Anda di halaman 1dari 22

DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER

Disusun Oleh:

dr. M. Hidayat

Pendamping:

dr. Basli Muhammad, Sp.S

Narasumber:

dr. Mukhlis, Sp.PD, M.Kes

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

KEMENTERIAN KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA

0
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA

2018/2019

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. N
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Suku bangsa/Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Langkahan
Tanggal masuk RS : 21 Januari 2019
Tanggal keluar RS : 24 Januari 2019

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Demam tinggi sejak 5 hari SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang :


Os mengeluh demam tinggi sejak 5 hari SMRS, demam naik secara
mendadak, terus menerus sepanjang hari, disertai dengan keringat,
tidak menggigil, dan tidak ada penurunan kesadaran. Os mengatakan
tidak ada pilek, tidak ada batuk, tidak ada nyeri menelan, tidak ada
nyeri telinga. Os merasa lemas sejak demam, lemas akan berkurang
bila beristirahat. Os merasa mual, tetapi tidak sampai muntah. Os
mengeluh sakit kepala berdenyut, tidak berputar, sakit kepala
diperberat saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Os juga
mengeluhkan nyeri pada sendi-sendi kaki. BAB cair 2x/hari, ampas
(+), lender (-), darah (-) dan BAK tidak ada keluhan. Os hanya
minum obat penurun panas namun demam hanya turun selama + 4
jam lalu kemudian demam naik lagi.

1
Satu hari SMRS, Os merasakan demamnya semakin tinggi, disertai
sakit kepala yang mulai dirasakan menyeluruh. Os juga
mengeluhkan mimisan sebanyak 4 kali. Kemudian Os dibawa ke
IGD RSU Cut Meutia pada malam harinya.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :


OS tidak pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini.

e. Riwayat Pemakaian Obat


Paracetamol untuk penurun panas

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal 21 Januari 2019
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Composmentis (GCS 15)
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Suhu : 38,5°C
Pernafasan : 22 x/menit
Tinggi Badan : 70 kg
Berat Badan : 171 cm
Keadaan Gizi : Overweight (IMT 23,9)

Status Generalis :
 Kepala : Normocephal
 Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
 Kulit : Sawo matang, pucat pada ujung-ujung ekstremitas
 Mata : Palpebra kanan dan kiri tidak cekung dan tidak
edema, konjungtiva kanan dan kiri pucat, sklera
kanan dan kiri tidak ikterik, pupil isokor diameter
3 mm.
 Telinga : Bentuk daun telinga kanan dan kiri normal, liang
telinga kanan dan kiri tidak terdapat serumen dan
tidak terdapat cairan, membrane timpani intak.
 Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung tidak ada,
sekret tidak ada, epistaksis tidak ada.

2
 Mulut : Merah, mukosa bibir basah, sianosis tidak ada,
ginggivitis tidak ada
 Tenggorokan : T1 – T1, faring tidak hiperemis.
 Leher : Bentuk simetris, trakea ditengah, kelenjar tiroid
tidak teraba
 Thoraks : Bentuk normal, gerak simetris saat statis dan
dinamis, retraksi tidak ada.
 Paru
 Inspeksi : Gerak simetris saat statis dan dinamis, retraksi
suprasternal dan subcosta tidak ada.
 Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, wheezing tidak ada, rhonki
tidak ada.

 Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V midklavikula
kiri, tidak ada thrill
 Perkusi : Batas atas jantung di sela iga 3 garis sternal kiri

Batas kanan jantung di sela iga 4 garis sternal


kanan

Batas kiri jantung di sela iga 4 garis


midklavikula kiri

 Auskultasi : Bunyi jantung I – II regular, tidak ada murmur,


tidak ada gallop

 Abdomen
 Inspeksi : Datar, massa (-), venektasi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Cembung, nyeri tekan di epigastrium (+), hepar
tidak teraba, Lien tidak teraba.
 Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen
 Ektremitas : Tidak ada edema, akral dingin, pucat (+),
purpura (+) pada ekstremitas inferior
 Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

