Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) IMA STEMI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak pasien yang mangalami kematian
akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan kurang cepat serta cermat adalah salah satu penyebab
kematian.
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi laki-laki dan perempuan di USA. Diperkirakan lebih
dari 1 juta orang menderita infark miokard setiap tahunnya dan lebih dari 600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat mereka salah untuk pengambilan keputusan
penangan utama. Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk ditangani. Hal ini yang sering menyebabkan
kematian.
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark miokard akut
(IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi koroner setelah
iskemia.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 BagaimanaWeb of Cause dari STEMI.
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.
1.4 Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami dan membuat asuhan keperawatan pada
anak dengan gangguan system pernafasan dengan penyakit asma, serta mampu mengimplementasikannya dalam
proses keperawatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal
30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas
menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal,
meninggal dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

2.2 Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana
injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Gambar 2.3.1: Sindrom Koroner akut (Dikutip dari Antman)
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika
kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture
jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami
konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut
(integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang
dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi
mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Gambar 2.3.2 Pembentukan Trombus


2.4 Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya
berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah
nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya
serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.

1. Nyeri Dada

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA
atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang
berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam
pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:

1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.


2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan
diplintir.
3. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula,
perut, dan juga ke lengan kanan.
4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan
gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai
pada diabetes militus dan usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin.
Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat
pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis
lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split
paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat
sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat
dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG
adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan
ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun
keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai
STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD
merupakan senter dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen
ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal tidak
diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan
interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada
EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.
Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non STEMI. Pada
bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya
istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan
infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan
gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh
menghambat implementasi terapi repefusi.

1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan
otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

1. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali
normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
2. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.

2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

1. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
2. Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36
jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
3. Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari
dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis. URL
adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa
jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian
randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi
strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang
dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi
Intervensi).

1. Tatalaksana Awal
2. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal
(aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala.
Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain:

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.


2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan
perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.

Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit,
namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa
di tanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans yang sudah terlatih untuk
menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada
pemberian terapi. Di Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan
terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total
120 menit. Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:

1. JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi syarat tetapi, fibrinolisis
pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
2. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit
yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang
mempunyai indikasi fibrinolitik.
3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit
dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.

1. Tatalaksana di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang
tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

1. Tatalaksana Umum

 Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
 Nitrogliserin (NTG)

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard
dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT
intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga
harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada

Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

 Morfin

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada
STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20
mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV
dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mgIV.

 Aspirin

Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner
akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi
aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162
mg.

 Penyekat Beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif.
Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

 Terapi Reperfusi

Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang
maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk
memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit.

1. i. SELEKSI STRATEGI REPERFUSI

Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
1. Waktu onset gejala

Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas
obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada
lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu
terhadapa laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan
ACC/AHA merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.

1. Risiko STEMI

Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka
estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik.

1. Risiko Perdarahan

Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama
tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan
untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan mafaat
dan risiko.

1. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI

Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang
dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end
point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal
penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.
Langkah-langkah Penilaian dalam Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI:
Langkah 1: Nilai waktu dan risiko

1. Waktu sejak onset gejala


2. Risiko STEMI
3. Risiko fibrinolisis
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu

Langkah 2: Tentukan apakah firinolisis atau strategi invasif lebih disukai. Jika presentasi kurang dari 3 jam dan tidak
ada keterlambatan untuk strategi invasive, tidak ada preferensi untuk strategi lain.

Fibinolisis umumnya lebih disukai jika:

1. Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke strategi invasive.
2. Strategi invasive bukan merupakan pilihan.
3. Laboratorium kateterisasi belum tersedia
4. Kesulitan akses vascular.
5. Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
6. Terlambat untuk strategi invasive:

- Transport jauh
- (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jm
- Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90 menit.
Strategi invasive umumnya lebih disukai jika:
1. Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical contact to balloon atau door to
ballon time <90 menit. (Door to ballon)-(Door to needle) time <1 jam.
2. Risiko tinggi STEMI

- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sama dengan 3

1. Kontraindikasi fibrinolisis, termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan perdarahan intracranial.


2. Presentasi terlambat. Onset gejala > 3 jam yang lalu.
3. Diagnosis STEMI tidak yakin.
4. ii. PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer.
PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard
akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan
outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih
jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun
demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa Rumah Sakit.

