IKTERIK NEONATUS
IMAM GHOZALI
NIM. 1830022
STIKes KEPANJEN
TA 2018/2019
1
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan “Ikterik Neonatus” di Ruang Cut Nyak Dien Rumah Sakit
Umum Daerah Kanjuruhan yang Dilakukan Oleh :
NIM : 1830022
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Dasar, yang dilaksanaka pada tanggal 14 Januari – 19
Januari 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari : Selasa
Mengetahui,
(.............................................) (.............................................)
2
1. Latar Belakang Neonatus
3
2. Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru
lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang
terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai
tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau disebut dengan
hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2
3.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning
(ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi
Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering
terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses
eritrosit (sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari.
Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati
bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3
3. Epidemiologi
4
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128
kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24%
kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari
RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0%
dan bayi kurang bulan 22,8%.4
4. Metabolisme Bilirubin
5
dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh
mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1
6.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek
pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses
fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya
kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari)
dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada
hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan
menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak
melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi
kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal
dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila
produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga
kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan
5. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir,
karena:
a. Meningkatnya produksi bilirubin:
6
c. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
d. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat lengsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi, Toksoplasmosis, syphilis.
e. Gangguan eksresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
f. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
6. Faktor Resiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
1). Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
2). Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
3). Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI.
b. Faktor Perinatal
1). Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
2). Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
1). Prematuritas
2). Faktor genetic
3). Polisitemia
4). Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
5). Rendahnya asupan ASI
6). Hipoglikemia
7). Hipoalbuminemia
7. Manifestasi Klinis
7
g. Pembesaran lien dan hati
h. Gangguan neurologic
i. Feses seperti dempul
j. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
k. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
l. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
m. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3 -4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice
fisiologi.
8
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap
24 jam.
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah,
defisiensi G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
a. Berat lahir <2000 gram
b. Masa gestasi 36 minggu
c. Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
d. Infeksi
e. Trauma lahir pada kepala
f. Hipoglikemia, hiperkarbia
g. Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB)
atau >14 hari (pada NKB)
a. Ikterus Prahepatik
Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada
hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat
disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi seperti malaria,
sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan,
maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfusi dan eritroblastosis fetalis.
b. Ikterus Pascahepatik
9
bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel
hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di
eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin.
Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam
saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul
karena tidak mengandung sterkobilin.
c. Ikterus Hepatoseluler
9. Patofisiologi
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak.
10
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusa tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar otak apabila
bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah (BBLR), hipoksia dan
hipoglikemia.
10. Diagnosis
A. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon yaitu:7
11
g. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
h. Dehidrasi asidosis
i. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
4. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD
d. Pengaruh obat
e. Sindrom Crigler-Najjar
f. Sindrom Gilbert
5. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
a. Biasanya karena obstruksi
b. Hipotiroidisme
c. “Breast milk jaundice”
d. Infeksi
e. Neonatal hepatitis
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1). Test Coomb pada tali pusat BBL
Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-
positif, anti-A, anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi
( Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
2). Golongan darah bayi dan ibu: mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
3). Bilirubin total.
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup
bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.
12
4). Protein serum total.
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas
ikatan terutama pada bayi praterm.
5). Hitung darah lengkap
Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia,
penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
6). Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl
atau test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi
dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
7). Daya ikat karbon dioksida.
8). Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak
fisiologis.
13
hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis
hati, hepatoma.
12. Komplikasi
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin
>30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada
minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
c. retrocollis, demam.
d. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor),
gangguan pendengaran.
14
2.Penilaian berkala pendengaran
3.Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa
15
13. Pathway
Bilirubin indirek
meningkat
Hyperbilirubinemia
Otak
Dalam jaringan
ekstraselular (kulit, Kernikterus
konjungtiva,
mukosa)
Hypotermia
Ikterus Gangguan
integritas kulit
Hipoksia
Fototerapi
Hyperventilasi
Refleks menghisap
menurun
Ketidakefektifan
pola nafas
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan
16
14. Penatalaksanaan
A. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa
pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin
tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi
ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut: 4
17
efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin
yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira
2 hari sebelum melahirkan bayi.
