Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

“Akut Mieloid Leukemia”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Anak di Ruang 7B

RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

Alifia Rahma Hidayatullah

180070300111066

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
LAPORAN PENDAHULUAN
AKUT MIELOID LEUKEMIA (AML)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Leukemia mieloid akut atau acute myeloid leukaemia (AML) merupakan
keganasan pada sumsum tulang yang berkembang secara cepat pada jalur
perkembangan sel myeloid (Safitri, 2005).
Acute Myeloid Leukemia merupakan suatu bentuk kelainan sel hematopoetik
yang dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi berlebihan dari sel myeloid yang
dikenal dengan myeloblas (Rogers, 2010).
Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga
dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic
Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara
malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan penekanan dan
penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal. Pada kebanyakan
kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut
myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel
darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit
(yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi
ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang.
Anatomi Fisiologi Leukosit
Pertahanan tubuh melawan infeksi merupakan peran dari leukosit. Jumlah normal
sel darah putih adalah 4000-10000/mm3 . Lima jenis sel darah putih yang telah
diidentifikasi dalam darah perifer adalah neutrofil, eosonofil, basofil, monosit dan
limfosit. Ketiga jenis pertama adalah granulosit artinya terdapat granula di
sitoplasmanya. Sedangkan yang lainnya adalah agranulosit. Jenis leukosit yang
merupakan sistem pertahanan tubuh yang primer melawan infeksi bakteri yaitu
neutrofil yakni dengan fagositosis. Eosinofil mempunyai fungsi fagosit lemah yang
tidak dipahami secara jelas. Basofil membawa heparin, faktor-faktor pengaktifan
histamin dan trombosit dalam granula – granulanya. Kadar basofil meningkat pada
gangguan mieloproliferatif. Monosit memiliki fungsi fagosit, membuang selsel
cidera dan mati, fragmen-fragmen sel, dan mikroorganisme. Sedangkan limfosit
dibagi menjadi dua jenis yang berfungsi berbeda yakni limfosit T (bergantung
timus, dibentuk di sana, berumur panjang) bertanggung jawab atas respon
kekebalan selular melalui pembentukan sel yang reaktif antigen, sedangkan
limfosit B jika dirangsang dengan semestinya akan berdiferensiasi menjadi sel-sel
plasma yang menghasilkan immunoglobulin, sel-sel ini bertanggung jawab atas
respon kekebalan humoral

Proses Maturasi Komponen Darah


 Eritropoiesis
Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) merupakan suatu mekanisme umpan
balik. Ia dihambat oleh peningkatan kadar eritrosir bersirkulasi dan
dirangsang oleh anemia. Ia juga dirangsang oleh hipoksia dan peningkan
aklimatisasi ke tempat tinggi. Eritropoiesis dikendalikan oleh suatu hormon
glikoprotein bersirkulasi yang dinamai eritropoietin yang terutama
disekresikan oleh ginjal. Sel ini sedikit lebih besar daripada eritrosit matur,
berada selama 1-2 hari dalam sumsum tulang dan juga beredar di darah tepi
selama 1-2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa, saat
RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda seluruhnya,
adlah cakram bikonkaf tak berinti. Satu pronormoblas biasanya
menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah merah berinti (normoblas)
tampak dalam darah apabila eritropoiesis terjadi diluar sumsum tulang
(eritropoiesis ekstramedular) dan juga terdapat pada beberapa penyakit
sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan dalam darah tepi manusia yang
normal.