1. iii. REPERFUSI FARMAKOLOGIS

Fibinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time
<30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA).
Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:

1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi
vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang
melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan
menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam
pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan pasien
yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas
lebih sedang, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat
nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada
sadapan EKG yang belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI
primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama
gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik.

1. iv. OBAT FIBRINOLITIK


2. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan
pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibody. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insiden perdarahan intracranial yang rendah, manfaat pertama diperlihatkanpada GISSI-1
trial.

1. Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)

GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA
dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intracranial sedikit lebih
tinggi.

1. Reteplase (Retevase)

INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebvanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan
dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.

1. Tenekteplase (TNKase)

Keuntungan mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor
(PAI-1). LAporan awal dari TIMI 10B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi
perdarahanyang sama dibandingkan tPA.
Indikasi Terapi Fibrinolitik:

1. Klas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.
2. Jika tidak ada kontaindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.
3. Klas II a
1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten dengan infark
miokard posterior.
2. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada
pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala
iskemik yang terus berlanjaut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2
sadapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan
ekstremitas.
3. Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST
>50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada
graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG dating dengan IMA, cara reperfusi yang lebih
disukai adalah percutaneous coronary intervention (PCI).

C. Tatalaksana di Rumah Sakit

1. ICCU
1. Aktivitas. Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama.
2. Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau
hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total
dan kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat
kalium, magnesium dan rendah natrium.
3. Bowels. Istirahat di tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering
mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di amping tempat tidur, diet tinggi
serat dan penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).
4. Sedasi. Pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas
dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3
atau 4 kali sehari biasanya efektif.
5. i. TERAPI FARMAKOLOGIS
6. Antitrombotik

Penggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratories
bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk
mementapkan dan memepertahankan potensi arteri kororner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah
menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat dilihat
pada Antiplatelets Trialists Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15
randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada
kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. PAda penelitian ISIS-2 pemberian
aspirin menurunkan mortalitas vascular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting. Hasilnya
menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada
kelompok abciximab dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated heparin. Pemberian UFHIV
segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK)
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang
direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3
enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter
di Rumah Sakit.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, thrombus mural
pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH
atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan.

1. Penyekat Beta

Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut
dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian
penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri,
mengurangi luasnnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor
ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri sangat
menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).

1. Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan
aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas.
Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek
terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan
tekanan darah sistolik >100 mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme remodeling ventrikel pasca infark
berulang juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa
batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien
hipertensif. Penelitian klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien
STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
2.7 Algoritma STEMI

Klien merasakan nyeri dada akibat iskemia


Lakukan penanganan :
1. Monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan defibrilasi
2. Beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika diperlukan
3. Jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada elevasi ST :

- segera hubungi rumah sakit terdekat


- mulai untuk memeriksa fibrilasi

1. Rujuk klien ke rumah sakit

Lakukan pemeriksaan ED (<10menit)

1. Periksa tanda-tanda vital. Evaluasi saturasi oksigen


2. Pasang IV line
3. Lakukan pemeriksaan EKG lead 12
4. Evaluasi
5. Lakukan pemeriksaan fibrilasi
6. Lakukan pemeriksaan elektrolit dan koagulasi
7. Lakukan foto thoraks

Lakukan perawatan ED :

1. Beri oksigen 4L/min, pertahankan saturasi >90%


2. Aspirin 160-325 mg (jika tidak diberikan oleh EMS)
3. Nitrogliserin subligual, spray, IV
4. Morfin IV jika nyeri tidak hilang dengan nitrogliserin

2.8 Komplikasi STEMI

1. Disfungsi Ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang
mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel
miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung
secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan
prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot ACE dan
vasodilator lain. PAda pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE
harus diberikan.

1. Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan
S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
c. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Penatalaksanaan: operasi.
2.8 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung
hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis
lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan
terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:

1. ASPIRIN®
2. clopidrogel
3. statin (cholesterol lowering) drugs
4. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot jantung)
5. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)

Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang khas, biasanya berhubungan
dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung
mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk
mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)

Skor Risiko/Mortalitas 30
Faktor Risiko (Bobot)
hari(%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)
Usia > 75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor risiko = total poin ( 0-14 ) >8 (35,9)

DOWNLOAD : WOC ASKEP IMA STEMI

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Data Demografi/ identitas

1. Nama : Tn. H
2. Umur : 53 Tahun
3. Alamat: Perak 73 Surabaya
4. Keluhan Utama

Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Tn. H datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri seperti rasa terbakar dan ditindih benda
berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi keluhan agak berkurang jika OS istirahat.
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik (-), dari pemeriksaan penunjang
EKG didapatkan ST elevasi : V1 – V5 , ST depresed : II, III, AVF, V6

1. Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu memiliki penyakit riwayat penyakit hipertensi.

1. Keadaan Umum
1. Suhu : 36,5ºC
2. Nadi : 88x/menit
3. Tekanan Darah: 120/80 mmHg
4. RR : 30x/menit
5. Breathing
Gejala : napas pendek

1. Pemeriksaan fisik :

Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.

1. Blood
Gejala : penyakit jantung congenital

Tanda : takikardia, disritmia, edema.

1. Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi

Tanda : Gelisah

1. Bowel

Normal

1. Bladder
Normal
2. Bone
Gejala: kelelahan, kelemahan.

Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas

1. Terapi

Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa O2 3 – 4 liter/menit, posisi ½ duduk, diit jantung I, infus D 5% Lini 16
tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet 2 x 80 mg (anti platelet), ranitidin 2 x 150 mg (antagonis
reseptor H2), Inj, ISDN diberikan secara sub lingual bila dada terasa nyeri (Vasodilator).

3.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS: Klien mengeluh nyeri Vaskularisasi terganggu Nyeri akut
pada bagian anterior, i
diperberat oleh inspirasi, Aliran darah ke arteri
gerakan menelan. koronari terganggu
DO: Gelisah, pucat i 3.3Diagno
Iskemia sa dan
i Intervensi
As Laktat
i 1. Ny
eri akut
Nyeri akut berhubunga
DS: Disritmia Kontraktilitas jantung Penurunan Cardiac Output n dengan
DO: riwayat penyakit menurun iskemia
jaringan
jantung konginetal i miokardium
Gagal jantung .
i
Penurunan CO Kriteria
hasil:
DS: Pasien mengeluh Rupture dalam pembuluh Perubahan perfusi jaringan Mengidentif
lemah karena hipoksia darah ikasi
DO: Pasien terlihat lemah i metode
dan pucat karena O2 Obstruksi pembuluh darah yang dapat
menghilang
jaringan menurun. i kan
Aliran darah ke jaringan nyeri,melap
terganggu orkan nyeri
i hilang atau
terkontrol.
Perubahan perfusi jaringan Intervensi :
DS: Klien mengeluh sesak, Perubahan perfusi jaringan Pola nafas tidak efektif
nafas pendek. O2 dalam darah menurun
DO: dispnea, inspirasi i
mengi, takipnea, Kongesti pulmonalis
pernapasan dangkal. i
Sesak nafas
i
Ketidakefektifan pola nafas
DS: Pasien mengeluh Perubahan perfusi jarigan Intoleransi aktivitas
lemah i
DO:Pasien terlihat lemah O2 dalam darah menurun
karena hipoksia i
Hipoksia
i
Kelemahan
i
Intoleransi aktivitas
Intervensi Rasional
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai indikasi:

1. Agen non steroid, mis: 1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan


indometasin(indocin);, ASA(aspirin) respon inflamasi.
2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen 2. Untuk menurunkan demam dan
(tylenol) meningkatkan kenyamanan.
3. Steroid 3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
4. Oksigen 3-4 liter/menit 4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen
untuk menurunkan beban kerja jantung
dan menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.

Mandiri

1. Selidiki keluhan nyeri dada, 1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada
memperhatikan awitan, faktor iskemia miokardium nyeri dapat
pemberat atau penurun memburuk dengan inspirasi dalam,
gerakan atau berbaring dan hilang dengan
duduk tegak atau membungkuk.
2. Memberikan lingkungan yang tenang dan
tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat, dan
menggosok punggung
1. Tindakan ini dapat meningkatkan
kenyamanan fisik dan emosional
pasien.

