndrome (ACS) NSTEMI hipertensi (tekanan darah tidak
normal), saturasi oksigen pada
arteri menurun (SaO2) dan
STEMI kelainan irama jantung.
c. Terjadi pada saat istirahat atau
aktivitas ringan.
UAP (Unstabel d. Depresi segmen ST atau inversi
angina pectori) gelombang-T pada elektro-
kardiografi

Health seeking
behavior

Identitas, waktu
terjadi, penyebab, Pandangan terhadap sakit
konsekuensi, (persepsi sakit)
prognosis

: Diteliti
: Tidak diteliti
23

Sumber: Fitria, Suryono, & Riyanti (2017); Overbaugh (2009); PERKI (2015);
Kramer-Kille (2013); Notoatmodjo (2010).

2.4 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah rancangan terkait hubungan antara variabel yang satu
dengan yang lain di sebuah penelitian (Muhith, N. A., 2011). Berdasarkan kerangka
teori mengenai hubungan illness perception dengan health seeking behavior pasien
acute coronary syndrome (ACS) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin
Achmad Pekanbaru Provinsi Riau, sehingga kerangka konsep yang akan diteliti
adalah sebagai berikut:

Skema 2.2
Kerangka konsep hubungan illness perception dengan health seeking behavior pasien
acute coronary syndrome (ACS) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin
Achmad Pekanbaru Provinsi Riau.

Variabel Independen Variabel Dependen


Persepsi Sakit Health Seeking Behavior
Persepsi 1. < 6 jam : cepat
2. >6 jam : Lambat
1. Baik ≥ mean atau
median
2. Tidak Baik < mean
atau median
24

2.5 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti dengan
kebenarannya masih belum dapat dipastikan namun harus diuji terlebih dahulu
(Muhith, 2011).
2.5.1 Ha: Ada hubungan yang bermakna antara illness perception dengan health
seeking behavior pada keluarga pasien Acute Coronary Syndrome (ACS).
25

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuantitatif dengan
pendekatan korelasi dan desain penelitian Cross Sectional (transversal) yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan hubungan antara variabel independen dan dependen
dalam satu kali saja dan tidak dilanjutkan (Riyanto, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad
Pekanbaru, Provinsi Riau, di Ruangan CVCU, ruang rawat inap Flamboyan, dan
IGD.

3.2.2 Waktu Penelitian


Waktu penelitian ini akan diadakan pada bulan Maret hingga Mei tahun 2018.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan diteliti, dalam penelitian ini adalah
keluarga pasien ACS (Acute Coronarry Syndrome) yang ada di Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad Pekanbaru, Provinsi Riau, di Ruangan Rawat Inap yang
berjumlah 96 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari total keseluruhan populasi dan dianggap
mewakili populasi (Riyanto, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga
pasien ACS di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru, Provinsi Riau,
di Ruangan Rawat Inap dengan kriteria inklusi sebagai berikut:
26

1. Keluarga yang tinggal serumah dengan pasien ACS (Acute Coronarry


Syndrome).
2. Keluarga yang membawa pasien ke pelayanan kesehatan.
3. Keluarga yang mengetahui kondisi pasien dimulai dari onset gejala pertama kali
muncul.

3.4 Besar Sampel


Adapun rumus yang menjadi acuan bagi peneliti adalah rumus Slovin:

3.5 Teknik Sampling


Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan bentuk non-
random sampling dengan teknik accidental sampling. Menurut Riyanto (2010), non-
random sampling adalah langkah yang dilakukan dimana anggota populasi tidak
mendapatkan kesempatan ataupun peluang yang sama untuk pengambilan sampel.
Sedangkan accidental sampling ialah suatu metode dimana pengambilan sampel yang
dilakukan ketika kriteria responden tersedia pada satu waktu tertentu. Pada penelitian
ini, peneliti mengambil semua individu yang sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan hingga jumlah yang diinginkan tercapai. Peneliti membatasi waktu hingga
2 bulan dikarenakan jika tidak dibatasi maka penelitian tidak akan selesai disebabkan
keterbatasan peneliti.

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.6.1 Variabel
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi variabel lain atau variabel bebas ini dapat didefinisikan sebagai
variabel yang mengakibatkan perubahan terhadap variabel lain apabila variabel
27

ini dirubah, pada penelitian ini adalah Illness Perception (Persepsi sakit)
dikarenakan persepsi sakit mempengaruhi Health Seeking Behavior (Riyanto,
2010).
2. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat pada penelitian ini adalah Health
Seeking Behavior dikarenakan Health Seeking Behavior dipengaruhi oleh
persepsi sakit.
3.6.2 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan suatu cara yang berguna untuk membuat variabel
menjadi lebih jelas dan lebih fokus (Riyanto, 2010).