3
 Anus : tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Neurologis

 Tanda rangsang meningeal

Kaku kuduk : Negatif

Brudzinki I : Negatif

Brudzinki II : Negatif

Kernig : Negatif

Kekuatan motorik : Superior 5/5, Inferior 5/5

Tonus otot : Baik

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal 21-01-2019 Jam 01:10

Hematologi Nilai Nilai Rujukan

Darah Rutin

Hemoglobin 13,8 13-18 g/dL

Hematokrit 46,1 42-52%

Leukosit 4.940 4000-11000/uL

Trombosit 13.000 150000-450000/uL

Imunologi/Serologi Widal

S. TYPHI O Negatif -/Negatif

S. TYPHI H Negatif

Dengue Fever Test

Dengue IgG Negatif Negatif

Dengue IgM Positif Negatif

Tanggal 22-01-2019 Jam 20:27

4
Hematologi Nilai Nilai Rujukan

Darah Rutin

Hemoglobin 15,6 13-18 g/dL

Hematokrit 51,6 42-52 %

Leukosit 5700 4800-10800/uL

Trombosit 55.000 150000-450000/uL

Tanggal 23-01-2019 Jam 16:33

Hematologi Nilai Nilai Rujukan

Darah Rutin

Hemoglobin 15,1 13-18 g/dL

Hematokrit 51 42-52 %

Leukosit 5070 4800-10800/uL

Trombosit 93.000 150000-450000/uL

V. RESUME
Pada anamnesis ditemukan :

5
Pasien laki-laki, 21 tahun , BB 70 kg, datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan
keluhan utama panas tinggi mendadak 5 hari SMRS. Demam tinggi mendadak
disertai sakit kepala berat, lemas, mual, nyeri sendi dan mimisan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Tanda-tanda vital :
- Nadi = 72 x/menit teraba kuat
angkat
- Pernapasan = 22 x/menit
- Suhu = 38,5°C
Status Generalis :
 Kulit : Sawo matang, pucat pada ujung-ujung ekstremitas
 Mata : Konjungtiva kanan dan kiri pucat
 Abdomen : Cembung, nyeri tekan di epigastrium.
 Ektremitas : Akral dingin, pucat, ptechie dan purpura pada
ekstremitas inferior

Pada pemeriksaan Laboratorium :

Trombositopeni, Dengue IgM (+)

VI. DIAGNOSIS KERJA :

Dengue Hemorrhagic Fever – Grade II

VII. TATALAKSANA
Medikamentosa
 IVFD RL 20 gtt/i
 Injeksi Anbacim 1gr/12 jam
 Injeksi Santagesic 500mg/8 jam
 Injeksi ondansetron /8 jam
 Injeksi Ranitidin /12 jam
 Injeksi Kalnex /8 jam

Non Medikamentosa :
• Periksa darah rutin per 12 jam
• Tirah baring

6
• Edukasi untuk banyak minum
• Pesan untuk orang tua/penunggu pasien jika pasien tampak gelisah,
lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, dan BAB hitam (tanda syok)
segera lapor ke dokter atau perawat

VIII. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad functionam : bonam
 Ad sanationam : bonam

IX. FOLLOW UP

Tanggal FOLLOW UP
21 S = Nyeri kepala, nyeri sendi-sendi kaki, demam (+) mual (+) muntah
Januari (-) mimisan (+) BAB cair (-)
O = KU/KS = Tampak sakit sedang/compos mentis
2019
Nadi = 80 x/menit Nafas = 24 x/mnt
Suhu = 38,5 °C (aksila)
Kepala = Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata = Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT = Discharge (-), epistaksis (+), PCH (-), sekret (-), T1 – T1
tenang, faring hiperemis (-)
Mulut = Sianosis (-), gingivitis (-)
Jantung = BJ I – II murni regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-), Wheezing (-)
Abdomen = BU (+) N, soepel, Nyeri tekan Epigastrium (+)
Ekstremitas = Akral dingin, ptechie (+) purpura (+)
A = DHF Grade II
P = Transfusi Trombosit
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Anbacim 1gr/12 jam
Injeksi Santagesic 500mg/8 jam
Injeksi ondansetron /8 jam
Injeksi Ranitidin /12 jam
Injeksi Kalnex /8 jam

22 S = Nyeri kepala, nyeri sendi-sendi kaki, demam (+) mual (+) muntah
Januari
(-) mimisan (+) BAB cair (-)
2019 O = KU/KS = Tampak sakit ringan/compos mentis

7
Nadi = 80x/menit Nafas = 22x/mnt
Suhu = 37,6°C (aksila)
Kepala = Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata = Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT = Discharge (-), epistaksis (+), PCH tidak ada, sekret tidak
ada,
T1 – T1 tenang, faring hiperemis (-/-)
Mulut = Sianosis (-), gingivitis (-/-)
Jantung = BJ I – II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-)
Abdomen = BU (+) N, soepel, Nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas = Akral dingin, ptechie (+), purpura (+)
A = DHF Grade II
P = Transfusi Trombosit
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Anbacim 1gr/12 jam
Injeksi Santagesic 500mg/8 jam
Injeksi ondansetron /8 jam
Injeksi Ranitidin /12 jam
Injeksi Kalnex /8 jam
23 S = Nyeri Kepala, demam (-), mual (-), mimisan (-), ptechie (↓),
Januari
purpura (↓)
2019 O = KU/KS = Tampak sakit ringan/compos mentis
N = 90x/menit RR = 24x/menit
S = 36,8°C (aksila)
Kepala = Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata = Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT = Discharge (-), epistaksis (-), PCH (-/-), secret (-/-), T1 –
T1 tenang, faring hiperemis (-)
Mulut = Sianosis (-), gingivitis (-)
Jantung = BJ I – II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-)
Abdomen = BU (+) N, supel
Ekstremitas = Akral hangat, ptechie (↓), purpura (↓)
A = DHF grade II
P = IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Anbacim 1gr/12 jam
Injeksi Santagesic 500mg/8 jam
Injeksi ondansetron /8 jam
Injeksi Ranitidin /12 jam
Injeksi Kalnex /8 jam
24 S = Keluhan (-), ptechie (↓), purpura (↓)
O = KU/KS = Baik/compos mentis

