Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Tn. S

Umur : 78 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan :-

Alamat : Kemiling – Bandar Lampung

MR : 11.72.47

II. ANAMNESIS

Dilakukan pada tanggal 16 November 2018, didapat secara autoanamnesis.

Keluhan Utama : Pandangan kabur pada mata kiri

Keluhan tambahan :Pasien juga mengeluh mata merah, merasa

silau ketika melihat cahaya, serta air mata

yang mengalir terus- menerus

Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada riwayat hipertensi dan diabetes

melitus

Riwayat penyakit keluarga :-

Riwayat pengobatan : sebelumya berobat ke puskesmas

1
III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

B. Status Oftalmologi

OD OS
6/60 Visus 1/300
Orthoforia Kedudukan bulbus Orthoforia
oculli
Trichiasis (-) Madarosis Silia Trichiasis (-) Madarosis (-)
(-)
Hiperemis (-) nyeri tekan Palprbra superior Hiperemis (-) nyeri tekan
(-) (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) nyeri tekan Palpebra inferior Hiperemis (-) nyeri tekan
(-) (-)
Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Papil (-) Konjungtiva palpebra Hiperemis (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Hiperemis (-) Papil (-) Konjungtiva fornices Hiperemis (-) Papil (-)
Folikel (-) Folikel (-)
Injeksi konjungtiva (-) Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-)
Injeksi (-) Sklera Injeksi (-)
infiltrate (-) Kornea infiltrate (+)

2
Sedang, pus (-) darah (-) Kamera okuli anterior Sedang, pus (-) darah (-)
Arcus sinilis Iris Arcus sinilis
reflek cahaya (+) Pupil reflek cahaya (+)
Keruh Lensa Keruh
Normal Reatina Normal

I. RESUME

Pasien datang ke poli klinik mata RSPBA dengan keluhan mata kabur
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh mata merah, merasa
silau ketika melihat cahaya, serta air mata yang mengalir terus-
menerus. Dari hasil pemeriksaan oftalmologi didapatkan visus VOD
6/20 ( koreksi tidak maju) dan VOS 1/300.
II. PEMERIKSAAN ANJURAN

Pewarnaan gram

III. DIAGNOSIS BANDING

Keratitis bakteri os

Distrofi kornea

Uveitis

3
IV. DIAGNOSIS KERJA

Keratitis bakteri os

V. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa
- Citrol 3x1 tetes
- Cendo lyter 3x1 tetes
- Doksisiklin 2x1

VI. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam.

4
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kornea

2.1.1. Anatomi

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran

11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.

Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari

total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea

bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi

melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari

sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas

ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan

dengan konjungtiva. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter

horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.

5
2.1.2. Histologi

Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu

lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.

Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan

tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans

anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia).

Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella

tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang.

Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel

posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan

membran basal epitel korne dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur

sekali.

2.1.3. Perdarahan dan Persarafan

Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor

aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama

(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini

memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh.

2.1.4. Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas

cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang

uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif

jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan

oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh

6
lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel

berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel

endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,

kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat

yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari

lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air

mata tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari

stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.

Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak

dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.

Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.

Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme

kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular

dan membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam

organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea

adalah:

1. Dry eye

Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami

defisiensi sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan,

baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti

dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis

7
merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi

mikroba pada mata.

2. Defisiensi vitamin A

Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat

menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang

warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan

pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya.

Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali

bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa

ini merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis.

Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan keratomalasia dan

tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan

vaskularisasi ke dalamnya.

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea

Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah

mikrokornea dan megalokornea.

Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui

penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan

kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan

dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optic

cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk

berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal

8
dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun

transmisi dominan lebih sering ditemukan.

Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior

bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic

cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan

ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi.

4. Distrofi kornea

Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur

kornea, bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui.

Proses dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau

berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun.

Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat

disertai dengan erosi kornea.

5. Trauma kornea

Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka

dpenetrasi atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi

jamur atau bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan

jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan.

Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,

robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di

limbus.

Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk

bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke

9
dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan

anatomik dan fungsional jaringan intraokular.

Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat

menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata.

Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau

tukak pada mata tersebut.

2.2. Keratitis

2.2.1. Definisi

Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel

radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh.

Akibat terjadinya kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam

penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi

pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar.

Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena

seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial.

2.2.2. Etiologi

Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:

1. Virus.

2. Bakteri.

3. Jamur.

4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.

5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.

10
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek

atau tidak cukupnya pembentukan air mata.

7. Adanya benda asing di mata.

8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau

partikel udara seperti debu, serbuk sari.

2.2.3 Klasifikasi

Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.

