Case Invaginasi
Case Invaginasi
Nama : An. AA
Usia : 10 bulan
Agama : Islam
Caregiver : Ibu
I. ANAMNESIS
Diambil dari: alloanamnesis (ibu pasien)
Keluhan Utama:
Pasien mengalami mual dan muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah berbentuk cair dan
berwarna kehijauan. Pasien muntah hingga 10 kali dalam sehari. Pasien muntah setiap
diberikan makan dan minum. Perut pasien terlihat kembung. Menurut ibunya. pasien tampak
sangat rewel dan menangis terus. Frekuensi rewel semakin lama semakin sering. Pasien juga
mengalami demam sejak 1 hari SMRS.
Sembilan jam SMRS keadaan pasien tampak semakin lemah, pasien tidak mau
makan, dan perut pasien semakin buncit. Pasien mengalami BAB berdarah satu kali yang
berwarna merah kehitaman dan berbentuk kental seperti jeli. BAK pasien lebih sedikit dari
biasanya. Ibu pasien kemudian membawa pasien ke rumah sakit.
1|Page
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Persalinan
Penolong : Dokter
Keadaan bayi saat lahir : Bayi langsung menangis, cukup bulan, sesuai masa
kehamilan.
Riwayat Makanan
Riwayat Imunisasi
2|Page
Riwayat Tumbuh Kembang
Pemeriksaan Fisik :
3|Page
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : Tampak distensi, darm contour -, darm steifung -
Palpasi : Tegang, teraba massa seperti pisang pada regio iliaca dextra
Perkusi : Hipertimpani
Auskultasi : Bising usus menurun, 1-2x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema(-/-/-/-)
Kulit : Turgor kulit melambat, sianosis (-)
Colok Dubur : Tonus sfingter ani baik, ampula rekti kolaps, permukaan
mukosa licin, tidak teraba massa, pada sarung tangan setelah
jari dikeluarkan dari anus terdapat: red currant jelly stool
Darah rutin
Hemoglobin 10.5 – 13.5 g/dL 10.1 L
Hematokrit 33-43 % 30.2 L
MCV 80-100 fl 70.6 L
MCH 27-34 pg 23.6 L
4|Page
Gambar 1. Gambaran Rontgen Abdomen 3 posisi
5|Page
Gambar 2. Gambaran Rontgen Thorax AP
6|Page
IV. RINGKASAN PENYAKIT
Pasien anak laki-laki usia 10 bulan datang dengan keluhan BAB berdarah,
muntah-muntah 10 kali per hari berisi cairan kehijau, rewel, serta perut tegang dan
membuncit,. Ketika datang ke rumah sakit keadaan pasien lemah, malas makan dan
minum, demam, dan buang air kecil sedikit. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan
umum lemah, takikardia, apatis, demam, tampak dehidrasi. Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan distensi, teraba tegang, teraba massa seperti pisang pada regio iliaca dextra,
hipertimpani, bising usus menurun. Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan ampula
rekti kolaps dan pada sarung tangan terdapat red currant jelly stool. Turgor kulit
melambat.
Pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda obstruksi berupa
dilatasi pada ileus dan colon serta gambaran step ladder air-fluid level. Pada
pemeriksaan USG didapatkan didapatkan dilatasi loop usus dan penurunan peristaltic
usus.
V. DIAGNOSIS KERJA
Invaginasi
Dehidrasi sedang-berat
Status gizi baik menurut WHO
Status imunisasi lengkap menurut Kemenkes
VI. PENATALAKSANAAN
O2 2 lpm via nasal canula
IVFD RL 300cc dalam 1 jam, kemudian dilanjutkan RL 700cc dalam 5 jam
berikutnya
Pasang OGT, puasakan
Antibiotik pre-operatif
Pasang kateter
Rencanakan operasi reposisi cito
Rawat NICU setelah operasi
VII. PROGNOSIS
Vitam : dubia ad bonam
Fungsionam : dubia ad malam
7|Page
Sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN
Diagnosis- Cidera kepala sedang dan epidural hematom: Pasien mengalami KLL saat
tidak menggunakan helm dan ditemukan tidak sadarkan sendiri. Terdapat luka kepada
kepala tersebar di daerah parietal, frontal, sphenoid, dan infra orbita. GCS pasien saat
dirumah sakit E3M5V3. Dilakukan pemeriksaan CT scan dan didapatkan hasil open fraktur
linier daerah frontal, EDH daerah frontoparietal.