 Leukopoiesis
Seperti eritropoiesis, leukopoiesis, atau produksi sel darah putih, dirangsang
oleh pesan kimia. Pesan kimia tersebut, yang dapat bertindak baik sebagai
paracrines atau hormon, adalah glikoprotein yang masuk dalam dua faktor
hematopoietik, interleukin dan colony-stimulating factor, atau CSF.
Interleukin (misalnya, IL-3, IL-5), dan kebanyakan CSF diberi nama untuk
leukosit yang dirangsang produksinya, misalnya, granulosit-CSF (G-CSF)
merangsang granulosit. Monosit yang berasal dari sel induk myeloid, dan
berbagi prekursor umum dengan neutrofil yang tidak dibagi dengan
granulosit lainnya. Sel mengikuti garis monosit membentuk monoblast dan
promonocyte tahap sebelum meninggalkan sumsum tulang dan menjadi
monosit, yang beberapa diantaranya berkembang menjadi makrofag.
Limfosit berasal dari sel induk limfoid, melalui tahap lymphoblast dan
prolymphocyte. Prolymphocytes meninggalkan sumsum tulang dan menuju
ke jaringan limfoid, di mana diferensiasi lebih lanjut terjadi. Monosit dapat
hidup selama beberapa bulan, sedangkan masa hidup limfosit bervariasi dari
beberapa jam hingga beberapa dekade. Bagan pembentukan sel limfosit
ditunjukkan dibawah ini
 Trombopoietin
Pembentukan trombosit diatur oleh hormon yang disebut dengan
thrombopoietin yang diproduksi oleh hati. Peristiwa pembentukan trombosit
disebut dengan megakariopoiesis karena dihasilkan dari sumsum tulang
belakang dengan fragmentasi sitoplasma megakariost. Prekusor awal
megakariosit disebut dengan megakarioblast. Trombosit dibentuk oleh
pembentukan membran membran batas (demarkasi) di dalam sitoplasma,
dan masing masing trombosit dikeluarkan melalui sel endotel sinusoid
sumsum tulang belakang ke dalam sinus vena. Hemacytoblast yang
menimbulkan sel sel mengalami pembelahan mitosis tanpa disetai oleh
pembelahan sitoplasma untuk menghasilkan megakaryosit. Sitoplasma dari
megakariyosit menjadi berkompartemen oleh membran, dan membran
plasma terpecah sehingga platelet akan terbebas.
 k

2. Epidemiologi
Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini
berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua
kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML
merupakan 20% kasus leukemia pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML
setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada anak berjumlah kira-kira 15% dari
leukimia, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat
sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000
penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun
menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur,
puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus
leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan
sekitar 38% menderita jenis AML.
Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita
AML subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3
tahun, terutama dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi
adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih
dari 70% anak yang baru didiagnosis AML. Keabnormalan itu terletak pada t
(8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi 8.

3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari AML tidak diketahui. Namun terdapat
beberapa faktor prediposisi dari AML pada populasi tertentu (Jabbour, Estey, and
Kantarjian, 2006).
a. Obat-obatan seperti chloramphenicol, phenylbutazone, chloroquine dan
methoxypsoralen dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sumsum tulang
yang kemudian beresiko terhadap terjadinya AML.
b. Senyawa kimia seperti yang terkandung pada rokok, pestisida, herbisida, dan
benzene diketahui berpotensi merangsang perkembangan AML.
c. Radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan AML, seperti pada orang-orang
yang selamat dari bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek
leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah
pengeboman.
d. Penyakit yang berhubungan dengan gangguan kromosom, seperti pada sindrom
Down (trisomi kromosom 21), sindrom Bloom, anemia Fanconi dan klinefelter,
diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita AML.
e. Terapi radiasi dengan menggunakan golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor diketahui dapat meningkatkan resiko terjadinya
AML. Golongan alkylating agent seperti cychlophospamide, melphalan, dan
nitrogen mustard sering dihubungkan dengan kejadian abnormalitas pada
kromosom 5 dan/atau 7. Terpapar golongan topoisomerase II inhibitor seperti
etoposide dan teniposide sering menyebabkan abnormalitas pada kromosom 11
dan/atau 27.

4. Patofisiologi
Patogenesis utama AML adalah adanya gangguan pematangan yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast)
dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam
sumsum tulang akan menyebabkan terjadinya gangguan hematopoesis normal yang
akhirnya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow
failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopeni,
trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada
kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan
menyebabkan tanda-tanda perdarahan, serta adanya leukopenia akan menyebabkan
pasien rentan terhadap infeksi. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga dapat
bermigrasi keluar sumsum tulang atau berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit,
tulang, jaringan lunak dan sistem saraf pusat dan merusak organ-organ tersebut.
Pada hematopoiesis normal, myeloblast merupakan sel myeloid yang belum
matang yang normal dan secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah putih
dewasa. Namun, pada AML myeloblast mengalami perubahan genetik atau mutasi
sel yang mencegah adanya diferensiasi sel dan mempertahankan keadaan sel yang
imatur, selain itu mutasi sel juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan tidak
terkendali sehingga terjadi peningkatan jumlah sel blast (Sutoyo dan Setiyohadi,
2006).