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi
otot jantung.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan
beban kerja jantung.
Intervensi :

Intervensi Rasional
Mandiri

1. Pantau irama dan frekuensi jantung 1. Takikardia dan disritmia dapat


terjadi saat jantung berupaya untuk
meningkatkan curahnya berespon
terhadap demam. Hipoksia, dan
asidosis karena iskemia.
1. Auskultasi bunyi jantung. 2. Memberikan deteksi dini dari
Perhatikan jarak / tonus jantung, terjadinya komplikasi misalnya
murmur, gallop S3 dan S4. GJK, tamponade jantung.
3. Menurunkan beban kerja jantung,
memaksimalkan curah jantung
4. Meningkatkan relaksasi dan
1. Dorong tirah baring dalam posisi mengarahkan kembali perhatian
semi fowler
2. Berikan tindakan kenyamanan
misalnya perubahan posisi dan
gosokan punggung, dan aktivitas 1. Perilaku ini dapat mengontrol
hiburan dalam toleransi jantung ansietas, meningkatkan relaksasi
3. Dorong penggunaan teknik dan menurunkan kerja jantung
menejemen stress misalnya latihan
pernapasan dan bimbingan imajinasi
4. Evaluasi keluhan lelah, dispnea,
palpitasi, nyeri dada kontinyu. 1. Manifestasi klinis dari GJK yang
Perhatikan adanya bunyi napas dapat menyertai endokarditis atau
adventisius, demam miokarditis

Kolaboratif

1. Berikan oksigen komplemen 1. Meningkatkan keseterdian oksigen


untuk fungsi miokard dan
menurunkan efek metabolism
anaerob,yang terjadi sebagai akibat
dari hipoksia dan asidosis.
2. Dapat diberikan untuk
meningkatkan kontraktilitas
1. Berikan obat – obatan sesuai dengan miokard dan menurunkan beban
indikasi misalnya digitalis, diuretik kerja jantung pada adanya GJK (
miocarditis)
3. Diberikan untuk mengatasi
pathogen yang teridentifikasi,
mencegah kerusakan jantung lebih
1. Antibiotic/ anti microbial IV lanjut.
4. prosedur dapat dilakuan di tempat
tidur untuk menurunkan tekanan
cairan di sekitar jantung.
5. Penggantian katup mungkin
1. Bantu dalam periokardiosintesis diperlukan untuk memperbaiki
darurat curah jantung

1. Siapkan pasien untuk pembedahan


bila diindikasikan

3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara individual misalnya mental
normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:

Intervensi Rasional
Mandiri
1. Indicator yang menunjukkan embolisasi
1. Evaluasi status mental. Perhatikikan sistemik pada otak.
terjadinya hemiparalisis, afasia,
kejang, muntah, peningkatan TD. 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba- dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
tiba yang disertai dengan takipnea, sebagai akibat dari penyakit katup, dan/
nyeri pleuritik, sianosis, pucat atau disritmia kronis
3. Dapat mencegah pembentukan atau
migrasi emboli pada pasien endokarditis.
Tirah baring lama, membawa resikonya
1. Tingkatkan tirah baring dengan sendiri tentang terjadinya fenomena
tepat tromboembolic.

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan


aliran balik vena karenanya menurunkan
resiko pembentukan thrombus.

1. Dorong latihan aktif/ bantu dengan


rentang gerak sesuai toleransi.

Kolaborasi Heparin dapat digunakan secara profilaksis


Berikan antikoagulan, contoh heparin, bila pasien memerlukan tirah baring lama,
warfarin (coumadin) mengalami sepsis atau GJK, dan/atau
sebelum/sesudah bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada
perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk terapi
setelah penggantian katup jangka panjang,
atau adanya thrombus perifer.

4.Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan


Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari hipoksia.
Intervensi:

Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan 1. Kecepatan dan upaya mungkin


kedalaman. Contoh adanya dispnea, meningkat karena nyeri, takut,
penggunaan otot bantu nafas, demam, penurunan volume
pelebaran nasal. sirkulasi, hipoksia atau diatensi
gaster.
2. Sianosis bibir, kuku, atau daun
telinga menunjukkan kondisi
hipoksia atau komplikasi paru
1. Lihat kulit dan membran mukosa 3. Merangsang fungsi
untuk adanya sianosis. pernafasan/ekspansi paru. Efektif
pada pencegahan dan perbaikan
kongesti paru.