Pemeriksaan Penunjang
Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma kepala:4
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan
berat.
2. Trauma kepala ringan dengan fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Tatalaksana
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1) Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya
tekanan tinggi intracranial
2) Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3) Minimalisasi kerusakan sekunder
4) Mengobati simptom akibat trauma otak
5) Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural/EDH) dengan volume perdarahan lebih dari
30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan
kondisi pasien
8|Page
Perdarahan subdural (hematoma subdural/ SDH) dengan pendorongan garis tengah
lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologic
atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura yang
robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak
Indikasi operasi EDH
Lebih dari 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal/frontal/parietal dengan
fungsi batang otak masih baik
Lebih dari 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang
otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
EDH progresif
EDH tipis dengan penurunan kesadaran tetapi bukan indikasi operasi
Tinjauan Pustaka
CEDERA KEPALA
Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
9|Page
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik. Cedera ke pala sedang ( CKS ) adalah trauma kepala yang diikuti
oleh kehilangan kesadaran atau kehilangan fungsi neorologis seperti misalnya daya ingat atau
penglihatan dengan sekor GCS 9-13, yang di buktikan dengan pemeriksaan penunjang CT
Scan kepala.1,2
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, olahraga dan rekreasi.2
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-
50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1
Penyebab
Penyebab cedera kepala:3
1. Kekerasan tumpul
Kekerasan tumpul pada kepala mempunyai frekuensi yang sering terjadi, biasanya
oleh karena kecelakaan lalu lintas, pembunuhan.Benda penyebab tersering adalah
kayu/besi pemukul, batu, kepala tertumbuk sesuatu yang keras (kendaraan) atau jatuh
dari ketinggian tertentu.
2. Kekerasan tajam
Trauma kapitis karena kekerasan taja cukup banyak terjadi, contohnya:pisau, batang
besi runcing, pecahan kaca
3. Gerakan mendadak
Walaupun tidak ada kekerasan langsung pada kepala, trauma dapat karena gerakan
kepala yang mendadak.Gerakan ini dapat merupakan suatu percepatan, perlambatan
10 | P a g e
atau perputaran.Kerusakan yang terjadi terutama pada pembuluh darah otak dan
jaringan otak. Contoh: trauma pada saat berolahraga.
Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder merupakan
cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari
kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.3
11 | P a g e
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi
tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang
masuk kedalam rongga intrakranial.
b. Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang
mengakibatkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.Sering terjadi pada bayi dan
balita karena suturanya belum menyatu dengan erat. Fraktur ini pada usia dewasa
dapat terjadi pada sutura lambdoid dan menyebabkan epidural hematom.
c. Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.
d. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak.Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di
bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa
posterior.Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang
kalfaria.Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan
durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah
kalfaria.Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter.Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang
menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).Pada pemeriksaan
klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini
juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan
saraf penciuman (N,olfactorius), saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan
peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk,
mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit.Jaga kebersihan sekitar
lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT)
pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea.Pada penderita dengan tanda-tanda
12 | P a g e
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala
miring ke posisi yang sehat.
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural
hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara
lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
13 | P a g e
lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadaran dipengaruhi oleh
mekanisme dan energi dari trauma yang dialaminya.
e. Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan subarahnoid (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
2) Cedera otak difus
a. Kontusio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
b. Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral
lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.
c. Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan
kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang
dinilai:4
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
14 | P a g e
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
Verbal : Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
15 | P a g e
neurologis +
CK berat 3-8 Pingsan >6 jam, Abnormal
defisit neurologis +
Epidural Hematom
Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat
trauma yang berada diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membrane
duramater, keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang akibatnya kepala seperti dipukul palu atau alat pemukul
baseball.Pada 85 – 95% pasien, trauma terjadi akibat adanya fraktur yang hebat. Pembuluh –
pembuluh darah otak yang berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah fraktur akan
mengalami perdarahan. Prognosanya biasanya baik apabila diterapi secara agresif.Epidural
hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap pembuluh darah yang terletak
diluar duramater, apakah itu terjadi pada tulang tengkorak atau pada kolumna spinalis. Pada
tulang tengkorak, tekanan yang berlebihan pada arteri meningeal akan menyebabkan epidural
hematom. Hematom yang terbentuk secara luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan akhirnya akan merusak otak, hematoma yang luas juga akan
menyebabkan otak bagian atas dan batang otak akan mengalami herniasi. Epidural hematom
terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan fraktur pada tulang tengkorak
dan adanya laserasi arteri.Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea
media.Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah
intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung.Gejala klinisnya:5,6
ð Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa
ð Tapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun bangun dalam
kondisi kebingungan
ð Muntah – muntah
ð Kejang – kejang
ð Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan menyebabkan
keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan
dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian
meninggal.
16 | P a g e
ð Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan
intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
ð dilatasi pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya
gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi.
ð Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu:
17 | P a g e
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera
kepala ringan, sedang, atau berat.Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di
rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:7
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
19
Pasien dalam keadaan sadar (SKG=15):8,9
1. Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayatmpenurunan kesadaran sama sekali dan tidak
ada defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan
nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran.Bila dicurigai kesadaran menurun
saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus
segera dibawa kembali ke rumah sakit.
2. Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral, dan saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera kranioserebral
ringan (CKR).
21
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak.Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan.Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan
cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah
yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
d. Disability
Untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status
umum dan neurologi
- TTV (tekanan darah, nadi, frekuensi nafas, suhu)
- GCS
- Pupil (ukuran, bentuk dan reflex cahaya)
- Pemeriksaan neurologis cepat (hemiparesis dan reflex patologis)
- Luka-luka
- Anamnesa, AMPLE(Allergic, medication, Past illness, last meal,
Event/environment)
Survey sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi pasien stabil.
e. Laboratorium
- Darah (Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, ureum, kreatinin, GDS,
AGD, dan elektrolit).
- Urin : ada perdarahan atau tidak
Radiologi:
- Foto kepala (AP, Lateral dan tangensial)
- CT Scan otak
- Foto lainnya sesuai dengan indikasi
f. Manajemen terapi
- Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
- Siapkan untuk masuk ruang rawat
- Penanganan luka-luka
- Pemberian terapi obat-obatan sesuai kebutuhan
22
2. Manajemen tekanan intracranial (TIK) meninggi
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah 0-15
mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.
b. Terapi diuretik:
• Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310
mOsm.
• Loop diuretic (furosemid)Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
3. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolismesebesar 2-2,5 kali normal
danakan mengakibatkan katabolisme protein.Kebutuhan energi rata-rata pada cedera
kranioserebralberat meningkat rata-rata 40%. Totalkalori yang dibutuhkan 25-30
kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari,minimum karbohidrat sekitar 7,2
g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari,dan rekomendasi tambahan mineral:
zinc 10-30 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80mikrogram, kromium 50-150 mikrogram,
danmangan 25-50 mg. Beberapa vitamin jugadirekomendasikan, antara lain vitamin A, E,
C,ribofl avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkanindikasi.Pada pasien dengan
kesadaran menurun,pipa nasogastrik dipasang setelah terdengarbising usus.Mula-mula isi
perut dihisap keluaruntuk mencegah regurgitasi sekaligus untukmelihat apakah ada
perdarahan lambung.Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dancukup, infus dapat dilepas
untuk mengurangi risiko flebitis.