5. Klasifikasi
French-American-British (FAB) sejak tahun 1976 telah mengklasifikasikan
AML menjadi 8 subtipe, berdasarkan pada hasil pemeriksaan morfologi sel dan
pengecatan sitokimia (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006; Wakui, et al, 2008).
Klasifikasi FAB (Wakui, 2008:164):
No Subtipe Penjelasan
1 M0 AML berdiferensiasi minimal
2 M1 AML tanpa maturasi
3 M2 AML dengan berbagai derajat maturasi
4 M3 Leukemia promielositik hipergranular
5 M4 Leukemia mielomonositik
6 M5 Leukemia monoblastik
7 M6 Eritroleukemia
8 M7 Leukemia megakarioblastik

6. Manifestasi Klinis
Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat
dibedakan menjadi 3 tipe (Safitri, 2005), yaitu:
a. Gejala kegagalan sumsum tulang
Gejala kegagalan sumsum merupakan keluhan umum yang paling sering.
Leukemia menekan fungsi sumsum tulang sehingga menyebabkan kombinasi
dari anemia, leukopenia dan trombositopenia. Gejala yang khas adalah lelah dan
sesak nafas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leukopenia) dan perdarahan
(akibat trombositopenia atau terkadang akibat koagulasi intravaskuler
diseminata/DIC). Pada pemeriksaan fisik juga sering ditemukan kulit pucat,
memar dan perdarahan serta demam sebagai tanda infeksi. Perdarahan biasanya
terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di ekstremitas
bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina.
b. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang ditemukan dapat berupa malaise, penurunan berat
badan, berkeringat dan penurunan nafsu makan, serta kelainan metabolik seperti
hiperkalsemia (sangat jarang).
c. Gejala lokal
Gejala lokal yang terkadang ditemukan berupa tanda infiltrasi leukemia/sel
blast di kulit, gusi atau sistem saraf pusat. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit. Infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan. Infiltrasi
sel-sel blast ke dalam gusi akan menyebabkan pembekakan pada gusi. Selain itu
dapat terjadi hepatomegali dan splenomegali akibat infiltrasi sel-sel blast di hati
dan limpa. Meskipun jarang, pada AML juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel
blast ke daerah meningen.

7. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus AML, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala akibat
anemia seperti kelelahan dan takipnea, akibat trombositopenia seperti petekie dan
ekimosis (peradarahan dalam kulit), serta adanya tanda-tanda infeksi seperti
demam, menggigil dan takikardi akibat menurunnya leukosit (leukopenia). Selain
itu adanya infiltrasi sel blast terutama pada jaringan tulang dapat menyebabkan
terjadinya nyeri tulang (Price and Wilson, 2005; Safitri, 2005).

8. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada penyakit
leukemia akut (Safitri, 2005), meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap, bertujuan untuk mengetahui perubahan pada jumlah
dari masing-masing komponen darah yang ada. Dari pemeriksaan ini akan
didapatkan gambaran adanya anemia, trombositopenia, leukopenia, leukositosis
ataupun kadar leukosit yang normal.
b. Biopsi sumsum tulang, dilakukan ketika ditemukan adanya kelainan pada hasil
pemeriksaan darah lengkap, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
peningkatan pada jumlah sel blast.
c. Lumbal pungsi, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya penyebaran penyakit
ke cairan serebrospinal (sistem saraf pusat).
d. Pemeriksaan radiologi, seperti Ultrasound, X-ray, CT scan, dan MRI, bertujuan
untuk membantu penegakan diagnosis dan mengetahui ada tidaknya infiltrasi ke
organ lain.
e. Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan
darah tepi dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan
immnunophenotype, karyotype, atau dengan Polymerase Chain Reaction
(PCR). Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow Aspiration)
merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan
menentukan jenis leukemia akut. Pemeriksaan immunophenotypic sangat
penting untuk mendiagnosis acute megakaryoblastic leukemia (AMLK),
leukemia myeloid dengan diferensiasi minimal dan leukemia myeloid/limpoid
(mixed, biphenotype).

