Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

IKTERIK NEONATUS

Di Ruang Cut Nyak Dien

Rumah Sakit Umum Daerah Kanjuruhan

IMAM GHOZALI

NIM. 1830022

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN DAN NERS

STIKes KEPANJEN

TA 2018/2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan “Ikterik Neonatus” di Ruang Cut Nyak Dien Rumah Sakit
Umum Daerah Kanjuruhan yang Dilakukan Oleh :

Nama : Imam Ghozali

NIM : 1830022

Prodi : Profesi Ners

Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners
Departemen Keperawatan Dasar, yang dilaksanaka pada tanggal 14 Januari – 19
Januari 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 15 Januari 2019

Malang, 15 Januari 2019

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

(.............................................) (.............................................)

2
1. Latar Belakang Neonatus

Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini


merupakan masa transisi dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim
ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami sampai dari organ fisik
maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi
maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena
hal tersebut. Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan
pengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah satunya
adalah terjadinya ikterus atau yang lebih dikenal dengan bayi kuning. Ikterus
neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan bilirubin
dalam jaringan tubuh sehingga kulit,mukosa,dan sklera berubah warna
menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi baru lahir terutama pada
bayi prematur dan BBLR. Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi
sebagai pemecah bilirubin belum terbentuk sempurna atau belum berfungsi
sempurna layaknya bayi cukup bulan. 1
2.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60%
bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan
32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24
jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari
1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan
yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan
tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat
buruk ikterus dapat dihindarkan.

3
2. Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru
lahir. Ikterus adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang
terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai
tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau disebut dengan
hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2
3.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning
(ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi
Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering
terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses
eritrosit (sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari.
Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati
bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3

3. Epidemiologi

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah


sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85%
bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8%
memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL.5 Pemeriksaan dilakukan pada hari
0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus
dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan.

4
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128
kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24%
kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari
RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0%
dan bayi kurang bulan 22,8%.4

4. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus


dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau
bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,
karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di
dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada
dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z
dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati,
tempat terjadinya proses konjugasi.1
5.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang
kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut
dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian
besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke
dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar

5
dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh
mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1
6.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek
pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses
fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya
kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari)
dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada
hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan
menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak
melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi
kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal
dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila
produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga
kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan sel tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan

mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 5,6

5. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir,
karena:
a. Meningkatnya produksi bilirubin:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih


banyak dan berumur lebih pendek.

b. Penurunan ekskresi bilirubin


Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim
glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat)
sehingga terjadi penurunan uptake dalam hati dan penurunan konjugasi
oleh hati.
Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatikus meningkat karena
masih berfungsinya enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

6
c. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
d. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
atau toksin yang dapat lengsung merusak sel hati dan darah merah seperti
infeksi, Toksoplasmosis, syphilis.
e. Gangguan eksresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
f. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
6. Faktor Resiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
1). Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
2). Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
3). Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI.
b. Faktor Perinatal
1). Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
2). Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
1). Prematuritas
2). Faktor genetic
3). Polisitemia
4). Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
5). Rendahnya asupan ASI
6). Hipoglikemia
7). Hipoalbuminemia
7. Manifestasi Klinis

a. Kulit berwarna kuning sampai jingga


b. Pasien tampak lemah
c. Nafsu makan berkurang
d. Reflek hisap kurang
e. Urine pekat
f. Perut buncit

7
g. Pembesaran lien dan hati
h. Gangguan neurologic
i. Feses seperti dempul
j. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
k. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
l. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
m. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada
hari ke 3 -4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice
fisiologi.

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin

1 Kepala dan leher 5 mg %

2 Daerah 1 + badan bagian atas 9 mg %

3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg %

4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg%

5 Daeraha 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %

Tabel 2.1 Rumus Kramer


8. Klasifikasi
Ada 2 macam ikterus neonatorum:

A. Ikterus Fisiologis 4,5,6

1. Ikterus yang timbul pada hari ke 2-3


2. Tidak mempunyai dasar patologis
3. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak
mempunyai potensi menjadi ikterus.
4. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi.
5. Ikterus tampak jelas pada hari ke 5 dan 6 dan menghilang pada hari ke
10.
B. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah: 4,5,6