1. Berdasarkan lapisan yang terkena

Keratitis dibagi menjadi:

a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis

Pungtata Subepitel)

Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada

kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel.

 Etiologi

Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan

dapat terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes

simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus,

vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis lagoftalmos,

keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet

lainnya.

11
 Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan

merasa kelilipan.

 Pemeriksaan laboratorium

Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk

lonjong dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan

fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes

untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini

adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah berwarna hijau pada

media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka

bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena jaringan

epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi

epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea

juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial.

Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun.

 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada

prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat

12
diberikan idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif

pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri

gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B.

Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen

yang menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk jamur

pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol.

Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata

superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat

memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik dan

kortikosteroid.

b. Keratitis Marginal

Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan

limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis

kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya

terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis.

 Etiologi

Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata

dan Esrichia.

 Gejala klinis

Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai

fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata,

injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal

13
unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi

dari arah limbus.

 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram

maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.

 Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan

penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat

diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

c. Keratitis Interstisial

Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya

pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya

transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan.

Sifilis adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial.

 Etiologi

Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke

dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis.

 Gejala klinis

Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan

menurunny visus.

14
2. Berdasarkan penyebabnya

Keratitis diklasifikasikan menjadi:

a. Keratitis Bakteri

 Etiologi

Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).

Causes of bacterial keratitis


Common Organism Uncommon Organism
Staphylococcus Aureus Neisseria spp
Staphylococcus Epidermidis Moraxela spp
Streptococcus Pneumoniae and Other Mycobacterium spp
Streptococcus spp
Pseudomonas Aeruginosa (moszt Nocardia spp
common organism in soft contact lens
wears)
Enterobacteriae (Proteus, Non-spore-forming anaerobes
Enterobacter, Serratia Corynebacterium spp

 Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri
pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan
penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal
ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi
kornea.

 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus
kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril kemudian
ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan
Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri
kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini
diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram.

15
 Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur
bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan:
Initial Therapy fpr
Bacterial Keratitis
Organis Antibiotik Topikal Dose Subconjungtival
Dose
Gram + cocci Cefazolin 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Vancomycin 25-50 mg/ml 25 mg in 0,5 ml
Moxifloksasin 5 or 3 mg/ml Non available
Gatifloxasin Respectively
Gram –b rods Tobramycin 9-14 mg/ml 20 mg in 0,5 ml
Ceftazimidine 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Fluoroquinolones 3 mg/ml Not available
No organism or Cefalozin with 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
multiple types of tobramycin or 9-14 mg/ml 20 mg in 0,5 ml
organism fluoroquinolones 3 or 5 mhg/ml
Gram – cocci Cefriaxone 50 mg/ml Not avalable
Ceftazimidine 50 mg/ml 100 mg in 0,5 ml
Mycobacterium Clarytomycin 10mg/ml 0,03%
5 or 3 mg/ml
Moxifloxacin or Respectively
gatifloxacin

b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic
keratitis.
 Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler
dengan cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora
sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan
tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

16
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies
sp, Histoplastoma sp, Sporothrix.
 Gejala klinis
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman
berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal
lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen

 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun
negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang
utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop.
Kemudian dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%,
60-75% dan 80%.
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan
biaya yang besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari
kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan.
Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak
maltosa.

17
 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan.
kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang
utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis
yang dihadapi, dapat dibagi:
1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml),
natamycin
> 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
c. Keratitis Virus
 Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus
tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai
host, merupakan parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada
mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung,
mulut, alat kelamin yang mengandung virus.

 Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata,
fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan
turun terutama jika bagian pusat yang terkena.
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa
konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif,

18
serta pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga
disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada
dasarnya infeksi primer ini dapat sembuh sendiri, akan tetapi pada
keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi
parah dan menyerang stroma.

 Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis HSV dan cairan
dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat dibiakkan pada
membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis lapisan
sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).
 Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement
epithelial, karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga
mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat
melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan.
Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5% diteteskan kedalam
sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam.
2) Terapi Obat :
 IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1%
dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
 Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
 Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
 Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
 Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya
pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit
agresif

19
3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun
hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif.

d. Keratitis Acanthamoeba
 Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang
biasanya disertai dengan penggunaan lensa kontak.
 Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen,
cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit
ini, dengan perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea
semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah
diagnosiskan sebagai keratitis herpes.
 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di
atas media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan
histopatologik menampakkan bentuk-bentuk amuba (kista atau
trofozoit). Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk
amuba dapat ditemukan pada larutan kotak penyimpan lensa kontak.
 Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat,
propamidin topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata
neomisin. Bikuanid.

20

Anda mungkin juga menyukai