9. Kriteria Diagnosis
Diagnosis AML dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan morfologi
sel dan pengecatan sitokimia (Sutoyo dan Setiyohadi, 2006). Ketika ditemukan
≥30% sel blast pada aspirasi sumsum tulang belakang (berdasarkan pada kriteria
French-American-British (FAB) Cooperative Group) atau minimal 20%
(berdasarkan kriteria WHO), maka dapat ditegakkan leukemia akut (Jabbour,
Estey, and Kantarjian, 2006). Kemudian akan dilakukan pemeriksaan pengecatan
sitokimia dengan menggunakan Suddan Black B atau myeloperoxidase untuk
mengetahui jenis leukemia yang terjadi. Jika hasil pengecatan sitokimia positif
maka dapat ditegakkan diagnosis AML.

10. Penatalaksanaan
Terapi standar untuk AML dibagi menjadi 2 yaitu induksi remisi dan terapi
postremisi.
a. Terapi induksi remisi
Remisi dicapai ketika dalam sumsum tulang ataupun darah tepi ditemukan
kurang dari 5% sel blast (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999). Terapi
induksi remisi menggunakan kombinasi dari anthracycline (seperti idarubicin,
daunorubicin) dan cytaribine. Golongan anthracycline biasanya diberikan 40-60
mg/m2 secara rutin selama 3 hari sedangkan cytaribine diberikan 100-200 mg/m2
secara rutin selama 7 hari (Lowenberg, Downing, and Burnett, 1999; Jabbour,
Estey, and Kantarjian, 2006). Penggunaan kombinasi golongan anthracycline
dan cytaribine secara rutin menghasilkan persentase CR (complete remission)
70-80% pada usia ≤60 tahun dan 50% pada usia lebih tua (Lowenberg,
Downing, and Burnett, 1999).
b. Terapi postremisi
Terapi postremisi bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
Terdapat 2 pilihan terapi postremisi, yaitu transplantasi sumsum tulang (autolog
atau alogenik) dan kemoterapi. Transplantasi yang bersifat autolog dilakukan
dengan cara mengambil sel sumsum tulang sebelum pasien mendapatkan terapi
induksi untuk kemudian diinfusikan kembali ke paSien, sedangkan transplantasi
yang bersifat alogenik dilakukan dengan mengambil sel sumsum tulang dari
donor yang memiliki kecocokan HLA atau dari saudara kandung (Safitri, 2005).
Selain terapi standar untuk mengatasi AML, terdapat beberapa penanganan
terhadap tanda gejala yang muncul atau tindakan resusitasi untuk memperbaiki
kondisi umum pasien (Safitri, 2005; Sutoyo dan Setiyohadi, 2006), yaitu dengan
pemberian antibiotic dosis tinggi untuk mengatasi infeksi, serta pemberian
transfusi darah dengan PCR (Packed red cell) atau darah lengkap untuk
mengatasi anemi dan transfusi konsetrat trombosit untuk mengatasi
trombositopenia yang terjadi.

11. Komplikasi
a. Gagal sumsum tulang
b. Infeksi
c. Splenomegali
d. Hepatomegali
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
1).Pucat 3) sesak
2).Kelemahan 4) nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1).Demam 2) Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1).Ptechiae 3) Purpura
2). Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati 2) Hepatomegali 3) Spenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis
g. Kaji adanya :
1).Hematuria 3) gagal ginjal 5) nyeri
2).Hipertensi 4) inflamasi sekitar rectal
II. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara lain:
 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
 Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
 Gangguan kematangan sel darah putih
 Peningkatan jumlah limfosit imatur
 Imunosupresi
 Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)

 Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan :


 Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan
 Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia
 Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :
 Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang diinvasi
dengan sel leukemia.
 Agen kimia ; pengobatan antileukemia.
III. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Resiko infeksi Infeksi 1. Tempatkan anak pada ruang khusus. Batasi
berhubungan tidak pengunjung sesuai indikasi
dengan : terjadi 2. Berikan protocol untuk mencuci tangan yang
• Tidak adekuatnya baik untuk semua staf petugas
pertahanan sekunder 3. Awasi suhu. Perhatikan hubungan antara
• Gangguan peningkatan suhu dan pengobatan chemoterapi.
kematangan sel 4. Dorong sering mengubah posisi, napas dalam,
darah putih batuk.
• Peningkatan 5. Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan
jumlah limfosit mulut secara periodic. Gunakan sikat gigi halus
imatur untuk perawatan mulut.
• Imunosupresi 6. Awasi pemeriksaan laboratorium : WBC, darah
• Penekanan lengkap
sumsum tulang 7. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya Antibiotik
(efek kemoterapi) 8. Hindari antipiretik yang mengandung aspirin
2 Defisit volume Volume 1. Awasi masukan dan pengeluaran. Hitung
cairan tubuh cairan pengeluaran tak kasat mata dan keseimbangan
berhubungan tubuh cairan. Perhatikan penurunan urine pada
dengan : adekuat, pemasukan adekuat. Ukur berat jenis urine dan pH
• Kehilangan ditandai Urine.
berlebihan, seperti: dengan 2. Timbang BB tiap hari.
muntah, perdarahan TTV dbn, 3. Awasi TD dan frekuensi jantung
• Penurunan stabil, 4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian kapiler dan
pemasukan cairan : nadi kondisi umum membran mukosa.
mual, anoreksia. teraba, 5. Implementasikan tindakan untuk mencegah cedera
haluaran jaringan / perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
urine, BJ dengan sikat yang halus.
dan PH 6. Berikan diet halus.
urine, dbn. 7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit atau factor
pembekuan
3 Nyeri akut rasa nyeri 1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan
berhubungan hilang/ber petunjuk nonverbal,rewel, cengeng, gelisah
dengan : kurang 2. Berikan lingkungan yang tenang dan
• Agen fiscal: kurangi rangsangan stress
pembesaran organ / 3. Tempatkan pada posisi nyaman dan sokong
nodus limfe, sendi, ekstremitas denganan bantal
sumsum tulang yang 4. Ubah posisi secara periodic dan berikan
diinvasi dengan sel latihan rentang gerak lembut.
leukemia. 5. Berikan tindakan ketidaknyamanan; mis :
• Agen kimia ; pijatan, kompres
pengobatan 6. Berikan obat sesuai indikasi.
antileukemia.
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, A. W., dan Setiyohadi, B. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed. 4.
Jakarta: FKUI.
Price and Wilson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Vol. 1, Ed.
6. Jakarta: EGC.
Handayani, W. dan Haribowo, A. S. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. (Online), diakses
pada tanggal 13 Agustus 2017,
Lowenberg, B., Downing, J. R., and Burnett, A. (1999). Acute Myeloid Leukemia. N Engl
J Med, (341):1051-1062. DOI: 10.1056/NEJM199909303411407.
McCloskey, J.C. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC), Fourth Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.
Nanda International. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2015-2017, Tenth
Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
Aquilino, M.L., et al. 2004. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourt Edition.
Missouri: Mosby Elsevier.
Jabbour, E. J., Estey, E., and Kantarjian, H. M. (2006). Adult Acute Myeloid Leukemia.
Mayo Clinic Proceedings, 81(2): 247-260. (Online), diakses pada tanggal 5 Juli
2015, melalui http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/984554411/...3D.
Wakui, et al. (2008). Diagnosis of acute myeloid leukemia according to the WHO
classification in the Japan Adult Leukemia Study Group AML-97 protocol. Int J
Hematol, 87:144–151. DOI 10.1007/s12185-008-0025-3. (Online), diakses pada
tanggal 13 Agustus 2017, melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/1896243621/...3D.
Rogers, B. B. (2010). Advances in the Management of Acute Myeloid Leukemia in Older
Adult Patients. Oncology Nursing Forum, 37(3): 168-179. (Online), diakses pada
tanggal 13 Agustus 2017, melalui
http://media.proquest.com/media/pq/classic/doc/2038231261/...3D.

Anda mungkin juga menyukai