Tabel 3.1
Variabel penelitian dan definisi operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur
1. Independen Pandangan pasien Mengisi Kuesioner Ordinal1. Baik ≥ mean
Persepsi ACS tentang lembaran atau median
sakit penyakit yang kuesioner 2.
dialami, pengobatan, 3. Tidak Baik <
dan pelayanan yang mean atau
akan dituju pada saat median
sakit.
2. Dependen Perilaku dan Mengisi Kuesioner Ordinal ≤ 6 jam
Health tindakan keluarga lembaran (cepat)
Seeking yang dinyatakan kuesioner > 6 jam
Behavior dengan lama waktu (lambat)
dalam mengakses
pelayanan kesehatan
dan penatalaksanaan
atau perilaku untuk
mengobati pasien
dimulai dari tanda
dan gejala pertama
kali muncul.

3.7 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


28

3.7.1 Jenis data


1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan baik menggunakan kuesioner,
kelompok fokus, panel, atau dari hasil wawancara kepada responden atau
narasumber. Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari
keluarga pasien ACS dengan menggunakan kuesioner di lingkungan Rumah
Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau. Alat pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah kuesioner yang sudah baku dan sudah dilakukan uji
validitas untuk keabsahannya.

2. Data Sekunder
Selain menggunakan data primer, dalam penelitian ini adalah data sekunder
yakninya data yang di dapat dari catatan buku, majalah, artikel, dan buku-buku
sebagai teori. Data sekunder yang diambil dari peneliti terkait penelitian ini
adalah dengan melihat catatan rekam medic yang sudah ada terkait dengan
jumlah kejadian rawat inap serta kematian pada pasien ACS di Rumah Sakit
Umum Daerah Arifin Achmad, Provinsi Riau.

3.7.2 Cara Pengumpulan Data


Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
kuesioner yaitu berupa pertanyaan tertutup untuk kuesioner persepsi dan perilaku
pencarian pelayanan kesehatan dibuat berdasarkan teori yang ada. Adapun proses
pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Setelah ujian proposal penelitian, peneliti mengurus surat izin untuk uji etik dari
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Hang Tuah Pekanbaru yang ditujukan
untuk pihak Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.
2. Setelah menerima balasan surat dari pihak Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad Provinsi Riau, peneliti melakukan uji etik sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
29

3. Setelah peneliti dinyatakan lulus uji etik, kemudian peneliti mengurus surat izin
untuk melakukan uji validitas instrument penelitian yang ditujukan pada pakar
yang berkompeten pada bidangnya sesuai dengan tujuan penelitian yang
dilakukan.
4. Setelah instrument penelitian dikatakan valid, kemudian penelitian mengurus
surat izin penelitian dari Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes Hang Tuah
Pekanbaru yang ditunjukkan untuk pihak Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad Provinsi Riau.
5. Setelah peneliti menerima balasan surat berupa surat izin penelitian dari pihak
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau, peneliti kemudian
meminta izin penelitian kepada Kepala Instalasi ruangan yang menjadi tempat
penelitian.
6. Setelah peneliti mendapatkan izin dari Kepala Instalasi ruangan, kemudian
peneliti mengunjungi ruang rawat inap guna meminta izin kepada Kepala
Ruangan.
7. Setelah mendapat tanda tangan dari Kepala Ruangan Rawat Inap peneliti
menyebarkan kuesioner. Sebelum responden mengisi lembar kuesioner yang
disebarkan, peneliti memberikan surat berupa surat permohonan menjadi
responden, surat tersebut berguna untuk memberikan penjelasan penjelasan
mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian.
8. Setelah responden memahami tujuan dan manfaat dari penelitian, peneliti
kemudian memberikan Informed Consent untuk mengisi lembar kuesioner.
Setelah kurun waktu selama ± 2 bulan dan didapatkan responden dengan jumlah
……. responden.

3.8 Pengolahan Data


Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang dapat
dilakukan secara manual atau menggunakan bantuan komputer. Pengolahan data pada
penelitian ini menggunakan bantuan komputer melalui beberapa tahapan, yaitu:
30

3.8.1 Pengeditan (Editting)


Hasil kuesioner ataupun daftar pertanyaan yang sudah diserahkan oleh para
responden. Dengan tujuan untuk mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada di
dalam daftar pertanyaan.