8
Januari N = 90x/menit RR = 24x/menit
S = 36,8°C (aksila)
2018
Kepala = Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Mata = Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT = Discharge (-), epistaksis (-), PCH (-/-), secret (-/-), T1 –
T1 tenang, faring hiperemis (-)
Mulut = Sianosis (-), gingivitis (-)
Jantung = BJ I – II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo = Suara nafas vesikuler, Rhonki (-/-), Wheezing (-)
Abdomen = BU (+) N, supel
Ekstremitas = Akral hangat, ptechie (↓), purpura (↓)
A = DHF grade II
P = IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi Anbacim 1gr/12 jam
Injeksi Santagesic 500mg/8 jam
Injeksi ondansetron /8 jam
Injeksi Kalnex /8 jam

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dengue Hemmoragic Fever

Demam berdarah dengue (DBD) merupakanpenyakit demam akut yang disebabkan


oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus Flavivirus. Virus ini memiliki
empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari
infeksi salah satu jenis serotipe tidak memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe
lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan
manifestasi klinis yang berat.1,2,5,8

Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yakni dua hari sebelum panas hingga 5 hari setelah demam
timbul. Virus yang terdapat pada kelenjar liur kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10
haridan selanjutnya dapat ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk
dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus
(infektif) sepanjang hidupnya.2,8

2.2 Patogenesis

Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut adalah hipotesis
infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune
enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu dan menyebabkan
kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi virus dengue mengakibatkan terbentuknya
kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit (Ht),
penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan
syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama
24-48 jam dan bila tidak ditangani secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia
yang dapat berakibat fatal.1,2

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung


bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenali
virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc
reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.1,2

10
2.3 Perjalanan Penyakit

Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan recovery
(penyembuhan) (gambar-1).5

Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.5

a. Fase Febris
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang suhu tubuh
sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun panas. Fase ini biasanya
akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka kemerahan, eritema, nyeri seluruh
tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala. Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri
tenggorokan atau mata merah (injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan
penyakit lainnya secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat dijadikan
parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan tidak gawat. Oleh karena
itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning signs) dan parameter lain sangat penting
untuk mengenali progresi ke arah fase kritis.2,5,10Warning signs meliputi:5

 Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan mukosa,


pembesaran hati >2 cm
 Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa
(hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama demam, namun
dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5 demam. Perdarahan vagina masif pada
wanita usia subur dan perdarahan gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi

11
walau lebih jarang.2,5,10Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif,
menandakan adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit 70,2%
kasus DBD mempunyai hasil positif.2

Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam. Pembesaran
hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar
dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae. Pada sebagian kecil dapat ditemukan
ikterus. Penemuan laboratorium yang paling awal ditemui adalah penurunan progresif
leukosit, yang dapat meningkatkan kecurigaan ke arah dengue.2,5

b. Fase Kritis
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai
cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus diwaspadai
sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah 37,5-38oC yang
biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas kapiler akan terjadi dan keadaan
ini berbanding lurus dengan peningkatan hematokrit. Periode kebocoran plasma yang
signifikan secara klinis biasanya terjadi selama 24-48 jam.2,5

Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat merupakan tanda
kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi. Temuan efusi pleura dan asites
secara klinis bergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume terapi cairan. Derajat
peningkatan hematokrit sebanding dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.2,5

Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis akibat
kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat tanda kegagalan
sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar
mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok
berkepanjangan, organ yang mengalami hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi
(impairment), asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini
menyebabkan perdarahan hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan
syok hebat. 1,2,5

Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat dikatakan
menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang menjadi fase kritis
kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada pasien perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya kebocoran plasma.5

c. Fase Penyembuhan (Recovery)


Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi gradual cairan
ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum pasien membaik, nafsu makan
kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status hemodinamik meningkat, dan diuresis
normal. Beberapa pasien akan mengalami ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan
disekitarnya dan pruritus generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga
sering ditemukan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi
yang disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera setelah