1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

8
2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap
24 jam.
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah,
defisiensi G6PD, atau sepsis)
4. Ikterus yang disertai oleh:
a. Berat lahir <2000 gram
b. Masa gestasi 36 minggu
c. Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
d. Infeksi
e. Trauma lahir pada kepala
f. Hipoglikemia, hiperkarbia
g. Hiperosmolaritas darah
5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB)
atau >14 hari (pada NKB)

Ikterus di katakan patologik jika pigmennya, konsentrasinya dalam


serum, waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria
yang telah disebut pada Ikterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih
dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern
Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik. Ikterus patologik
dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: 8

a. Ikterus Prahepatik
Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada
hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat
disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi seperti malaria,
sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan,
maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi
transfusi dan eritroblastosis fetalis.

b. Ikterus Pascahepatik

Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan


peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya

9
bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel
hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di
eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin.
Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam
saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul
karena tidak mengandung sterkobilin.

c. Ikterus Hepatoseluler

Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu


sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan
bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan
regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian
kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati
terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.

9. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa


keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.

Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan


peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak.

10
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusa tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar
bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar otak apabila
bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah (BBLR), hipoksia dan
hipoglikemia.

10. Diagnosis
A. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan


membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan
suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya.
Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah menggunakan saat

timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon yaitu:7

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama


2. Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
a. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.
b. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-
kadang bakteri).
c. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.
3. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
a. Biasanya ikterus fisiologis.
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau
golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar
bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
c. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.
d. Polisitemia
e. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis,
perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
f. Hipoksia

11
g. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.
h. Dehidrasi asidosis
i. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
4. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD
d. Pengaruh obat
e. Sindrom Crigler-Najjar
f. Sindrom Gilbert
5. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
a. Biasanya karena obstruksi
b. Hipotiroidisme
c. “Breast milk jaundice”
d. Infeksi
e. Neonatal hepatitis
11. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1). Test Coomb pada tali pusat BBL
Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-
positif, anti-A, anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi
( Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
2). Golongan darah bayi dan ibu: mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
3). Bilirubin total.
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.
Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup
bulan atau 1,5 mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.

12
4). Protein serum total.
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas
ikatan terutama pada bayi praterm.
5). Hitung darah lengkap
Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia,
penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
6). Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl
atau test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi
dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
7). Daya ikat karbon dioksida.
8). Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak
fisiologis.

Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12


mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari
14mg/dl tidak fisiologis
9). Smear darah perifer.
10). Test Betke-Kleihaver
b. Pemeriksaan Radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau
peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau
hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic
dengan ekstra hepatic.
d. Biopsy Hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra

13
hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis
hati, hepatoma.
12. Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau


ensefalopati bilirubin adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi
bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di
basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat
multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek,
pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan
melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera.
Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar
darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.

Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin
>30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada
minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.

Gambaran klinis kern icterus antara lain:1

1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus,
c. retrocollis, demam.
d. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis,
ballismus, tremor),
gangguan pendengaran.

Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia


perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: 1

1.Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

14
2.Penilaian berkala pendengaran
3.Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

15
13. Pathway

Penyakit hemolitik Obat-obatan fungsi Jaundice ASI


hepar

Hemolisis Konjugasi bilirubin


Defisiensi albumin
indirek menjadi
direk rendah
Pembentukan
bilirubin bertambah Jumlah bilirubin
yang akan diangkut
kehati berkurang

Bilirubin indirek
meningkat

Hyperbilirubinemia

Otak

Dalam jaringan
ekstraselular (kulit, Kernikterus
konjungtiva,
mukosa)
Hypotermia

Ikterus Gangguan
integritas kulit

Hipoksia
Fototerapi

Hyperventilasi
Refleks menghisap
menurun
Ketidakefektifan
pola nafas
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

16
14. Penatalaksanaan
A. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa
pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin
tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi

ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut: 4

1. Minum asi dini dan sering


2. Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
3. Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang
dan control lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
4. Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat
digunakan sebagai faktor.
Prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada
minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di
Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO): 9

1. Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.


2. Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5
kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
3. Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin,
tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
a. Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi
sinar, hentikan terapi sinar. o Bila kadar bilirubin serum berada pada
atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
b. Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan
penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di
keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
B. Mengatasi hiperbilirubinemia

1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian


fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga
konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu

17
efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin
yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira
2 hari sebelum melahirkan bayi.
2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau
konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin
yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20
mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar
dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin
dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu
untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun


fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak
dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi
terapi sinar adalah:11
a. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar
bilirubin >10 mg/dL.
b. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam,
bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
4. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai

berikut :11

a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL


b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1 mg/dL

5. Terapi suportif, antara lain : 12

a. Minum ASI atau pemberian ASI peras.


b. Infus cairan dengan dosis rumatan.