3.8.2 Pengkodean (Coding)


Setelah dilakukan pengeditan dilanjutkan dengan tahap pengkodean pada data
yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengkodean biasanya menggunakan symbol atau
angka atau bilangan untuk mempermudah dalam mengolah data.

3.8.3 Pemasukan (Entry) atau pemrosesan


Setelah pengkodean maka data dimasukan ke dalam program komputer. Data yang
dimasukkan adalah data univariat dan bivariat yang meliputi persepsi sakit, dan
health seeking behavior.

3.8.3 Scorring (penilaian)


Setelah dilakukan pemasukan atau pemrosesan maka dilanjutkan dengan penilaian
pada data yang sudah dikumpulkan untuk memberikan penilaian pada item-item yang
perlu diberi penilaian atau skor.

3.8.4 Pembersihan data (Cleaning)


Setelah data diinput ke dalam program, pada tahap ini dilanjutkan dengan
pengecekan kembali apakah ada kesalahan data. Pembersihan data dilakukan untuk
menghapus atau menghilangkan kesalahan data yang dimasukkan ke dalam program
komputer.

3.8.5 Penyajian data


Setelah semua tahapan terselesaikan, maka dilanjutkan dengan penyajian data
yang ditampilkan bisa berbentuk narasi agar lebih mudah dipahami.
31

3.9 Analisis data


3.9.1 Analisa univariat
Analisa univariat adalah analisa yang digunakan oleh peneliti, dimana dilakukan
pada tiap variabel hasil penelitian, menghitung presentase hasil penelitian terkait
variabel independen adalah persepsi sakit, variabel dependen health seeking behavior.
Analisa univariat digunakan untuk menjabarkan secara deskriptif mengenai distribusi
frekuensi dan proporsi masing-masing variabel yang diteliti.
3.9.2 Analisa bivariat
Setelah dilakukan analisis univariat maka untuk mengetahui hubungan dua
variabel perlu dilakukan analisa bivariat. Analisa bivariat dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen (persepsi sakit) dan
variable dependen (health seeking behavior). Uji yang akan digunakan adalah uji Chi
Square. Apabila ada variabel yang tidak memenuhi kriteria uji Chi Square maka akan
menggunakan uji Fisher sebagai uji alternatifnya.
Uji Chi Square dilakukan agar melihat derajat kepercyaan 90% (p= 0,05). Untuk
melihat tingkat kemaknaan perhitungan statistik maka digunakan batasan kemaknaan
Pvalue (0,05), sehingga apabila hasil uji statistik tersebut menunjukkan Pvalue ≤0,05
maka ho ditolak, artinya dari kedua variabel secara statistik menunjukkan hubungan
yang bermakna, dan apabila Pvalue > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa Ho
diterima, artinya dari kedua variabel tersebut secara statistik tidak menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna.

3.10 Etika Penelitian


Menurut Hidayat (2011) memaparkan etika dalam penelitian yang harus dipenuhi
oleh seorang penelitian adalah sebagai berikut:
3.10.1 Informed consent
Informed consent adalah lembar persetujuan responden untuk menyetujui
dilakukannya penelitian terhadap responden tersebut, jika responden tidak menyetujui
32

dilakukannya penelitian maka peneliti tidak akan memaksa untuk tetap menjadi
responden.
3.10.2 Anonimity (tanpa nama)
Penelitian dilakukan dengan cara tidak dicantumkan nama responden akan tetapi
dengan pengkodean seperti inisial dari responden tersebut agar terjaganya
kerahasiaan dari responden.
3.10.3 Kerahasiaan (confidentiality)
Salah satu etika yang sangat diperhatikan ialah kerahasiaan reponden, baik itu
dalam bentuk nama, ataupun informasi yang didapat oleh peneliti terkait responden.
3.11 Jadwal Penelitian
No Kegiatan Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli
1. Pembuatan
Proposal
2. Seminar
Proposal
3. Perbaikan
Proposal
4. Pengumpulan
Data
5. Pengolahan
Data Analisis
6. Penulisan
Skripsi
7. Ujian Skripsi
33

DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. (2009). Cara mudah memahami dan menghindari hipertensi, jantung dan stroke.
Yogyakarta: Dianloka Pustaka.
Alhamda, S. (2015). Buku ajar sosiologi kesehatan. Yogyakarta: Depublish.