23
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure, dan yang
terjadi setelahnya disebut late seizure.Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi,
yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi
profilaksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur tulang
terbuka, luka luar, fraktur basis kranii.Pemberian profilaksis antibiotik ini masih
kontroversial.Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis
meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya.Dilakukan tindakan
menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau tanpa
memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.Boleh diberikan
tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis erosi
dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stress
ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya tukak
stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1
tablet peroral atau H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan
dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah tulang
yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat.Bila ada retensi urin, dapat dipasang
kateter untuk pengosongan kandung kemih.Bila perlu, dapat diberikan penenang dengan
observasi kesadaran lebih ketat.Obat yang dipilih adalah obat peroral yang tidak
menimbulkan depresi pernapasan.
f. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara
khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penederita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetative state. Walaupun
24
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan
sekitarnya.Penderita pada vegetative state lebih dari 1 tahun jarang menyembuh.
g. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah
kesadaran.
KRANIOTOMI
A. Definisi
Kraniotomi adalah prosedur untuk menghilangkan lesi diotak melalui sebuah lubang
ditengkorak (tempurung kepala). Kraniotomi adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi
yang paling umum dilakukan untuk menghilangkan tumor otak. Hal ini juga dapat dilakukan
untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari
pembuluh, darah yang lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi
arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk mengalirkan abses otak, untuk
mengurangi tekanan dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.10
B. Metode Kraniotomi
Ada dua metode yang umum digunakan oleh ahli bedah untuk membuka tengkorak.
Entah sebuah insisi dibuat dibagian belakang leher di sekitar tulang di bagian belakang
(tulangoksipital) atau insisi dibuat melengkung di depan telinga yang lengkungan di atas
mata. Sayatan menembus sejauh membran tipis yang menutupi tulang tengkorak. Selama
sayatan kulit ahli bedah harus menutup banyak pembuluh darah kecil karena kulit kepala
memiliki pasokan darah yang kaya.10
Jaringan kulit kepala kemudian dilipat kembali untuk mengekspos tulang.
Menggunakan bor kecepatan tinggi, latihan ahli bedah pola lubang melalui tempurung
kepala(tengkorak) dan menggunakan kawat halus melihat untuk menghubungkan lubang-
lubang sampai segmen tulang (flap tulang) dapat dihapus. Hal ini memberikan akses ahli
bedah untuk bagian dalam keterampilan dan memungkinkan dia untuk melanjutkan dengan
operasi di dalam otak. Setelah pengangkatan lesi otak internal atau prosedur lain selesai,
tulang diganti dan diamankan ke posisi dengan kawat lunak. Membran, otot,dan kulit dijahit
ke posisi. Jika lesi aneurisma, arteri yang terkena tertutup dikebocoran. Jika ada tumor,
sebanyak itu mungkin adalah reseksi (dihapus). Untuk malformasi arteriovenosa, kelainan
terpotong dan memperbaiki pengalihan aliran darah ke pembuluh yang normal.10
25
Gambar 3. Kraniotomi
Dalam sebuah kraniotomi, kulit di atas bagian dari tengkorak dipotong dan ditarik
kembali (A). Lubang kecil dibor ke dalam tengkorak (B), dan melihat khusus digunakan
untuk memotong tulang antara lubang (C). Tulangdihapus, dan cacat tumor atau lainnya
divisualisasikan dan diperbaiki (D). Tulang digantikan (E), dan kulit tertutup (F).10
PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi
yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik.
Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk
pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
Kesimpulan
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Penatalaksanaan cedera
kepala yaitu sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa tatalkasana non-operatif dan
operatif yang nantinya menentukan prognosis pasien kedepannya. Prognosis juga ditentukan
oleh keadaan dasar pasien dan keparahan dari cedera.
26
Daftar Pustaka
1. PERDOSSI. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta:
PERDOSSI, 2006.
2. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera kepala. Dalam : Advanced
Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI,
2004.p.131-57
3. Hickey JV. Craniocerebral trauma. Dalam: The clinical practice of neurological and
neurosurgical nursing. 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins,
2003.p.32-43
4. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25734/3/Chapter%20II.pdf,
12 Januari 2015.
5. Hafid A. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2004.h.818-9.
6. Mardjono M., Sidarta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,
2000.h.255-6.
7. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera kepala. Jakarta: Deltacitra
Grafindo, 2005.h.52-61
8. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd
ed. BMJ books, 2000.p.142-8
9. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN Hawaii,
2011.h.74-92
10. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35615/4/Chapter%20II.pdf,
12 Januari 2015.
27