18
Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

Serum <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500


(mg/dL)

<5 Tidak perlu terapi-observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar Terapi sinar


bila hemolisis

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

Tabel 2.1 Penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar


bilirubin.

C. Monitoring 12

Monitoring yang dilakukan antara lain:


1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna
kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar
bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam
setelah dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum
dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang
membutuhkan perawatan di RS.
D. Strategi Pencegahan 4
Pencegahan Primer
1. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12
kali/hari untuk beberapa hari pertama.

19
2. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dexstrose atau air
pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
Pencegahan Sekunder
1. Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
2. Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus diniali sat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak
kurang dari setiap 8-12 jam.
15. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hyperventilasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
denfan intake nutrisi inadekuat.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hyperbilirubinemia.
d. Hypotermia berhubungan dengan berat badan lahir rendah.
16. Intervensi
No Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Monitor rata–rata,
pola nafas tindakan keperawatan kedalaman, irama
berhubungan selama 1x24 jam dan usaha respirasi
dengan diharapkan pola nafas 2. Catat pergerakan
hyperventilasi adekuat. Dengan kriteria dada,amati
hasil : kesimetrisan,
a. Peningkatan ventilasi penggunaan otot
dan oksigenasi yang tambahan, retraksi
adekuat otot supraclavicular
b. Bebas dari tanda dan intercostal
tanda distress 3. Monitor pola nafas :
pernafasan bradipena, takipenia,
c. Suara nafas yang kussmaul,
bersih, tidak ada hiperventilasi,
sianosis dan dyspneu cheyne stokes
(mampu 4. Auskultasi suara
mengeluarkan nafas, catat area
sputum, mampu penurunan / tidak
bernafas dengan adanya ventilasi dan
mudah, tidak ada suara tambahan

20
pursed lips) 5. Auskultasi bunyi
d. Tanda tanda vital nafas, catat adanya
dalam rentang normal crakles
6. Atur posisi
senyaman mungkin
7. Batasi untuk
beraktivitas
8. Kolaborasi
pemberian oksigen
2. Kerusakan Setelah dilakukan 1. Jaga kebersihan
integritas kulit tindakan keperawatan kulit agar tetap
berhubungan selama 2x24 jam bersih dan kering
dengan diharapkan tidak terjadi 2. Mobilisasi pasien
hyperbilirubinemia kerusakan integritas kulit 3. Monitor kulit akan
dengan kriteria hasil : adanhya kemerahan
a. Integritas kulit yang 4. Oleskan lotion /
baik bisa baby oil pada daerah
dipertahankan yang tertekan
b. Tidak ada luka/lesi 5. Monitor status
pada kulit nutrien pasien
c. Perfusi jaringan baik
d. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembapan kulit dan
perawatan alami
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Monitor reflek
nutrisi kurang dari tindakan keperawatan menghisap bayi
kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam, klien 2. Monitor albumin,
berhubungan mempertahankan total protein,
dengan respon masukan nutrisi yang hemogloin dan
menghisap adekuat hematocrit level
menurun. Dengan kriteria hasil : yang
a. Tidak terjadi mengindikasikan
penurunan BB status nutrisi dan
b. Masukan nutrisi untuk pencernaan
adekuat treatmen selanjutnya
c. Hasil lab normal 3. Monitor intake
(albumin, kalium) nutrisi bayi.
4. Monitor adanya
perubahan berat
badan

21
5. Catat adanya edema

22
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics 114:297-316.
Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
Hamid, H.A. 2010. “Ikterus Neonatorum”, dalam: Suraatmaja, S.,
Soetjiningsih (eds) Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II, Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.
Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2013. Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak, edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal.296-300, 61-63.
Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada
bayi Ny “D” dengan Ikterik grade IV. Padang: Poltekes Depkes.
Mansjoer, A dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI
Martin CR, Cloherty JP. 2014. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.
Richard E., et al. 2013. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia:
WB Saunders Company.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2010. ”Perinatologi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Sudigdo dkk. 2014. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: HTA
Indonesia.
WHO. 2007. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and
midwives. Departement of Reproductive Health and Research. Geneva:
World Health Organization.

23

Anda mungkin juga menyukai