Ainiyah, N. (2015). Peran perawat dalam identifikasi dini dan penatalaksanaan pada acute

coronary syndrome. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 8(2). 184-192.

Bujawati, E., Nildawati., & Alam, A. S. (2016). Gambaran persepsi pasien tentang penyakit

kusta dukungan keluarga pada pasien kusta di rs. dr. tadjuddin chaild makassar tahun

2015. AL-Sihah, 8(1). 29-38.

Charles River Associates’ Life Science Practice. (2011). The burden of acute syndromes in

united kingdom. Diperoleh dari: http://www.crai.com/publications

Haryono, R. (2013). Anda wajib melawan serangan jantung. Yogyakarta: Gosyen

Publishing.

Kramer-Kille, M. L., Osuji. J. C., Larsen, P. D., & Lubkin, I. M. (2013). Chronic illness in

Canada impact and intervention. Canada: Kevin Sulliwan.

Mardjana. (2009). I love jantung sehat. Yogyakarta: IN AzNa Books

Nofiyanto, E., Sri, A., & Mulyatim, K. (2015). Perilaku komunikasi petugas berhubungan

dengan persepsi sehat-sakit pasien rawat inap. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(4).

355-358.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, W. (2017). Pengalaman keluarga dalam menghadapi anggota keluarga yang

mengalami henti jantung di rumah wilayah Kota Ternate. Jurnal LINK, 13(1). 61-71.
34

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2015). Pedoman

tatalaksana sindrom koroner akut (edisi 3). Jakarta: Centra Communication

Rini, I. S., Ayuningtyas, D. W., & Ratnawati, R. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan

dengan persepsi gejala nyeri dada kardiak iskemik pada pasien infark miokard akut di

RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Ilmu Keperawatan, 5(1), 34-41.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). (2013). Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. (2009).

Kumpulan kuliah farmakologi, ED.2. Jakarta: EGC

Sembiring, S., & Sismudjito. (2015). Pengetahuan dan pemanfaatan metode pengobatan

tradisional pada masyarakat Desa Suku Nalu Kecamatan Baru Jahe. Jurnal Perspektif

Sosiologi, 3(1). 104-117

Ubaydillah, Rohama. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan healh seeking

behavior pasien acute coronary syndrome (ACS) di Rumah Sakit Umum Daerah

Arifin Achmad Provinsi Riau. Skripsi tidak dipublikasikan.

Alhamda, S. (2015). Buku ajar sosiologi kesehatan. Yogyakarta: Depublish.


Fitria, R. N., Suryono, & Riyanti, R. (2017). Analisa nilai laju endap darah pada
pasien sindrom koroner akut dan stabel angina di RSD dr. Soebandi Jember. e-
Jurnal Pustaka Kesehatan, 5(2), 297-301.
Lubkin, I. M., & Larsen, P.D. (2013). Chronic illness: Impact & Intervention.
Canada: DNLM.
Muhith, N. A. (2011). Buku ajar: metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
35

Overbaugh, K. J. (2009). Acute coronary syndrome. AJN. 109(5), 42-52.


P. A. N. R. P., Priyadi, N. P., Emmy, R. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior) pada
santri di Pondok Pesantren Al Bisyri Tinjomoyo Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 4 (5), 246-258).
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI). (2015). Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (Edisi 3). Jakarta: Centra Comunication.
Pratiwi, D. F. (2015). Hubungan antara illness perception dengan intensi
berolahraga rutin pada mahasiswa penderita asma di Kota Bandung. Skripsi
tidak dipublikasikan. http://repository.unpad.ac.id/20645/1/Hubungan-antara-
Illness-Perception-dengan-Intensi-Berolahraga-Rutin.pdf
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
(2009). Kumpulan kuliah farmakologi. Jakarta: EGC.
Wulandari, D., Dwita, P. (2015). Pengaruh illness perception, dukungan sosial, dan
health locus of control terhadap kepatuhan pada pasien gagal ginjal kronik.
Jurnal Universitas Paramadina, 12(1), 1253-1289.

Nasir, A., Muhith, A., Ideputri., M. E. (2011). Buku ajar: Metodologi penelitian
kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hidayat, A. A. A. (2011). Metode penelitian keperawatan teknik analisa data.
Jakarta: Salemba Medika
Riyanto, A. 2010. Aplikasi metodologi penelitian kesehatan. Bandung:Medical Book.
36

Anda mungkin juga menyukai