2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau
konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin
yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20
mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar
dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu
untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
berikut :11
18
Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
C. Monitoring 12
19
2. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dexstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
Pencegahan Sekunder
1. Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
2. Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus diniali sat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak
kurang dari setiap 8-12 jam.
15. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hyperventilasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
denfan intake nutrisi inadekuat.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hyperbilirubinemia.
d. Hypotermia berhubungan dengan berat badan lahir rendah.
16. Intervensi
No Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Monitor rata–rata,
pola nafas tindakan keperawatan kedalaman, irama
berhubungan selama 1x24 jam dan usaha respirasi
dengan diharapkan pola nafas 2. Catat pergerakan
hyperventilasi adekuat. Dengan kriteria dada,amati
hasil : kesimetrisan,
a. Peningkatan ventilasi penggunaan otot
dan oksigenasi yang tambahan, retraksi
adekuat otot supraclavicular
b. Bebas dari tanda dan intercostal
tanda distress 3. Monitor pola nafas :
pernafasan bradipena, takipenia,
c. Suara nafas yang kussmaul,
bersih, tidak ada hiperventilasi,
sianosis dan dyspneu cheyne stokes
(mampu 4. Auskultasi suara
mengeluarkan nafas, catat area
sputum, mampu penurunan / tidak
bernafas dengan adanya ventilasi dan
mudah, tidak ada suara tambahan
20
pursed lips) 5. Auskultasi bunyi
d. Tanda tanda vital nafas, catat adanya
dalam rentang normal crakles
6. Atur posisi
senyaman mungkin
7. Batasi untuk
beraktivitas
8. Kolaborasi
pemberian oksigen
2. Kerusakan Setelah dilakukan 1. Jaga kebersihan
integritas kulit tindakan keperawatan kulit agar tetap
berhubungan selama 2x24 jam bersih dan kering
dengan diharapkan tidak terjadi 2. Mobilisasi pasien
hyperbilirubinemia kerusakan integritas kulit 3. Monitor kulit akan
dengan kriteria hasil : adanhya kemerahan
a. Integritas kulit yang 4. Oleskan lotion /
baik bisa baby oil pada daerah
dipertahankan yang tertekan
b. Tidak ada luka/lesi 5. Monitor status
pada kulit nutrien pasien
c. Perfusi jaringan baik
d. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembapan kulit dan
perawatan alami
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Monitor reflek
nutrisi kurang dari tindakan keperawatan menghisap bayi
kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam, klien 2. Monitor albumin,
berhubungan mempertahankan total protein,
dengan respon masukan nutrisi yang hemogloin dan
menghisap adekuat hematocrit level
menurun. Dengan kriteria hasil : yang
a. Tidak terjadi mengindikasikan
penurunan BB status nutrisi dan
b. Masukan nutrisi untuk pencernaan
adekuat treatmen selanjutnya
c. Hasil lab normal 3. Monitor intake
(albumin, kalium) nutrisi bayi.
4. Monitor adanya
perubahan berat
badan
21
5. Catat adanya edema
22
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics 114:297-316.
Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
Hamid, H.A. 2010. “Ikterus Neonatorum”, dalam: Suraatmaja, S.,
Soetjiningsih (eds) Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II, Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.
Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2013. Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak, edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal.296-300, 61-63.
Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada
bayi Ny “D” dengan Ikterik grade IV. Padang: Poltekes Depkes.
Mansjoer, A dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI
Martin CR, Cloherty JP. 2014. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
Richard E., et al. 2013. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia:
WB Saunders Company.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010. ”Perinatologi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Sudigdo dkk. 2014. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: HTA
Indonesia.
WHO. 2007. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and
midwives. Departement of Reproductive Health and Research. Geneva:
World Health Organization.
23