12
demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian cairan pada fase ini
perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan edema paru atau gagal jantung
kongestif.5

2.4 Manajemen Kasus DBD

Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni:5

1. Penilaian:
 Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat keluarga
 Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
 Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan
3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan hal-hal
terkait lainnya:
 Rawat jalan (kelompok A)
 Rawat inap (kelompok B)
 Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)

2.5 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus meliputi:5 (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake oral, (3)
Warning signs, (4) Diare, (5) Perubahan status mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output
(frekuensi, volume, dan waktu terakhir kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang
mengalami DBD, riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan,
obesitas, diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun
(mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks bebas
(HIV serokonversi akut).

Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi:5 (1) Status mental, (2) Status hidrasi, (3)
Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura, (5) Nyeri abdomen/
hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan, (7) Uji torniquet.

2.6 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht),


jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1

Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada
akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel
limfosit secara relatif meningkat.1,2,10

Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya trombosit terjadi


sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit
<100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.1,2

13
Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu
dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Nilai hematokrit juga
dipengaruhi oleh penggantian cairan dan perdarahan.1,2

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.1,2,5

2.7 Pemeriksaan Radiologi

Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II) didapatkan efusi
pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto toraks sebaiknya dilakukan
dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.1

2.8 Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui


pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis
uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode
ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu),
serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah
pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.1,11

Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima setelah onset
penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM meningkat dengan
cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun hingga tak terdeteksi lagi
setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari setelah IgM dan pada infeksi primer,
produksi IgG lebih rendah dibandingkan IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam
sirkulasi, bahkan seumur hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat
lebih banyak dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG
merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.11

Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen spesifik virus
dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan metode ELISA, antigen NS1
dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
itu, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.

2.9 Diagnosis

14
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan kriteria
WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal di bawah ini
terpenuhi:1,9

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Hepatomegali (pembesaran Hati)
5. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah, serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki tdan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
6. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, dan
hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:1,9

• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin
dan lembab, tampak gelisah.
• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD ditegakkan dengan melihat fase
penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan), menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan
status hemodinamik pasien, serta apakah pasien memerlukan rawat.5

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi
virus dengue, yaitu probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue, seperti pada
gambar berikut ini :

15
Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien tinggal atau
baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam lebih dari tiga hari,
jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau trombositopenia ± uji torniquet positif.

2.10 Penatalaksanaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan kasus DBD.
Asupan cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan
suplemen cairan melalui jalur intravena.1,4 Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi
klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A),
membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan membutuhkan
penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).5

Kelompok-A5

Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk minum
secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai
warning signs, khususnya saat demam mereda.

Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi hingga
melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah dirawat dan
diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning signs muncul.
Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:

16
 Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan lain yang
mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang akibat demam.
 Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam. Interval
pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
 Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan keluaran
cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda perembesan plasma
atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B5

Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis. Kriteria
rawat pasien DBD adalah:5

1. Adanya warning signs


2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi postural,
berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak syok),
neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik,
overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:

 Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti normosalin


0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi menjadi 3-5
ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai
respon klinis.
 Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit, lanjutkan
dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda vital memburuk dan
Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–10 ml/kg/jam selama 1-2 jam.
Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa kecepatan cairan infus berkala.
 Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output 0,5
ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat kebocoran
plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa diketahui dari urin output
dan/atau asupan minum cukup dan Ht menurun.
 Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat. Parameter
yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4 jam hingga lewat

17
fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan setelah pemberian cairan,
selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:

 Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau RL
dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien obese atau
overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume minimum untuk
memelihara perfusi dan urine output selama 24-48 jam.
 Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume
dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan
laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

Kelompok-C5

Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami DBD


berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan dengan
kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat
periode kebocoran plasma atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht
sebelum dan sesudah resusitasi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi
sentral dan perifer (takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas
tidak pucat dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran
membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).

Indikasi Pulang Pasien DBD

Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:5

 Klinis:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan status klinis (keadaan umum baik, nafsu makan makan
membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak ada gangguan
pernapasan)

 Laboratoris:
o Peningkatan jumlah trombosit
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena

Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

18
Gambar-2. Algoritma Pasien Syok Terkompensasi

19
Terapi pada Syok Hipotensi

Gambar-3. Algoritma Pasien Syok Hipotensi

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:


Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 5.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
3. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicines 2009:22;1.
4. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World
Health Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
5. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Braunwald, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Companies, 2008.
6. World Health Organization. Dengue Fever. Diunduh dari
www.emro.who.int/sudan/pdf/cd_trainingmaterials_dengue.pdf
7. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. P.522.

21

Anda mungkin juga menyukai