1. Tinggikan kepala tempat tidur


letakkan pada posisi duduk tinggi
atau semifowler.

Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan kanul Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru
atau masker, sesuai indikasi untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada
adanya gangguan ventilasi

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang pembatasan terapeutik yang
diperlukan.
Intervensi:

Intervensi Rasional
Mandiri

1. Kaji respon pasien terhadap 1. Miokarditis menyebabkan


aktivitas. Perhatikan adanya dan inflamasi dan kemungkinan
perubahan dalam keluhan kerusakan sel-sel miokardial,
kelemahan, keletihan, dan dispnea sebagai akibat GJK. Penurunan
berkenaan dengan aktivitas pengisian dan curah jantung dapat
menyebabkan pengumpulan
cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya
endikarditis dapat terjadi dengan
disfungsi katup, secara negatif
mempengaruhi curah jantung
2. Membantu derajad dekompensasi
jantung and pulmonal penurunan
1. Pantau frekuensi dan irama TD, takikardia, disritmia, takipnea
jantung, tekanan darah, dan adalah indikasi intoleransi jantung
frekuensi pernapasan sebelum dan terhadap aktivitas.
sesudah aktivitas dan selam di 3. Demam meningkatkan kebutuhan
perluka dan konsumsi oksigen, karenanya
2. Mempertahankan tirah baring meningkatkan beban kerja
selama periode demam dan sesuai jantung, dan menurunkan
indikasi. toleransi aktivitas
4. Pada saat terjadi inflamasi klien
mungkin dapat melakukan
aktivitas yang diinginkan, kecuali
1. Membantu klien dalam latihan kerusakan miokard permanen.
progresif bertahap sesegera 5. Ansietas akan terjadi karena
mungkin untuk turun dari tempat proses inflamasi dan nyeri yang di
tidur, mencatat respon tanda vital timbulkan. Dikungan diperlukan
dan toleransi pasien pada untuk mengatasi frustasi terhadap
peningkatan aktivitas hospitalisasi.
2. Evaluasi respon emosional

Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen Peningkatan ketersediaan oksigen
mengimbangi peningkatan konsumsi
oksigen yang terjadi dengan aktivitas.

1. Kurang pengetahuan kondisi penyakit

Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan kemungkinan
komplikasi.
Intervensi

Intervensi Rasional
Mandiri

1. Jelaskan efek inflamasi pada 1. Untuk bertanggung jawab


jantung, ajarkan untuk terhadap kesehatan sendiri, pasien
memperhatikan gejala sehubungan perlu memahami penyebab
dengan komplikasi/berulangnya khusus, pengobatan, dan efek
dan gejala yang dilaporkan dengan jangka panjang yang diharapkan
segera pada pemberi perawatan dari kondisi inflamasi, sesuai
misalny demam, nyeri, dengan tanda/gejala yang
peningkatan berat badan, menunjukkan
peningkatan toleransi terhadap kekambuhan/komplikasi
aktifitas.
2. Anjurkan pasien/orang terdekat
tentang dosis, tujuan dan efek
samping obat: kebutuhan 1. Untuk bertanggung jawab
diet/pertimbangan khusus: terhadap kesehatan sendiri, pasien
aktivitas yang diizinkan/dibatasi perlu memahami penyebab
khusus, pengobatan, dan efek
jangka panjang yang diharapkan
dari kondisi inflamasi, sesuai
dengan tanda/gejala yang
menunjukkan
1. Kaji ulang perlunya antibiotic kekambuhan/komplikasi
jangka panjang/terapi 2. Perawatan di rumah sakit
lama/pemberian antibiotic
antimikrobial IV/antimicrobial perlu sampai
kultur darah negative/hasil darah
lain menunjukkan tak ada infeksi.
3. Pemahaman alasan untuk
pengawasan medis dan rencana
untuk/penerimaan tanggung jawab
1. Tekankan pentingnya evaluasi
perawatan medis teratur. Anjurkan
pasien membuat perjanjian.

3.4 Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan
dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi
yang diharapkan pada pasien dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :

1. Nyeri hilang atau terkontrol


2. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
3. Suplai oksigen adekuat.
4. Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
5. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai